BAHASA INDONESIA DI PERGURUAN TINGGI


BAHASA INDONESIA
DI PERGURUAN TINGGI




     Pada Konggres Pemuda Tahun 1928 bahasa Indonesia ditahbiskan sebagai bahasa yang dijunjung tinggi, bukan sebagai satu-satunya bahasa. Keputusan untuk mengubah nama bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia itu ternyata sangat penting dampaknya bagi keutuhan kita sebagai bangsa.

     Pilihan itu tentu tidak didasarkan pada jumlah penuturnya, tetapi lebih pada kenyataan bahwa pada masa itu berbagai jenis kegiatan sosial dan ekonomi dilakanakan dalam bahasa Melayu.

     Itulah mngkin sebabnya sampai sekarang tidak ada tanggapan yang negatif terhadap keputusan itu dari kelompok etnik yang lebih besar penutur bahasanya seperti Sunda dan Jawa. Disamping itu, meskipun perihal bahasa dan tanah air kita ini hanya hanya satu telah berkali-kali menjadi masalah, bahasa sama sekali tetap bertahan sebagai pemersatu bangsa.

      Sejak itu dengan resmi tugas pengembangan dan penyebarluasan bahasa Indonesia tidak hanya terletak di pundak orang Melayu, tetapi seluruh bangsa Indonesia.

     Sejak kemerdekaan, bahasa Indonesia mendapat tugas dan label baru sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi dan tidak resmi disampaikan dalam bahasa Indonesia.

     Hal ini pada gilirannya menimbulkan masalah yang mungkin sekali tidak dibayangkan sebelumnya; kelompok-kelompok etnik yang ratusan jumlahnya, yang masin-masing memiliki bahasa sendiri yang sudah dikembangkan ratusan bahkanratusan tahun lamanya, harus menerima dan menggunakan bahasa yang pada dasarnya baru itu. Penguasaan atas dan ketrampilan untuk menggunakan bahasa baru itu, tentu merupakan hal yang harus diupayakan, bukan sesuatu yang dengan sendirinya terjad begitu saja. Daalam hl ini pendidikan terutama pendidikan formal memegang peranan penting.

     Itulah sebabnya bahasa Indonesia sebenarnya baru benar-benar disebarluaskan secara nyata dan sadar pada zaman pemerintahan militer Jepang yang menganggap bahwa komunikasi dari atas ke bawah hanya bisa efetif jika menggunakan satu bahasa.

     Pada zaman sebelumnya Pemerintah Hndia Belanda tidak memiliki kebijakan yang jelas tentang politik bahasa. Sikapnya terhadap bahasa-bahasa Belanda, Melayu dan daerah serba tanggung sehingga pendidikan tidak berhasil menyebarluaskan semua atau  salah satu bahasa sebagai bahasa komunikasi dari atas ke bawah atau sebaliknya.

     Berdasarkan itu semua, kita sekarang menetapkan berbagai kebijakan yang menyangkut penyebarluasan, penggunaan dan pengembangan bahasa Indonesia di semua jenjang pendidikan formal sebab yakin bahwa ternyata bahasalah yang mampu menadi perekat persatuan kita.

      Dalam percaturan di bidang apa pun kita boleh bersepakat dan bertengkar asal tetap menggunakan bahasa Indonesia. Dan agar pemahaman atas semua masalah yang menimpa kita bisa menjadi lebih jelas, tentu kita mengambil keputusan untuk mengajarkannya di jenjang pendidikan formal supaya penggunaan dan pengembangan bisa lebih merata. Tidak akan terbayangkan keadaan kita sekarang andaikata bahasa Indonesia tidak kita junjung tinggi; komunikasi antar kelompok etnis akan terhambat sama sekali, kecuali jika seandainya kita memutuskan untuk meminjam “bahasa Asing” sebagai bahasa pengantar.

      Kesungguhan kita menjunjung tinggi bahasa Indonesia kita buktikan dengan mengajarkannya tak putus-putusnya sejak taman kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Kita tampaknyayakin, agar mampu berbahasa Indonesia dengan baik diperlukan waktu yang panjang.

     Ketika memasuki jenjang pendidikan tinggi, mahasiswa telah menerima bahasa Indonesia setidaknya selama 12 tahun. Waktu yang panjang itu kita anggap belum cukup sebab ternyata di perguruan tinggi mahasiswa belum mampu juga berbahasa seperti yang kita harapkan. Keadaan yang demikian tentu ada penyebabnya, dan selama puluhan tahunlamanya kita telah memperbincangkannya. Jika kita memeriksa buku-buku bahasa Indonesia yang dipergunakan di sekolah, kita sering mendapat kesan bahwa semua yang menyangkut bahasa Indonesia sudah pernah diajarkan. Semua konsep dan kaidah yang menyangkut ejaan, pembentukan kata, penyusunan paragraf dan karangan tampaknya sudah tercantum dalam buku-buku itu.

     Meski demikian, kita juga masih berpendapat bahwa yang di dapat mahasiswa di sekolah menengah dan dasar belum cukup. Di sini kita boleh bertanya kepada diri sendiri, apa lagi yang akan kita berikan kepada mereka.

     Di perguruan tinggi mahasiswa kita tuntut untuk mampu menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai jenis kegiatan perkuliahan. Berbagai jenis ujian dan tugas, laporan, skripsi, tesis dan disertasi harus ditulis dengan menggunakan ragam bahasa ilmiah yang baku, lugas agar yang disampaikan obyektif dalam segala bentuk tulisan ilmiah itu tidak dikotori oleh sikap subyektif si penulis.

Dasar Penulisan

     Obyektivitas memang merupakan salah satu dasar penulisan ilmiah, tetapi seberapa jauh sebenarnya kadarnya dalam beberapa bidang ilmu seperti kebudayaan dan sosial.

     Kita tentu saja boleh menuduh bahwa pengajaran bahasa Indonesia di sekolah ternyata tidak berhasil meningkatkan kemampuan berbahsa anak-anak kita seperti yang kita harapkan. Di perguruan tinggi kita latih lagi mereka agar kemampuan berbahsanya meningkat, tetapi ternyata dalam proses penulisan skripsi, tesis dan disertasi pun mahasiswa kita tidak menunjukkan kemampuan itu, tidak terkecuali yang dikerjakan dosen-dosen yang mengajar kemampuan berbahasa Indonesia.

     Kenyataan inilah yang seharusnya mendorong kita untuk memikirkan kembali proses belajar dan mengajar yang selama ini kita lakukan. Meskipun sekarang ini konon kuliah bahasa Indonesia di masukan ke dalam kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian.

      Kalau ini diterima, ada hal mendesak yang harus dipertimbangkan, yakni bahwa jenis pengajaran semacam itu akan mubazir jika dilaksanakan dalam kelas yang jumlah mahasiswanya ratusan.

      Kita mungkin menyangsikan kebenaran pandangan bahwa pengajaran bahasa Indonesia di sekolah sama sekali gagalsebab dalam kenyataannya banyak anggota muda masyarakat kita searang ini yang memiliki kemampuan berbahasa yang sangat baik.

     Boleh saja kita mendebat dengan mengatakan bahwa kemampuan itu tidak terutama mereka dapatkan di dalam kelas, tetapi dalam masyarakat yang sekarang ini mengembangkan dan dikembangkan oleh media yang semakin memadai dan canggih.

     Ini mungkin benar, tetapi justru karena itu kita harus segera memikirkan kembali cara pengajaran bahasa Indonesia yang sesuai dengan perkembangan media yang semakin cepat itu.

     Kita harus berfikir kembali apakah masih perlu mahasiswa kita--bahkan anak-anak di pendidikan rendah dan menengah—dalam rangka menjelaskan struktur kalimat.

     Yang juga perlu mendapat perhatian selanjutnya adalah bagaimana sikap kita terhadap mahasiswa yang benar-benar sudah menunjukkan penguasaan bahasa yang baik, bahkan sering lebih baik dari dosen kita yang mengajar bahasa Indonesia.

     Apakah mereka masih kita haruskan mengikuti mata kuliah ketrampilan itu, apabila kita masih juga bersikukuh mengajarkan bahasa Indonesia, apakah tidak lebih baik ketika masuk perguruan tinggi kemampuan berbahasa mereka kita uji terlebih dahulu apakah merka memerlukan kuliah itu.

     Ada baiknya kita meniru dan sekaligus memperbaiki ujian sejenis TOEFL  untuk bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memang bukan bahasa Asing, tetapi bagi kebanyakan mahasiswa bahasa itu setidaknya adalah bahasa kedua. Ujiantersebut akan membebaskan sejumlah mahasiswa dari mata kuliah yang pasti akan membuat mereka bosan dan pada gilirannya malah bisa bersikap negatif terhadap bahasa yang diajarkan itu – padahal itu adalah alat komunikasi utama, dan bahkan mungkin satu-satunya sebagai bahasa identitas bangsa sendiri.

     Hal yang penting yang juga dibicarakan adalah pandanganyang mutlak keliru, yang menyatakan bahwa ketrampilan menulis terlepas dari kemampuan membaca, namun demikian kemampuan membaca merupakan landasan utama, bahkan satu-satunya dalam mengembangkan kemampuan menulis.

Hakikatnya Meniru

     Belajar berbahasa itu pada hakekatnyaadalah meniru. Oleh sebab itu ketrampilan menulis bisa dicapai jika mahasiswa diberi bacaan yang bisa dijadikan bahan untuk ditiru. Orag yang pandai membaca akan lebih cepat mampu memahami konsep-konsep tentang ejaan, morfologi, diksi, kalimat, dan karangan, tanpa harus membicarakan batasan yang kaku dari istilah-istilah tersebut. Dan jika yang kita kehendaki adalah peningkatan cara penulisan ilmiah, mahasiswa juga harus dengan jelas mengetahui apa beda jenis tulisan itu dengan jenis yang lain, seperti bahasa sastera, bahasa iklan, bahasa politik, dan bahasa prokem.

     Untuk bisa mengathui perbedaan itu, dengan sendirinya mereka jua harus membaca jenis-jenis bahasa yang lain supaya tidak salah memilih ragam yang sesuai dengan dengan yang dikehendakinya.

     Orang yang tidak memiliki kemampuan bahasa dengan baik akan dengan mudah ditipu oleh bahasa iklan, dibuai oleh bahasa sastera, dan dibodohi oleh bahasa politik.

     Itulah sebabnya, membaca harus merupakan kegiatan utama dalam mata kuliah bahasa Indonesia. Bagaimana kita bisa mengharapkan mahasiswa mampu menulis tesis atau disertasi jika mendeteksi dan memahami gaya dan makna editorial di majalah atau di surat kabar saja tidak mampu.

      Mungkin bahasa ilmiah memang harus benar dan baku, dengan catatan bahwa kedua pengertian itu juga masih juga kita pertengkarkan, tetapi kebenaran dan kebakuan berbahasa sama sekali tidak bisa dilepaskan dari gaya penulisan.

     Yang kita perlukan adalah gaya bahasa yang bisa menjelaskan hal yang rumit menjadi jelas, menguraikan hal yang sulit menjadi gampang, bukan sebaliknya. Jika sebaliknya yang terjadi maka penyebabnya adalah kurangnya kemampuan memahami bacaan.

     Kekurangan memahami bacaan akan mnngakibatkan ketidakmampuan menguraikan sgala sesuatu dengan baik dalam tulisan. Itulah sebabnya budaya membaca harus menjadi sebuah kebiasaan dari tingkat pendidikan rendah hingga pendidikan tinggi.




ARSIP TUGAS KLIPING ARTIKEL
Artikel By : Sapardi Djoko Damon
Sebuah Renungan Untuk Guru Dan Dosen
Sumber Kompas, 6 November 2006



0 Comments:

Post a Comment