Karya besar Imam al-Ghazali tentang pendidikan
atau tepatnya wawasan pendidikan, bertajuk Fatihatul Ulum (Introduction to
the Sciences). Buku tersebut berisi pandangan al-Ghazali mengenai
persoalan-persoalan pendidikan, yang sesungguhnya menjadi fondasi
konsep-konsep pendidikan modern. Buku Fatihatul Ulum atau Pengantar Ilmu
Pengetahuan juga dimaksudkan sebagai penyempurnaan terhadap khazanah ilmu
pendidikan Eropa pada masa al-Ghazali hidup (Abad XI dan XII Masehi).
Sedangkan karya lain al-Ghazali yang mengupas
tema pendidikan –dalam pengertian
praktis– diantaranya: Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-ilmu Agama), Mi’yar
al-Ilm (Takaran Standar Pengetahuan), dan Mizanul Amal (Kaidah-kaidah
Perilaku). Untuk melihat karya-karya besar al-Ghazali dengan tema yang
lain, sila pembaca klik tautan terpercaya ini: http://www.ghazali.org.
Sebelum saya menggali lebih dalam wawasan
pendidikan Imam al-Ghazali, terlebih dahulu kita ungkap sekilas riwayat
hidupnya. Riwayat hidup singkat al-Ghazali berikut saya kutip dari situs
Ghazali Org di atas dan Id Wikipedia Org: http://id.wikipedia.org.
Al-Ghazali Imam Abu Hamid Muhammad, nama lengkap
al-Ghazali, adalah salah seorang di antara cendekiawan muslim terkemuka. Ia
seorang di antara ahli teologi, filosof dan sufi muslim terbesar. Di dunia
Barat, orang mengenalnya dengan nama Algazel.
Al-Ghazali lahir pada 1058 M / 450 H di kota Thus
provinsi Khurasan di Persia timur laut (kini masuk wilayah negara Iran).
Nizamul Mulk memberikan jabatan professor kepada al-Ghazali di Akademi
Nizamiyyah Baghdad, akan tetapi posisi tersebut ia tinggalkan selama empat
tahun untuk mengembara dan menulis. Selanjutnya al-Ghazali mengajar lagi
sebentar di Akademi Nizamiyyah, tetapi kemudian pulang ke kota kelahirannya
di Thus. Tokoh terkemuka dalam dunia muslim ini meninggal di kota
kelahirannya pada 1111 M / 505 H pada usia 53 tahun.
Sepanjang hayatnya, al-Ghazali menulis lebih dari
70 buku. Ia menulis tema-tema besar dengan cakupan luas dan mendalam
meliputi hukum, doktrin Islam, spiritualitas Islam (tasawuf), dan
filsafat. Pembaca di Indonesia
pastilah tidak asing dengan buku Ihya Ulumuddin yang terjemahan bahasa
Indonesia-nya banyak ditemukan di toko-toko buku.
Karya al-Ghazali lainnya Tahafutul Falasifah
(Keruntuhan para Filosof) telah mendorong Ibnu Rusyd (Averroes) menulis buku
untuk membantah pendapat-pendapat al-Ghazali itu dengan tajuk Tahafut
Tahafutul Falasifah (Runtuhnya Keruntuhan para Filosof). Berkat buku ini
pula, semenjak itu nama Ibnu Rusyd menjulang tinggi di angkasa raya
intelektual.
Di antara percikan pemikiran Wawasan Pendidikan
Imam al-Ghazali dalam Fatihatul Ulum yang saya ungkap di awal tulisan,
yakni tentang hubungan antara guru-murid. Bagi kita, wawasan pendidikan
al-Ghazali tersebut senantiasa aktual dan relevan dengan situasi dan
kondisi masa kini.
Al-Ghazali berpendapat bahwa para guru hendaknya
memiliki sifat kasih sayang terhadap murid-muridnya, dan memperlakukan
mereka dengan lembut laksana mereka memperlakukan anaknya sendiri.
Lebih lanjut ia berkata, “Hendaknya guru
senantiasa jujur kepada setiap murid. Jangan biarkan murid-murid bertingkah
laku buruk. Dan jangan sekali-kali membicarakan keburukan teman guru
lainnya di hadapan seorang murid… Hindarkan mengajarkan pelajaran yang
berada di luar kemampuan berpikir murid.”
Ia kemukakan pula bahwa para guru hendaknya
senantiasa memberi teladan yang baik dari apa yang diajarkan. Jika tidak
demikian, katanya, maka perbuatan itu tidak sesuai dengan apa yang
diajarkan. Al-Ghazali juga menekankan tentang pentingnya niat dan
kebersihan hati para murid. “Perbaikilah niat mereka dan bersihkan hati
mereka, agar pendidikannya dapat berfungsi dengan baik.”
Sementara tentang pujian terhadap murid dan
kesalahan yang dilakukannya, al-Ghazali berujar, “Pujilah dan doronglah
murid-murid apabila perbuatan mereka patut mendapatkan pujian. Maafkanlah
mereka apabila mereka baru melakukan kesalahan satu kali, tetapi manakala
ia mengulangi kesalahannya, peringatkanlah ia secara tersendiri. Untuk
membetulkan kesalahannya, janganlah mencaci-maki mereka. Serta jauhkanlah
mereka dari ‘teman-temannya yang jahat’, lantaran ini adalah hal amat
mendasar bagi pendidikannya.”
Wawasan pendidikan al-Ghazali dalam buku Fatihatul
Ulum lainnya mencakup: Keutamaan Ilmu, Asas-asas Pengajaran dan Bimbingan,
Bukti-bukti Rasional soal mengajar sebagai profesi yang mulia, Pembagian
Ilmu, Tanggungjawab Guru dan Murid, dan lain sebagainya.
Pada karya pendidikan lainnya, Mizanul Amal
(Kaidah-kaidah Perilaku), al-Ghazali mengembangkan psikologi asosiasional
yang menarik. Pendapat yang dikemukakan al-Ghazali di bawah ini amat
mengagumkan jika kita membayangkan situasi jaman tatkala ia hidup waktu
itu.
Al-Ghazali berpendapat bahwa: (1). Akal terletak
di pusat otak sebagaimana seorang raja tinggal di tengah-tengah
kerajaannya, (2). Daya cipta terletak di otak depan seperti seorang kepala
kantor pos yang mengumpulkan dan menyebarkan berita, (3). Ingatan terletak
di bagian belakang otak seperti seorang pelayan yang berdiri di belakang
majikannya, (4). Kemampuan berbicara adalah seperti seorang penerjemah
(tentang gagasan-gagasan), dan (5). Panca indera dapat dibandingkan dengan
mata-mata yang memeriksa sumber dan membuktikan kebenaran informasi.
Wawasan pendidikan al-Ghazali yang paling baik
tentang asas-asas pendidikan praktis dalam buku Mizanul Amal yang telah kita
singgung di atas terdapat dalam tulisannya bertitel ‘Anakku‘. Rangkaian
goresan pena ‘Anakku‘ tersebut dapat pembaca telusuri dengan mengunjungi
situs web Pustaka Hidayah yang saya rekomendasikan ini:
http://www.pustakahidayah.com. Di situs tersebut, tulisan ‘Anakku‘ yang
memukau buah karya al-Ghazali disajikan dalam 6 (enam) buah artikel
sambung-menyambung.
Saya ambilkan contoh nasehat al-Ghazali dalam
risalah ‘Anakku‘ dimaksud mengenai pentingnya ilmu untuk diamalkan. Kata
al-Ghazali, “Yakinlah bahwa ilmu semata tidak mungkin bisa diandalkan.
Contohnya, seandainya seorang laki-laki gagah di tengah gurun sendirian
memiliki sepuluh pedang India yang sangat ampuh dan beberapa pusaka
lainnya. Laki-laki itu dikenal pemberani dan jago perang. Kemudian seekor singa
yang sangat besar menghampirinya dan siap menerkamnya. Apa pendapatmu,
apakah senjata-senjata yang hebat itu mampu mencegah laki-laki itu dari
terkaman singa jika ia tidak menggunakan dan menghantamkannya kepada singa?
Sudah pasti senjata-senjata itu tidak mampu melindunginya kecuali dengan
digerak-gerakkan. Demikian juga jika seseorang telah membaca 100.000
masalah ilmiah dan berhasil menguasainya. Tetapi tidak mengamalkannya, maka
ilmu-ilmu itu tidak akan memberinya manfaat kecuali dengan mengamalkannva.
Contoh lain. Jika seseorang sakit kuning, dan ia mengetahui bahwa
kesembuhannya hanya dengan ramuan obat tertentu yang telah dikuasainya,
maka ia tidak mungkin sembuh kecuali dengan meminum obat itu… Seandainya
kamu telah belajar puluhan tahun, membaca banyak buku dan menguasai
berbagai macam ilmu, lalu kamu menyimpan kitah-kitab sebagai bahan koleksi
pribadi, maka semua itu tidak akan menolong dan menjadikanmu mendapatkan
manfaat kecuali dengan mengamalkannya.
Akhirnya saya sudahi tulisan lumayan panjang ini
dengan menyimpulkan filsafat al-Ghazali tentang pendidikan dengan
memperhatikan wawasan pendidikannya dalam “master piece” karyanya Ihya
Ulumuddin.
Al-Ghazali menekankan agar seorang anak dibiasakan
untuk bersusah payah, dan jangan dibiasakan dalam kemewahan. Sedari dini
seorang anak juga musti ditanamkan sifat-sifat hormat, bersahaja dan
kesungguhan dalam dirinya. Selanjutnya ia tandaskan, “Hendaknya seorang
anak dijaga agar tidak menggemari uang dan benda-benda lainnya, lantaran
inilah langkah yang dapat menuju kepada pertengkaran.”
Pada bagian lain al-Ghazali berujar, “Orang tua
bertanggungjawab mendidik anaknya dengan benar. Di tangan merekalah anak
yang tidak berdosa dan nuraninya yang masih bersih itu diserahkan. Hatinya
laksana sebuah cermin yang siap memantulkan bayangan apa pun yang
diletakkan di depannya dan ia akan meniru apa saja yang dilihatnya. Ia
dapat menjadi warga negara yang baik apabila ia dididik dengan baik dan ia
akan membahayakan orang lain apabila ia diabaikan dan diperlakukan dengan
buruk. Orang tuanya, sanak familinya, maupun guru-gurunya, akan ikut
menanggung kebahagiaan atau menanggung penderitaan karena kejahatannya.
Oleh karena itu, menjadi tugas orang tua atau walinya untuk memperhatikan
anak. Ajarkanlah kepadanya akhlak yang baik. Didiklah ia dan jauhkanlah
dirinya dari teman-temannya yang buruk.”
|