ISTILAH DALAM TASAWUF



ISTILAH – ISTILAH DALAM TASAWUF




a.    Murid

Menurut Al-Kalabazi dalam bukunya “At-Ta’arruf li al-Madzhabi Ahli ash-Shaufiyah, menyatakan bahwa murid adalah orang yang mencari pengetahuan dan bimbingan dalam melaksanakanamal ibadahnya, dengan memusatkan segala perhatian dan usahanya ke arah itu, melepas sgala kemauannya dengan menggantungkan diri dan nasibnya kepada iradah Allah (Al Kalabazi : 167).

     Murid dalam dunia tasawuf dibagi menjadi tiga kelas yakni :

1.       Mubtadi atau pemula, yaitu mereka yang baru mempelajari Syari’at. Jiwanya masih terikat dengan duniawi, kelas pemula ini berlatih melakukan amalan-amalan zhahir secara tetap dengan cara dan dalam waktu tertentu.
2.       Mutawassith, adalah tingkat menengah, yaitu orang yang sudah dapat melewati klas pemula telah mempunyai pengetahuan yang cukup tentang Syari’at. Kelas ini sudah mulai memasuki pengetahuan dan amalan-amalan yang bersifat bathiniyah. Tahap ini adalah tahap belajar dan berlatih mensucikan bathin agar tercapai akhlak yang baik.
3.       Muntahi, adalah tingkat atas, yaitu yang telah matang ilmu Syari’at, sudah menjalani thariqat dan mendalami ilmu bathiniyah. Sudah bebas dari perbuatan maksiat sehingga jiwanya bersih. Orang yang sudah sampai kepada tingkat ini disebut arif, yaitu orang yang sudah diperkenankan mendalami ilmu hakikat. Sesudah itu iapun bebas dari bimbingan guru.

b.    Syekh

Syekh adalah seorang yang memimpin kelompok kerohanian, pengawas murid-murid dalam segala kehidupannya, penunjuk jalan dan sewaktu-waktu dianggap sebagai perantara antara seorang murid dengan Tuhannya.

     Syekh huga sering disebut mursyid, yaitu orang yang sudah melalui tingkat khalifah. Ia adalah seorang yang mempunyai tingkat kerohanian yang tinggi, sempurna ilmu syari’atnya, matang ilmu hakikat dan ilmu ma’rifatnya. Dengan kata lain seorang syekh adalah orang yang telah mencapai maqam rijalul kamal.

     Hubungan antara murid dengan syekh atau mursyid, adalah hubungan penyerahan diri sepenuhnya, seorang murid harus tunduk, setia dan rela dengan perlakuan apa saja yang ia terima dari syekhnya. Ia harus mampu bersikap seperti jenazah yang sedang dimandikan, rela dan ikhlas dibolak-balik tanpa merasa kesal dan menyesal atau menolak.

     Penyerahan diri dengan dengan sebulat hati dan keyakinan, merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi seorang mubtadi dalam tasawuf. Dalam bentuk apa pun, seorang murid tidak boleh membantah, karena syekh adalah penghubung antara dia dengan Allah. Sungguh banyak syarat-syarat yang harus ditaati seorang mubtadi, baik yang berhubungan dengan adab kepada syekh maupun pola hubungan antara sesama murid. (Suhrawardi: 28).

     Secara singkat dapat dikatakan sebagai suatu loyalitas tanpa reserve dan tergambar pula betapa tinggi dan mulianya kedudukan syekh dalam komunitas sosialnya itu. Ia adalah seorang pemimpin yang mengandung makna kesucian bagi pengikutnya. Apa saja yang ia lakukan, bagi pengikutnya adalah suatu kebenaran yang mutlak. Dari itu hendaklah seorang murid betul-betul harus teliti dengan penuh perhatian dalam mencari guru dan penuntun.

c.    Wali dan qutub

Wali dan Qutub adalah seorang yang telah sampai ke puncak kesucian bathin, memperoleh ilmu laduni yang tinggi sehingga tersingkap tabir rahasia yang ghaib-ghaib. Orang seperti ini akan memperoleh karunia dari Allah dan itulah yang disebut wali. Jadi, seorang wali adalah seorang yang telah mencapai puncak kesempurnaan, kecintaan kepada Allah. Karena pengabdian dan amalannya yang luar biasa kepada Allah, ia memperoleh kemampuan yang luar biasa, kemampuan yang supra insani sebagai karunia dari Allah.

     Menurut al-Kalabazi, inilah yang disebutkaromah itu (Al-Kalabazi : 89). Orang-orang yang mulia seperti itu adalah wakil-wakil Nabi pelanjut perjuangan Nabi, dan inilah yang disebut dengan Quthub. Mereka ini mempunyai kedudukan yang hampir sama dengan Nabi dalam hal kesucian rohani, kedalaman ilmu dan ketaatan kepada Allah. Quthub memperoleh ilmu melalui ilham, sedangkan Nabi memperoleh ilmu melalui wahyu.

     Apabila dilihat dari sudut amalan serta jenis ilmu yang dipelajari, maka terdapat beberapa istilah yang khas dalam dunia tasawuf, yaitu ilmu lahir dan imu bathin. Ajaran-ajaran agama itu mengandung arti lahiriah dan mengandung arti bathiniyah yang merupakan inti dari setiap ajaran itu. Oleh karena itu cara memahami dan mengamalkannya juga harus melalui aspek lahir dan aspek bathin. Kedua aspek itu dibagi menjadi empat kelompok yakni :

1.       Syari’at

Syari’at mereka artikan sebagai amalan-amalan yang difardlukan dalam agama, yang biasanya dikenal dengan rukun islam dan segala hal yang berhubungan dengan itu, bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

     Seorang yang ingin memasuki dunia tasawuf, harus lebih dahulu mengetahui secara mendalam tentang al-Qur’an dan al-Hadis yang dimulai dengan amalan zhahir baik yang wajib maupun yang sunnah. (H. Zainal Arifin Abas : 143).

     Oleh karena rasa kenikmatan dalam beribadah itu telah merasuk dalam jiwa, maka timbullah amalan sunnat yang ditetapkan  cara dan waktu pengamalannya, seperti : zikir sekian kali pada waktu tertentu, shalat nawafil sekian raka’at pada jam sekian.  Akibatnya hampir seluruh waktu mereka dipergunakan untuk shalat dan zikir dengan cara dan jumlah yang telah ditentukan oleh alirannya masing-masing (Qamar Kailany : 29-30).

     Bukan hanya itu tetapi mereka juga melakukan puasa hampir sepanjang hari, bahkan sampai-sampai lupa makan dan minum, jiwa mereka sudah kenyang karena ibadah dan amal shaleh itu. Dengan demikian setiap sufi, pada hakikatnya adalah orang-orang yang telah mengamalkan perintah Illahi secara tuntas dan menyeluruh. Sebab, tanpa melalui tahapan ini, seseorang tidak akan mampu naik ke jenjang yang lebih tinggi.

2.       Thariqat

Dalam melaksanakan syari’at tersebut di ats, haruslah berdasarkan tata cara yang telah digariskan dalam agama dan dilakukan hanya karena penghambaan diri kepada Allah, karena kecintaan kepada Allah dan karena ingin berjumpa denganNya. Perjalanan menuju kepada Allah itulah yang mereka maksud thariqat, yait thariqat tasawuf. Perjalanan ini sudah mulai bersifat bathiniyah, yaitu amalan zahir yang disertai amalan bathin (Hamka : 104).

Untuk itu, maka ditetapkanlah ketentuan-ketentuan yang bersifat bathiniyah agar pelaksanaan ketentuan-ketentuan zahiriyah itu dapat mengantarkan seseorang kepada akhir perjalananannya melalui tahap demi tahap dan situasi demi situasi, yang kemudian dikenal dengan istilah maqomat dan ahwal.

3.       Hakikat
Secara lughawi hakikat berarti inti sesutu, puncak atau sumber asal dari sesuatu. Dalam dunia sufi, hakikat diartikan sebagai aspek lain dari syari’at yang bersifat lahiriyah, yaitu aspek bathiniyah. Dengan demikian dapat diartikan sebagai rahasia yang paling dalam dari segala amal, inti dari syari’at dan akhir dari perjalanan yang ditempuh oleh seorang sufi (Al-Kabazi : 158).

Dengan demikian jelaslah bahwa hakikat itu tidak lepas dari syari’at, bertalian erat dengan thariqat dan juga terdapat dalam ma’rifat. Oleh karena itu, sering ditemukan pengertian yang tumpang tindih antara hakikat dan ma’rifat, karena masing-masing mengandung arti puncak dari segala amal dan perjalanan, inti dari segala ilmu dan pengalaman. Tetapi yang jelas, hakikat itu diperoleh sebagai hikmah dan anugerah berkat riadlah dan mujahadah, sehingga ia tergolong ahwal.

Dengan sampainya seorang ke tingkat atau kepada hakikat, berarti telah terbuka baginya rahasia-rahasia yang terkandung dalam syari’at, ia dapat memahami  dan menghayati segala kebenaran dan bahkan dapat mengetahui hal-hal yang bertalian dengan Allah.

4.       Ma’rifat

Dari segi bahasa, ma’rifat berarti pengetahuan atau pengalaman, sedangkan dalam istilah sufi, ma’rifat itu diartikan sebagai pengetahuan mengenai Than melalui hati sanubari. Penegtahuan itu sedemikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu. (al-Kalabazi : 158-159).

Dalam sejarah perkembangan tasawuf diketahui bahwa Dzun an Nun al-Mishri (156-245 H), seperti yang digambarkan oleh Syafiq Gharbal dalam Al-Masyu’ah al-Arabiyah al-Muyassarah, hal. 848, bahwa Dzun an-Nun al-Mishri, membagi ma’rifat menjadi tiga macam, Pertama, ma’rifah orang awam, Kedua, ma’rifah para mutakallimin dan failasuf, Ketiga, ma’rifah para auliya’ dan muqarrabin dan yang mengenal Allah melalui hati sanubarinya, dan inilah yang tertinggi dan meyakinkan. Karena diperoleh bukan melalui belajar, usaha dan pembuktian, tetapi ia adalah ilham yang dilimpahkan Allah kedalam hati yang paling rahasia pada hambanya. Sehingga ia mengenal Tuhannya dengan Tuhannya. Hal ini juga dipertegas lagi oleh al-Mishri dalam satu ungkapan :

“Aku mengenal Tuhanku melalui Tuhanku, dan sekiranya bukan karena Tuhanku, aku tidak akan mengenal Tuhanku” (al-Qusyairi : 244).

     Selanjutnya RA. Nicholson menjelaskan bahwa menurut kaum sufi ada tiga alat dalam diri manusia untuk memperoleh  ma’rifat, yaitu : Qalb, yang dapat mengetahui sifat-sifat Allah, Ruh, untuk mencintai Allah, Sir, alat yang dapat melihat Allah. Qalb merupakan wadah ruh. Qalb mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai alat berfikir dan alat perasa. Dengan demikian Qalb itu tidak sama dengan akal, sebab akal tidak mampu mengetahui hakikat Allah (RA. Nicholson : 68).

     Sampai dimana tingkat ma’rifat manusia kepada Tuhan, terdapat perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan sufi. Alghazali berpendapat, bahwa ma’rifat itu tidak menyebabkan seseorang menjadi satu (ittihad) dengan Tuhan. Menurutnya, pengertian ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah secara jelas dan mendalam melalui hati nurani. Karena jelas dan terangnya pengetahuan itu, ia mengungkapkan dengan kalimat “Memandang ke pada wajah Allah” (Abdu ar Raziq : 93). Ia melihat Tuhan dengan mata hatinya (vission of the heart) bukan dengan mata inderanya. Dan menurut Al-Ghazali, inilah maqam yang tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia. Akan tetapi, menurut beberapa orang sufi antara lain, Abu Yazid al-Bustami, Al-Hallaj, Ibn al-Farid, bahwa tingkatan itu masih dapat dilampaui manusia, sampai ittihad dengan Allah.

     Al Mahabbah, adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam penempatannya maupun dalam pengertiannya. Kalau ma’rifah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati, maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Seluruh jiwanya terisi oleh rasa kasih dan cinta kepada Allah. Rasa cinta itu tumbuh kepada pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan sedah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta tetapi “diri yang dicinta”. Oleh karena itu menurut Al-Ghazali mahabbah itu manifestasi dari ma’rifah kepada Tuhan.

Tokoh aliran al-Hub adalah Rabi’ah al-Adawiyah, lahir di Bashrah tahun 95 H / 715 M, meninggal tahun 185 H. Menurut Rabi’ah al-Hubb itu adalah rindu dan pasrah kepada Allah. Seluruh ingatan dan perasaan tertuju kepada Allah.

Bagi Rabi’ah, rasa cinta kepada Allah menjadi satu-satunya pendorong dalam segala perilakunya, bukan lagi karena rasa takut karena siksa atau karena mengharap nikmat surga. Tidak lain, semuanya demi cinta dan yang dicinta. Ada dua macam cinta yang ada dalam diri Rabi’ah yakni, cinta yang dapat membahagiakannya dan cinta sebagai hak Allah, karena Allah mutlak harus dicintai.

Untuk dapat menumbuhkan kecintaan terhadap Allah manusia harus mendidik dirinya supaya mencintai segala macam kecantikan di alam ini, merenungkan dan meresapkannya secara mendalam. Sebab, kecantikan itu adalah ciri dari Zat Yang Duci. Karenanya, cinta adalah salah satu ahwal (state) yang akan menyampaikan seseorang kepada Zat Yang Dicintai. Cinta manusia kepada keindahan adalah disukai Allah, karena Allah sendiri adalah sumber asasi dari segala keindahan.

Wahai Tuhanku ...
Tenggelamkanlah aku dalam mencintai-Mu.
Sehingga tidak ada satu pun yang dapat melalaikan aku dari mengingat-Mu.
Wahai Tuhan ...
Bintang-bintang telah gemerlapan,
Mata telah tertidur,
Pintu-pintu istana telah dikunci
Setiap pecinta telah menyendiri dengan yang dicintainya
Dan inilah diriku berada dihadapan-Mu.
Wahai Tuhan ...
Malam telah berlalu,
Siang mulai menampakkan diri.
Bagaimana gerangan perasaanku.
Apakah engkau terima amalanku hingga aku merasa bahagia, Ataukah Engkau tolak hingga aku merasa sedih.
Demi keperkasaan-Mu,
inilah sikapku selama Engkau memberi hayat dan perlindungan kepadaku.
Demi keperkasaan-Mu
Andainya Engkau usir aku dari depan pintu-Mu,
Aku tidak akan pergi karena hatiku telah mencintai-Mu.


Dalam gubahan prosa yang lain yang disenandungkan lewat seuntai sya’ir :

Buah hatiku ...
Hanya Engkaulah yang kukasihi
Beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehadirat-Mu
Engkaulah harapanku
Kebahagiaan dan kesenanganku
Hatiku telah enggan mencintai selain dari Engkau








0 Comments:

Post a Comment