MISTERI BULAN SYURA
Bulan Sura adalah
bulan pertama dalam kalender Jawa. Tanggal 1 Sura akan jatuh pada hari
Senin tanggal 29 Desember 2008. Secara lugas maknanya adalah merupakan
tahun baru menurut penanggalan Jawa. Bagi pemegang tradisi Jawa hingga kini masih memiliki pandangan
bahwa bulan Sura merupakan bulan sakral. Berikut ini saya paparkan arti
bulan Sura secara maknawi dan dimanakah letak kesakralannya.
MELURUSKAN BERITA
“burung”
Tradisi dan
kepercayaan Jawa melihat bulan Sura sebagai bulan sakral. Bagi yang memiliki
talenta sensitifitas indera keenam (batin) sepanjang bulan Sura aura mistis
dari alam gaib begitu kental melebihi bulan-bulan lainnya. Tetapi sangat
tidak bijaksana apabila kita buru-buru menganggapnya sebagai bentuk paham
syirik dan kemusrikan. Anggapan seperti itu timbul karena disebabkan
kurangnya pemahaman sebagian
masyarakat akan makna yang mendalam di baliknya. Musrik atau syirik
berkaitan erat dengan cara pandang batiniah dan suara hati, jadi sulit
menilai hanya dengan melihat manifestasi perbuatannya saja. Jika musrik dan syirik diartikan sebagai
bentuk penyekutuan Tuhan, maka punishment terhadap tradisi bulan Sura
itu jauh dari kebenaran, alias
tuduhan tanpa didasari pemahaman yang jelas dan beresiko tindakan
pemfitnahan. Biasanya anggapan musrik dan sirik muncul karena mengikuti
trend atau ikut-ikutan pada perkataan seseorang yang dinilai secara dangkal
layak menjadi panutan. Padahal tuduhan itu jelas merupakan kesimpulan yang
bersifat subyektif dan mengandung stigma, dan sikap menghakimi secara
sepihak.
Masyarakat Jawa
mempunyai kesadaran makrokosmos, bahwa Tuhan menciptakan kehidupan di alam
semesta ini mencakup berbagai dimensi yang fisik (wadag) maupun metafisik
(gaib). Seluruh penghuni masing-masing dimensi mempunyai kelebihan maupun
kekurangan. Interaksi antara dimensi alam fisik dengan dimensi metafisik
merupakan interaksi yang bersimbiosis mutual, saling mengisi mewujudkan
keselarasan dan keharmonisan alam semesta sebagai upaya memanifestasikan
rasa sukur akan karunia terindah dari Tuhan YME. Sehingga manusia bukanlah
segalanya di hadapan Tuhan, dan dibanding mahluk Tuhan lainnya. Manusia
tidak seyogyanya mentang-mentang mengklaim dirinya sendiri sebagai mahluk
paling sempurna dan mulia, hanya karena akal-budinya. Selain kesadaran makrokosmos,
sebaliknya di sisi lain kesadaran mikrokosmos Javanisme bahwa akal-budi
ibarat pisau bermata dua, di satu sisi dapat memuliakan manusia tetapi di sisi lain justru
sebaliknya akan menghinakan manusia, bahkan lebih hina dari binatang,
maupun mahluk gaib jahat sekalipun.
Berdasarkan dua
dimensi kesadaran itu, tradisi Jawa memiliki prinsip hidup yakni pentingnya
untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian alam semesta agar supaya
kelestarian alam tetap terjaga sepanjang masa. Menjaga kelestarian alam merupakan
perwujudan syukur tertinggi umat manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah menganugerahkan bumi ini berikut seluruh isinya untuk dimanfaatkan
umat manusia.
Dalam tradisi Jawa
sekalipun yang dianggap paling klenik sekalipun, prinsip dasar yang
sesungguhnya tetaplah PERCAYA KEPADA
TUHAN YME. Di awal atau di akhir setiap kalimat doa dan mantra selalu
diikuti kalimat; saka kersaning Gusti, saka kersaning Allah. Semua media
dalam ritual, hanya sebatas dipahami sebagai media dan kristalisasi dari simbol-simbol
doa semata. Doa yang ditujukan hanya kepada Tuhan Yang Maha Tunggal.
Prinsip tersebut memproyeksikan bahwa kaidah dan prinsip religiusitas
ajaran Jawa tetap jauh dari kemusrikan maupun syirik yang menyekutukan
Tuhan.
Cara pandang
tersebut membuat masyarakat Jawa memiliki tradisi yang unik dibanding
dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tipikal tradisi Jawa kental akan
penjelajahan wilayah gaib sebagai konsekuensi adanya interaksi manusia
terhadap lingkungan alam dan seluruh isinya. Lingkungan alam dilihat
memiliki dua dimensi, yakni fana/wadag atau fisik, dan lingkungan dimensi
gaib atau metafisik. Lingkungan alam tidak sebatas apa yang tampak oleh
mata, melainkan meliputi pula lingkungan yang tidak tampak oleh mata
(gaib). Boleh dikatakan pemahaman masyarakat Jawa akan lingkungan atau
dimensi gaib sebagai bentuk “keimanan“ (percaya) kepada yang gaib. Bahkan
oleh sebagian masyarakat Jawa, unsur kegaiban tidak hanya sebatas diyakini
atau diimani saja, tetapi lebih dari itu seseorang dapat membuktikannya
dengan bersinggungan atau berinteraksi secara langsung dengan yang gaib
sebagai bentuk pengalaman gaib. Oleh karena itu, bagi masyarakat Jawa
dimensi gaib merupakan sebuah realitas konkrit. Hanya saja konkrit dalam
arti tidak selalu dilihat oleh mata kasar, melainkan konkrit dalam arti
Jawa yakni termasuk hal-hal yang dapat dibuktikan melalui indera
penglihatan maupun indera batiniah.
Meskipun demikian penjelasan ini mungkin masih sulit dipahami bagi pihak-pihak
yang belum pernah samasekali bersinggungan dengan hal-hal gaib. Sehingga
cerita-cerita maupun kisah-kisah gaib dirasakan menjadi tidak masuk akal,
sebagai hal yang mustahal, dan menganggap pepesan kosong belaka. Pendapat
demikian sah-sah saja, sebab tataran pemahaman gaib memang tidak semua
orang dapat mencapainya. Yang merasa mampu memahamipun belum tentu tapat
dengan realitas gaib yang sesungguhnya. Sedangkan agama sebatas memaparkan
yang bersifat universal, garis besar, dan tidak secara rinci. Perincian
mendetail tentang eksistensi alam gaib merupakan rahasia ilmu Tuhan Yang
Maha Luas, tetapi Tuhan Maha Adil tetap memberikan kesempatan kepada umat
manusia untuk mengetahuinya walaupun sedikit namun dengan sarat-sarat yang
berat dan tataran yang tidak mudah dicapai.
MISTERI BULAN SURA
Bulan Sura adalah bulan baru yang
digunakan dalam tradisi penanggalan Jawa.
Di samping itu bagi masyarakat Jawa adalah realitas pengalaman gaib
bahwa dalam jagad makhluk halus pun mengikuti sistem penanggalan sedemikian
rupa. Sehingga bulan Sura juga
merupakan bulan baru yang berlaku di jagad gaib. Alam gaib yang dimaksudkan
adalah; jagad makhluk halus ; jin, setan (dalam konotasi Jawa; hantu),
siluman, benatang gaib, serta jagad leluhur ; alam arwah, dan bidadari.
Antara jagad fana manusia (Jawa), jagad leluhur, dan jagad mahluk halus
berbeda-beda dimensinya. Tetapi
dalam berinteraksi antara jagad leluhur dan jagad mahluk halus di satu
sisi, dengan jagad manusia di sisi
lain, selalu menggunakan penghitungan waktu penanggalan Jawa. Misalnya;
malam Jum’at Kliwon (Jawa; Jemuah) dilihat sebagai malam suci paling agung
yang biasa digunakan para leluhur “turun ke bumi” untuk njangkung dan
njampangai (membimbing) bagi anak turunnya yang menghargai dan menjaga
hubungan dengan para leluhurnya. Demikian pula, dalam bulan Sura juga
merupakan bulan paling sakral bagi jagad makhluk halus. Mereka bahkan
mendapat “dispensasi” untuk melakukan seleksi alam. Bagi siapapun yang
hidupnya tidak eling dan waspada, dapat terkena dampaknya.
Dalam siklus
hitungan waktu tertentu yang merupakan rahasia besar Tuhan, terdapat suatu
bulan Sura yang bernama Sura Duraka.
Disebut sebagai bulan Sura Duraka karena merupakan bulan di mana
terjadi tundan dhemit. Tundan dhemit maksudnya adalah suatu waktu di mana
terjadi akumulasi para dedemit yang mencari “korban” para manusia yang
tidak eling dan waspadha. Karena pada bulan-bulan Sura biasa para dedhemit
yang keluar tidak sebanyak pada saat bulan Sura Duraka. Sehingga pada bulan
Sura Duraka biasanya ditandai banyak sekali musibah dan bencana melanda
jagad manusia. Bulan Sura Duraka ini pernah terjadi sepanjang bulan Januari
s/d Februari 2007. Musibah banyak
terjadi di seantero negeri ini. 1) Di awali tenggelamnya KM Senopati di
laut Banda yang terkenal sebagai palung laut terdalam di wilayah perairan
Indonesia. Kecelakaan ini memakan korban ratusan jiwa. 2) Kecelakaan
Pesawat Adam Air hilang tertelan di palung laut dekat teluk Mandar, posisi
di 40 mil barat laut Majene. 3) Kereta api mengalami anjlok dan terguling sampai
3 kali kasus selama sebulan. 4) Tabrakan bus di pantura, bus menyeruduk
rumah penduduk. 5) Kecelakaan pesawat garuda di Yogyakarta. 6) Beberapa
maskapai penerbangan mengalami gagal take off, gagal landing, mesin error
dsb. 7) Jakarta dilanda banjir terbesar sepanjang masa. 8) Kapal terbakar
di Sulawesi dan maluku. 9) Kapal laut di selat Karimun terbakar lalu
tenggelam memakan ratusan korban berikut wartawan TV peliput berita. 10)
Banjir besar di Jawa Tengah, Angin puting beliung sepanjang Pulau Jawa-Sumatra.
Dan masih banyak lagi kecelakaan
pribadi yang waktu itu Kapolri sempat menyatakan sebagai bulan kecelakaan
terbanyak meliputi darat, laut dan udara.
Atas beberapa uraian
pandangan masyarakat Jawa tersebut kemudian muncul kearifan yang kemudian
mengkristal menjadi tradisi masyarakat Jawa selama bulan Sura. Sedikitnya ada 5 macam ritual yang
dilakukan menjelang dan selama bulan Sura seperti berikut ini;
1. Siraman malam 1 Sura; mandi besar dengan
menggunakan air serta dicampur kembang setaman. Sebagai bentuk “sembah
raga” (sariat) dengan tujuan mensucikan badan, sebagai acara seremonial
pertanda dimulainya tirakat sepanjang bulan Sura; lantara lain lebih ketat
dalam menjaga dan mensucikan hati, fikiran, serta menjaga panca indera dari
hal-hal negatif. Pada saat dilakukan siraman diharuskan sambil berdoa
memohon keselamatan kepada Tuhan YME agar senantiasa menjaga kita dari
segala bencana, musibah, kecelakaan. Doanya dalam satu fokus yakni memohon
keselamatan diri dan keluarga, serta kerabat handai taulan. Doa tersirat
dalam setiap langkah ritual mandi. Misalnya, mengguyur badan dari ujung
kepala hingga sekujur badan sebanyak 7 kali siraman gayung (7 dalam bahasa
Jawa; pitu, merupakan doa agar Tuhan memberikan pitulungan atau
pertolongan). Atau 11 kali (11 dalam bahasa Jawa; sewelas, merupakan doa
agar Tuhan memberikan kawelasan; belaskasih). Atau 17 kali (17 dalam bahasa
Jawa; pitulas; agar supaya Tuhan memberikan pitulungan dan kawelasan).
Mandi lebih bagus dilakukan tidak di bawah atap rumah; langsung “beratap
langit”; maksudnya adalah kita secara langsung menyatukan jiwa raga ke
dalam gelombang harmonisasi alam semesta.
2. Tapa Mbisu (membisu); tirakat sepanjang
bulan Sura berupa sikap selalu mengontrol ucapan mulut agar mengucapkan
hal-hal yang baik saja. Sebab dalam bulan Sura yang penuh tirakat, doa-doa
lebih mudah terwujud. Bahkan ucapan atau umpatan jelek yang keluar dari
mulut dapat “numusi” atau terwujud. Sehingga ucapan buruk dapat benar-benar
mencelakai diri sendiri maupun orang
lain.
3. Lebih Menggiatkan Ziarah; pada bulan Sura
masyarakat Jawa lebih menggiatkan ziarah ke makam para leluhurnya
masing-masing, atau makam para leluhur yang yang dahulu telah berjasa untuk
kita, bagi masyarakat, bangsa, sehingga negeri nusantara ini ada. Selain
mendoakan, ziarah sebagai tindakan konkrit generasi penerus untuk
menghormati para leluhurnya (menjadi pepunden). Cara menghormati dan
menghargai jasa para leluhur kita selain mendoakan, tentunya dengan merawat
makam beliau. Sebab makam merupakan monumen sejarah yang dapat dijadikan
media mengenang jasa-jasa para leluhur; mengenang dan mencontoh amal
kebaikan beliau semasa hidupnya. Di samping itu kita akan selalu ingat akan
sangkan paraning dumadi. Asal-usul kita ada di dunia ini adalah dari
turunan beliau-beliau. Dan suatu saat nanti kita semua pasti akan berpulang
ke haribaan Tuhan Yang maha Kuasa. Mengapa harus datang ke makam, tentunya
atas kesadaran bahwa semua warisan para leluhur baik berupa ilmu,
kebahagiannya, tanah kemerdekaan, maupun hartanya masih bisa dinikmati
hingga sekarang, dan dinikmati oleh semua anak turunnya hingga kini. Apakah
sebagai keturunannya kita masih tega hanya dengan mendoakan saja dari rumah
? Jika direnungkan secara mendalam menggunakan hati nurani, sikap demikian
tidak lebih dari sekedar menuruti egoisme pribadi (hawa nafsu negatif)
saja. Anak turun yang mau enaknya sendiri enggan datang susah-payah ke
makam para leluhurnya, apalagi terpencil nun jauh harus pergi ke pelosok
desa mendoakan dan merawat seonggok makam yang sudah tertimbun semak
belukar. Betapa teganya hati kita, bahkan dengan mudahnya mencari-cari
alasan pembenar untuk kemalasannya sendiri, bisa saja menggunakan alasan
supaya menjauhi kemusyrikan. Padahal kita semua tahu, kemusyrikan bukan lah
berhubungan dengan perbuatan, tetapi berkaitan erat dengan hati.
Jangan-jangan sudah menjadi prinsip bawah sadar sebagian masyarakat kita,
bahwa lebih enak menjadi orang bodoh, ketimbang menjadi orang winasis dan
prayitna tetapi konsekuensinya tidak ringan.
4. Menyiapkan sesaji bunga setaman dalam
wadah berisi air bening. Diletakkan di dalam rumah. Selain sebagai sikap
menghargai para leluhur yang njangkung dan njampangi anak turun, ritual ini
penuh dengan makna yang dilambangkan dalam uborampe. Bunga mawar merah,
mawar putih, melati, kantil, kenanga. Masing-masing bunga memiliki makna
doa-doa agung kepada Tuhan YME yang tersirat di dalamnya (silahkan dibaca
dalam forum tanya jawab). Bunga-bungaan juga ditaburkan ke pusara para
leluhur, agar supaya terdapat perbedaan antara makam seseorang yang kita
hargai dan hormati, dengan kuburan seekor kucing yang berupa gundukan tanah
tak berarti dan tidak pernah ditaburi bunga, serta-merta dilupakan begitu
saja oleh pemiliknya berikut anak turunnya si kucing.
5. Jamasan pusaka; tradisi ini dilakukan
dalam rangka merawat atau memetri warisan dan kenang-kenangan dari para
leluhurnya. Pusaka memiliki segudang makna di balik wujud fisik bendanya.
Pusaka merupakan buah hasil karya cipta dalam bidang seni dan ketrampilan
para leluhur kita di masa silam. Karya seni yang memiliki falsafah hidup
yang begitu tinggi. Selain itu pusaka menjadi situs dan monumen sejarah,
dan memudahkan kita simpati dan berimpati oleh kemajuan teknologi dan
kearifan lokal para perintis bangsa terdahulu. Dari sikap menghargai lalu
tumbuh menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi generasi penerus bangsa
agar berbuat lebih baik dan maju di banding prestasi yang telah diraih para
leluhur kita di masa lalu. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai
para leluhurnya, para pahlawannya, dan para perintisnya. Karena mereka
semua menjadi sumber inspirasi, motivasi dan tolok ukur atas apa yang telah
kita perbuat dan kita gapai sekarang ini. Dengan demikian generasi penerus
bangsa tidak akan mudah tercerabut (disembeded) dari “akarnya”. Tumbuh
berkembang menjadi bangsa yang kokoh, tidak menjadi kacung dan
bulan-bulanan budaya, tradisi, ekonomi, dan politik bangsa asing. Kita
sadari atau tidak, tampaknya telah lahir megatrend terbaru abad ini,
sekaligus paling berbahaya, yakni merebaknya bentuk the newest imperialism
melalui cara-cara politisasi agama.
6. Larung sesaji; larung sesaji merupakan
ritual sedekah alam. Uborampe ritual disajikan (dilarung) ke laut, gunung,
atau ke tempat-tempat tertentu. Tradisi budaya ini yang paling riskan
dianggap musrik. Betapa tidak, jikalau kita hanya melihat apa yang tampak
oleh mata saja tanpa ada pemahaman makna esensial dari ritual larung
sesaji. Baiklah, berikut saya tulis tentang konsep pemahaman atau prinsip
hati maupun pola fikir mengenai tradisi ini. Pertama; dalam melaksanakan
ritual hati kita tetap teguh pada keyakinan bahwa Tuhan adalah Maha
Tunggal, dan tetap mengimani bahwa Tuhan Maha Kuasa menjadi satu-satunya
penentu kodrat. Kedua; adalah nilai filosofi, bahwa ritual larung sesaji
merupakan simbol kesadaran makrokosmos yang bersifat horisontal, yakni
penghargaan manusia terhadap alam. Disadari bahwa alam semesta merupakan
sumber penghidupan manusia, sehingga untuk melangsungkan kehidupan generasi
penerus atau anak turun kita, sudah seharusnya kita menjaga dan
melestarikan alam. Kelestarian alam merupakan warisan paling berharga untuk
generasi penerus. Ketiga; selain kedua hal di atas, larung sesaji merupakan
bentuk interaksi harmonis antara manusia dengan seluruh unsur alam semesta.
Disadari pula bahwa manusia hidup di dunia berada di tengah-tengah
lingkungan bersifat kasat mata atau jagad fisik, maupun gaib atau jagad metafisik. Kedua dimensi
jagad tersebut saling bertetanggaan, dan keadaannya pun sangat kompleks.
Manusia dan seluruh makhluk ciptaan Tuhan seyogyanya menjaga keharmonisan
dalam bertetangga, sama-sama menjalani kehidupan sebagai makhluk ciptaan
Tuhan. Sebaliknya, bilamana dalam
hubungan bertetangga (dengan alam) tidak harmonis, akan mengakibatkan
situasi dan kondisi yang destruktif dan merugikan semua pihak. Maka
seyogyanya jalinan keharmonisan sampai kapanpun tetap harus dijaga.
|