Upaya merumuskan pandangan manusia
dilakukan dengan merujuk pada al Qur’an dan al Hadis. Hanna Djumhana
Bastaman ( 1993 ) memberi contoh bahwa wawasan Islami mengenai manusia
sangat banyak sembernya ( dalam al Qur’an ), antara lain dapat disimpulkan
dari riwayat Nabi Adam, AS, yaitu :
1.
|
Manusia mempunyai
derajat sangat tinggi sebagai khlaifah Allah,
|
2.
|
Manusia tidak
menanggung dosa asal atau dosa turunan,
|
3.
|
Manusia merupakan
kesatuan dari empat dimensi : fisik – biologi, mental-psikis,
sosio-kultural, dan spiritual,
|
4.
|
Dimensi spiritual (
Ruhani, Ruh-Ku ) memungkinkan manusia mengadakan hubungan dan mengenal
Tuhan melalui cara-cara yang diajarkan-Nya,
|
5.
|
Manusia memiliki
kebebasan berkehendak ( freedom of will ) yang memungkinkan manusia untuk secara sadar mengarah
dirinya ke arah keluhuran atau kearah kesesatan,
|
6.
|
Manusia memiliki
akal sebagai kemampuan khusus dan dengan akalnya itu mengembangkan ilmu (
dan tekhnologi ) serta peradaban,
|
7.
|
Manusia tak
dibiarkan hidup tanpa bimbingan dan petunjuk-Nya.
|
Tugas manusia di dunia ini, disamping
sebagai abdullah ( hamba Allah ), adalah sebagai khalifah di muka bumi ( QS. 2 :
30 ). Agar manusia dapat menjalankan tugas kekhalifahannya dengan
sebaik-baiknya, maka manusia dilengkapi dengan potensi-potensi ( sejumlah
ciri ) yang memungkinkan dapat melakukan tugas tersebut. Ciri-ciri tersebut
meliputi manusia baik secara fitrah, mempunyai ruh, mempunyai kebebasan
berkehendak, dan mempunyai akal.
Ciri
pertama, manusia itu baik dari segi fitrah semenjak semula. Dia
tidak mewarisi dosa asal karena Adam ( dan Hawa ) keluar dari surga. Salah
satu ciri fitrah adalah manusia menerima Allah sebagai Tuhan. Dan asalnya
manusia itu mempunyai kecenderungan beragama, sebab beragama itu sebagian
fitrahnya. Hasan Langgulung ( 1989 ) menyebutkan bahwa manusia itu lahir
bukan dengan Islam tetapi ia memiliki potensi untuk menjadi Islam. Jadi
sebab-sebab yang menjadikan seseorang tidak percaya terhadap Tuhan bukanlah
dari sifat asalnya, tetapi ada kaitannya dengan alam sekitarnya. Konsep
Behaviorisme yang menganggap manusi itu netral, bertentangan dengan konsep
lorenz yang meyakini dominannya dorongan agresi pada manusia.
Ciri kedua adalah ruh.
Al Qur’an secara tegas menyatakan bahwa kehidupan manusia bergantung pada
wujud ruh dalam badannya. Tetapi bagaimana wujudnya, bagaimana bentuknya,
dilarang al Qur’an untuk mempersoalkannya. ( QS. 17 : 85 ). Tetapi
bagaimana ruh itu bersatu dengan badan yang kemudian membentuk manusia yang
menjadi khalifah itu, dalam al Qur’an dinyatakan “Setelah Aku membentuknya
dan menghembuskan padanya ruh-Ku, maka sujudlah kamu ( makhluk-makhluk lain
) kepada-Nya” (QS. 15 : 29 ). Tingkah laku manusia adalah akibat dan
interaksi antara ruh dan badan. Walaupun manusia mempunyai ruh dan badan,
tetapi ia dipandang sebagai pribadi yang terpadu.
Ciri ketiga, adalah kebebasan.
Kemauan atau kebebasan berkehendak, aitu kebebasan untuk memilih tingkah
lakunya sendiri, kebaikan atau keburukan. Sebagai khalifah manusia menerima
dengan kemauan sendiri, amanah yang tidak dapat dipikul oleh makluk-makhluk
lain. “Katakanlah kebenaran Tuhanmu, maka hendaklah percaya siapa yang mau,
dan menolak siapa yang mau” (QS: 18 : 19). Artinya manusia boleh menerima
atau menolak untuk percaya kepada Allah. Dia memiliki kebebasan
berkehendak.
Ciri yang keempat adalah akal.
Akal dalam pengertian Islam, bukan otak, melainkan daya berpikir yang
terdapat dalam jiwa seseorang. Akal dalam Islam merupakan ikatan dari tiga
unsur, yaitu pikiran, perasaan dan kemauan. “Bila ikatan itu tidak ada,
maka tidak ada akal itu
“. Menurut TM Usman El Muhammdy, Akal adalah alat yang menjadikan manusia
dapat melakukan pemilihan antara yang betul dan salah. Allah selalu
memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya agar dapat memahami
fenomena alam semesta ini. Akan tetapi, disadari akal memiliki
keterbatasan. Menurut Ibnu Khaldun, “Akal adalah sebuah timbangan yang
cermat, yang yang hasilnya adalah pasti dan bisa dipercaya, tetapi
mempergunakan akal untuk menimbang soal-soal yang berhubungan dengan
keesaan Tuhan, atau hidup di akhirat kelak, atau hakikat kebaian, atau
hakikat sifat-sifat ketuhanan, atau lain-lain di luar kesanggupan akal
adalah sama dengan mencoba mempergunakan timbangan tukang emas untuk
menimbang gunung. Ini tidaklah berarti timbangan itu sendiri tidak boleh
dipercaya.
|