|
Pada
masa kecilnya Al Ghazali pernah mengenyam ilmu dari Ahmad bin Muhammad
ar-Radzkani di Tos. Kemudian dia berguru kepada Abu Nashr al-Isma’ili di
Jurjan. Setelah itu dia diriwayatkan, bahwa di tengah perjalanan menuju
Tos, dia bersama kawan-kawannya dihadang segerombolan penyamun. Para
penyamun itu merampas semua harta dan perbekalan mereka, tak ketinggalan
merampas karung milik Al Ghazali yang berisi buku-buku kebanggaannya yang
mengandung hikmah dan ma’rifat. Al Ghazali meratap dan memohon kepada
mereka agar karung itu dikembalikan kepadanya, karena dia sangat ingin
untuk mendalami ilmu-ilmu yang ada di dalam buku-buku itu. Para penyamun
itu pun merasa iba kepadanya, sehingga semua buku-buku yang ada dalam
karung itu dikembalikan semua.
Diriwayatkan
pula, bahwa setelah peristiwa itu ia giat dan terus menerus mempelajari
buku-bukunya. Dia menelaah dan menghafal pelbagai ilmu yang ada di
dalamnya, sampai dia merasa aman bahwa ilmu-ilmu tidak akan hilang.
Kemudian
Al Ghazli bermukim di Naisabur. Di sana ia berguru kepada salah seorang
pemuka agama masa itu, yaitu al-Juwaini, Imam Haramain,
yang wafat pada tahun 478 H. / 1085 M. Dari al-Juwaini ia menerima ilmu
Kalam, ilmu Ushul dan ilmu-ilmu agama lainnya.
Al
Ghazali menampakkan kecedasan dan kemampuannya yang mengagumkan dalam
berdebat. Sehingga Imam al-Juwaini menjulukinya dengan sebutan Bahrun Mughriq ( lautan yang
menenggelamkan ). Tatkala al-Juwaini meninggal dunia , Al Ghazali pun
meninggalkan Naisabur menuju kediaman seorang pembantu raja, yang menjadi menteri
Sultan Saljuk.
Diriwayatkan
juga bahwa Al Ghazali terlibat suatu perdebatan dengan beberapa orang ulama
dan ahli fikir di hadapan pembantu raja. Berkat kebijaksanaan, keluasan
ilmu, kejelasan di dalam memberikan argumentasi, akhirnya Al Ghazali dapat
memenangkan perdebatan. Pembantu raja merasa kagum atas kecerdasan dan
keluasan ilmunya, kemudian ia menyerahkan amanat kepadanya agar mengajar di
sekolah yang telah didirikan olehnya di Baghdad. Peristiwa ini terjadi pada
tahun 484 H. / 1091 M.
Selama
mengajar di Baghdad Al Ghazali banyak menyusun buku, antara lain : al Basith, al Wasith, al Wajiz, al
Khulashah fi “ilmil Fiqih, al Manqal fi ‘Ilmil Jadal, Ma’khadzul Khilaf,
Lubabun Nadhar, Tah-shinul Ma’akhizd,
dan al Mabadi wal Ghayat fi
Fannil Khilaf.
Kegiatan Al Ghazali dalam merenungi dan mencari apa yang tersembunyi di
balik hakikat. Dia tidak lalai untuk mempertanyakan kembali kebenaran
warisan-warisan taqlid yang belum pernah ada seorang pun memikirkannya atau
menelti sumbernya. Disamping mempelajari macam-macam aliran agama yang
trsebar pada masa itu, selama berada di Baghdad, ia pun mengkaji beberapa
ilmu dan filsafat kuno, seperti filsafat Yunani. Dia berharap kajian atas
berbagai pemikiran filasafat dapat membantu dalam mencapai ma’rifat yang hakiki,
yang selama ini dicari dan terus digali.
Empat
tahun kemudian ia meninggalkan kegiatan mengajar di Baghdad untuk
menunaikan ibadah haji. Seusai menunaikan ibadah haji, dia menuju ke Syam
dan hidup di Masjid Al Umawi sebagai seorang hamba yang taat beribadah, ia
mengembara di gurun-gurun pasir untuk melatih dirinya dengan merasakan
kesusahan. Dia meninggalkan kemewahan, memusatkan dirinya kepada zuhud, dan
mendalami suasana rohaniah serta renungan keagamaan. Demikianlah, dengan
bail Al Ghazali mempersiapkan dirinya untuk kehidupan keagamaan serta
mensucikan diri dari noda duniawi,
hingga dirinya tergolong filosuf sufi yang terkemuka, hingga pembela dan
pemimpin Islam terbesar.
Perjalanan
panjang telah ditempuh, hingga kemudian ia kembali lagi ke Baghdad untuk
meneruskan kegiatan mengajarnya, namun penampilannya sudah berbeda dengan
sebelumnya. Sewaktu pertama di Baghdad, ia tampil sebagai guru ilmu-ilmu
agama, sedangkan kali ini ia bukan saja sebagai seorang imam dan tokoh
agama yang sufi,, melainkan seorang guru yang telah mengarifi ajaran
Rasulullah, sehingga telah mendarah daging pada dirinya. Buku pertama yang
ia susun setelah ia kembali ke Baghdad ialah al Munqizd Minad Dlalal. Buku ini dipandang sebagai referensi tepenting bagi
para ahli sejarah yang ingin mengetahui kehidupan Al Ghazali. Buku tersebut
memuat gambaran kehidupannya, terutama pada masa terjadi perubahan di dalam
pandangannya perihal hidup dan nilai-nilainya. Dalam buku tersebut Al
Ghazali melukiskan proses pertumbuhan iman di dalam jiwa, bagaimana
hakikat-hakikat illahiah dapat tersingkap bagi manusia, bagaimana manusia
dapat mencapai ma’rifat dengan penuh keyakinan yang tidak melalui proes
berfikir dan berlogika, melainkan dengan jalan ilham dan pelacakan sufi.
Selang
sepuluh tahun setelah kembali ke Baghdad, Al Ghzazali berangkat menuju
Naisabur. Di sini ia sempat mengajar beberapa waktu lamanya. L Ghazali
meninggal di Kota Tos, kota kelahirannya pada tahun 505 H. / 1111 M.
Demikianlah
sejarah singkat kehidupan beliau. Kita melihat siklus kehidupan Al Ghazali
secara lengkap dalam penggambaran secara singkat, bermula dari pangkal dan
berakhir pada ujung yang sama. Dia dilahirkan di Tos, kemudian mengadakan
perlawatan dan pengembaraan, dia pun kembali ke Tos dan meninggal di sana. Sebagai
seorang yang besar dan memiliki banyak pengikut beliau tidak merasa risih
menjadi guru. Jalan kehidupannya berawal dari seorang guru yang menghadapi
banyak siswa dengan latar belakang yang berbeda dan hadir dalam dunia yang
berbeda pula, namun beliau sabar membimbing, memberi dan mewariskan ilmunya
kepada murid-muridnya. Menjelang akhir hayatnya meskipun banyak hal
dilakukan oleh Imam Al Ghazali, namun pada saat wafat beliau masih
istiqamah menjadi guru dan
meninggalkan ribuan murid / mahasiswa yang senantiasa mengagumi keungulan
sebagai seorang sufi dan guru besar.
|
|
Masa
Al Ghazali merupakan masa bermunculannya bermacam-macam Mazdhab Agama dan
Aliran – Aliran Berfikir yang kontradiktif. Asa ahli ilmu Kalam, ada
golongan yang mengaku bahwa mereka adalah orng-orang khusus pewaris Imam
yang ma’shum, ada pula filosof dan ahli tassawuf. Al Ghazali berpendapat
bahwa manusia dilahirkan tanpa membawa agama atau madzhab. Kedua
orangtuanyalah yang meyahudikan menashranikan atau memajusikannya. Anak
kecil itu menyerap agama kedua orangtuanya, apa pun adanya. Al Ghazali
mempunyai kegemaran fithriah akan pembahasan tentang permasalahan hakikat.
Hal ini didapatnya melalui pengkajian dan pengujian, pengolahan dan
perolehannya berkaitan dengan berbagai faham dan pandangan yang beraneka.
Al
Ghazali berkeinginan untuk mengenal hakikat fithrah manusiawi, hakikat
aqidah-aqidah, Agama dan Aliran-Aliran Filsafat yang diperoleh dan diolah
seseorang dengan jalan mengikuti kedua orangtua serta gurunya. Dia
memisahkan aliran yang haq dari yang bathil. Dengan jalan demikian
diharapkan dapat mencapai al-Ilmul
Yakqin,
yakni segala yang dimaksud dapat lengkap dengan jelas tanpa ada keraguan
dan kekeliruan.
Untuk
mencapai harapannya itu ia mengkaji ilmu Kalam dan Aliran Kebathinan.
Kemuadian beralih kepada pandangan pandangan-pandangan dengan filsafat dan
sufisme. Selanjutnya ia mengadakan pengkajian dan pengujian yang tajam
dengan penelitian, dengan maksud untuk mencapai Haqqul Yaqien (keyakinan yang haqiqi ).
Perkembangan
berfikirnya terlukis dalam bukunya yang berjudul al Munqizd
Minad Dlalal.
“
...Kutundukkan dalamnya lautan yang luas ini ( alam pikiran ). Kuselami
dasarnya bagaikan seorang penyelam yang pemberani bukan sebagai seorang pengecut
yang penakut. Kutembus tiap kegelapan. Kutantang setiap kesulitan.
Kuinjak-injak setiap ranjau. Kuperiksa setiap aqidah setiap golongan dan
kusingkapkan rahasia setiap kelompok, agar aku dapat membedakan mana yang
haq dan yang bathil, mana yang mengikuti sunnah dan mana yang bid’ah.
Pantang kutinggalkan pandangan bathiniah tanpa kuselami kebatinannya.
Tidak ada sesuatu yang bersifat dhahir yang tak ingin mengetahui buah
dari kedhahirannya. Tidak ada suatu pandangan filosofis yang kulewatkan
untuk menggali pandangan filsafatnya. Tidak ada seorang pembicara pun
yang tak kuajak berdiskusi untuk menangkap inti pembicaraannya. Tidak ada
seorang sufi yang yang tak ingin aku dalami rahasia kesufiannya. Tiada
seorang pun ahli ibadah yang tidak aku perhatikan apa yang didapatnya
sebagai buah ibadahnya. Tidak pula ada seorang zindiq ( orang kafir yang
pura-pura beriman ), yang mu’athil ( pengikut madzhab yang mengingkari
sifat-sifat Allah ) yang tidak kuamati agar aku dapat aku menangkap
penyebab yang mendorong mereka berbuat demikian ... “ (al-munqidz)
|
Setelah
dengan tekun mengkaji al-ilmul yaqin, Al Ghazali mula-mula beranggapan
bahwa diantara ilmu-ilmunya, hanya ilmu-ilmu yang di dapat melalui
pengamatan ( sensualisme ) dan ratio ( rasionalisme ) saja yang dapat
memenuhi sasarannya. Akan tetapi tatkala ia merenungkan lebih mendalam, ternyata ilmu-ilmu itu
menyesatkan. Pengkajiannya menunjukkan bahwa pengetahuan yang di dapat
melalui pengamatan banyak yang tidak benar. Di dalam al Munqizd
Minad Dlalal.
Diungkapkan :
“
...Akhirnya sikap skeptisku tidak memperkenalkan aku untuk begitu saja
mempercayai pengamatan, sehingga melahirkan keraguan terhadap hasil
pengamatan itu. Lebih lanjut Al Ghazali mempertanyakan “ ...Atas dasar
apa pengamatan terutama penglihatan – diberi tempat ( dalam mencari kebenaran
) ?. cobalah anda suatu bayang-bayang. Anda akan melihatnya seperti diam.
Akan tetapi bila anda mengadakan eksperimen dan observasi yang cermat,
niscaya akan anda ketahui bahwa bayang-bayang itu bergerak. Memang ia
tidak bergerak dalam suatu gerakan serentak melainkan sedikit demi
sedikit setahap demi setahap. Dan gerakan ini berlangsung terus menerus
secara kontinyu, sehingga bayang-bayang itu tak pernah diam barang
sekejap pun. Cobalah pula pandang bintang gemintang itu banyak yang lebih
besar daripada bumi ... “
(al-munqidz)
|
Demikianlah
Al Ghazali telah menggugurkan pandangan sensualismenya. Tinggal lagi
pandangan serba rasionalnya. Di sini, sekali lagi Al Ghazali dicekam sikap
skeptis terhadap kebenaran rasional. Rasio telah membuktikan tidak sahnya
sensual ( yang dihasilkan pengamatan ). Adakah pula kekuatan lain di luar
rasio yang mampu menggugurkan kepercayaan terhadap validitas rasio itu
sendiri ?.
Al
Ghazali dilanda rasa bingung, mana yang dapat membawa kepada kebenaran dan
mana yang melahirkan ketidakbenaran.
Setelah
sikap skeptisnya dapat diatasi, kembali ia mengukuhkan penalarannya, apa
sebenarnya yang dapat membenarkan dan mendustakan. Setelah sembuh dari
penyakit ragu-ragunya, ia kembali menguatkan hal-hal yang rasional.
“
...Keadaan seperti ini tidak dicapai dengan perangkat argumentasi maupun
struktur pembicaraan, melainkan dengan cahaya yang dipancarkan oleh Allah
swt. ke dalamdada. Cahaya itulah yang menjadi kunci pembuka kebanyakan
pengetahuan. Oleh karena itu, barangsiapa menduga bahwa penemuan itu
melulu bergantung kepada argumentasi-argumentasi berarti ia telah
menyempitkan rahmat Allah Yang Maha Luas
... “ (al-munqidz)
|
Setelah
dapat mengatasi sikap skeptisnya, Al Ghazali kembali mengkaji kembali
berbagai disiplin serta aliran keilmuan. Dan keyakinan hanya di dapatnya di
dalam sufi. Dia menyatakan bahwa ilmu para ahli tasawuflah yang benar, dan
akhlaq merekalah yang paling suci. Mereka tergolong kaum “ Muqarrabubun “
yaitu yang dekat kepada Allah.
Metode
yang dipakai oleh Al Ghazali dalam mendiskusikan beberapa topik
pembahasannya mendekati metode yang digunakan filosuf Descartes. Keduanya
sama-sama berusaha membebaskan diri dari dari taqlid dan pandangan yang
kaku serta pola yang membatasi kebebasan berfikir. Baik Al Ghazali maupun
Descartes sama-sama tidak mempercayai kebenaran yang bertopang pada
penginderaan ( sensualisme ).
Al
Ghazali dipandang sebagai salah seorang tokoh agama Islam, sehingga dia
dijuluki Hujjatul Islam. Di dalam bukunya yang
berjudul Tahafatul Falasifah, dia membantah seluruh
aliran filsafat. Demikian pula ia membantah pertentangan antara madzhab
Islam pada umumnya. Juga Al Ghazali dipandang sebagai kritikus ilmu
pengetahuan dan ahli fikir yang berpandangan jauh. Dia mengarahkan hidup
pada pencapaian kesempurnaan insani, yang pada akhirnya berujung pada
kedekatan kepada Allah swt. serta kebahagiaan dunia akhirat. Dia
mengajarkan ilmu-ilmu yang dapat mengantarkan manusia pada tujuannya, dia
berharap agar jalan yang ditempuh dapat memperbaiki individu dan masyarakat
dan menyebarkan keutamaan di tengah-tengah mereka. Al Ghazali Sosok Guru
Besar, sebagai ahli pendidikan dan ahli sosial...
|