Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di
telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf.
Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia
Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing.
Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi
kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya
mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.
Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad
bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam
Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama
nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian
mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi,
tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al
Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali.
Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir
Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu
Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan
nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau
kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga
nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan
dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.”
Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata,
“Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan
mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah
penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini
pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab
mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran
nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari
penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya
6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang
saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326
dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf
(yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang
wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari
kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak
belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah
saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya,
dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut
mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit
tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang
tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh
kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian.
Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan
kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu.
Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut.
Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah
diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu
bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena
Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir
yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan
membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan
bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila
mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon
diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau
menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam
ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau
tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad)
menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari
Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih
kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di
kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu
Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi
(Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada
Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil
menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu
perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami
perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya.
Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat
Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam
Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat
berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama
dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi
pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke
sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di
Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau
berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu
kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat,
seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi
beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya
saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian
dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga
gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena
itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya
sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy
Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’
Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’
Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di
Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang
merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan
hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan
kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit
pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya
beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah
karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki
bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang
hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali)
menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia
membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya,
dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah
memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal.
Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini
merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid
bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah
binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid
condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan
ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin
membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi
mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin
keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak
membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik
(perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan.
Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan
perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan
mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan
tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan
kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus.
Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di
masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana
dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun
Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal
di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah
berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan
bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi.
Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al
Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan
perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar
di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada
tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di
Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan
tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil
oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa
Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai
akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah
beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni
ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah
di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan
sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah,
mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah
lainnya sampai meninggal dunia.
Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali
mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi,
“Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul
dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim).
Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam
waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki
keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah
meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita
Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan
shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil
dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya
patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan
kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning
(menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala
6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir
tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/201).
By : Ust. Kholid Syamhudi, Lc.
|