Julukan atau sebutan
Kiyai atau Kiai atau Kiyahi ( كياهي) ) sering menjadi pertanyaan orang. Apa
sebenarnya makna Kiyai itu. Dari mana asal muasal nama Kiyai itu. Dan apa
sebenarnya ciri-ciri serta hal-hal yang harus dilakukan oleh para Kiyai. Pertanyaan itu lebih mencuat lagi ketika
orang-orang yang disebut Kiyai atau para Kiyai ada yang dinilai berbuat
yang di luar jalur kebiasaan, misalnya ada yang patut diduga sebagai provokator, ada yang
jadi pengipas-ngipas suasana dengan memanasi anak buah untuk melawan
terhadap lawan-lawan politik, ada yang memanas-manasi untuk mendukung
Presiden Gus Dur / Abdurrahman Wahid karena presidennya dari golongan sang
Kiyai itu, yaitu Nahdlatul Ulama dengan partainya PKB (Partai Kebangkitan
Bangsa). Tidak jarang pula ada Kiyai yang suka kumpul-kumpul sesamanya,
hingga disebut Kiyai khos (khusus) yang kaitannya erat dengan soal dukung
mendukung terhadap kursi presiden yang sedang diduduki oleh golongannya.
Tetapi di balik itu
ada Kiyai dogdeng (kebal) yang suka sesumbar bahwa wadyabalanya rata-rata
jadug (sakti, tidak mempan senjata tajam). Ada juga Kiyai yang dari zaman
Orde Baru pimpinan Presiden Soehartosukanya mendekat-dekat dengan penguasa,
bahkan pernah bersama-sama puluhan Kiyai dipimpin Nur Iskandar SQ menghadiahi
emas beberapa kilogram kepada Presiden Soeharto dengan dalih untuk
mengatasi krisis ekonomi/ moneter. Setelah para Kiyai itu sowan (hadir
dengan penuh ketundukan) ke tempat Presiden Soeharto, justru tak lama
kemudian sang Presiden dipaksa turun dengan didemonstrasi oleh puluhan ribu
mahasiswa selama dua minggu, hingga ia menyatakan turun dari kursi
kepresidenan 1998.
Ada juga Kiyai yang
mempelopori untuk disahkannya asas tunggal pancasila hingga kumpulan para
Kiyai itu berbangga diri bahwa pihak mereka dengan Jam’iyah NU-nya adalah
orang-orang yang nomor satu dalam hal menggulkan (mensukseskan untuk
dipaksakannya) asas tunggal pancasila terhadap Ummat Islam. Padahal, Ummat
Islam pada umumnya sangat kesulitan menghadapi tekanan Soeharto yang semakin
terasa berpihak kepada palangis atau kaum Salib yang makin menjadi tirani
minoritas dengan pengaruh Jendral Leonardo Benny Murdani saat itu dan
menekan Islam selama hampir 30-an tahun. Sedang asas tunggal pancasila itu
dinilai oleh kalangan Islam non NU dan Golkar sebagai salah satu jenis
tekanan Soeharto terhadap Islam.
Kiyai-Kiyai NU yang menggulkan asas tunggal pancasila itu di
antaranya dipimpin Kiyai Haji Ahmad Siddiq (mendiang yang dulunya suka
musik rock barat, satu kebiasaan yang jauh dari adab orang alim Islam, yang
kitab-kitabnya menyebut sankres alias musik itu haram). Kemudian “jasanya”
itu dibawa mati. Dan mereka yang masih hidup, mereka tidak merasa malu
apalagi minta maaf kepada umat ketika Umat Islam bersyukur dan merasa lega saat asas tunggal pancasila
itu ditendang oleh MPR dalam sidangnya 1998, setelah pemerintahan Soeharto
jatuh, dan pemerintahan diserahkan kepada wakilnya, Prof Ir Baharuddin
Jusuf Habibie. Sikap para Kiyai itu kalau diperbandingkan, masih agak
mending Amien Rais (Ketua MPR) yang walaupun tanpa menyandang gelar Kiyai
namun secara jantan dia meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas “ijtihad
politiknya” (menurut istilah dia) yang salah ketika dulunya memprakarsai
untuk memilih Gus Dur/ Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden yang
ternyata setelah dijalani, kepemimpinan Gus Dur menurut Amien Rais
menyebabkan Amien minta maaf kepada bangsa atas salah pilihnya itu. Hingga
Amien Rais pun tampak bertanggung jawab terhadap bangsa Indonesia untuk
berupaya bagaimana agar Gus Dur turun dari jabatan presiden. Sekalipun
sikap Amien Rais itu jelas sikap politik, namun di situ tampak terus terang
mengaku bahkan minta maaf atas kesalahannya, dan pula mau berusaha untuk
menambal kesalahannya.
(Dalam hal ini para
pembaca tidak usah buru-buru menyangka bahwa penulis pro Amien Rais, hingga
membela-bela dia. Tidak. Karena, buku yang mengkritik Amien Rais berjudul
Kekeliruan Logika Amien Rais pun telah penulis ujudkan dan cetak serta
edarkan sebelum kami tulis buku Bahaya Pemikiran Gus Dur. Jadi tidak ada
itu membela-bela Amien Rais segala.
Kepentingan menampilkan sikap Amien Rais itu hanya untuk
perbandingan antara sikap para Kiyai NU pendukung asas tunggal pancasila
yang sampai dikenal sebagai nomor wahid, yang kemudian tidak mau mengakui
kesalahan apalagi minta maaf, dan sikap Amien Rais yang terang-terangan
secara jantan mengakui kesalahan dan minta maaf kepada bangsa Indonesia dalam kasus
keterlanjurannya menjagokan Gus Dur sebagai presiden. Padahal resikonya
jauh lebih berat bagi Amien Rais, sampai-sampai dihalalkan darahnya oleh
Nur Iskandar SQ dan sering diboikot di Jawa Timur. Sementara itu,
seandainya para Kiyai NU meminta maaf atas kengototannya menjadi pendukung
pertama dipaksakannya asas tunggal pancasila, sebenarnya tidak ada resiko
apa-apa, toh orang yang dijilati yaitu Presiden Soeharto sudah tidak
berkuasa lagi. Itu saja persoalannya. Tapi Pak Amien Rais tidak usah bangga
dengan perbandingan ini).
Pengertian Kiyai
Dalam buku Kiai Penghulu
Jawa, Peranannya di Masa Kolonial, Drs H Ibnu Qoyim Isma’il MS menjelaskan
sebagai berikut:
Di tengah
perkembangan masyarakat Indonesia pada umumnya dijumpai beberapa gelar
sebutan yang diperuntukkan bagi ulama. Misalnya, di daerah Jawa Barat (Sunda)
orang menyebutnya Ajengan, di wilayah Sumatera Barat disebut Buya, di
daerah Aceh dikenal dengan panggilan Teungku, di Sulawesi Selatan dipanggil
dengan nama Tofanrita, di daerah Madura disebut dengan Nun atauBendara yang
disingkat Ra, dan di Lombok atau seputar daerah wilayah Nusa Tenggara orang
memanggilnya dengan Tuan Guru.
Khusus bagi masyarakat Jawa, gelar yang diperuntukkan bagi ulama
anatara lain Wali. Gelar ini biasanya diberikan kepada ulama yang sudah mencapai tingkat yang
tinggi, memiliki kemampuan pribadi yang luar biasa.[1] Sering pula para wali ini dipanggil
denganSunan[2] (Susuhunan), seperti halnya para raja. Gelar lainnya ialah
Panembahan, yang diberikan kepada ulama yang lebih ditekankan pada aspek
spiritual, juga menyangkut segi kesenioran, baik usia maupun nasab
(keturunan). Hal ini untuk menunjukkan bahwa sang ulama tersebut mempunyai
kekuatan spiritual yang tinggi.[3]
Selain itu, terdapat
sebutan Kiai, yang merupakan gelar kehormatan bagi para ulama pada umumnya.
Oleh karena itu, sering dijumpai di pedesaan Jawa panggilan Ki Ageng atau
Ki Ageng/ Ki Gede, juga Kiai Haji.[4]
Gelar Kiai
sebenarnya cukup terhormat. Namun di zaman kini, di saat buku ini ditulis,
Maret 2001M/ Dzulhijjah 1421H, banyak para Kiai yang terjun ke dunia politik
praktis, serta tersebar di masyarakat berbagai ucapan bahkan lakon Kiyai
yang sebenarnya kurang sesuai dengan gelar kehormatan itu. Maka akibatnya
timbul pertanyaan, apa sebenarnya Kiyai itu, dan apa pula kriterianya.
Untuk menjawab pertanyaan semacam itu,
di samping sudah kita ketahui uraian di atas, perlu pula kita simak jawaban
yang muncul dari kalangan ulama sendiri tentang julukan Kiai itu. Di
antaranya apa yang dikemukakan oleh Prof Dr Hamka dalam menjawab pertanyaan
orang tentang Kiyai Dukun. Di dalam hal ini Hamka menulis:
“…kami menyerukan kepada penanya dan
saudara-saudara yang berminat supaya dicarilah Kiyai-kiyai yang benar-benar
mengerti soalnya (soal agama Islam dengan aneka rangkaian ajarannya, di
antaranya tentang ayat-ayat yang boleh dijadikan do’a-doa untuk menolak
penyakit, pen) lalu pelajari
sehingga bisa jadi tabib untuk diri sendiri. Karena kalimat Kiyai
itu bukanlah artinya semata-mata untuk orang yang benar-benar telah
mengerti Agama Islam dengan segala cabangnya.
Ada Kiyai berarti Guru Agama Islam yang
telah luas pandangannya.
Ada Kiyai berarti pendidik, walaupun
pendidik Nasional. (Kalau yang dimaksud Hamka itu misanya Hajar Dewantara,
maka biasanya disebut Ki, bukan Kiyai; tetapi sebutan Ki itu kadang juga
sama dengan Kiyai, seperti Ki Dalang itu sama dengan Kiyai Dalang, pen).
Ada Kiyai berarti Pak Dukun.
Di Kalimantan, Kiyai (sebelum perang)
berarti District-hoofd (Wedana).
Di Padang (sebelum perang), Kiyai
artinya “Cino Tuo” (Orang Tionghoa yang telah berumur).
Gamelan Sekaten di Yogya bernama Kiyai
Sekati dan Nyi Sekati.
Dalang
yang ahli disebut Ki Dalang, atau Kiyai Dalang.
Bendera Keramat yang dikeluarkan setiap
ada bala bencana mengancam dalam negeri Yogyakarta bernama Kiyai Tunggul
Wulung.[5]
Meskipun Hamka mampu menjelaskan
kegunaan kata Kiyai seperti tersebut, namun dia terus terang mengungkapkan,
“kami tidak tahu dari Bahasa apa asalnya kata Kiyai. Tetapi kami dapat
memastikan bahwa kata itu menyatakan Hormat kepada seseorang. Cuma kepada
siapa penghormatan Kiyai itu harus diberikan, itulah yang berbeda-beda
menurut kebiasaan satu-satu negeri.
Di seluruh pulau
Jawa yang terdiri dari tiga suku besar, yaitu Jawa, Sunda, dan Madura
ditambah dengan Palembang, kata Kiyai digunakan untuk menghormati seseorang
yang dianggap Alim, Ahli Agama dan disegani.
Di Kalimantan
Selatan (Banjarmasin dan sekitarnya) sebelum perang, gelar Kiyai adalah
pangkat yang tertinggi bagi Ambtenaar Bumiputera. Sama dengan pangkat
Demang di Sumatera. Ada Kiyai kelas I, kelas II dan ada yang disebut
Asisten Kiyai yang sama dengan Asisten Demang.
Bertahun-tahun
lamanya Almarhum Bapak Kiyai Haji Hasan Corong jadi ketua Wilayah (Consul)
Muhammadiyah daerah Kalimantan Selatan; umumnya orang di Jawa menyangka
bahwa beliau adalah seorang Ulama besar, sebab di pangkal namanya ada titel
“Kiyai”, padahal beliau adalah pensiunan Kiyai (District-hoofd), yaitu
pangkat Bumiputera yang tertinggi di Kalimantan Selatan (Banjarmasin dan
sekitarnya) pada masa sebelum perang.
Tetapi di Sumatera
Barat, yaitu di kota-kota yang banyak didiami orang Cina (Padang, Pariaman,
Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh) dan pesisir Selatan, gelar Kiyai
diberikan kepada Cina yang telah tua dan dihormati. Biasanya janggut beliau
dipanjangi. Di tahun 1916 kami masih mendapati seorang Cina tua di kampung Cina
Padang Panjang disebut orang Kiyai Makh Thong.
Rupanya kata-kata
ini terdapat juga di Thailand (Siam), Ulama yang besar-besar dihormati di
sana dalam kalangan orang Islam dalam menyebutnya (Guru Kriyai).[6]
Setelah kita
mengetahui penjelasan Hamka itu, perlu disebutkan pula di sini bahwa masih
ada pula sebutan Kiyai untuk hal-hal lain, di antaranya adalah keris atau
tombak di Kraton Solo, bahkan Kiyai itu untuk menjuluki kerbau. Di Kraton
Solo Jawa Tengah ada kerbau yang disebut Kiyai Slamet, yaitu kerbau yang
dianggap keramat oleh orang-orang (yang tentu saja batil menurut Islam).
Kebo (kerbau) yang dijuluki Kiyai Slamet itu dilepaskan secara bebas ke
mana-mana setiap malam 1 Muharram, yang disebut tanggal satu Syuro. (Bulan
Muharram di Jawa disebut Syuro, mungkin karena di dalam bulan Muharram itu
ada hari yang penting pada hari kesepuluh, namanya ‘Asyuro, hari kesepuluh
Muharram, yang dalam Islam termasuk hari disunnahkannya puasa). Hingga
kerbau yang dinamai Kiyai Slamet itu ke mana saja tidak diusik, bahkan
sampai memakan dagangan sayuran dan sebagainya pun tidak diapa-apakan,
karena menurut kepercayaan takhayul (yang menyimpang dari Islam), kerbau
itu ketika makan dagangan tersebut dianggap justru akanngrejekeni (memberi
rizki atau memberkahi). Jadi Kiyai yang berupa kerbau itu telah dianggap
sebagai makhluk keramat, yang tentu saja hal itu merupakan satu jenis
penyimpangan yang nyerempet-nyerempet kemusyrikan.
Sementara itu
upacara di Solo pula pada malam satu Syuro itu adalah “thawaf” mengelilingi
benteng Mangkunegaran, Jalan raya
melingkar di sekeliling benteng Mangkunegaran (kira-kira kelilingnya
sepanjang 1,5 KM) itu berubah jadi tempat orang berjalan kaki mengitari
benteng dengan mulut membisu. Jadi bagai thawaf di Ka’bah, tetapi membisu.
Hanya saja kalau thawaf itu waktunya kapan saja, dan yang dikelilingi
adalah Ka’bah Baitulllah di Makkah, 7 kali keliling, dalam keadaan suci
dari hadats sebagaimana sucinya orang yang mau shalat. Sedang “thawaf” di
Mangkunegaran ini mengelilingi benteng, dan bentengnya itu di sebelah kanan
(kalau Thawaf, Ka’bahnya di sebelah kiri, berputarnya berlawanan dengan
jarum jam) dan berputarnya searah dengan jarum jam, waktunya hanya malam
satu Syuro., dan harus “puasa” bisu, tidak berkata-kata. Kesempatan berdesakan
di tengah malam itu konon digunakan pula oleh muda-mudi untuk main senggol.
Antara upacara mengelilingi benteng dan dilepasnya Kerbau Kiyai Slamet ini
waktunya sama, yaitu malam satu Syuro.
Jadi ada kerbau yang
dikeramatkan dengan dijuluki Kiyai Slamet, dan ada acara bid’ah
menthawafi (mengelilingi) benteng
dengan mulut membisu pada malam satu Syuro. Demikianlah menurut pengamatan
penulis.
Lantas, siapa yang
menjuluki Kiyai itu?
Hamka pun tidak
menentukan, siapa yang berhak menjuluki Kiyai terhadap aneka macam tersebut
di atas. Hamka menjawab pertanyaan orang yang ingin tahu, siapa yang
berwenang menjuluki Kiyai, sebagai
berikut:
“Nampaknya tidak ada
suatu ketentuan tentang siapa yang berwenang memberikan gelar Kiyai.
Nampaknya apabila telah bisa disebut Kiyai, lekat sajalah gelar itu.
Lantikannya yang tertentu tidak ada. Oleh sebab memberi gelar Kiyai itu
tidak ada peraturannya yang tertentu dan hanya menurut kesukuan orang saja
dan diterima masyarakat, maka dipanggil orang Kiyai juga menurut kebiasaan
orang Jawa.”[7]
Jawaban Hamka itu
dikemukakan pada tahun 1963. Pada tahun-tahun itu dan sebelumnya, ulama
Jakarta atau Betawi biasanya disebut dengan Guru, misalnya Guru Mughni di
Kuningan Jakarta, Guru Marzuki di Jatinegara, Guru Udin (Zainuddin) di
Kalibata Pulo, Guru Amin di Kalibata dan sebagainya. Baru belakangan
terbiasa menyebut ulama dengan nama Kiyai yang kadang-kadang disingkat jadi
Kaha (KH, Kiyai Haji) di antaranya Kiyai Abdullah Syafi’i, menurut orang
kampung Bali (Matraman) sebutannya Kiyai Duloh., yang kemudian terkenal lewat radionya-As-Syafi’iyah,
demikian pula Kiyai Thahir Rahili dengan radionya At-Thahiriyah di Kampung
Melayu, kedua-duanya memiliki pesantren dan perguruan Islam. Selanjutnya ulama
Betawi juga disebut Kiyai, di antaranya Kiyai Syafi’i Hazami, yang memang
ulama terkemuka di kalangan masyarakat Betawi. Hanya saja sebutan Kiyai
belum tentu lekat pula pada ulama Betawi. Contohnya, seorang ulama alumni
Timur Tengah, yang kitab-kitabnya di antaranya tentang Madzhab Imam Syafi’i
menjadi rujukan di Universitas Al-Azhar Mesir, yaitu Dr HA Nahrawi Abdus Salam (rumahnya
dekat Masjid Al-Munawar Jl Raya Pasr Mingu Pancoran Jakarta Selatan) jarang
disebut Kiyai. Bahkan lebih sering dipanggil Doktor saja. Sebagaimana
penulis kawakan dan budayawan Betawi H Ridwan Saidi tidak mengembel-embeli
titel Kiyai dalam mengisahkan DR HA Nahrawi Absus Salam pada buku Orang
Betawi dan Modernisasi Jakarta, 1994. Justru gelar Syaikh lah yang
dikenakan pada ulama Betawi, walaupun memang adanya di Makkah, sebagaimana
dipaparkan oleh Ridwan Saidi:
“Jika seluruh bangsa Indonesia yang
tinggal merantau di Jakarta di zaman penjajahan itu berkejar mencari
kemegahan di sisi bangsa Belanda yang menjajah, mengembara ke negari
Belanda, namun si anak Betawi berduyun-duyun pergi ke Mekah. Bukan berduyun
ke negeri Belanda. Sampai di Mekah
mereka bukan semata-mata jadi babu atau khadam yang duduk di tingkat bawah, melainkan –sekurang-kurangnya—menjadi orang
menengah (middenstand) yang berpengaruh. Saya teringat ketika perjanjian
penyerahan Raja Ali anak Raja Husin, raja negeri Mekah yang diserang oleh
Raja Ibnu Saud tahun 1925, ketika kota Jeddah sudah dikepung lama sekali,
akhirnya Raja Ali mengaku kalah dan diadakan delegasi pendamai kedua belah
pihak. Setengah dari syarat-syarat yang dikemukakan oleh Raja Ali ialah
supaya beberapa orang besar dan ternama yang jadi hidup bertalian erat
dengan Baginda (Raja Ali, pen) dibebasakan. Di antaranya ialah beberapa
nama yang di ujung nama itu disebut “:Betawi”: Syaikh Abdullah Betawi,
Syaikh Ahmad Betawi, Syaikh Sa’id Betawi. Keturunan keluarga Betawi itu
masih ada sampai sekarang (1994, pen)
dalam perlindungan Kerajaan Saudi Arabi, baik di Mekah maupun
Jeddah.[8] Dari sini bisa difahami
bahwa sebutan Kiyai untuk ulama sebenarnya di kalangan kaum Betawi kurang
membudaya. Hanya saja dalam perkembangannya sebutan Kiyai itu memasyarakat
pula sejak pemerintahan Soeharto yang sejak awal tampak menonjolkan budaya
Jawa terutama yang berbau Kejawen, hingga nama ruangan-ruangan di gedung
DPR/MPR pun diganti dengan nama dari bahasa Jawa Kuno atau bahkan
Sansekerta dari India atau Hindu. Misalnya ruang Wirashaba dan sebagainya
yang sulit dimengerti oleh masyarakat. Maka istilah Kiyai untuk sebutan ulama pun yang asalnya
hanya dipakai di Jawa lalu dinasionalkan atau menjadi istilah nasional. Dan
tampaknya budaya munduk-munduk (sangat hormat bahkan takut) terhadap Kiyai
yang budaya itu merata di Jawa rupanya menular pula kepada masyarakat
selain Jawa, termasuk Betawi, sehingga julukan Kiyai itu tidak ditolak oleh
ulama yang dijulukinya.
Setelah julukan
Kiyai itu memasyarakat pula di masyarakat selain Jawa, termasuk pula
Betawi, lalu tumbuh gejala, keturunan Kiyai yang kemudian mengimami masjid
atau apalagi memimpin pesantren maka disebut Kiyai pula, walaupun ketika
bapaknya dulu masih hidup, si anak Kiyai itu tidak pernah disebut Kiyai
muda, tetapi begitu bapaknya wafat, maka dia langsung dipanggil atau suka
dipanggil dengan sebutan Kiyai, walaupun dari segi keilmuan maupun kegiatannya
berjama’ah ke masjid tidak sebanding dengan bapaknya.
Adapun ulama ataupun
da’i yang dari keturunan Arab dan menisbatkan diri sebagai keturunan Nabi
saw maka mereka bukan disebut Kiyai, tetapi Habib yang sering dijamakkan
(bentuk banyak, plural) menjadi habaib. Sehingga ada istilah “ulama dan habaib”. Ulama dalam
hal ini untuk para alim, guru agama yang ilmunya cukup tinggi (termasuk di
dalamnya, Kiyai), namun bukan orang Arab “keturunan” Nabi saw. Sedang habib
atau bentuk jamaknya (plural) Habaib adalah guru agama atau alim agama atau
bahkan ulama dan “keturunan” Nabi saw. Hanya saja di kampung-kampung, asal
dia bisa membaca sepotong do’a, maka sudah bisa disebut Kiyai atau kalau
“keturunan” Nabi saw maka disebut Habib, dan kalau bersalaman dengan mereka
maka masyarakat Betawi/ Jakarta pun menciumi tangannya.
(Menurut Habib
Abdurrahman Bukit Duri Manggarai Jakarta Selatan, untuk diciumi tangannya
itu juga pakai modal, yaitu minyak wangi. Dan kadang rugi juga, kalau yang
mencium tangannya itu kebetulan ingusan. Jadi sang Habi itu sudah
mengeluarkan modal berupa minyak wangi, masih kena ingus pula, ucap Habib
Abdurrahman Assegaf di depan para Ulama, Habaib, Kiyai, dan tokoh Islam.
Ucapan itu dalam rangka marah terhadap pidato Pak Prof Dr HM Rasjidi (almarhum,
wafat Januari 2001) yang menguraikan sesatnya Syi’ah, dalam pertemuan di
Pesantren As-Syafi’iyah (belakangan disebut Pesantren Al-Qur’an Kiyai Haji
Abdullah Syafi’i) di Pulo Air Sukabumi, Jawa Barat, 1989. Kemarahan Habib
Abdurrahman itu mengagetkan para ulama yang hadir, karena tampaknya Sang
Habib itu mengira bahwa Prof Rasjidi membidik para habaib dengan cara
menghantam Syi’ah. Kesalah fahaman itu bermula dari pidato singkat Dr HA
Nahrawi Abdus Salam yang mengira Prof Rasjidi menghantam Syi’ah itu untuk
menyindir orang yang mengukuhi madzhab, dalam hal ini Syafi’iyah. Akibatnya
pertemuan itu jadi kacau balau suasananya secara persaaan. Wajah-wajah para
ulama itu tampak saling kikuk, dan sampai menjelang wafatnya pun Prof
Rasjidi masih terkenang dan mengaku
kepada penulis bahwa dirinya diplengosi (dihadapi dengan berpaling) oleh
tuan rumah saat itu, setelah adanya pidato-pidato yang salah faham itu).
Tampaknya tradisi
munduk-munduk (sangat hormat dan sangat patuh) terhadap Kiyai di Jawa tidak
jauh berbeda dengan yang terjadi terhadap guru / ulama dan habib/ habaib di
Betawi/ Jakarta. Maka orang Betawi yang tadinya tidak mengenal atau
masyarakat kurang kenal dengan istilah Kiyai, kemudian sejak tahun 1970-an
sebagian ulamanya tampaknya ridho’ untuk disebut Kiyai. Sementara itu untuk
para habaib tetap bernama habib, sebagai pembeda antara yang “keturunan”
Nabi saw dan yang ‘ajam (non Arab). Sedang tradisi cium tangan dan
munduk-munduknya tetap “dikukuhkan”.
Kini, setelah muncul
Kiyai-kiyai yang dipandang oleh masyarakat sebagai provokator dan
sebagainya, bahkan ada yang kena skandal, apakah julukan Kiyai yang tadinya
tidak melekat di kalangan Ulama Betawi/ Jakarta itu harus mereka kembalikan
ke asalnya yaitu Guru atau bahkan Ulama atau Alim saja? Istilah “Ulama
Betawi” sebenarnya sudah melekat dalam bahasa masyarakat. Sedang istilah
Kiyai sebenarnya selalu jadi tanda tanya. Karena, di samping munculnya itu
dari Jawa (biasanya di Jakarta, yang disebut Jawa itu tidak termasuk
Jakarta), juga istilah Kiyai itu mengandung aneka macam makna, dari kerbau
yang dianggap keramat sampai bendera yang dikeramatkan, atau bahkan dukun
santet ataupun tukang sihir. Walaupun memang masih diakui pula istilah
Kiyai itu ada yang untuk ulama betulan.
Sebutan Kiyai
mungkin lebih diminati dan ni’mati
Kalau ditilik dari
segi praktis dan pragmatisnya, bahwa Kiyai itu yang di-munduk-munduki atau
sangat dihormati dan ditaati serta ditakuti, maka tampaknya justru sebutan
Kiyai itulah yang lebih mereka
minati. Di samping masyarakat sudah bisa diharapkan akan tunduk lagi hormat
kepada Sang Kiyai, toh pada masa akhir-akhir ini sosok-sosok Kiyai itu
seolah telah bebas berbuat, termasuk dalam berbuat cabul dan berbohong sana sini atau berakhlaq tidak
nggenah. (Kadang keburukan-keburukannya itu bahkan ada pihak-pihak yang
membelanya dengan dalih maqomnya/ tingkatnya sudah mencapai derajat wali,
yang menurut faham sesat mereka adalah terbebas dari segala hukum dan
hukuman). Sehingga Kiyai model itu walaupun sudah sedemikian buruknya menurut
agama, namun penghormatan tetap didapat, sedang penjagaan diri sebagai
orang yang wara’ (sangat hati-hati terhadap yang makruh, apalagi yang
haram) sudah tercabut dari “keharusan”. Kan malah lebih gampang. Kenapa
repot-repot harus mengembalikan Istilah Kiyai kepada istilah yang
berat-berat yaitu “Guru” apalagi Ulama/ Alim ataupun Syaikh. Kan itu bikin
capek (payah) saja.
Begitulah kira-kira,
kalau kita mau ber-suud dhon (buruk sangka) kepada mereka. Walaupun tentu
saja hal itu hanya berlaku bagi Kiyai-kiyai gadungan, yang istilah
terkenalnya dalam terminologi Islam adalah ulama suu’ (yaitu ulama yang
jahat), yang banyak dikecam oleh ulama salaf (terdahulu). Ulama Suu’ itu di
antaranya adalah ulama-ulama yang suka masuk keluar ke istana atau pintu
penguasa, bahkan ulama seperti itu mereka sebut sebagai maling (lisshun – لص
). Tetapi rupanya kini jumlahnya makin banyak, padahal kitab-kitab yang
mengecam tingkah polah itu masih berada pada tangan-tangan mereka pula,
sekalipun tidak lagi diajarkan kepada para santrinya, karena ulama tersebut
cukup mengajari berdemo bersama antek-antek komunis untuk merusak dan
menghancurkan masjid, madrasah,
panti asuhan milik Muslimin yang dulunya ketika memberantas Bid’ah,
Khurofat, dan syirik yang jadi “kareman” (kegemaran) si perusak ini,
dulu tidak punya alasan untuk menolak pemberantasan bid’ah itu
dengan cara menghancurkan masjid-masjid pemberantas bid’ah. Nah sekarang
mumpung kelompok perusak ini sedang ada setitik alasan yang dibuat-buat,
yakni membela Kiyainya yang jadi presiden namun ingin didongkel oleh
orang-orang yang di antaranya adalah kelompok anti Bid’ah, maka masjid
ataupun sarana da’wah Islam yang dimiliki kelompok anti Bid’ah pun
kesempatan untuk dihancurkan oleh mereka yang “karem” (gemar) bid’ah itu bersama
kelompok anti Islam bahkan anti Tuhan. Lalu mereka ramai-ramai cuci tangan
dengan ucapan-ucapan yang mereka bikin-bikin. Padahal sebelumnya, santer
terdengar, kalau Gus Dur diturunkan dari jabatan Presiden maka mereka mau
mengerahkan massa. Namun setelah Gus Dur benar-benar digoyang oleh DPR,
lalu massa benar-benar terkerahkan dan sampai mengadakan perusakan di
mana-mana, lalu secepatnya mereka cuci tangan dengan ucapan. Misalnya
ucapan, Kami bersedia membantu satu miliar Rupiah kepada gedung-gedung atau
sarana milik Muhammadiyah apabila benar-benar terbukti bahwa yang
merusaknya itu dari kalangan NU kami. Keruan saja pihak Muhammadiyah
menolak sumbangan yang bersyarat itu. Karena, menurut Muhammadiyah, kalau
memang mau menyumbang ya tidak usah bersyarat seperti itu. Karena yang
namanya pembuktian itu harus lewat pengadilan.
Tidak puas hanya
merusak masjid dan sebagainya, mereka juga beramai-ramai menebangi ratusan
pohon pinggir jalan untuk ditaruh di jalan-jalan guna menghalangi orang
lewat, agar para santri-santri dan masyarakat yang dikerahkan untuk
menghalangi jalan itu imannya habis punah, Tidak cukup hanya dicekoki
bid’ah, khurofat, dan takhayul, tapi imannya perlu dikikis benar-benar.
Soalnya dalam Islam, justru bagian dari iman itu di antaranya adalah
menyingkirkan gangguan dari jalan, namun kini di antara ulama suu’ atau
orang-orang yang belajarnya kepada ulama suu’, mereka ramai-ramai menebangi
ratusan pohon di Jawa Timur untuk ditlalangkan guna menghalangi jalan-jalan
raya. Peristiwa yang merusak dan merugikan bagi umum itu terjadi di Jawa
Timur dalam rangka ‘ashobiyah(fanatik buta), yaitu membela Presiden Gus
Dur, agar tidak diturunkan dari jabatannya, Februari 2001M. Dalam Islam,
membuang gangguan yang ada di jalan adalah termasuk bagian dari iman.
Lantas perlu ditanyakan kepada para Kiyai pendukung Gus Dur terutama di
Jawa Timur, bukankah membuat halangan besar-besaran di jalan raya serta
merusak pohon dengan menebanginya; itu berarti membuang iman? Bukankah
demikian?
Antara ajaran Islam
dan kepentingan orang-orang yang mengerti Islam yaitu ulama atau Kiyai yang
berkendaraan hawa nafsu, memang kadang ada jaraknya yang sangat jauh,
bahkan kadang sangat berbalikan. Selama kepentingan-kepentingan nafsu
bahkanashobiyah/ fanatik golongan itu masih lebih diunggulkan dibanding
ajaran Islam itu sendiri, maka apa saja bisa dikorbankan demi kepentingan,
demi golongan, demi perintah syetan, bukan demi Islam. Termasuk di
dalamnya, kalau hanya masalah nama, yaitu ulama atau guru agama atau da’i,
yang ketiga-tiganya tidak mendatangkan “manfaat” dari segi kepentingan
untuk “dimunduk-munduki“, maka tentu saja mereka lebih pilih julukan Kiyai,
yang walaupun sebutan itu juga dipakai untuk kerbau namun mengandung unsur
adanya “kebiasaan munduk-munduk” dari santri dan masyarakat terhadap Kiyai.
Maka bisa diperkirakan, mereka tidak rela apabila julukan Kiyai itu diganti
dengan Guru atau bahkan Ulama atau Syaikh sekalipun. Walaupun mereka sering
menonjol-nonjolkan Hadits Al-‘Ulamaau warotsatul Anbiyaa’. Ulama itu
pewaris para Nabi.
Kenapa lebih pilih
julukan Kiyai?
Karena, di samping
hal tersebut di atas yaitu dimunduk-munduki (sangat dihormati dan ditaati
serta ditakuti), masih ada alasan lain pula. Dalam kitab-kitab cukup banyak
kecaman terhadap ulama’ suu’ (ulama jahat). Namun tidak tercantum dalam
kitab-kitab adanya keterangan mengenai kecaman terhadap Kiyai suu’ (jahat).
Bahkan kerbau yang dijuluki Kiyai Slamet dipersilakan secara bebas dan
merdeka untuk berkeliaran ke mana saja dan makan apa saja serta
menginjak-injak apa saja boleh, dan tidak dijuluki Kiyai suu’ (jahat).
Malahan yang diinjak-injak ataupun hartanya dimakan itu justru senang,
karena mereka percaya (dalam kondisi kepercayaan batil) akan mendapatkan
berkah dan rejeki. Itulah kurang lebihnya.
Julukan Kiyai untuk
ulama perlu dihapus
Kalau hal ini
dibiarkan, maka kondisi semakin runyam. Maka perlu diadakan gerakan total
untuk mendudukkan masalah pada proporsinya. Istilah-istilah yang tidak
jelas, seperti halnya Kiyai, perlu dibersihkan, dan kalau perlu dienyahkan
dari terminologi Islam, supaya Islam tidak dikotori dengan pemahaman-pemahaman
yang tidak jelas. Tetapi, maukah mereka? Dan maukah masyarakatnya? Justru
hal-hal yang tidak jelas itulah yang mereka cari, kadang-kadang. Itulah
persoalannya pula.
Dari kenyataan itu,
maka sangat baguslah orang-orang yang konsisten, dan tidak mau disebut atau
menyebut dirinya Kiyai. Sebagaimana Hamka, Ptof Dr H Mahmud Yunus dan
lain-lain, mereka adalah ulama terkemuka dan menulis tafsir serta
kitab-kitab Islam namun tidak disebut Kiyai, serta tidak menyebut dirinya
Kiyai. Walaupun secara keilmuan maupun akhlaqnya, mereka adalah ulama, alim
agama.
Seandainya para
ulama yang kini digelari Kiyai itu ikhlas mencopot gelar Kiyainya dan tak
mau lagi disebut Kiyai, maka biar sekalian ketahuan bahwa Kiyai yang masih
rela disebut Kiyai adalah Kiyai Dukun saja. Itu mungkin lebih baik, karena
memang di dalam Islam tidak ada istilah
Kiyai itu, demikian pula adat-adat yang lekat dengan kekiyaian kalau
dicocokkan dengan Islam tampaknya memang sering berjauhan. Contoh paling
kecil saja, setiap kongres para Kiyai NU, (namanya bukan kongres Kiyai,
tapi biasanya kongres Ulama), hampir bisa dipastikan mesti dikintil
(disertai) oleh sponsor dari pabrik rokok. Asbak tempat puntung rokok
lengkap dengan cap pabrik rokok mesti berjajar berderet-deret di hadapan para
Kiyai. Apakah merokok itu menjadi salah satu perbuatan yang diafdholkan
(diutamakan) dalam Islam? Paling kurang, mesti hukumnya makruh, perlu
ditinggalkan. Tetapi kenapa justru para Kiyai menjadi contoh buruk dalam
masalah ini? Sehingga kalau orang yang suka bercanda akan bisa bilang, yang
terpilih dalam jam’iyah itu tentunya yang paling jago dalam merokok. Lho
kenapa? Karena setiap kongres apalagi muktamar, mesti dikintil / diikuti
oleh sponsor yaitu pabrik rokok.
Antara “harus”
membuang julukan Kiyai dengan memperbaiki mental dan polah tingkah Kiyai,
semuanya adalah hal yang rumit. Sebenarnya pada mulanya hanya ada
pertanyaan-pertanyaan seperti yang diajukan kepada Hamka tentang makna
Kiyai itu sendiri. Namun setelah para Kiyai terjun ke politik bahkan
ucapan-ucapannya ada yang kurang pas, baik secara politik itu sendiri
maupun bahkan secara Islam, maka pertanyaan itu muncul lagi serta lebih sarat makna,
dalam arti Kiyai menjadi sosok yang tidak jelas lagi di mata masyarakat.
Dan dikhawatirkan, sebutan Kiyai justru jadi tempat perlindungan bagi
orang-orang yang sebenarnya hanya mementingkan kepentingan diri mereka,
keluarga mereka, dan golongan mereka. Yang hal itu tidak mudah digugat,
karena belum ada kitab rujukan yang baku (istilah NU-nya mu’tabaroh) yang
mengecam busuknya tingkah Kiyai. Sementara itu kalau sebutan ulama maka
sudah banyak kitab baku yang bisa dijadikan panduan untuk mengecam tingkah
buruk ulama suu’.
Dikhawatirkan akan
muncul pandangan: “Saya kan hanya Kiyai, bukan ulama. Yang tergolong ada
yang suu’ (jahat) itu kan ulama. Jangan disamakan dong, Kiyai dengan ulama.
Kalau ulama sih, tak boleh berbuat begini dan begitu. Kalau Kiyai,
boleh-boleh saja…”
Sekali pintu
kejahatan itu terbuka, maka akan terbuka pula kejahatan-kejahatan lain yang
bervariasi dan bisa lebih besar lagi.
Sebutan Kiyai di
sini sudah ada gejala terbukanya kejahatan-kejahatan, baik tersamar maupun
bisa terasakan secara umum. Oleh karena itu, perlu ditutup pintu kejahatan
itu. Di antara jalan yang praktis adalah membuang sebutan Kiyai itu
sendiri, dari khazanah istilah Islam, kemudian dikembalikan kepada istilah
Islam, yaitu ulama atau alim atau ‘allamah, atau syaikh seperti yang
berlaku di dunia Islam. Hingga ulama yang benar bisa ditiru atau
diteladani, sedang yang jahat atau suu’ bisa disingkiri, karena kriterianya
sudah jelas.
Adapun sebutan Kiyai
yang bisa disejajarkan dengan doktor oleh Departemen Agama sehingga bisa
menduduki jabatan rektor suatu perguruan tinggi, contohnya KH Abdul Qadir
Jaelani yang memimpin perguruan tinggi di Tanjung Priok Jakarta, hendaknya
diganti dengan istilah yang pas pula, misalnya syaikh atau alim, atau
‘allamah. Dan tentunya perlu sesuai pula dengan kadar keilmuan, tentang
siapa yang bisa dijuluki syaikh atau ‘alim atau ‘allamah. Bukan sekadar
hafal syair ya Robbi bil Mushthofa Baligh Maqa Sidana, yang
syair itu sendiri mengandung persoalan secara aqidah karena mengandung
tawassul/ perantara dengan orang yang sudah wafat, yang hal itu sama sekali
tidak syar’i) lalu diberi gelar ‘alim atau ‘ulama atau ‘allamah,
sebagaimana sekarang bisa digelari Kiyai.
Apakah para Kiyai
akan ikhlas dengan usulan semacam ini? Wallahu a’lam. Itu urusan mereka.
Hal yang baik dan yang benar dalam Islam tidak perlu persetujuan para
Kiyai. Justru para Kiyai mestinya yang harus tunduk kepada kebenaran, kalau
memang merekaistiqomah / konsisten dalam ber-Islam. Ini hanya mengingatkan,
perlunya dibuang istilah Kiyai dari julukan keulamaan itu karena mengikuti
kaidah saddudz dzarooi’ yaitu menutup jalan yang menuju bahaya. Kaidah itu
diakui oleh para ulama dalam Ushul Fiqh. Bukti-bukti dan gejalanya telah
nampak, maka sebelum kondisinya akan lebih parah, sebaiknya ditempuh jalan
saddudz dzaroi’ itu.
Demikianlah. Apabila hal ini menyinggung
perasaan para Kiyai, maka dengan sepenuh hati kami minta maaf. Walaupun
demikian, pendapat ini tetap kami sengaja untuk dikemukakan. [Dikutip dari
Buku “Bila Kyai Dipertuhankan”].
Catatan Kaki :
[1] Drs H Ibnu Qoyim
Isma’il MA, Kiai penghulu Jawa Peranannya di Masa Kolonial, Gema Insani
Press, Jakarta, cetakan I, 1977, halaman 62, mengutip Ahmad Adaby Darban,
Ulama di Jawa: Perspektif Sejarah, Yogyakarta, 1988, halaman 6, juga mengutip FA Sutjipto,
Pemimpin-pemimpin Agama di Wilayah Kerajaan Mataram Sekitar Abad 18, Yogyakarta 1971.
[2] Sunan di sini
bukan bentuk jama’ (plural) dari kata Arab Sunnah (hadits ataupun tradisi)
tetapi dari kata Susuhunan sebagai gelar untuk wali/ ulama ataupun pejabat
di mahkamah yang bahasa Arabnya Qodhi yaitu hakim di kerajaan Islam di Jawa
pada masa itu, sedang rajanya bergelar Sultan dari kata Arab Sulthon.
[3] Ibnu Qoyim
Isma’i, ibid, halaman 62.
[4] Ibid, halaman
63.
[5] Majalah Gema
Islam No. 30 tahun II, 15 April 1963, kemudian dikumpulkan menjadi: Hamka Membahas Soal-soal Islam
oleh H Rusydi dan Afif, Pustaka Panjimas, Jakarta, cetakan IV, 1985, halaman 397-398.
[6] Ibid, halaman
400
[7] Ibid, halaman
401.
oleh : HARTONO AHMAD
JAIZ
|