PENGANTAR
Kiai Asy’ad merupakan kiai
desa yang popularitasnya telah membelah semesta Indonesia. Sekalipun
tinggal di dusun, tepatnya dusun sukorejo Asembagus Situbondo, resonansi
Kia As’ad kerap menggelar di langit-langit percaturan nasiomal. Misalnya
tatkala kebanyakan tokoh Islam menolak Pancasila, Kia As’ad bersama dengan
tokoh-tokoh NU yang lain, seperti Kia Ahmad Shiddiq dan Ali Maksum, dengan
lantang tampil sebagai penerima utama Pancasila sebagai satu-satunya azaz.
Ketika sejumlah tokoh Islam mengutip argumen normatif atas penolakannya
terhadap Pancasila, dengan tegas Kia As’ad mengatakan bahwa secara Substantif Pancasila tidak bertentangan
dengan nilai-nilai al - Qur’an dan al-Sunnah. Walaupun tidak eksplisit kata
al-Qur’an dan as-Sunnah tidak tercantum dalam sila-sila Pancasila,
ajaran-ajaran fundamental Islam telah terpatri di sana.
Atas sikap dan pendiriannya
itu, Kia As’ad menuai berbagai kritik keras dari beberapa tokoh Islam.
Berpuluh-puluh surat kaleng yang berisi cercaan, kecaman dan hinaan
terhadap diri Kiai As’ad mengalir dengan deras ke rumah kediamannya. Bahkan
kiai As’ad pernah mendapatkan ancaman pembunuhan dari beberapa orang yang
mengklaim sebagai pejuang dan pembela Islam. Singkat kata kiai As’ad telah
mengorbankan nyawa atas Pancasila sebagai ideologi nasional dan
satu-satunya asas di Indonesia. Terhadap semuanya itu, kia As’ad
menanggapinya dengan senyuman ramah sembari mengatakan bahwa kesabaran
adalah persyuaratan mutlak yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin.
Dalam konteks ke-NU-an, Kia
As’ad merupakan satu-satunya orang yang ditunjuk oleh Mukhtamar NU ke-2
untuk menyusun ahlu al-halli wa al-‘aqdi untuk selanjutnya membentuk
kepengurusan PBNU setelah NU ke kembali ke Khittah 26, di mana Abdurrahman
Wahid menjabat Ketua Umum PBNU pertama kalinya. Ia juga bersama para ulama
sesepuh seperti, KH. Ali Maksum, KH Mahrus Ali, dan KH. Achmad Siddiq,
dikenal sebagai andalan untuk melerai kemelut yang melilit tubuh NU saat
itu.
Penerimaan NU atas Pancasila
sebagai satu-satunya asas sebelum ditetapkannya UU Ke-ormas-an, yang
dikukuhkan oleh Munas NU di Pesantren Sukorejo, pasti tidak bisa dipisahkan
dari pengaruh Kiai As’ad. Bahkan tekad NU untuk kembali ke khittah 26
agaknya tidak luput dari peran yang dimainkannya bersama kiai-kiai yang
lain. Kia As’ad juga termasuk Pengasuh Pondok Pesantren yang tergolong
besar di Jawa Timur. Pesantren salafiyah Syafi’iyah yang diwariskan oleh
ayahhandanya. Kia Samsul Arifin, di tangan Kia As’ad telah berkembang
dengan pesat. Ribuan santri dari penjuru Nusantara, bahkan hingga dari
manca negara seperti,Malaysia, Brunai dan Makkah belajar di pesantren
asuhan Kiai As’ad.
Kiai As’ad memang tipe ulama
kharismatik. Pengaruh dan wibawanya tidak hanya terbatas pada satntrinya
saja, tetapi juga merambah sampai ke level masyarakat bawah, terutama di
Jawa Timur dan Pulau Madura. Waktu hidupnya, setiap hari di kediamannya
tidak pernah sepi dari kunjungannya para tamu dari pelbagai lapisan sosial
masyarakat, mulai dari rakyat bawah ( grass root ) hingga para pejabat
tinggi dan tertinggi negara, mulai dari ujung barat Indonesia sampai ujung
timur Indonesia.
Dengan peran-perannya, maka
wajar jika memori kolektif umat Islam Indonesia, terlebih warga NU, sanagt
lekat dengan nama Kia As’ad Syamsul Arifi, seorangf ulama dari Jawa Timur
atau tepatnya dari Sukorejo Asembagus Situbondo Jawa Timur. Akan tetapi
meskipun nama Kiai As’ad telah tersohor, ia tetap tampil dengan penuh
kesederhanaan, tidak hidup mewah. Pakainnya serba putih dan rumahnya yang
beratapkann rumbia adalah bukti kuat perihal kebersahajaannya ini. Kia
As’ad dikenal sebagai kiai yang Zahid dan Wari’. Ia seorang wali yang
memiliki kemampuan ksyf yang tinggi.
BIOGRAFI SOASIAL INTELEKTUAL
Kiai As’ad Syamsul Arifin
dilahirkan pada tahun 1897 M /1315 H di Syi’ib Ali, Makkah dari pasangan
suami istri Raden Ibrahim dan Siti Maemunah. Ketika As’ad lahir, oleh
ayahnya langsung dipeluk dan dibawa menuju Ka’bah. Jarak antara Syi’ib Ali
dan Ka’bah memang tidak terlalu jauh sekitar 200 meter. Di sisi Baitullah
itulah, sang ayah membisikkan kalimat azan dan kemudian memberinya nama
bayi laki-laki itu dengan As’ad.
Berkaitan dengan nama As’ad
tersebut terdapat suatu anekdot yang menarik. Al kisah, pemberian nama
As’ad itu justru karena mimpi Raden Ibrahim tatkala sang istri ( Siti
Maemunah ) sedang hamil tua. Konon, Raden Ibrahim bermimpi melihat
kandungan istrinya membesar lalu melahirkan bayi berbulu macan seperti bulu
singa. Di kedua bahunya tertulis kata Arab, asad, yang berarti juga singa.
Karena itu tatkala sang bayi lahir, serta merta Raden Ibrahim memasukkan
kata asad dalam namanya. Dus, jadilah nama bayi itu As’ad yang jika dibaca
tanpa tanda petik, menjadi asad yang bermakna singa. Asad juga memiliki
nasab sampai ke Nabi Muhammad saw dan mempunyai hubungan darah dengan para
wali penyebar Islam di Jawa, seperti Sunan Drajat dan Sunan Ampel.
Sedangkan gelar Raden di depan namanya memang disematkan bagi
anggota-anggota sebagian keluarga terpandang ( aristokrat ), sebagai salah
satu penghormatan.
Tatkala berusia 13 tahun,
As’ad mondok di Banyuanyar di bawah asuhan Kiai Abdul Majid dan KH. Abdul
Hamid. Setelah ikut membantu ayahnya mendirikan pondok pesantren Sukorejo.
Ketia usia 16 tahun ayahnya mengirim As’ad ke Makkah untuk memperdalam ilmu
agama di sana. Ia masuk di madrasah sholawatiyah. Disamping belajar di
madrasah, ia juga berguru kepada kepada Sayyid Abbas al Maliki, Syekh Hasan
al-Yamini, Syekh Hasan al-Massad, Syekh Bakir, dan Syekh Syarif
al-Syinqithi. Sedang teman seangkatan saat itu adalah, KH. Zaini Mun’im,
KH. AhmadToha, KH. Baidlawi Banyuanyar Pamekasan.
Setelah beberapa tahun
belajar di Makkah, pada tahun 1924 ( kala itu As’ad berusia 25 tahun ) ia
kembali ke Tanah Air. Meski telah bertahun-tahun belajar di Makkah, Kia
As’ad merasa belum cukup ilmu untuk membantu mengajar di pondok. Karena itu
setibanya di tanah air, As’ad kembali melakukan perjalanan keilmuan ke pesantren –
pesantren lain, untuk belajar pada beberapa kiai. Dengan cara ini As’ad
bukan hanya dapat memperkaya ilmunya sendiri dan sekaligus pengalaman
hidupnya, tetapi bahkan memungkinkan terjadinya proses pertukaran keilmuan,
yang pada gilirannya mendorong terjadinya pengayaan dunia keilmuan di
lingkungan pesantren secara keseluruhan. Dalam sejarahnya paling tidak
As’ad pernah belajar sekurang-kurangnya di lima Pondok Pesantren, yakni
pertama, Pesantren Sidogiri, Pasuruan / KH. Nawawi, Kedua, Pesantren
Siwalan Panji Buduran Sidoarjo / KH. Khazin, Ketiga Pesantren Nuqayah
Guluk-Guluk Sumenep, Keempat, Pesantren Kademangan / Kiai Muhammad Cholil
Bangkalan, Kelima, Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng / KH. Hasyim
Asy’ari.
Di Pesantren Tebuireng
itulah, Kiai As’ad memperoleh kesan mendalam sebagai seorang santri.
Menurutnya, Tebuireng merupakan pesantren yang paling berpengaruh bagi
pembentukan kepribadiannya. Bahkan setiap kali menyinggung Pesantren
Tebuireng ia senantiasa menyebut KH. Hasyim Asy’ari sebagai guru terakhir
yang paling banyak membentuk wataknya. Di pesantren inilah As’ad bertemu
dengan pemuda-pemuda yang kelak menjadi tokoh dan pendiri pesantren,
seperti KH. Wahab Hasbullah. Pengasuh pesantren Tambak Beras Jombang, KH.
Manaf Abdul Karim, Lirboyo Kediri, KH. Abbas, Pesantren Buntet Cirebon.
Dari teropong
intelektualitasnya, kia As’ad telah menulis karya-karya yang sebagian
besarnya adalah bidang tasawuf dan beberapa bidang fiqih. Sekalipun As’ad
lama belajar di makkah, namun kitab-kitab yang disusun semuanya menggunkan
bahasa lokal yakni bahasa madura, karena ia paham pembaca kitabnya, serta
agar ide-ide yang tepat sasaran dan mudah dimengerti, karna sebagian besar
santri dari kepulauan Madura.
AKTIF MENGAJAR DI PESANTREN
Tepat pada tahun 1938, As’ad
mulai mengajar di Pondok Pesantren Sukorejo. Materi yang diajarkan kepada
para santri Sukorejo adalah ilmu tauhid elementer yang dikenal dengan
akidah al-“awam karangan Ahmad al-marzuqi al-Maliki al-Makki. Dalam
pelajaran Fiqih menggunkan kitab Sullam al-Tawfiq karya Abdullah ibn Husain
ibn Thashir Ba’alwi ( w. 1272 H / 1855 M ) dan Safinah al-Najah karya Salim
ibn Abdullah ibn Samir, seorang ulama Hadramani yang tinggal di Batavia
pada pertengahan abad ke- 19.
Tahun berikutnya 1939, As’ad
menambah lagi materi pelajaran beberapa kitab antara lain, al-Izzi (
al-Tashrif li al-Izzi karangan Izzudin Ibrahim al_zanzani ) dan
al_ajrumiyah ( Karangan Abu Abdillah Muhammad ibn Daud al-Shanhaji ibn
Ajurrum, wafat 723 H, lengkap dengan Amtsilah tashrifiyah ( al Amtsilah
al-Tashrifiyah li-al Madaris al_Salafiyah, karya pengarang Jawa Muhammad
Ma’shum ibn Ali dari Jombang. Materi ini selalu dibaca setelah shalat
Isya’. Sedangkan Kitab Tasawuf, Bidayah al-Hidayah ( ringkasan kitab Ihya
‘Ulumuddin ) karya al Ghazali 9 w 1111 H, dan buku Fiqih al-Taqrib fiy
al-Fiqh, kifayah al-Akhyar karya al-Dimasyqi ( w. 829 H ), biasa dibaca
setiap habis subuh.
Selain kitab-kitab di atas
kia As’ad juga mewajibkan untuk membaca Burdah, Diba’i atau Barzanji karya
Bushayri secara berjama’ah setiap Kamis ( malam Jum’at ) di masjid atau di
mushalla. Barzanji dan teks-teks serupa lainnya seperti Rawatib al-Haddad,
juga dibaca pada peristiwa-peristiwa tertentu dalam berbagai ritual yang
mengiringi siklus kelahiran seseorang, dan untuk menangkal bahaya ( tolak
bala’ ).
Seperti lazimnya pondok
Pesantren salaf yang banyak memfokuskan orientasi keilmuannya pada hafalan.
As’ad yang kala itu masih muda, energik dan kharismatik telah menggunakan
sistem pengajaran dengan cara hafalan, di mana pelaksanaan hafalan itu dilakukan
dengan cukup serius dan ketat. Bagi santri yang telah diberi longgar waktu
tidak memenuhi tugas dan tidak menguasai hafalan yang ditetapkan kiai maka
harus menerima sanksi hukuman yang berat dari kiai As’ad muda.
Kegiatan belajar mengajar saat
itu masih sangat sederhana, sebab dilakukan di serambi masjid tanpa tempat
duduk dan papan tulis, dan para santri berpakaian khas Jawa ( pakai
blangkon ), dan sistem klasikal hanya sampai di kelas IV. Selanjutnya,
sejak tahun 1950-an, kia As’ad mulai memberikan Tafsir Alqur’an untuk
mengkaji Kitab Tafsir al-Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuthi dan
Jalaluddin al-Mahalli, khusus pada bulan Ramadlan hanya dibaca selama 20
hari. Seperti pada pesantren yang ada saat itu, sistem pendidikan yang
diterapkan adalah sorogan, wetonan dan bandongan. Baru setelah sistem
pengajaran melanda banyak pesantren, pengajaran di Pesantren Sukorejo juga
berubah menjadi klasikal dengan ditandai berdirinya lembaga lembaga
pendidikan formal yang berjenjangan dari tingkat MI, MTs hingga Madrasah
Aliyah.
Pada tahun 1951, KH. As’ad
meninggal dunia. Kia As’ad sebagai putra sulung, langsung menggantikan
posisi ayahnya sebagai pengasuh. Semenjak itu Kiai As’ad memfokuskan
perhatiannya ke pesantren, kendatipun sesungguhnya mulai tahun 1925 sudah
terlibat ikut mengurusinya. Selama masa kepemimpinannya, banyak pihak
mengakui keberhasilan Kiai As’ad di dalam mengembangkan dan memajukan
pesantren tersebut. Pertama, tepat pada 14 Maret 1968 M / 13 Dzulhijjah
1388 H, Kiai As’ad mendirikan sebuah Universitas, UNNIB ( Universitas
Nahdlatul Ulama Ibrahimy ) dengan
satu fakultas Syari’ah, yang kemudian dalam perkembangannya berubah status
menjadi Institut dengan tiga Fakultas, Syari’ah, Tabiyah dan Dakwah.dan
SMEA Ibrahimy. Kedua, pada tahun 1980 kia As’ad mendirikan SD Ibrahimy, SMP
Ibrahimy, SMA Ibrahimy dan SMEA Ibrahimy. Dengan demikian pesantren
menggunakan dua kurikulum secara sekaligus yakni kurikulumpesantren dan
kurikulum pemerintah ( Dinas – Depag )
Dua tahun sebelum wafat,
Kiai As’ad secara berturut-turut mendirikan dua lembaga pendidikan :
1. Madrasah al-Qur’an,
diperuntukkan bagi yang ingin menghafal al-Qur’an
2. Al Ma’had al-Aliy li
al-‘Ulum al-Islamiyah Syu,bah al-Fiqh, khusus bagi mereka yang ingin
memahami dan memperdalam Fiqih dan Ushul Fiqih. Lembaga yang terakhir ini
didirikan ketika terjadi kekhawatiran tentang terjadinya kelangkaan ulama
fuqaha, yang mampu merespon persoalan-persoalan zaman yang cenderung
semakin kompleks.
Lembaga yang terakhir ini menjadi fokus perhatian Kia As’ad sampai
akhir hayatnya. Seminggu sebelum Kiai As’ad wafat, ia masih sempat
menitipkan kelangsungan lembaga tersebut kepada Prof. KH. Ali Yafie, Dr.
Fahmi, Saifuddin, MPH. Kia Kharismatik ini meninggal pada 4 Agustus 1990,
di kediamannya Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo
Jawa Timur.
Kiai As’ad dikenal sangat
memahami berbagai kitab kuning, minimal dalam empat bidang ilmu, yaitu Ilmu
Alat ( nahwu, sharaf, dan balaghah ), lmu Tauhid, Ilmu Tafsir dan Ilmu
Fiqih. Untuk dapat memahami corak pemikiran beliau trdapat dua hal yang
harus dilakukan. Pertama, dengan menyimak pesan-pesannya yag disampaikan
dalam berbagai forum, yang didokumentasikan melalui audio / kaset. Kedua dengan
membaca beberapa buah karya beliau, baik dalam bidang fiqih atau pun dalam
bidang tasawuf.
Dalam paham keagamaan,
pikiran yang paling mendasar dari kiai As’ad adalah pembelaannya terhadap
cara beragama dengan sistem madzhab. Inilah pandangan yang erat kaitannya
dengan sikap beragama dari mayoritas kaum muslim yang selama ini disebut
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Paham bermadzhab ini timbul sebagai upaya
untuk memahami ajran al-Qur’an dan al-Sunnah secara benar. Sebab dalam
sejarhnya, berbagai upaya pemahaman terhadap dua sumber utama ajaran Islam
itu sering menimbulkan perselisihan pendapat.
Bahkan, setelah Rasulullah
wafat perselisihan itu sudah mulai meruncing. Tapatnya, sesudah kekuasaan
tasyri’ dikendalikan oleh para sahabat, perselisihan itu timbul dan tidak mungkin
lagi dihindarkan. Perselisihan ini kemudian melahirkan para pemikir besar (
mujtahid ) dalam bidang keagamaan. Karena jumlah mujtahid itu sangat banyak
dan pikiran mereka tidak mudah dirumuskan secara sederhana, maka kiai As’ad
menyimpulkan untuk mengikuti madzhab yang empat.
Menurut Kiai As’ad,
sebenarnya bukan hanya empat madzhab yang kita kenal. Ada banyak Madzhab
dan semuanya boleh diikuti seperti, Sufyan al-Tsauri, ishaq ibn Rawahah, dan
Dawud al-Zhahiri, dengan satu catatan tidak mengikuti pendapat-pendapat
mereka yang tertuang dalam literatur namun tidak terkodifikasi dengan baik
atau dengan kata lain rantai pemikiran mereka terputus. Mengikuti pendapat
mereka dikhawatirkan menyimpang dari pendapat pendirinya karena tidak ada
pelestarian kodifikaisi tadi.
Bagi seorang muslim yang
mampu melakukan ijtihad, menurut Kia As’ad, diharamkan taklid. Namun bagi
mereka yang mau melakukan ijtihad berlaku syarat-syarat yang sangat ketat. Sementara
bagi yang tidak mampu melakukan ijtihad, silahkan bertalid kepada seorang
mujtahid atau alim. “ ... man qallada ‘aliman
laqiya saliman ...”
Pada spektrum yang lain, Kia
As’ad juga mendalami ilmu Tarekat. Menurut pendapatnya terdapat 40 tarekat
yang sudah dipelajari secara mendalam. Dari masing-masing aliran, Kia As’ad
mendapat ijazah ( izin ) untuk mengamalkan dan mengajarkannya sebagai
mursyid. Dari sekian banyak aliran tarekat , menurut Kia As’ad hanya ada dua aliranyang
musalsal ( mempunyai silsilah sampai kepada Nabi Muhammad ), yaitu tarekat
Naqsyabandiyah dan Qadiriyah. Kedua aliran tarekat inilah yang diamalkan
Kiai As’ad sampai wafat.
Pengamalannya terhadap
tarekat tersebut tercermin pada kehidupannya sehari-hari yang sufistik. Hidupnya
sangat sederhana. Ketika artikel ini dirilis, Mihrab mencatat dengan detail bahwa, Kia
As’ad tinggal di rumah sangat sederhana di lingkungan perumahan keluarga
pengasuh pesantren. Meskipun Kiai As’ad pimpinan tertinggi di pesantren
tersebut, rumahnya tampak lebih sederhana ketimbang rumah pengasuh
pesantren yang lain, bahkan bila dibanding dengan bangunan untuk para
santri sekalipun. Bahkan bangunan kamar-kamar santri yang cukup mewah dan
modern. Sementara rumah yang yang ditempati Kiai As’ad hanya bangunan semi
permanen dengan ukuran kurang lebih 3x6 meter. Singgasana Kiai As’ad
hanyalah amben yang dialasi tikar pandan dalam ruang dengan lantai dari
tanah. Di situlah Kiai As’ad menerima tamu dari yang pejabat sampai ke
petinggi negara sebagai ruang tamu dan ruang tidur. Pakaian kebesaran yang
dikenakan dalam segala situasi dan
kondisi pun tetap, terdiri atas baju piyama putih, sarung palekat putih,
kopiah putih dan sandal selop.
Kesederhanaan sudah menjadi
pilihan Kiai As’ad. Padahal beliau adalah seorang hartawan, kekayaannya
melimpah ruah. Usaha pertokoan di bidang bisnis di kota Situbondo dan
Asembagus terbilang sukses dan berskala besar. Belum lagi di kawasan wisata,
baik di Sitobondo maupun di Bali beliau memilki restoran yang cukup laris. Di
Makkah tempat ia menuntut ilmu, ia juga memiliki rumah berlantai tujuh,
yang setiap musim haji disewakan sebagai penginapan jemaah haji. Belum lagi
terhitung sawah, tambak dan perahunya di berbagai tempat sekitar Situbondo,
Jember, Bondowoso dan Banyuwangi.
Meski menganut tarekat yang
taat, ia tidak pernah mengajak santrinya untuk mempelajari dan mengamalkan
tarekat. Lebih-lebih mengajarkannya. Ia memandang bahwa tarekat memiliki
konsekuensi yang cukup berat. Bagi orang yang imannya belum kuat, ilmu
agamanya belum cukup luas, dan belum cukup usia, bisa tersesat dalam
kemusyrikan. Karena itu, dia
berpesan “ ... hati-hati mengikuti
tarekat ... “.
Dalam beberapa forum, baik
dengan para santrinya yang masih aktif maupun dengan para alumninya yang
sudah pulang, Kia As’ad sering menjelaskan bahwa tarekat yang paling baik
adalah Nahdlatul Ulama. Lebih jauh, ia berharap kepada para santrinya
tatkala sudah pulang ke kampung halamannya untuk menjadikan NU sebagai
tarekat perjuangannya. Tidak jarang, ia melarang para santrinya untuk
mengamalkan tarekat tertentu.
Walaupun Kiai As’ad adalah
seorang pengamal tarekat, ia tidak segan-segan untuk menyorot bidang
tarekat juga. Tarekat sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah jelas
tidak ditentang, namun tidak semua tarekat berjalan sesuai dengan tuntunan
syari’at, sehingga beliau senantiasa menjelaskan duduk persoalan baik dalam
deramah-ceramahnya maupun dalam berbagai kitab karyanya.
Salah satu tarekat yang
menjadi kritik Kiai As’ad adalah Tarekat Tijaniyah. Menurut analisis Martin
Van Bruinessen, Kia As’ad sedang gusar dan merasakan kemajuan tarekat
Tijaniyah sedang mengancam kekuasaannya sendiri, dan dia melawannya secara
berhadap-hadapan, dengan menggunakan seluruh pengaruh yang dapat ia
kerahkan. Kiai As’ad menemukan sebuah risalah anti Tijaniyah yang telah
memainkan peranan penting dalam polemik tahun 1920-an dan mencetaknya
kembali serta menyebarkannya secara luas, baik dalam bentuk aslinya yang
berbahasa Arab maupun terjemahan dalam bahasa madura.
Begitu juga Kiai As’ad seringkali
melancarkan kritik pedas terhadap modernisme yang memandang rasio sebagai
segalanya. Salah satu kritik tajam yang dilontarkan Kiai As’ad terhadap
manusia modern adalah mereka dinilai dilanda kehampaan spiritual. Kemajuan pesat
dalam bidang ilmu dan filsafat rasionalisme
sejak abad ke-18, yang diraskan tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok
manusia dalam aspek nilai-nilai transenden, satu kebutuhan vital yang hanya
bisa digali dari sumber wahyu illahi, banyak orang pandai, pinter dan
cerdas yang tidak bisa memperbaiki dirinya sendiri.
Sedangkan pada pemikiran
politik, kiai As’ad tampaknya sejalan dengan doktrin politik Sunni
sebagaimana yang dikembangkan oleh al-Mawardi dan al-Ghazali. Pada dasarnya
doktrin ini, adalah sangat akomodatif terhadap penguasa. Hal ini
dikarenakan doktrin ini dirumuskan posisi rakyat sangat lemah vis a vis penguas
( khalifah ), sehingga rakyat diminta untuk patuh dan taat terhadap
penguasa. Dengan pemahaman ini, kita dapat memaklumi mengapa, misalnya
beberapa tokoh NU termasuk Kiai As’ad dalam beberapa hal terkesan sangat
akomodatif terhadap pemerintah.
|