KHITHTHAH DAN MUKHTAMAR NU




KHITHTHAH
DAN MUKHTAMAR NU KE-29




     Banyak orang (NU) tidak tahu, atau belum tahu, apakah para pemrakarsa “kembali kepada khiththah tahun 1926 juga memikirkan arti sesungguhnya “lafal” khiththah itu sendiri. Saya tak pernah dengar sangkalan atas orang yang mengartikannya dengan “Garis Perjuangan “, “Langkah Mula”, “Pedoman Dasar”, atau apa saja. Atau lafal itu sebuah istila. Ya, tapi untuk mengistilahkan apa. Yang jelas khiththah itu dari bahasa asing (Arab).

     Dalam Al’allamah Majduddin Muhammad ibn Ya’qub Alfairuzabadi dalam Alqamus Almuhith, hlm, 858 (Mussasah Arrisalah, Beirut, Cetakan ke-2 th. 1407 H / 1987 M).

     Al-khaththu : jalan memanjang pada kawasan tertentu, atau jalan ringan dalam kemudahan, jamaknya khuthuth dan akhthath, garisan dengan pena atau lainnya dan makan sedikit seperti tahkhith, jalan dan pedang. Dan alkhaththu juga nama tempat di Yaman, sebuah dermaga di Bahrain. Alkhiththu adalah salah satu gunung kasar besar di Mekkah. Juga alkhiththu (dengan kasrahnya “kha”) adalah tanah yang terkena hujan, lahan yang kamu tempati dan belum pernah ditempati orang lain, demikian pula alkhithah. Dan setersunya.

     Boleh jadi khiththah adalah masdar hai-ah dari fi’il madli “khaththa” yang kemudian bisa diartikan sikap berjalan lurus. Hai-atil khaththi. Khiththah – dalam koran sering ditulis “khitah” lantas diartikan sebagai garis / langkah perjuangan – taruh saja – ada kemiripan yang “dimaafkan”. Katakan saja salah kaprah yang kita sepakati sebagai istilah atau pemberian nama Keputusan Mukhtamar ke-27 NU, bagi kiprah Nahdlatul Ulama dan warganya berhadapan dengan perubahan sistem, konstalansi, posisi, furshah, struktur politik di negeri ini.

     Namun yang paling berat timbangannya adalah  prediksi transformasi sosial hubungan dengan eksistensi NU yang – maunya – masih terus diperhitungkan di masa yang akan datang oleh semua pihak. Pergeseran yang niscaya itu sudah diperkirakan sejak tahun 1979, yakni dampak pembangunan yang semakin laju.

     Saya mengira kebesaran NU itu diakui banyak pihak. Tapi saya mengira dan merasa NU sedang kehilangan kekuatannya, sehingga kebesarannya pun tak tercermin. Atau orang boleh saja mengatakan bahwa NU itu besar ngglembohi. Mukhtamar ke-27 di Situbondo seakan yakin dengan “kembali” ke akar dengan berdirinya NU, yang terkenal dengan semboyan “Dengan kembali ke khiththah 1926, NU akan mampu mengangkat dirinya menjadi yang di-“dengar”, di-“Ikutkan”, di-“butuhkan” dan di-“libatkan” di setiap saat. Sampai-sampai NU menyediakan diri menanggung risiko sebagai yang mem”perkaya” firqah dan sulit menghindarkan saling su-udhdhon diantara kepentingan – kepentingan. Penjabaran dari Khiththah 1926 hasil Muktamar 1984 itu, sungguh menjanjikan. Dengan alat itu potensi NU akan dikembangkan. Dan pada gilirannya NU menjelma menjadi “kekuatan” bangsa yang dahsyat. Setelah Muktamar 1984, pelbagai lembaga dan lajnah dibentuk sebagai kepanjangan gapai Jami’iyyah. Mulai dari Lembaga Pencak Silat sampai Lembaga Dakwah. Mulai dari Lajnah Pengembangan Bahasa Arab sampai Lajnah Taklif wan Nasyr. Hanya saja para petinggi tidak atau belum merasa perlu membetulkan Lajnah Siyasiyah. Padahal perpolitikan juga termuat dalam deretan “indah” penjabaran khiththah 1926 itu. Padahal—kemungkinan besar—dengan terbentuk dan bekerja efektifnya Lajnah Siyahsiyah itu, orang-orang NU yang di mana-mana tidak terjebak ke dalam posisi “tidak tahu harus berbuat apa”. Padahal warga NU belum bisa –secara fitraf—menghapus tuntas seluruh kerak-kerak perpolitikan yang selama ini digeluti. Padahal pemeo NU, yang kemudian ditegaskan kembali dalam Muktamar ke-27 di Situbondo, adalah “Almuhafadhatu bil Qadimishsali wal ahdzu bil Jadidil Ashlah”. Padahal pengejawantahan akhlaqul karimah dalam berpolitik itu yang bagaimana, para politis NU –barang kali—belum pernah tahu bentuk wadag-nya, apalagi menampilkannya, seperti halnya, misalnya. Almaghfur lahum KH. Abdul Wahhab Hasbulloh, KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Bisri Sansuri, dan lain-lain tampil. Akibatnya jelas, ada kesan menonjol: para elite politik NU hanyalah mengejar kedudukan dan status belaka. Lalu tidak lagi populer.

     Khiththah –makna aslinya “kawasan tanpa hujan”—yang kemudian diterjemahkan garis perjuangan yang kemudian menjadi istilah yang banyak disalah-kaprahkan itu, memang patut diaktualisasikan secara lengkap dan benar. Dan yang sangat ditekankan adalah keharusan menyerahkan penanganan garapan kepada ahlinya (idza wussidal amru ila ghairi ahlihi fantadhiris sa’ah). Yang sepuluh tahun berjalan itu, biarlah berlalu, ma madla fat, faqbal ma hua at. Saya kira NU tidak akan memberikan pantatnya disengat kalajengking dari lubang satu dua kali. La yuldaghul mukminu min juhrin wahidin marratan.

     Ndilalah, kersaning Allah, pencanangan kembali ke kiththah 1926 dibarengi kehendak Ahlil halli wal aqdi ( KHR. As’ad Syamsul Arifin) menaruh keperdayaan pada cucu Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, Abdurrahman bin Abdu (i) wahid bin Hasyim untuk men-tahfidz-kan keputusan Muktamar ke-27, selaku Ketua Umum Tanfidziyah PBNU. Gus Dur dengan memilih pendekatan “karep-karepmu kono” berhasil mensyiarkan “khiththah 1926 NU” ke seluruh pelosok tanah air. Tanpa PBNU harus menerjunkan tim khusus sosialisasi khiththah , resmi dari aslinya, dia berkumandang dengan nyaringnya. Sayangnya Gus Dur jadi kesepian.

Mestinya Gus Dur tidak harus kesepian, sebab dia memiliki yang dihajatkan bagi khiththah. Darah biru ke-NU-annya adalah potensi amat besar—secara kultural – untuk “ngereh” siapa saja di kalangan Nahdliyyin. Nahdliyyin yang berhati putih dan kental dan sehat hir-tin, masih cukup jumlahnya untuk menangani garapan NU pascakhiththah.

     Tapi yang kemudian terjadi adalah sistem rekrutmen yang didasarkan atas kedekatan. Wallahu a’lam. Yang demikian itu juga tidak dapat disalahgunakan benar, karena bagaimana pun yang bernama manusia itu terminal ketidaksempurnaan. Tempat ketidaktepatan dan kealpaan. Disamping memang isi dari sebuah wadah akan mengikut saja ke mana wadah itu dibawa. Wadah yang mengangkutnya adalah Nahdlatul al-Ulama (NU). Dhannu ba’dlil ‘ulama (dugaan sebagian kiai) nahdlah itu masdar marrah dari nahadla yang artinya “sekali bangkit”. Kalau sudah bangkit sekali ya sudah. Andaikata itu benar dhonn, ulama dan hadis Qudsy menyatakan “Ana ‘indadhoni ‘abdi bii, kita tidak perlu heran manakala Muktamar sebagai saat “bangkit” ialah nahdlah-nya NU, setelah itu selesai dan pascanya hanya “berita”. Begitu pula Munas dan Konbes-nya adalah saat-saat bangkit. Hanya bangkit.

     Sementara terdapat usul bagus pada Muktamar ke-29 serentak, para kiai yang bergabung dalam Syuriah di semua tingkatan mengubah “dhonn”. Tidak menganggap “Ta” nya nahdloh sebagai “ta marrah” tetapi sebagai “ta mubalaghah”, ta yang berarti “penyangatan”. Sebagaimana ta-nya “faridla dalam hadis “thalabul ‘ilmifaridlatun‘ala kulli muslim”. Dengan demikian transparasi NU menjadi nyata. Selama ini Nahdlatul Ulama laksana “dlomir” – menurut masyarakat  pesantren, dlomir adalah “ngibarat dari sesuatu yang samar tetapi nyata, nyata tetapi samar”. Atau mengungkapkan sesuatu yang nyata tetapi sebenarnya resah. Namun penampilannya di permukaan terkesan sangat ceria.

     NU yang sebenarnya menanggung beban moral ke-ahlussunnah wal jama’ah-an dan kemasyarakatan yang sangat berat, tetapi tampil dengan senyum segar dan tawa renyah. Geger-gember tetapi tidak ada apa-apanya. Sarat dengan muatan berbobot, namun tenang-tenang saja. Itulah NU.

Wallahu a’lam
  



JELAJAH PUSTAKA LEPAS
KAJIAN KRITIS BY : KHM. CHOLIL BISRI
DALAM KETIKA NURANI BICARA HALAMAN 129

0 Comments:

Post a Comment