Banyak orang (NU) tidak tahu, atau
belum tahu, apakah para pemrakarsa “kembali kepada khiththah tahun 1926
juga memikirkan arti sesungguhnya “lafal” khiththah itu sendiri. Saya tak
pernah dengar sangkalan atas orang yang mengartikannya dengan “Garis
Perjuangan “, “Langkah Mula”, “Pedoman Dasar”, atau apa saja. Atau lafal
itu sebuah istila. Ya, tapi untuk mengistilahkan apa. Yang jelas khiththah
itu dari bahasa asing (Arab).
Dalam Al’allamah Majduddin Muhammad
ibn Ya’qub Alfairuzabadi dalam Alqamus Almuhith, hlm, 858 (Mussasah
Arrisalah, Beirut, Cetakan ke-2 th. 1407 H / 1987 M).
Al-khaththu
: jalan memanjang pada kawasan tertentu, atau jalan ringan dalam kemudahan,
jamaknya khuthuth dan akhthath, garisan dengan pena atau lainnya dan makan
sedikit seperti tahkhith, jalan dan pedang. Dan alkhaththu juga nama tempat
di Yaman, sebuah dermaga di Bahrain. Alkhiththu
adalah salah satu gunung kasar besar di Mekkah. Juga alkhiththu (dengan
kasrahnya “kha”) adalah tanah yang terkena hujan, lahan yang kamu tempati
dan belum pernah ditempati orang lain, demikian pula alkhithah. Dan
setersunya.
Boleh jadi khiththah adalah masdar
hai-ah dari fi’il madli “khaththa” yang
kemudian bisa diartikan sikap berjalan lurus. Hai-atil khaththi. Khiththah
– dalam koran sering ditulis “khitah” lantas diartikan sebagai garis /
langkah perjuangan – taruh saja – ada kemiripan yang “dimaafkan”. Katakan
saja salah kaprah yang kita sepakati sebagai istilah atau pemberian nama
Keputusan Mukhtamar ke-27 NU, bagi kiprah Nahdlatul Ulama dan warganya
berhadapan dengan perubahan sistem, konstalansi, posisi, furshah, struktur
politik di negeri ini.
Namun yang paling berat timbangannya
adalah prediksi transformasi sosial
hubungan dengan eksistensi NU yang – maunya – masih terus diperhitungkan di
masa yang akan datang oleh semua pihak. Pergeseran yang niscaya itu sudah
diperkirakan sejak tahun 1979, yakni dampak pembangunan yang semakin laju.
Saya mengira kebesaran NU itu diakui
banyak pihak. Tapi saya mengira dan merasa NU sedang kehilangan
kekuatannya, sehingga kebesarannya pun tak tercermin. Atau orang boleh saja
mengatakan bahwa NU itu besar ngglembohi. Mukhtamar ke-27 di Situbondo
seakan yakin dengan “kembali” ke akar dengan berdirinya NU, yang terkenal
dengan semboyan “Dengan kembali ke khiththah 1926, NU akan mampu mengangkat
dirinya menjadi yang di-“dengar”, di-“Ikutkan”,
di-“butuhkan” dan di-“libatkan”
di setiap saat. Sampai-sampai NU menyediakan diri menanggung risiko sebagai
yang mem”perkaya” firqah dan sulit menghindarkan saling su-udhdhon diantara
kepentingan – kepentingan. Penjabaran dari Khiththah 1926 hasil Muktamar
1984 itu, sungguh menjanjikan. Dengan alat itu potensi NU akan dikembangkan.
Dan pada gilirannya NU menjelma menjadi “kekuatan” bangsa yang dahsyat.
Setelah Muktamar 1984, pelbagai lembaga dan lajnah dibentuk sebagai
kepanjangan gapai Jami’iyyah. Mulai dari Lembaga Pencak Silat sampai
Lembaga Dakwah. Mulai dari Lajnah Pengembangan Bahasa Arab sampai Lajnah
Taklif wan Nasyr. Hanya saja para petinggi tidak atau belum merasa perlu
membetulkan Lajnah Siyasiyah. Padahal perpolitikan juga termuat dalam
deretan “indah” penjabaran khiththah 1926 itu. Padahal—kemungkinan
besar—dengan terbentuk dan bekerja efektifnya Lajnah Siyahsiyah itu,
orang-orang NU yang di mana-mana tidak terjebak ke dalam posisi “tidak tahu
harus berbuat apa”. Padahal warga NU belum bisa –secara fitraf—menghapus
tuntas seluruh kerak-kerak perpolitikan yang selama ini digeluti. Padahal
pemeo NU, yang kemudian ditegaskan kembali dalam Muktamar ke-27 di
Situbondo, adalah “Almuhafadhatu bil Qadimishsali wal ahdzu bil Jadidil
Ashlah”. Padahal pengejawantahan akhlaqul karimah dalam berpolitik itu yang
bagaimana, para politis NU –barang kali—belum pernah tahu bentuk wadag-nya,
apalagi menampilkannya, seperti halnya, misalnya. Almaghfur lahum KH. Abdul
Wahhab Hasbulloh, KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Bisri Sansuri, dan lain-lain
tampil. Akibatnya jelas, ada kesan menonjol: para elite politik NU hanyalah
mengejar kedudukan dan status belaka. Lalu tidak lagi populer.
Khiththah –makna aslinya “kawasan
tanpa hujan”—yang kemudian diterjemahkan garis perjuangan yang kemudian
menjadi istilah yang banyak disalah-kaprahkan itu, memang patut
diaktualisasikan secara lengkap dan benar. Dan yang sangat ditekankan
adalah keharusan menyerahkan penanganan garapan kepada ahlinya (idza
wussidal amru ila ghairi ahlihi fantadhiris sa’ah). Yang sepuluh tahun
berjalan itu, biarlah berlalu, ma madla fat, faqbal ma hua at. Saya kira NU
tidak akan memberikan pantatnya disengat kalajengking dari lubang satu dua
kali. La yuldaghul mukminu min juhrin wahidin marratan.
Ndilalah, kersaning Allah, pencanangan
kembali ke kiththah 1926 dibarengi kehendak Ahlil halli wal aqdi ( KHR.
As’ad Syamsul Arifin) menaruh keperdayaan pada cucu Hadratus Syaikh KH.
Hasyim Asy’ari, Abdurrahman bin Abdu (i) wahid bin Hasyim untuk
men-tahfidz-kan keputusan Muktamar ke-27, selaku Ketua Umum Tanfidziyah
PBNU. Gus Dur dengan memilih pendekatan “karep-karepmu kono”
berhasil mensyiarkan “khiththah 1926 NU” ke seluruh pelosok tanah air.
Tanpa PBNU harus menerjunkan tim khusus sosialisasi khiththah , resmi dari
aslinya, dia berkumandang dengan nyaringnya. Sayangnya Gus Dur jadi
kesepian.
Mestinya Gus Dur
tidak harus kesepian, sebab dia memiliki yang dihajatkan bagi khiththah.
Darah biru ke-NU-annya adalah potensi amat besar—secara kultural – untuk
“ngereh” siapa saja di kalangan Nahdliyyin. Nahdliyyin yang berhati putih
dan kental dan sehat hir-tin, masih cukup jumlahnya untuk menangani garapan
NU pascakhiththah.
Tapi yang kemudian terjadi adalah
sistem rekrutmen yang didasarkan atas kedekatan. Wallahu
a’lam. Yang demikian itu juga tidak dapat disalahgunakan benar,
karena bagaimana pun yang bernama manusia itu terminal ketidaksempurnaan.
Tempat ketidaktepatan dan kealpaan. Disamping memang isi dari sebuah wadah
akan mengikut saja ke mana wadah itu dibawa. Wadah yang mengangkutnya
adalah Nahdlatul al-Ulama (NU). Dhannu ba’dlil ‘ulama (dugaan sebagian
kiai) nahdlah itu masdar marrah dari nahadla yang artinya “sekali bangkit”.
Kalau sudah bangkit sekali ya sudah. Andaikata itu benar dhonn, ulama dan
hadis Qudsy menyatakan “Ana ‘indadhoni ‘abdi bii,
kita tidak perlu heran manakala Muktamar sebagai saat “bangkit” ialah
nahdlah-nya NU, setelah itu selesai dan pascanya hanya “berita”. Begitu
pula Munas dan Konbes-nya adalah saat-saat bangkit. Hanya bangkit.
Sementara terdapat usul bagus pada
Muktamar ke-29 serentak, para kiai yang bergabung dalam Syuriah di semua
tingkatan mengubah “dhonn”. Tidak menganggap “Ta” nya nahdloh sebagai “ta
marrah” tetapi sebagai “ta mubalaghah”, ta yang berarti “penyangatan”.
Sebagaimana ta-nya “faridla dalam hadis “thalabul
‘ilmifaridlatun” ‘ala kulli muslim”. Dengan demikian
transparasi NU menjadi nyata. Selama ini Nahdlatul Ulama laksana “dlomir” –
menurut masyarakat pesantren, dlomir
adalah “ngibarat dari sesuatu yang samar tetapi nyata, nyata tetapi samar”.
Atau mengungkapkan sesuatu yang nyata tetapi sebenarnya resah. Namun
penampilannya di permukaan terkesan sangat ceria.
NU yang sebenarnya menanggung beban
moral ke-ahlussunnah wal jama’ah-an dan kemasyarakatan yang sangat berat,
tetapi tampil dengan senyum segar dan tawa renyah. Geger-gember tetapi
tidak ada apa-apanya. Sarat dengan muatan berbobot, namun tenang-tenang
saja. Itulah NU.
Wallahu a’lam
|