KONSEP DAN TERAPI DALAM SUFI


KONSEP DAN PRAKTEK TERAPI
DALAM SUFI





     Selain memiliki konsep-konsep teoritik Sufisme juga memiliki tekdnik-tekhnik praktis, baik sebagai usaha kuratif dalam bentuk psikoterapi, maupun sebagai usaha untuk meningkatkan derajat nafs untuk mendekati tujuan tertinggi yakni manusia yang utuh (insan al kamil).

     Secara umum Sufisme berpandangan bahwa penyebab pokok dari timbulnya gangguan-gangguan jiwa adalah karena adanya keterpisahan (separation), baik keterpisahan manusia dengan dirinya sendiri, dengan manusia lain, dengan alam,  maupun realitas Universal (Shafi’i : 1987). Dalam bahasa lain Nashr (1987) melihat bahwa masalah pokok yang dihadapi manusia pada umumnya adalah karena pada umumnya mereka berada di pinggiran lingkaran eksistensi, tanpa ada keterkaitan dengan Titik Pusat eksistensi itu. Sufisme dengan demikian berusaha membuat “jembatan” supaya manusia memiliki hubungan dengan titik Pusat eksistensi itu.

     Secara lebih spesifik Moniuddin (1987) mengungkapkan bahwa berbagai bentuk gangguan-gangguan psikopatologi ( maupun fisik ) berhubungan dengan tingkat jiwa seseorang. Di sini Moniuddin membagi tingkatan-tingkatan (maqam) jiwa seseorang menjadi 6 tingkatan maqam annafs (tingkat egotism), maqam al qalab (tingkat hati), maqam ar ruh (tingkat ruhani), maqam as sirr (tingkat rahasia ketuhanan), maqam al qurb (tingkat keterdekatan) dan maqam al wisal (tingkat persatuan). Jenis psikopatologi pada tiap tingkatan jiwa tersebut ternyata berlainan. Misalnya pada maqam an nafs (tingkatan egotism), jenis psikopatologi meliputi takut, kecemasan, depresi, schizoperia, keragu-raguan, deviasi sexual, bunuh diri dan sebagainya maupun gangguan emosional lainnya. Semakin tinggi  tingkat seseorang, semakin hilang gangguan psikopatologinya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika sufisme mengembangkan berbagai metode untuk meningkatkan derajat nafs.

     Metode-metode yang sering digunakan dalam sufisme untuk meningkatkan derajat nafs atau tingkatan jiwa seseorang adalah sebagai berikut :

a.    Dzikir

Dzikir, yang artinya mengingat Allah merupakan dasar yang selalu dilakukan oleh semua tarekat Sufi. Prinsip pokok dalam dzikir adalah pemusatan pikiran dan perasaan pada Allah dengan cara menyebut namaNya berulang ulang. Dengan demikian seseorang akan mempunyai pengalaman berhubungan dengan Allah. Adanya hubungan ini dengan sendirinya akan menghilangkan rasa keterpisahan yang diderita seseorang. Metode ini mempunyai banyak kemiripan dengan berbagai tekhnik meditasi pada tradisi agama-agama lain, baik pada tekhniknya maupun pada efek yang ditimbulkannya. Dzikir dan berbagai tekhnik meditasi lain, tidak hanya berpengaruh pada perkembangan rohani atau nafs seseorang. Banyak penelitian empiris yang telah membuktikan bahwa dzikir atau meditasi berpengaruh pula terhadap dimensi fisik dan psikis (Shafi’i : 1985). Misalnya, menyembuhan berbagai penyakit fisik meupun menghilangkan kondisi-kondisi psikopatologis seperti stres, kecemasandan depresi. Tetapi Shafi’i menekankan bahwa tujuan pokok dari dzikir dalam sufisme bukanlah sebagai treatment untuk menyembuhkan penyakit. Itu semua hanyalah efek samping semata. Dalam pelaksanaan dzikir, peranan dari seorang guru / Syekh Sufi ( atau Mursyid, penunjuk jalan) adalah penting. Shafi’i (1985) menyebutkan bahwa sufisme berpandangan bahwa kematangan spiritual tidak akan dapat dicapai sendiri. Jalan yang harus ditempuh nafs dari luar ke dalam lingkaran konsentris penuh dengan bahaya dan tipuan-tipuan (syetan), seperti, preokupasi keakuan (selfishness), pandangan-pandangan spiritual yang salah, kesalahan interpretasi terhadap pengalaman-pengalaman mistis dan sebagainya. Oleh karena itu hanya dengan bimbingan seorang guru sufi yang sudah berpengalaman dalam menempuh perjalanan spiritual, seseorang dapat mencapai taraf yang lebih tinggi. Shafi’i (1985) dan Nurbakhsh (1991) melihat bahwa hubungan antara guru Sufi dan penempuh jalan sufi adalah seperti hubungan seorang psikoterapis dan klien.

b.    Self Observation ( Pemantauan Diri)

Di sini seorang penempuh jalan sufi harus senantiasa mengawasi seluruh gerak pikiran dan hati, barangkali timbul rasa keakuan, kesombongan, iri hati, pikiran buruk, angan-angan dan sebagainya. Lintasan-lintasan hati tersebut harus senantiasa dipantau agar tidak menjadi penghalang dalam menempuh jalantersebut.

c.     Dialog Dengan Guru Sufi

Dalam dialog ini seorang guru sufi akan dapat mengetahui sejauh mana kemajuan spiritual seseorang. Dengan dialog ini seorang Guru Sufi akan dapat memberikan bimbingan supaya seseorang tidak terjerumus ke dalam tipuan-tipuan diri atau supaya seseorang mendapat keseimbangan pribadi. Bimbingan dan pelajaran seorang guru sufi biasanya diberikan secara tidak langsung, melainkan dalam bentuk kisah-kisah simbolik. Seorang penempuh jalan akan dapat menemukan hikmah di balik kisah-kisah tersebut secara intuitif. Metode seperti ini tidak hanya berpengaruh pada segi kognitid saja, tetapi juga efektif dan behavioral.

d.    Interpretasi Mimpi

Dalam menempuh perjalanan dalam sufisme, sering orang mendapatkan mimpi-mimpi yang mempunyai makna spiritual dan berkaitan dengan kondisi rohaninya. Mimpi-mimpi tersebut pada umumnya kemudian dikonsultasikan secara pribadi dengan gurunya. Seorang guru akan segera memahami makna simbolis dari mimpi tersebut. Berdasarkan mimpi itu pula guru sufi memberikan bimbingan untuk perkembangan rohani murid tersebut.

e.     Terapi Lewat Pembalikan

Menurut Ajmal (1989) tekhnik ini digunakan para sufi untuk mengatasi gangguan emosional yang disebabkan rasa iri hati atau benci. Asumsi yang mendasari tekhnik ini adalah bahwa manusia memiliki potensi untuk mencintai dan memperhatikan orang lain. Potensi ini harus ditumbuhkan dalam kesadaran. Oleh karena itu kalau ada orang membenci orang lain, maka disarankan supaya dia berbicara dengan penuh kasih sayang pada orang yang dibenci.

f.     Terapi Lewat Penyamaan

Tujuan terapi ini adalah memberikan wawasan kepada murid sufi bahwa penderitaan atau gangguan yang dialaminya, misalnya cemas, gelisah, depresi juga banyak dialami oleh orang lain. Contoh-contoh yang diberikan oleh seorang guru sufi itu akan dapat membantu murid untuk menghilangkan perasaan-perasaan negatif yang dialami dan menghilangkan rasa terisolasi.

Masih banyak metode-metode yang dikembangkan dalam sufisme dalam upaya mewujudkan integritas pribadi dan peningkatan derajat nafs seseorang. Tekhnik-tekhnik tersebut tentunya perlu dikaji secara serius agar dapat memberikan sumbangan pada berbagai bidang Psikologi Islami.

  



RESUME PSIKOLOGI ISLAMI
ARSIP TUGAS



0 Comments:

Post a Comment