KAMP KONSENTRASI IDEOLOGI DAN KITA


KAMP KONSENTRASI DAN IDEOLOGI





     Yes, my works was destructive. And what I did not defeat with my drum, I killed with my voice ( Gunter Grass : “The Tin Drum, Vintage”, 2005 )

“Saya adalah anngota Wsffen-SS”, kata Gunter Grass kepada koran Frankfurter Allgemeine Zeitung Menjelang Peluncuran Biografi MasaMudanya dari 1939-1959, Peeling the Onion ( 2007 )

     Suara itu melengking tajam seperti suara Oskar Matzerath dalam The Tin Drum ( Genderang Kaleng ). Menolak tumbuh pada tiga tahun sebagai protes terhadap dunia hipokrit orang dewasa, memecah segala kaca, dari bohlam lampu, kacamata, hingga kaca etalase toko parfum dan permata.

     Gunter Grass memecah kaca kesadaran kita ! seperti Joseph Goebels, Menteri Propaganda dan Pencerahan Nasional Nazi, merayakan permusuhan Jerman dengan Yahudi pada 9-10 November 1938 melalui Crystal Night, di mana harta milik Yahudi, rumah, toko, dan sinagoga dihancurkan dan dihancurkan oleh SA ( Sturm Abteilung atau Storm Section ), sebuah organisasi paramiliter beranggotakan 4,5 juta orang sebelum dilebur Hitler mejadi Schutzstaffel atau SS. Insiden masyhur Night of Broken Glass atau Reichskristallnahct ini adalah awal dari proyek pemusnahan Yahudi di Eropa.

     Rahasia pahit ini disimpan Grass yang lahir di Danzig-Langfuhr, Jerman, pada tahun 1927, pengarang belasan naskah teater dan novel termasyhur seperti The Tin Drum dari Trilogi Danzig Cat and Mouse dan Dog Years, serta pemenang nobel Kesusasteraan tahun 1999, dalam kesunyian enam puluh tahun lebih pasca Perang Dunia II. Selama ini Grass bagaikan legenda hidup, maghnet moral dunia, dan saksi hidup bagi kebarbaran manusia di tengah gegap gempita proyek modernisme yang berakar dari Renaissance dan Enlightenment.

     Karya Grass adalah bagian dari gerakan kesusasteraan Vergangenheitswaltigung atau coming to terms with the past, merayakan subversi para penulis, dilengkapi seruan lantang ; kesusasteraan melawan kekerasan !

“Gunter Grass uses the German Nazi past as kind of ethical absolute zero against which to measure all other tendencies, past, present and future” ( Alan Frank Keele, dalam Understanding Gunter Grass, 1988 )

     Waffen-SS adalah unit bersenjata dari barisan pengawal Hitler yang ditakuti, SS. Pada usia 17 tahun, Grass pemuda pilihan yang cocok bagi Waffen-SS, berdarah murni Arya. SS adalah pasukan paramiliter pimpinan Heinrich Himler.Ketika Adolf Hitler mencanangkan penaklukan Eropa, pada Desember 1940 dibentuklah Waffen-SS, unit tempur yang terkenal ketrampilannya di medan perang dan keganasannya terhadap tawanan perang, penduduk sipil, maupun pemusnahan Yahudi di Kamp Konsentrasi. Waffen-SS dibentuk dari tiga bagian SS, Leibstandarte (pasukan pengawal pribadi Hitler), SSV ( SS-Verfuegungstruppe, atau pasukan khusus SS ), dan SSVT ( SS-Totenkopfverbaende, unit penjaga kamp konsentrasi SS ).

Grass, Nazi dan Kita

     Di tengah gempita Nazi dan Hitler menguasai politik Jerman, pada usia 15 tahun Grass menjadi anggota Hitler Youth, lalu Labour Front serta melamar dan gagal menjadi pasukan kapal selam U-Boat, diterima di Waffen-SS dalam 10 tahun SS Panzer Divission Frundsberg. Apakah daya tarik gegap gempita itu bagi pemuda Jerman seusia Grass ?. Struktur ekonomi rezim Hitler adalah kapitalisme kompetitif yang merangkak menuju kapitalisme monopoli, kelas dominannya para kapitalis uang.

     Muncul di tengah krisis kapitalisme ( great deprssion ) 1930-an yang berebut pasar dunia. Setelah perjanjian Versailes pada tahun 1921, di Jerman berkembang pesat struktur politik baru bercirikan nasionalisme ekstrem, rasialis, serta antiliberal, komunis dan sosialis. Setelah Hitler mengambil alih kekuasaan pada tahun 1933, negara Jerman berkembang menjadi alat represi dan mobilisasi. Mesin represinya berupa intelijen, militer, paramiliter ( SA kemudian SS ), dengan menggunakan cara intimudasi, teror, pelarangan, penculikan, penjara, pembunuhan dan lainnya.

     Sasarannya adalah buruh, golongan kiri, agamawan, intelektual, wartawan bahkan homoseksual. Pendukung Nazi dan paramiliternya adalah kelas menengah yang tersingkir dari proses kapitalisme kompetitif. Tentu saja fungsionalisme negara represif seperti itu membutuhkan rasionalisasi. Hitler beserta tangan kanannya yang sangat dipercaya merumuskan rasionalisasi berbasis pada nasionalisme, rasionalisme, keamanan nasional, ancaman laten liberalisme, komunisme dan sosialisme. Semua rekayasa itu dibungkus dalam ideologi Nazisme atau Fesisme.

      Sekilas bisa dibandingkan dengan rezim Soeharto-Orde Baru yang mengembangkan ideologi serupa, fasisme-militeristik, dalam sistem kapitalisme pinggiran atau kapitalisme berstatus semi feodal dan semikolonial  di mana kapitalis birokrat dan militer menjadi kelas penggeraknya. Fungsi negara, sasaran, dan cara represi serupa rezim Nazi, ideologinya “demokrasi fasis-milteristik”, dengan eufisisme “demokrasi Pancasila”.

Kamp Konsentrasi

     Perjuangan ras ( struggle of races ) merupakan hukum alam yang diyakini Adolf Hitler, sedangkan perjuangan kelas (struggle of classes) merupakan hukum sejarah yang diyakini Karl Marx. Keduanya mengklaim bahwa hukum alam dan hukum sejarah tersebut bersifat ilmiah (scientific). Bila partai Nazi menjadi eksekutor dari hukum alam, maka partai komunis di Jerman Timur menjadi eksekutor hukum sejarah. Di dalam keyakinan ideologis yang demikian absolut ini, dengan jelas ditegaskan siapa jadi “musuh obyektif”.

     Bagi Naziisme, ras apa pun di luar ras Arya-termasuk Yahudi-adalah ras inferior. Bagi Komunisme “musuh” itu adalah kelas kapitalis dan lainnya, di luar kelas proletar. Pemusnahan atau pelemahan musuh obyektif adalah kewajiban agar hukum alam maupun hukum sejarah berjalan sesuai tujuannya, ke arah berkuasanya ras superior, atau masyarakat tanpa kelas. Untuk mencapai satu tujuan linier dan absolut ini, dominasi totaliter memakai indoktrinasi ideologis dan teror. Teror adalah esensi dominasi totaliter.

     Kamp konsentrasi Sachsenhausen adalah salah satunya. Berada 35 kilometer dari arah Berlin, didirikan pada Juli 1936, ini adalah kamp pertama setelah Reichfuhrer-SS Heinrich Himler diangkat sebagai Kepala Polisi Jerman. Sekitar 200.000 orang pernah ditahan di sini dari 1936-1945 dan 35.000-42.000 meninggal karena kelaparan, penyakit, kerja paksa, ditembak mati, di gas, dan eksperimen medis. Sachsenhausen terkenal dengan Death March, pada 18 April 1945 menjelang akhir perang dunia, di mana penghuni kamp dipaksa berjalan ke arah laut Baltik untuk ditenggelamkan. Kamp konsentrasi dimulai sejak awal Hitler berkuasa, Januari 1933, dan mencapai 50 buah pada akhir 1933.

Tiga Kritik Ideologi

Gunter Grass muda dikepung totaliter, apakah kita terbebas dari kemungkinan ini ? Hannah Arendt menyimpulkan setiap ideologi memiliki unsur totaliter dan akan berkembang penuh bila ada gerakan totaliter yang mendukungnya. Ideologi yang bersifat pseudo-science dan pseudo-philosopy, berupaya melampaui batas sains dan filsafat.

     Bila Arendt benar, totaliterisme tidak hanya berhenti pada ideologi rasisme ala Hitler atau komunisme ala Marx (The Origins of Totalitarism, hal 470). Bahkan “demokrasi” yang dipaksaka AS dan sekutunya di Irak dan Afganistan pun sekarang sudah berwajah totaliter dan mengorbankan ribuan nyawa tak berdosa.

     Apa yang harus kita lakukan? Pertama, kita harus menolak sekeras-kerasnya setiap gagasan yang membenarkan pembunuhan, penyiksaan dan pengorbanan manusia atas nama  apa pun juga, baik ras, sejarah, pembangunan, demokrasi, agama, bahkan Tuhan sekalipun.

     Kedua, mempertahankan kritisisme dan kebenaran dalam batasan ilmu pengetahuan, bersifat sementara (tentatif) dan dapat salah (fallible). Peranan revolusioner pemikiran / pengetahuan jelas melalui perdebatan kritis, bukan dengan kekerasan dan perang ( KR. Popper, Open Society and Its Enemis, volume II, hal, 396 ). Perdebatan kritis mensyaratkan keberagaman, dan kebebasan berfikir. Pedang dan perang menghancurkan ketiganya. Perdebatan kritis, keberagaman dan kebebasan berfikir.

     Ketiga, mempertahankan kebebasan karena “ ... liberty is the possibility of doubting, the possibility of making a mistake, the possibility of searching and experimenting, the possibility of saying “no” to any authority-literary, artistic, philosophic, religious, social, and even political”. Ujar Ignazio Silone dalam The God That Failed (Bantam Books, 1959).

     Keempat, selalu mengingat korban semua ideologi sekuler dan nonsekuler, serta mempelajari sejarah kekerasannya sebagai monumen kejahatan terhadap umat manusia. 




ARSIP TUGAS KLIPING ARTIKEL
HUMANIORA
By Fadjroel Rachman
SUMBER KOMPAS HALAMAN 14 SABTU 04 APRIL 2007



0 Comments:

Post a Comment