13 Desember,
Deklarasi Djuanda, dan Kemenangan Diplomasi Indonesia
Adakah di antara
sidang pembaca yang ngeh ada peringatan apa di Indonesia setiap tanggal 13
Desember? Dan tahu nggak kalau wilayah Indonesia di tahun 1950-an berbeda
dengan wilayah Indonesia hari ini? Wah, kalau ada yang belum tahu, sayang
banget nih. Padahal tanggal 13 Desember itu hari penting buat kita, warga
negara Indonesia. Tanggal 13 Desember adalah peringatan Hari Nusantara. Apa
itu Hari Nusantara? Peristiwa apa yang melatarbelakanginya? Sejarawan Muda
punya infonya nih…. Selamat Membaca!
***
Pada masa pasca
kemerdekaan Indonesia di tahun 1950, pemerintah Republik Indonesia tidak
mempunyai waktu untuk membenahi masalah perbatasan, baik dengan Malaya yang saat itu menjadi
bagian dari Inggris dan perbatasan dengan negara lain. Ada tiga hal yang
menyebabkan hal itu bisa terjadi. Pertama, pemerintah konsentrasi
pemerintah terkuras untuk mengurus masalah dalam negeri yang penuh gejolak.
Kedua, ada masalah Papua Barat yang masih ditongkrongi Belanda. Ketiga,
pemerintahan Malaya juga menghadapi masalah dalam negeri dalam hubungannya
dengan Inggris yang menjajah mereka.
Masalah perbatasan
Indonesia mulai mendapat perhatian di masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II (24
Maret 1956 – 14 Maret 1957). Batas wilayah laut di Indonesia pada saat itu
masih diatur oleh peraturan warisan Belanda yang dikenal dengan
Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939 (selanjutnya disebut
Ordonantie 1939). Dalam Ordonantie 1939 ditentukan bahwa jarak teritorial
bagi tiap-tiap pulau di Indonesia adalah tiga mil dari garis pantai
masing-masing pulau. Peraturan itu memunculkan banyak wilayah laut bebas di
antara pulau-pulau yang ada di Indonesia. Laut bebas ini membuat wilayah
Indonesia menjadi terpisah-pisah. Gagasan untuk mengubah Ordonantie 1939
muncul atas desakan dari beberapa departemen yang merasa hukum laut warisan
Belanda itu tidak dapat melindungi keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Atas dasar itulah, Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo
membentuk sebuah tim yang ditugaskan untuk membuat RUU tentang Wilayah
Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim. Tim ini berdiri berdasarkan
Keputusan Perdana Menteri RI No. 400/P.M./1956 itu dipimpin oleh Kolonel
Laut R. M. S. Pirngadi .
Panitia Pirngadi,
setelah hampir satu tahun lebih, dapat menyelesaikan rencana RUU Wilayah
Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim. Sebagian besar isi dari RUU itu
hampir sama dengan Ordonantie 1939, namun memiliki perbedaan pada penentuan
garis teritorial yang sebelumnya 3 mil, menjadi 12 mil laut. RUU tersebut
belum sempat disetujui, karena Kabinet Ali II kemudian bubar, dan
digantikan oleh Kabinet Djuanda.
Kabinet Djuanda
masih melanjutkan RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim,
dengan menugaskan Mr. Mochtar Kusumaatmaja untuk mencari dasar hukum untuk
mempertahankan wilayah Republik Indonesia. Mr. Mochtar Kusumaatmaja
kemudian memberikan gagasan yang disebut Archipelagic Principle yang telah
ditetapkan oleh Mahkamah Internasional pada tahun 1951. Sebagai alternatif
terhadap RUU dan gagasan Archipelagic Principle itu kemudian dibuatlah
konsep ’Asas Negara Kepulauan’. Ir. Djuanda mempunyai pemikiran bahwa harus
segera mengesahkan RUU tersebut, karena banyak kapal Belanda yang melakukan
intervensi dari dan menuju New Guinea di zona laut yang bebas.
Ir. Djuanda, pada
masa kepemimpinannya berhasil di sahkan UU Maritim dan Asas Negara
Kepulauan.
Ir. Djuanda, pada
masa kepemimpinannya berhasil di sahkan UU Maritim dan Asas Negara
Kepulauan.
Gagasan Mr. Mochtar
Kusumaatmaja yang menggunakan Asas Negara Kepulauan diterima pada saat
sidang parlemen tanggal 13 Desember 1957, pemerintah mengeluarkan
pengumuman yang isinya “segala perairan di sekitar, di antara dan yang
menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan
Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah
bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia
dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada
di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia. Lalu-lintas
yang damai diperairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama
dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan
negara Indonesia. Batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya 3 mil
diperlebar menjadi 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik
ujung terluar pada pulau-pulau dri wilayah negara Indonesia pada saat air
laut surut.”
Dengan
dikeluarkannya peraturan tersebut, maka Ordonantie 1939 sudah tidak berlaku
lagi di Indonesia, dan garis teritorial laut Indonesia yang sebelumnya 3
mil menjadi 12 mil. Namun, tidak lama setelah Indonesia mengeluarkan
peraturan tersebut, muncul beberapa reaksi terhadap peraturan tersebut.
Reaksi protes datang dari beberapa negara seperti dari Amerika Serikat
(tanggal 30 Desember 1957), Inggris (3 Januari 1958), Australia (3 Januari
1958), Belanda (3 Januari 1958), Perancis (8 Januari 1958), dan Selandia
Baru (11 Januari 1958). Reaksi penolakan tersebut sudah dipikirkan oleh
pemerintah Indonesia, dan sudah pula diumumkan bahwa reaksi-reaksi dari
berbagai negara tersebut akan diperhatikan dan dibahas dalam konferensi
internasional mengenai hak-hak atas lautan yang akan diadakan pada 1958 di
Jenewa. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah siap dengan reaksi
protes yang diajukan dan siap berdebat pada konferensi di Jenewa.
Meester in de
rechten Mochtar Kusumaatmadja.
Meester in de
rechten Mochtar Kusumaatmadja.
Delegasi Indonesia
yang datang pada konferensi internasional mengenai hak-hak atas lautan yang
diadakan di Jenewa terdiri atas Mr. Ahmad Subardjo Djojohadisuryo, S.H.
yang pada waktu menjabat sebagai Duta Besar RI di Swiss, Mr. Mochtar
Kusumaatmadja, Goesti Moh. Chariji Kusuma, dan M. Pardi (Ketua Mahkamah
Pelayaran). Dalam kesempatan itu delegasi Indonesia mengemukakan asas
Archipelagic Principle dalam pidatonya. Inilah untuk pertama kali
masyarakat internasional mendengar penjelasan mengenai implementasi
’Archipelagic Principle’ terhadap suatu negara yang melahirkan
’Archipelagic State Principle’ yang pada waktu itu masih asing bagi dunia.
Asing karena asas ini eksis tapi belum ada satu pun negara di dunia yang
menggunakannya. Meskipun telah dijelaskan lewat pidato, negara-negara yang
pernah menyampaikan protes kepada pemerintah Indonesia belum dapat
menerima. Hanya, Indonesia mendapatkan dukungan dari Ekuador, Filipina, dan
Yugoslavia. Pemerintah Indonesia kemudian menggunakan beberapa cara untuk mendapat
simpati dari negara-negara lain, misalnya dengan menyebarkan tulisan The
Indonesian Delegation to the Conference on the Law of the Sea. Usaha itu
mulai membuahkan hasil dan setelah itu mulai banyak negara-negara yang
bersimpati dengan perjuangan Indonesia.
Pemerintah Indonesia
kemudian merancang peraturan 13 Desember menjadi undang-undang agar
kedudukannya menjadi lebih kuat. Pada tahun 1960 pengumuman tersebut
dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) No.
4/ 1960. Produk hukum inilah yang kemudian juga disampaikan pada Konferensi
Hukum Laut PBB ke dua yang diselenggarakan tahun 1960, namun usul Indonesia
masih belum dapat diterima. Pada tahun 1962, Indonesia kembali menerbitkan
PERPU No. 8/ 1962 mengenai ’Lalu-lintas Laut Damai Kapal Asing dalam
Perairan Indonesia, dan masih terus menyempurnakan implementasi Asas Negara
Kepulauan dalam sistem hukum di Indonesia. Jalan Indonesia untuk
memperjuangkan diakuinya Asas Negara Kepulauan mulai menemui kemudahan
ketika pada tahun 1971 Indonesia dipilih menjadi anggota Committee of the
Peaceful Uses of the Sea-Bed and Ocean Floor beyond the Limit of National
Jurisdiction yang merupakan badan PBB untuk mempersiapkan Konferensi Hukum
Laut PBB. Dipilihnya Indonesia sebagai anggota badan tersebut, membuat
Indonesia lebih mudah dalam menyosialisasikan implementasi prinsip negara
kepulauan agar mendapatkan pengakuan dari pihak internasional. 12 Maret
1980, dengan menggunakan dasar Hukum Laut Internasional mengenai Economic
Exclusive Zone Pemerintah Indonesia juga mengumumkan peraturan tentang Zone
Ekonomi Eksklusif (ZEE) selebar 200 mil diukur dari garis dasar. Pada tahun
1983, pengumuman ini disahkan menjadi Undang-undang RI No. 5/ 1983.
Konsep negara
kepulauan sendiri baru disetujui oleh mayoritas negara-negara di dunia pada
10 Desember 1982 pada Konvensi Hukum Laut Internasional. Tidak hanya konsep
negara kepulauan saja yang disetujui, namun juga mengenai ZEE. Lebih dari
itu, konsep negara kepulauan juga dimasukkan sebagai bagian dari Konvensi
Hukum Laut PBB. Suatu kemenangan diplomasi Indonesia yang patut dicatat
sejarah. Karena itulah kini taggal 13 Desember, hari di saat UU Wilayah
Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim dan di terimanya Asas Negara
Kepulauan, diperingati sebagai Hari Nusantara. Hari di saat para stake
holder bangsa kita memperjuangkan kedaulatan wilayah NKRI di masa lalu.
Pertanyaannya sekarang, sudahkah kita mengenal Indonesia berikut pulau,
laut, dan masyarakat yang hidup di dalamnya? (Omar Mohtar)
|