Adalah suatu realite, bahwa bagaimana
pun usaha manusia untuk dapat hidup abadi, agar tidak mati, namun kematian
tidak dapat dielakkan. Oleh karena itu, ingat kepada kematian kapan dan
dimana pun, adalah suatu hal yang penting. Sadar akan kenyataan itu, orang
sufi berkeyakinan, bahwa ingat akan mati berkelanjutan termasuk rangkaian
aktivitas rohani yang perlu dibina. Setiap saat orang perlu menyadari
kematian. Sebab, dengan melekatnya ingatan kepada mati, akan menimbulkan
rangsangan untuk mempersiapkan diri semaksimal mungkin.
Kesadaran akan datangnya maut,
merupakan pendorong bgi seseorang untuk bekerja keras sekuat daya untuk
melakukan hal-hal yang menguntungkan dan menghindari yang merugikannya di
alam baqa. (al-Kalabazi: 187).
Konsekuensinya adalah mengingatkan
seseorang kepada peristiwa yang akan dihadapi di alam barzah. Sikap kasar,
nafsu serakah dan ambisius, akan dapat terkikis habis apabila kesadaran dan
ingat mati serta konsekuensinya selalu terpateri dalam jiwa.
Dari sisi lain, ingatan yang
berkepanjangan akan mati, akan memancing rasa ke Tuhan-an yang semakin
dalam. Sadar akan ke-Maha Kuasa-an Allah yang menciptakan manusia dengan
kehidupannya dan kemudian pasti akan mati, pendorong bagi manusia untuk
mempersiapkan diri semaksimal mungkin. Persiapan itu sudah barang tentu
dalam bentuk amal shaleh dan do’a. Banyaknya amal shaleh dan do’a menjadi
penggerak bagi peningkatan intensitas iman.
Apabila iman sudah menyentuh
relung-relung kalbu rohani yang paling dalam, niscaya penghayatan rasa ke
Tuhan-an akan mengisi buhul-buhul hidup dan kehidupan. Pemujaan terhadap
diri sendiri dapat disingkirkan dengan meresapkan diri pada kemauan Allah
yang akan melahirkan suatu perasaan yang tetap dan disadari akan kehadiran
Allah yang efektif. Kesadaran seperti inilah yang dimaksud dengan zikir.
Dzikir, menurut penafsiran al-Kalabazi
adalah ingatan yang terus menerus kepada Allah dalam hati serta menyebut
nama-Nya dengan lisan (al-kalabazi: 124). Dzikir berfungsi sebagai alat
kontrol bagi hati dan perbuatan agar jangan sampai menyimpang dari garis
yang sudah ditentukan Allah. Lebih dari itu, dzikir akan mengantarkan
seseorang kealam ketenangan batin. Kestabilan jiwa dan rasa kebahagiaan
yang sebenarnya, karena ia merasa dan dalam kesadaran penuh akan
keberadaannya di hadirat Allah.
(Yaitu) orang-orang yang
beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah,
hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram (QS : 13 Ar Ra’ad: 28).
|
Bertitik tolak dari keyakinan sufi
seperti tersebut di atas bahwa budi pekerti mengantarkan manusia kepada
kesempurnaan rohani dan menjadi jembatan emas menuju kedekatan pada Tuhan,
maka dalam setiap gerak langkah, tutur kata dan bahkan sampai pada soal
yang skecil-kecilnya, diatur menurut tata tertib yang rapi. Bagi mereka,
setiap nafs yang dihembuskan, setiap kejapan mata, setiap langkah kaki yang
diayunkan, seluruhnya dihadapkan kepada norma yang bernilai ibadat dan
dilakukan karena motivasi ukhrawi (eskotologis).
Bagaimana seorang sufi menjalani
hidupnya dalam segala aspeknya, secara terperinci telah mereka tuangkan
dalam berbagai karya tulis dan oleh beberapa penulis tasawuf. Misalnya
saja, Suhrawardi (Syihabudin) dalam bukunya Awarif al-Ma’arif, al-Ghazali
dalam kitabnya Ihya Ulumuddin atau al-Adab ad-Din, Tahzib al-Akhlak
karangan Ibn Maskawih, dan masih banyak lagi buku-buku yang membahas maslah
ini.
Seperti penuturan Suhrawardi, mulai
dari masalah yang bertalian dengan cara dan adab makan, berpakaian, tidur,
berjalan, duduk, semua diatur secara rapi. Suatu disiplin kehidupan yang
bernilai moral yang tinggi. Misalnya saja makanan harus bersih, tidak boleh
mengatakan makanan ini tidak enak, jangan menghembus makanan atau minuman.
Suapan pertama dimulai dengan Bismillah, selesai makan membaca hamdalah dan
jangan meninggalkan sisa dan lain sebagainya. (Suhrawardi : 121-245).
Sesuai dengan falsafah hidup sufi pola
hidup sederhana maka dalam hal makan ini, para sufi mempunyai citra
sendiri. Makan dan minumlah sekedar terobat rasa lapar saja, itu adalah
merupakan semboyan mereka. Artinya, makan jangan sampai kenyang. Bahkan
sebagian dari sufi justru dalam lapar mereka menemukan rasa ketenangan dan
kekuatan batin, seperti pengakuan al-Juwaini (Qamar Kailani : 65). Perut
lapar karena sengaja dibuat lapar, perut kosong karena sengaja tidak diisi.
Ini semua dimaksudkan sebagai menanamkan rasa benci terhadap kenikmatan
duniawi. Sedikit merasai kelezatan materi akan semakin mempersempit derak
perkembangan hawa nafsu, dan sebaliknya akan memperluas kesempatan
beribadah kepada Allah. Apabila perut sarat dengan makanan, rasa kenyang
selalu dipertahankan rangsangan gairah nafsu akan bergelora. Hal ini
nyata-nyata bertentangan dengan tujuan. Oleh karena itu, para sufi menerapkan
kode etik makan yang menurut pengakuan mereka bersumber dari sunnah Rasul.
Pola hidup seperti ini bukan berarti
mereka membuat kesengajaan antara spiritual dan keduniawian, atau moral itu
sebagai “etika” khusus. Mereka juga tetap menghendaki agar kewajiban moral
itu meliputi segala tindakan sehari-hari sebagai aplikasi nilai-nilai yang
terkandung dalam Islam itu. Nilai dasar moral itu menunjukkan sifatnya yang
formal dan seremonial pada satu pihak dan sifat moral dan zuhud pada pihak
yang lain.
Perpaduan antara spiritual dan
keduniawian masih tetap dipertahankan walaupun aspek duniawinya sangat
kecil bila dibandingkan dengan aspek rohaniahnya. Hal ini sesuai dengan
sudut pandang kaum sufi bahwa kewajiban seseorang jauh lebih tinggi dari
pada haknya.
Oleh karena itulah, agar rasa lapar
dan kosongnya perut yang disengaja itu mendatangkan manfaat ganda, maka
mereka melakukan puasa. Dalam melaksanakan puasa, para sufi juga mengikuti adab tertentu. Puasa menurut
pemahaman sufi bukanlah sekedar menghentikan hal-hal yang bersifat
jasmaniah, bukan sekedar mengunci kerongkongan, bukan pula sekedar
mengkarantinakan nafsu sexual. Tetapi seluruh organ tubuh dan eksistensi
manusia itu harus ikut berpuasa (Sahrawardi : 234-235).
Rohani dan jasmani ikut berpuasa
terhadap hal-hal yangdipandang tidak baik. Oleh karena itu dan aspek-aspek
ibadah puasa ini, sufi mengklasifikasikan puasa menjadi tiga kategori yaitu
:
1.
Puasa umum, adalah sekedar
mengkarantinakan kerongkongan dan mengunci seksual, puasa yang dilakukan
sesuai dengan syarat rukun dormalnya saja.
2.
Puasa istimewa, adalah disamping
melaksanakan puasa umum tadi, juga segala panca indera dan seluruh anggota
tubuh dijaga ketat agar tidak berhubungan dengan apa saja yang dipandang
tidak baik. Dengan kata lain, puasa tipe ini adalah puasa seluruh anggota
badan dari hal-hal yang dilarang agama.
3.
Puasa yang sangat istimewa atau
puasa paripurna, yaitu segenap anggota jasmani dan rohani ikut berpuasa.
Jiwa raga berpuasa dengan melupakan maslah duniawi, yang di ingat hanya
Allah. Sopan santun berpuasa seperti inilah yang benar. Sebab menurut sufi,
tujuan puasa itu bukanlah sekedar usaha preventif organ tubuh, tetapi
adalah untuk mendidik qalbu-rohani. Untuk mencetak manusia dengan karakter
mulia dan berbudi luhur.
Kaum sufi memperlakukan ibadat dengan
cara yang khas karakteristik sufi. Orang yang melakukan ibadat tanpa
memperhatikan maknanya yang tersirat, makna bathiniyahnya, menurut sufi tak
ubahnya dengan anak kecil yang membaca buku tanpa memahami atau mendapatkan
pengertiannya (MM. Syarif : 125). Kehidupan agamanya hampa sebab hatinya
kosong. Kalau orang itu sembahyang atau dzikir hanya berisi nama Tuhan,
bukan Tuhan itu sendiri. Bagi sufi, apabila ia shalat, disamping ia harus
melakukannya sesuai dengan ketentuan syariat, tetapi juga jiwanya harus
diarahkan kepada makna spiritual dari ibadat itu. Shalat bukanlah hanya
sebagai sejumlah kalimat yang harus diucapkan dan gerakan-gerakan jasmani
yang harus dikerjakan, tetapi ia dilakukan sebagai suatu dialog spiritual
antara manusia dengan khaliknya. Semua gerakan dan kalimat itu merupakan
simbol yang maknanya merupkan bagian dari pembicaraan bathiniyah. Begitu
pula dengan ibadah haji, bukanlah hanya sekedar perjalanan ke Baitullah, ia
salah satu perjalanan spiritual jiwa manusia menuju Tuhan. Setiap tatacara
dalam ziarah itu seperti thawaf, wukuf di Arafah, mencium Hajar Aswad,
adalah lambang yang mengandung makna spiritual yang dalam. Setiap gerakan
dan kata yang diucapkan harus disertai gerakan yang qalbu yang sebanding
(H. Hamidullah : 10).
Seorang sufi dalam kedudukannya
sebagai makhluk sosial yang mempunyai hasrat ingin bergaul, sangat selektif
memilih kawan. Mereka mengikuti jejak Rasulullah dalam kehidupan pergaulan,
karena lingkungan memiliki peranan yang penting dalam perkembangan
kepribadian. Sesuai dengan tujuan akhir sufi, makamereka berusaha agar
supaya kesempurnaan akhlak mereka itu diisi dengan sifat-sifat kesempurnaan
Allah yang teraduk menadi satu dalam dirinya (Suhrawardi : 166).
Mereka memilih kawan bergaul dengan
orang-orang yang bermoral baik agar dapat dijadikan sebagai penunjang
tercapainya tujuan. Berintegrasi dengan ulama dan ilmuwan, merupakan
kebiasaan hidup sufi dalam pergaulan.
Pengendalian diri adalah salah satu
kode etik yang fundamentil dalam kehidupan sufi sebagai anggota komunitas
sosial. Dalam hubungan antar manusia, bersikap wajaradalah gaya hidup sufi.
Apabila berhadapan dengan orang lain, baik ia dari klas atas, menengah
maupun klas bawah, bersikaplah wajar, jangan memperlihatkan gejala-gejala
tidak senang apalagi mimik muka marah. Jangan mempergakan perasaan takut
tetapi sama sekali , tetapi jangan pula bersikap angkuh, atau sombong.
Siapa pun kawan berbicara, dimana pun tempatnya dan kapan pun saja waktunya,
jangan berlebih-lebihan. Perlihatkan roman muka yang cerah, ramah, wajar,
serasi seimbang, adalah pesan-pesan sufi lewat perbuatanya.
Sikap mental seperti ini, dalam
masyarakat sudi dikenal dengan istilah Tawadlu, salah satu etnik sufi yang
sangat fundamentil dan sikap mental yang diwariskan Rasulullah SAW untuk
seluruh umatnya. Akan tetapi menurut pandangan sufi, tawadlu itu lebih
menyerah kepada sikap mental “andap asor” (merendah diri) bukan rendah
dalam arti “minder Wardegh”.
Oleh karena itu seharusnya
diterjemahkan dengan wajar. Artinya, jangan mempunyai perasaan bahwa diri
kita lebih unggul dari orang lain, tetapi menempatkan diri setaraf dan
sejajar dengan orang lain. Sufi yang betul-betul sufi tidak pernah menuntut
agar dirinya “dilayani” walaupun sebenarnya ia pantas dilayani. Tidak
merasa dirinya ostimewa dari orang lain. Dia tidak akan marah apabila
ditegor karena kesilapannya, mau mendengar nasehat orang lain dan selalu
menasehati orang lain. Bagaimana pun orang lain memperlakukannya, orang
sufi tidak pernah menyimpan dendam, bahkan selalu berlapang dada memaafkan
kesalahan orang lain. Relasi antar manusia selalu terbuka dengan lapang
dada, rajin beranjangsana dan senang menerima apa saja. Sikap rendah hati
adalah cara memecahkan ego yang paling berhasil guna.
Memang benar, sebagian sufi seolah-olah
mengisolir diri dari kehidupan masyarakat ramai, pergi mengasingkan diri ke
tempat yang sunyi. Hal ini mereka lakukan adalah karena yakin, bahwa
apabila tahap berdomisili di tengah-tengah masyarakat ramai, sedikit banyak akan mengganggu
ketenangannya sehingga merasa kurang berhasil dalam menata dirinya. Sikap
mengasingkan diri untuk berkontenplasi ini dalam tasawuf disebut ‘Uzlah,
yang berarti menjauhkan diri dari keramaian pergaulan hidup, dengan tujuan
menghindari pengaruh negatif yang dapat merusak tatanan hidupnya (Ibrahim
Basyuni : 157).
Disamping itu juga adalah kebiasaan
bagi sufi, mereka tidak suka membuka lebar rahasia praktek-praktek
kesufiannya atau kelebihan-kelebihan yang ada pada mereka kepada masyarakat
luas. Ini bukan karena adanya yang bersifat rahasia, tetapi semata-mata
untuk menutup kemungkinan menyusup sikap ria. Masyarakat awam tidak percaya
pada pengalaman-pengalaman pribadi sufi dan menganggap aneh terhadap cara
hidup “menderita” seperti itu. Maka orang-orangsufi berfikir, adalah lebih
baik menutup diri dari masyarakat yang tidak mau mengerti dan tidak mau
menghargai hidup sufi. Kadang-kadang yang diselimuti dalam kerahasiaan itu
justru lebih dihargai orang lain dan peminatnya semakin meningkat.
Adanya sikap “Uzlah” itu bukanlah
nilai etika pergaulan yang dipedomani serta diamalkan sufi, sebab sikap
uzlah itu tidak selamanya harus demikian. Lagi pula menurut Ibrahim Basyuni
‘Uzlah itu ada dalam bentuk komune, yaitu pengasingan yang dilakukan suatu
kelompok sufi yang sealiran dengan mengambil tempat tersendiri yang
kemudian dikenal dengan istilah ribath atau zawiyah. Dalam bentuk pergaulan
seperti ini kode etik bermasyarakat tadi tetap dijunjung tinggi.
“Serba kurang”. Tidak berarti
peniadaan sama sekali, adalah semboyan hidup sufi pada umumnya. Makan untuk
hidup, tidak hidup untuk makan. Tidur kurang tidak berarti melepaskan sama
sekali kebutuhan material, tetapi untuk mendapatkan lebih banyak waktu
mengabdi kepada Tuhan. Mengurangi pergaulan berarti mempersempit
kemungkinan untuk mengadakan percakapan yang tidak berguna atau menyebarkan
berita fitnah dan bohong. Padahal fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan
dan berbohong itu lebih kotor dari limbahan.
|