Para penyebar Islam di
Nusantara dikenal masyarakat dengan sebutan Wali atau Syekh. Mereka telah
memainkan peranan penting masing-masing dalam proses Islamisasi di
Nusantara. Di Jawa Wali atau Syekh dikenal dengan nama Wali Sembilan atau
Walisongo.
Walisongo berarti
Sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana malik Ibrahim, Sunan Ampel,
Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan
Muria serta Sunan Gunungjati. Mereka hidup pada masa yang tidak bersamaan
tetapi mereka memiliki hubungan erat antara satu wali dengan wali lainnya.
Hal itu terjadi karena masih memiliki hubungan darah, selain memiliki
hubungan guru murid.
Diantara para wali
Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik
Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajat
adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid
Sunan Bonang. Suna Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan
Kalijaga. Sunan Gunungjati adalah sahabat Sunan lain, kecuali Malik Ibrahim
yang lebih dulu meninggal.
Pada mumnya para wali
ini tinggal di Pantai Utara Jawa sejak awal abad ke-15 M, hingga
peretngahan abad ke-16 M. Daerah Pantura yang menjadi tempat tinggal mereka
adalah, Surabaya, Gresik, Lamongan di Jawa Timur, Demak, Kudus, Muria Jawa
Tengan serta Cirebon di Jawa barat. Mereka adalah merupakan sosok pembaharu
yang memperkenalkan berbagai bentuk peradaban baru, mulai dari bercocok
tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Salah satu pusat
pendidikan adalah Ampel Denta dan Pesantren Giri. Dari kedua pesantren ini
Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara.
WALISONGO
Maulana Malik Ibrahim dikenal
dengan panggilan maulana maghribi atau Syekh Maghribi karena bersal dari
wilayah maghribi, Afrika Utara. Ada juga yang menyebutnya Sekh Jumadil
Kubro, atau ada juga yang menyebutnya Maulana Malik Ibrahim as-Samarkandi
karena diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh abad ke-14
M. Maulana Malik Ibrahim memiliki hubungan saudara dengan Maulana Ishak,
seorang ulama terkenal dari Samudera Pasai. Ia adalah ayah dari Sunan Giri
(Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama dari Persia,
bernama Maulana Jumadil Kubra, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro
diyakini sebagai generasi ke-10 dari Hussain bin Ali, cucu Nabi Muhammad
saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja,
selama 13 tahun, mulai tahun 1379 hingga 1392 M, dan menikah dengan putrid
Raja Campa. Dari pernikahanya lahir dua putra yaitu Raden Rahmat (Sunan
Ampel) dan Sayyid Ali Murtadha alias Raden Santri.
Maulana Malik Ibrahim
Ibrahim berdakwah di Campa sekitar 13 Tahun. Karena dianggap cukup
menjalankan misi dakwah di negeri itu, pada tahu 1392 Maulana Malik Ibrahim
hijrah ke Jawa. Kedatangan Maulana malik Ibrahim ke Jawa tercatat sebagai
orang Islam pertama yang masuk ke Jawa. Oleh karena itu kedatanngannya
dianggap sebagai permulaan masuknya Islam ke Jawa.
Daerah yang pertama
kali dituju adalah desa Sembalo, daerah yang masih berada di bawah
kekuasaan Majapahit. Desa Sembalao sekarang adalah Leren Kecamatan Manyar,
9 km utara kota Gresik, Jawa Timur. Beliau melakukan dakwah dengan
menempatkan diri sebagai tabib disamping mendirikan pondok sebagai tempat
belajar agama Islam, di bawah pemerintahan Majapahit yang Hindu,
Maulana malik Ibrahim
menerapkan metode dakwah yang tepat untuk menarik simpati masyarakat
terhadap Islam. Beliau meninggal pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 882 H atau 8
April 1419 M, dimakamkan di pekuburan Gapura Gresik.
Sunan Ampel lahir
di Campa, Aceh pada tahun 1401 dengan nama asli Raden Rahmat. Ia adalah
putra maulana malik Ibrahim dan Istrinya Candrawaulan. Sunan Ampel adalah
penerus cita-cita serta perjuangan Maulana Malik Ibrahim. Aktivitasnya dimulai
dengan mendirikan Pesantren Ampel Denta di Jawa Timur. Pada abad ke-15 M,
pesantern Ampel Denta menjadi pusat pendidikan Islam yang sangat
berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan hingga ke mancanegara.
Diantara para santrinya adalah Raden
Paku, Raden Patah, Raden Maulana Makdum Ibrahim, Syarifuddindan Maulana
Iskak. Sunan Ampel juga merupakan perancang Islam Demak dengan ibu kota
Bintoro. Sultan Ampel mengangkat Raden Fatah sebagai Sultan pertama Demak yang mempounyai
jasa paling besar dalam meletakkan peran politik umat Islam di Nuisantara.
Suan Ampel mengenalkan istilah Mo Limo ( moh main, moh ngombe, moh maling,
moh madat, moh madon ) dalam sisi dakwahnya. Istilah ini syarat degan makna
moral yang sangat dalam, yang hingga kini masih dipetahankan di dalam
kehidupan Jawa Khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Sunan Ampel tidak
setuju dengan budaya kenduri, selamatan dan sesaji. Namun wali-wali lainnya
berpendapat bahwa untuk sementara waktu semua kegiatan itu harus dibiarkan
karena masyarakat masih sulit meninggalkannya. Sunan Kalijaga sendiri menarik umat Budha
dan Hindu mengusulkan agar adat istiadat jawa itu diberi warna Islam. Sunan
Ampel wafat tahun 1481 dimakamkan di Ampel, di sebelah barat Masjid Ampel
Surabaya Jawa Timur.
Sunan Giri lahir
pada pertengahan abad ke- 15 dengan nama asli Raden Paku. Atau Jaka
Samudera , sebuah nama yang dikaitkan dengan masa keilnya yang pernah di
buang oleh keluarga ibunya seorang putrid raja Blambangan bernama Dewi
Sekardadu ke laut, yang kemudian di pungut oleh Nyai Samboja. Ia adalah
putra Maulana Ishak saudara kandung Maulana Malik Ibrahim dan dikenal
dengan panggilan aden Ainul Yakin. Beliau lahir di daerah Blambangan
sekarang Banyuwangi tahun 1442 M Sunan Giri memulai aktivitas dakwahnya di
daerah Giri dan sekitarnya dengan mendirikan pesantren yang santrinya
kebanyakan dari golongan ekonomi lemah. Ia mengirim juru dakwah terdidik ke
berbagai daerah di luar pulau Jawa, Madura, Bawean, Kangean, Ternate dan
Tidore. Maulana Ishak berhasil mengislamkan istrinya, tetapi gagal
mengislamkan sang mertua, sehingga ia meninggalkan keluarga istrinya
berkelana hingga ke Samudera Pasai.
Sunan Giri (Giri
berarti Bukit) menuntut ilmu di Ampel Denta hingga kemudia ia mendirikan
pondok pesantren di Sidomukti, selatan Gresik. Pondok yang dikelola Sunan
Giri sangat berkembang pesat hingga Raja Kerajaan Majapahait merasa
khawatir jika Sunan Giri melakukan gerakan-gerakan atau pembrontakan. Untuk
mengantisipasi hal tersebut Raja majapahit melibatkan Sunan Giri untuk
berperan serta dalam bidang pemerintahan, hingga akhirnya lembaga
pendidikan yag didirikan oleh Beliau berkembang menjadi pusat kekuasaan yag
disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan Sunan Giri di sebut
Prabu Satmata.
Dalam catatan sejarah,
Giri Kedaton kemudian tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa
waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Suan Giri
bertindak sebagai penasihat dan panglimamiliter Kesultanan Demak, Hal
tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya Demak tidak lepas dari
pengaruh Sunan Giri. Beliau juga sebagai mufti, pemimpi tertinggi keagamaan
setanah Jawa. Giri Kedaton yang didirikan Sunan Giri bertahan 200 Tahun.
Sepeninggal Giri lembaga ini dipegang oleh generasi sesudahnya yaitu
Pangeran Singosari, yang dikenal tokoh paling gigih menentang kolusi VOC
dan Amangkurat pada abad ke-18 M.
Sunan Giri terkenal
sebagai pendidik yang berjiwa demokratis. Ia mendidikanak-anak melalui
berbagai permainan yang berjiwa agama, seperti Jelungan, Gendi Ferit,
Cublak-Cublak Suweng dan Ilir-Ili, Gending Asmaradana dan pucung . Datuk
Ribandang merupakan murid Sunan Giri. Sunan Giri disebut juga Sultan Abdul
Fakih karena keluasan ilmu agamanya Sunan Giri Wafat dan dimakamkan di
Giri, Gresik tahun 1506 M.
Sunan Bonang lahir
di Surabaya pada tahun 1465 M. Ia adalah putra Raden Rahmat yang merupakan
Saudara sepupu Sunan kalijaga, dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng
Manila, putri seorang Adipati Tuban. Ia terkenal Raden Maulana makdum
Ibrahim. Ia belajar agama di Ampel
Denta pesantren ayahnya. Daerah yang pertama dituju sebagai wilayah
dakwahnya adalah di Kediri yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Di
tempat ini ia mendirikan Masjid Sangkal Daha. Kemudian Sunan Bonang menetap
di Lasem, Jawa Tengah yang berkisar 15 km timur kota Rembang. Di desa ini
ia membangun tempat Pesujudan / Zawiyah sekaligus pesantren yang kini
dikenal dengan nama Watu Layar.
Ia dianggap sebagai pencipta gending
pertama. Gamelan Jawa yang saat itu
kental dengan estetika Hindu dirubah dengan nuansa Islami. Salah satu
tembang Tombo Ati merupakan penciptaan karya dari Sunan Bonang. Beliau juga
merupakan dalang yang piawi dalam membius penontonya. Cerita wayang digubah
menjadi lakon yang khas Islami. Kisah perseteruan Pandawa dan Kurawa
ditafsirkan sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan ‘ishah
(peneguhan).
Dalam berdakwah
senantiasa menyesuaikan diri dengan adat Jawa setempat karena kegemarannya
terhadap gending. Sunan Bonang
memusatkan kegiatan dakwahnya di Tuban. Ia mengganti nama-nama dewa dengan
nama Malaikat
.
Materi dakwah yang
disampaikan Sunan Giri adalah akidah dan ibadah denga pendekatan fiqih yang
disampaikan dengan cara yang lugas, sedangkan materi dakwah yang
disampaikan Sunan Bonang adalah perpaduan antara ajaran ahlussunnah bergaya
tasawuf dan garis salah ortodoks. Ia menguasai ilmu fiqih, ushulluddin,
tasawuf, seni, sastera dan arsitektur. Ia dikenal sebagai seorang yang
piawi dalam mencari sumber-sumber air di tempat-tempat yang sangat gersang.
Dalam bidang Tasawuf
Sunan Bonang Berintikan filsafat Cinta (‘isy). Ajaran ini sangat mirip
dengan kecenderungan Jalaluddin Rumi. Menurut Sunan Bonang, cinta sama
dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah
atau haqq al-yakin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui
media yang disukai masyarakat. Dalam dakwahnya ia bersama santri utamanya
yaitu Sunan kalijaga menciptakan berbagai seni dan sastera. Diantara adalah
Suluk Wijil yang tampak dipengaruhi Kitab Al-Shidiq karya Abu Sa’id Al-Khayr
(W. 899).
Suluknya banyak
menggunakan tamsil cerminan, bangau atau burung laut, sebuah pendekatan
dakwah yang pernah digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta
Hamzah Fansuri.
Ia memberikan pendidikan Islam secara
mendalam kepada Raden Fatah putra Raja Majapahit Prabu Brawijaya V, yang
kemudian menjadi Sultan Demak. Sunan Bonang wafat tahun 1525 dan dimakamkan
di Tuban.
Sunan Kalijaga dilahirkan
pada akhir abad ke-14 dengan nama Raden Mas Syahid. Ayahnya bernama Raden
Sahur Tumenggung Wilwatikta yang menjadi Biupati Tuban, sedangkan ibunya
bernama Nawang Rum. Konon nama Kalijaga berasal dari rangkaian bahasa Arab
Qadi Zaka yang berarti, membersihkan membersihkan dan bermakna pemimpin
yang menegakkan kebersihan dan kesucian. Kata Qadi Zaka tersebut menurut
lidah Jawa berubah menjadi Kalijaga. Kalangan Jawa mengaitkan dengan
kesukaan wali ini untuk berendam (kungkum)
di sungai (kali) atau jaga kali. Karena sistem dakwahnya yang
intelek dan aktual, para bangsawan dan cendekiawan banyak yang bersimpati
kepadanya.
Diperkirakan usia Sunan
Kalijaga mencapai lebih 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir
kekuasaan Majapahit (1478), kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan
Banten, bahkan mungkin kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 M serta
kehadiran awal kerajaan Mataram di bawah panembahan Senopati. Ia ikut pula
merancang pembangunan masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang
tatal (pecahan kayu) yang merupakan salah satu tiang utama adalah merupakan
kreasi Sunan kalijaga.
Paham keagamaanya sama
seperti Cara dakwah yang digunanakan Sunan Bonang yaitu sufistik berbasis
salaf, bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Hal itu dapat diketahui
dari cara dakwah yang digunakan pada toleransi budaya masyarakat local,
yang akan menjauh jika diserang pendiriannya. Ia lebih sinkretis dalam
mengenalkan Islam. Unsur seni terlihat bagaimana Sunan Kalijaga menciptakan
seni ukir, wayang, gamelan seni suluk lebih digunakan sebagai media
dakwahnya
Sunan Kalijaga memiliki
banyak nama seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden
Abdurrahman.
Ketika para wali
memutuskan untuk menggunakan pendekatan kultural termasuk pemanfaatan
wayang dan gamelan sebagai media dakwah, orang yang paling berjasa dalam
hal ini adalah Sunan Kalijaga. Ia mengembangkan seni Wayang Purwa atau
wayang kulit yang bernafaskan Islam saat ini. Ia juga berjasa mengembangkan
seni ukir, seni busana, seni pahat dan kesusasteraan. Beliaulah yang
mencipta baju takwa, perayaan sekatenan, Grebeg Maulud, layang Kalimasada,
lakon wayang petruk jadi raja. Lanskap pusat kota berupa keratin, alun-alun
dengan dua beringinserta masjid, diyakini sebagai karya Suna Kalijaga.
Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu sebelah selatan kota Demak.
Sunan Gunungjati lahir
di Makkah pada tahun 1448. Ia adalah cucu Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi.
Ia mengembangkan ajaran Islam di Cirebon, majalengka, Kuningan, Kawali,
Sunda Kelapa, dan Banten sebagai dasar bagi pengembangan Islam di Banten.
Beliau wafat di Gunungjati, Cirebon, Jawa Barat.
Dalam ketrangan lain
menyebutkan bahwa ibunya adalah Nyai Rara Santang putrid Raja Pajajaran
Raden Manah Rasa Ayahnya Sultan Syaif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir
keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Sunan Gungjati atau
Syarif Hidayatullah belajar agama sejak usia 14 tahun pada ulama Mesir.
Setelah berada di Indonesia ia mendirikan Kasultanan Bintoro Demak, dan
atas restu ulama lain ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang dikenal dengan
Kasultanan Pakungwati. Ia merupakan satu-satunya wali songo yang menjabat
sebagai pemimpin pemerintahan. Dakwahnya berpusat di Pasundan dan Priangan.
Bersama putranya
Maulana Hasanuddin, Sunan Gunungjati melakukan ekspedisi ke Banten, hingga
kemudian mendirikan Kasultanan Banten. Pada usia 89 tahun ia mundur dari
jabatannya dan kembali menekuni bidang dakwah. Dalam usia 120 tahun ia
wafat tepatnya tahun 1568 M. Dimakamkan di daerah Gunung Sembung,
Gunungjati sekitar 15 km sebelum kota Cirebon dari arah Barat.
Sunan Drajat lahir di Ampel Surabaya pada
tahun 1407 dengan nama asli Raden Qasim Syarifuddin. Ia juga merupakan
putra Sunan Ampel. Pada waktu para wali memutuskan untuk mengadakan
pendekatan kultural pada masyarakat Jawa dalam menyiarkan agama Islam,
Sunan Drajat juga tidak ketinggalan menciptakan tembang Jawa yang sampai
saat ini masih digemari masyarakat, yaitu tembang Pangkur. Hal yang paling
menonjol dalam dalam dakwah Sunan Drajat ialah perhatiannya yang serius
padapada masalah-,masalah sosial. Dakwahnya selalu berorientasi pada
kegotongroyongan. Ia selalu menekankan bahwa memberi pertolongan kepada
masyarakat umum serta menyantuni anak yatim dan fakir miskin merupkan suatu
amalan yang diperintahkan agama Islam. Sunan Drajat wafat di Sedayu, Gresik
pada pertengahan abad ke-16.
Sunan Kudus adalah
Jakfar Shodik. Menurut silsilahnya Sunan Kudus mempunyai hubungan keturunan
dengan Nabi Muhammadsaw. Ia putra pasangan Sunan Ngundung dan Syarifah,
adik Sunan Bonang anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngundung
adalah salah seorang putra di Mesir yang berkelana hingga ke Jawa. Setelah
sampai di kudus ia diangkat menjadi Panglima perang. Beliau banyak berguru
kepada Sunan Kalijaga
Sunan Kudus menyiarkan agama Islamdi
daerah Kudus. Ia memiliki keahlian khusus dalam ilmu fikih, usul fikih,
tauhid hadis, tafsir serta logika. Ia mendapat julukan Waliyyul ‘Ilmi atau
orang yang kuat ilmunya. Sunan Kudus juga melaksanakan dakwah dengan
pendekatan kultural. Beliau menciptakan berbagai cerita agama termasuk
gending yang terkenal yaitu Maskumambang dan gending Mijil.
Sunan Muria adalah
putra Sunan Kalijaga. Nama aslinya adalah Raden Umar Sa’id. Sedangkan nama
kecilnya adalah Raden Prawoto. Ia adalah putra Sunan Kalijaga ibunya Dewi
Saroh adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak. Sunan
Muria merupakan pribadi yang piawi dalam menyelesaikan berbagai konflik di
Kasultanan Demak seberapapun rumitnya
Suan Muria memusatkan kegiatan dakwahnya
di Gunung Muria yang terletak 18 km sebelah utara Kota Kudus. Ciri khas
Sunan Muria dalam upaya menyiarkan agama Islam adalah menjadikan desa-desa
terpencil sebagai pusat dakwahnya. Ia lebih suka bergaul dengan masyarakat
biasa. Ia menggunakan pendekatan kursus bagi nelayan, pedagang dalam
mengembangkan Islam. Di bidang seni ia menciptakan seni lagu Sinom dan
Kinanthi.
ULAMA GENERASI BERIKUTNYA
Hamzah Fansuri hidup pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda sekitar tahun 1590 M. Pembaharuan intelektualnya tidak
hanya di Fansur, Aceh juga ke India, Persia, Makkah dan Madinah.
Selesai pengembaraan
intelektual Hamzah Fansuri kembali ke kampung halamannya di Fansur, Aceh
untuk mengajarkan keilmuan yang diperolehnya dari guru-guru yang
didatanginya di negeri-negeri yang disinggahi. Ia mengajarkan keilmun Islam
di Dayah (pesantren) di Oboh Simpangkanan, Singkel.
Hamzah Fansuri bukan
hanya sebagai seorang ulama, sufi, sasterawan terkemuka, juga sebagai
perintis pengembangan peradaban Islam di Nusantara. Pemikiran dan
kritikannya yang sangat tajam mengenai perilaku politik dan moral para raja
dan bangsawa, menyebabkan ia tidak begitu disukai oleh kalangan elit ini.
Karenanya sangat wajar bila di dalam karya Hikayat Aceh maupun
Bustanussalatin, tidak sedikitpun nama Hamzah Fansuri disinggung namanya.
Meskipu demikian Hamzah
Fansuri mempelopori penulisan risalah tasawuf yang cukup sistematis dan
dapat dipahami karena ditulis dalam bahasa Melayu. Ia juga menulis
puisi-puisi filosofis da mistis berorak Islam, yang kedalaman isinya sukar
ditandingi dengan penyair lain yang hidup sezaman. Ia juga memperkenalkan
syair puisi emapat baris dengan skema sajak a-a-a-a. Syair yang
diperkenalka Hamzah Fansuri merupakan perpaduan antara ruba’I Persia dengan
Pantun Melayu. Beliau juga yang memperkenalkan pengguaan bahasa Indonesia
sebagai bahasa Melayu Lingua Franca. Bahasa ii bukan hanya digunakan
sebagai bahasa intelektual, juga sebagai bahasa komunikasi dalam berbagai
kegiatan di Nusantara.
Dalam bidang keilmuan
tafsir, Hamzah Fansuri telah mempelopori penggunaan metode takwil. Hal ini
dapat dilihat dalam karyanya Asrarul Arifin, yang banyak mengutip ayat
al-qur’an kemudian menganalisanya dengan sangat tajam.
Syamsuddin al-Sumaterani juga
merupakan seorang ulama Aceh pada abad ke-16 M. Ia memiliki peran penting
di kerajaan Aceh Darussalam. Pernah pada suatu ketika ia diminta unruk
membacakan surat yang dikirim Portugis untuk Sultan Alau’uddian Ri’ayat
Syah al-Mukammil. Surat itu kemungkinan adalah permohonan bangsa Portugis
unmtuk menjalin hubungan perdagangan dengan kerajaan Aceh Darussalam.
Syamsuddin al-Sumaterani juga mempunyai posisi penting dalam bidang
keagamaan. Hal itu dapat dilihat dari cerita bahwa Sultan Iskandar Muda
meminta Syekh Syamsuddin al-Sumaterani untuk melakukan penyembelihan
hewan.kurban selepas sholat Id di Masjid Baiturrahim, karena kedudukan
beliau sebagai Qadli juga kedekatannya dengan Sultan Iskandar Muda sebagai
seorang Syekh al Islam yang sangat dihormati raja dan rakyatnya.
Karya beliau dibakar
pada masa Sultan Iskandar Tsani (w. 1641 M) karena ajarannya dianggap sesat
dalam doktrin wujudiah, oleh Nuruddin al_raniri.
Nuruddin Ar-Raniri tidak diketahui tanggal dan
tahun kelahirannya. Beliau wafat tahun 1068 H / 1658 M. dilahirkan di Ranir
(sekarang Render) sebuah pelabuhan tua di Gujarat. Ayahnya berasal dari
keluarga imigran seorang Hadramaut, Arab Selatan yang menetap di Gujarat
India. Meski keturunan Arab beliau lebih dikenal sebagai ulama Melayu.
Dari beberapa karyanya,
al-Raniri sangat mengenal dunia Melayu. Pengetahuan tentang Melayu
diperolehnya dari ibu dan Pamannya yang bernama Muhammad Jilani.
Al-Raniri belajar ilmu
agama selain kepada ayahnya juga di tanah leluhur, Hadramaut. Setelah itu
ia melanjutkan pendidikannya ke Haramain pada tahun 1030 H / 1620 Mdan
menetap di sana setelah menjalani ibadah haji.
Perjalanan pertamanya
ke Melayu dan menetapdi sini sekitar tahun 1030 H / 1621 M. Disinilah
al-Raniri diangkat sebagai Syekh al-Islam, pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Tsani.Selama 7 tahun ia menentang doktrin Wujudiah yang diajarkan
oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumaterani.
Menurut beberapa sumber
karya al_raniri berjumlah 29 buah yang kebanyakan berbicara soal tasawuf,
fiqih, kalam, perbandingan agama, hadis dan sejarah. Dalam bidang fiqh,
al-Raniri menekankan adanya pentingnya syari’at dalam praktik tasawuf.
Salah satu karyanya adalah Shiratal Mustaqiem, yang menjelaskan secara
rinci mengenai ajaran fiqih, mulai dari bersuci, shalat puasa dan
haji.Dalam bidang aqidah Islam menekankan agar memahami secara benaraqidah
Islamiyah. Karyanya adalah Durratul Aqaid Bisyarahal Aqaid. Dalam bidang
perbandingan agama beliau menulis Tibyan fi Ma’rifatil Adyan. Dalam karya
ini menjelaskan kebenaran Islam dalam perspektif agama-agama lain. Disini
juga dijelaskan tentang ajaran-ajaran yang dianut Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin al-Sumaterani adalah ajaran sesat.
Karyanya dalam hadis,
banyak menterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Karya yang diterjemahkan
menjadi Hidayatul Habib fi Taghrib wat-Tarhih. Tahun 1054 H/1644 M,
al-Raniri kembali ke tanah airnya.
Abdurrauf
Singkel lahir di Singkel pada
tahun 1024 H/1615 M. Ia memperoleh pengetahuan Islam darai ayahnya yang
seorang ulama. Setelah menyelesaikan pendidikan di Aceh ia melanjutkan ke
Haramain pada tahun 1052 H/1642 M. Ada 27 ulama yang ia temui sebagai
gurunya, seperti ulama Dhaha (Qatar) Yaman, Jeddah, Makkah dan Madinah.
Di Dhaha, Qatar,
Abdurrauf menuntut ilmu kepada Abdul Qadir a-Mawrir, di Yaman ia menuntut
ilmu kepada beberapa ulama dari keluarga Ja’man, yang merupakan keluarga
sufi dan ulama terkemuka di Yaman. Mereka adalah sebagian murid-murid Ahmad
Qusasi dan Ibrahim al-Qur’ani. Mereka adalah Ibrahim bin Abdullah bin
Jam’an, Ibrahim bin Andullah bin Ja’man dan Kadi Ishak bin Muhammad bin
Ja’man. Di Madinah Abdurrauf menjadi murid Ahmad Qusasi dan Ibrahim
al-Qur’ani.
Setelah memperoleh pengetahuan
dan ijazah dari Ibrahim al-Qur’ani
yang memberikan otoritas keilmuan Islam kepadanya untuk disebarkan dan
diajarkan kepada umat Islam, Abdurrauf kembali ke Aceh Darussalam pada
tahun 1584 / 1661 M. Penguasa kerajaan Aceh ketika itu adalah Sulthanah
Safiatuddin.
Karya tulis Abdurrauf
kebanyakan dalam bahasa Melayu, selain bahasa Arab. Diantara karya yang
terkenal adalah Tafsir Tarjumun al-Mustafid (Tafsir penafsir yang
bermanfaat). Karya kedua Kitab Fiqih Mu’amalah yaitu, al-Mir’atu Thulab fi
Tashilil Ma’rifatul Ahkamus Syar’iyyah lil Malikil Wahab (Cermin murid
untuk memudahkan pengetahuan tentang hukum syari’at yang dihadiahkan kepada
raja).
Abdur Rauf Singkel
adalah seorang ulama besar yang lahir di Kota Singkil Aceh. Nama Aslinya
adalah Abdur-Rauf al-fansuri dan disebut juga Abdur Rauf as-Singkili. Ia
adalah seorang yang pertama kali mengenalkan Tarekat Syattariyah di
Indonesia. Ia menulis berbagai bidang ilmu seperti tafsir, hadis, fikih dan
tasawuf.Kitab tafsirnya merupakan kitab tafsir yang pertama di
Indonesia.Hidup pada saat Aceh
dipimpin oleh Sulthanah Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675 M). Beliau
belajar Tarekat Syattariyah pada Ahmad Qusasi (1583-1661 M), dan Ibrahim
al-Qur’ani. Ia memperoleh Ijazah hingga memiliki hak untuk mengajarkan kepada
orang lain. Di antara muridnya yang menjadi ulama adalah Burhanuddin Ulakan
dari Pariaman.
Abdur Rauf Singkel
menjadi Mufti di Aceh pada saat dipimpin oleh Sulthanah Safiatuddin Tajul
Alam. Ia berhasil menghapus ajaran Salik Buta, sebuah tarikat yang
menyesatkan yang ada di Aceh sebelumnya. Para salik / pengikut yang tidak
mau bertobat dibunuh.
Diantara karya Abdur
Rauf Singkel antara lain : Kitab tafsir Turjuman
al-Mustafid (terjemah pemberi faedah), Kitab tafsir Mir’at
at-Thullab fi Tahsiil Ma’rifah Ahkam asy-Syar’iyah li al-Malik al-Wahhab
(cermin bagi penuntut ilmu fikih pada memudahkan mengenal segala hokum
syara’Allah), Kitab Tasawuf ‘Umdat
al-Muhtajin (tiang orang yang memerlukan), Kifayat al-Muhtajin
(pencukup para pengemban hajat), Daqa’id al-Huruf
(datail huruf), Bayan Tajalli
(keterangan tentang tajalli).
Abdur Rauf Singkel menganut paham bahwa
satuy-satunya wujud hakiki adalah Allah swt. Alam ciptaannya adalah wujud
bayangan, yakni bayangan dari wujud hakiki. Walaupun wujud hakiki Tuhan
berbeda dengan wujud bayangan (alam) terdapat keserupaan antara kedua wujud
tersebut. Tuhan melakukan tajalli (penampakkan diri dalam bentuk alam)
Secara tidak langsung, sifat Tuhan tampak padamanusia dan secara relatif
paling sempurna pada insan kamil.
Terkait dengan
pemikiran mengenai wujud Allah swt, dalam aliran tasawufnya, bahwa beliau
tidak setuju dengan tindakan pengkafiran yang dilakukan Nuruddin Ar-Raniri
terhadap pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsudin as-Sumatrani yang berpaham
wahdatul wujud atau wujudiyyah. Jika tuduhan pengkafiran tidak benar, orang
yang menuduh dapat disebut kafir.
Pandangan Abdurrauf
Singkel terhadap wahdatul wujud dinyatakan dalam buku Bayan Tajalli. Abdur Rauf Singkel dikenal dengan nama
Teungku Syiah Kuala. Nama ini diabadikan pada perguruan tinggi yang
didirikan di Banda Aceh pada tahun 1961 yaitu Universitas Kuala.
Muhammad
Yusuf bin Abdullah Abul Mahasin al-Taj al-Khawalwati al-Makassari,
dilahirkan di Moncong Loe, Goa,
Sulawesi Selatatan pada tanggal 3 Juli 1626 M / 1037 H. Ia belajar
al-Qur’an kepada Daeng ri Tamassang, guru setempat. Ia belajar tasawuf,
bahasa Arab, fiqih, tauhid kepada Sayid Ba Alwi bin Abdullah al-‘Allaham
al-Thahir, seorang Arab yang menetap di Bontoala. Setelah berusia 15 tahun
ia melanjutkan pendidikannya ke Cikoang dengan Jalaluddin Aydid, seorang
guru pengembara dari Aceh ke Kutai, sebelum sampai ke Cikoang. Setelah
belajar dengan Sayid Ba Alwi, ia kembali ke Goa, dan menikah dengan putri
Sultan Goa, Sultan Ala’uddin ( 1001 – 1049 H / 1593 – 1639 M ), Syekh Yusuf
meninggalkan istrinya untuk mengembara ke Banten. Ia bertemu dengan Abul
Mufakir Abdul Qadir ( 1037-1063 H / 1626-1651 M ). Ia menjalin hubungan
dengan Pangeran Surya, yang akan menggantikan kedudukan ayahnya Sultan
Abdul Qadir. Pangeran Surya kemudian bergelar Sultan Ageng Tirtayasa.
Dariu Banten, Syekh
Yusuf pergi menuju Aceh Darussalam, guna menuntut ilmu kepada Syekh
Nuruddin al-Raniri. Tetapi ia tidak sempat belajar kepadanya karena Syekh
al-Raniri sempat kembali lagi ke Ranir, Gujarat. Setelah itu ia menuju ke
Timur Tengah dan singgah dulu ke Zabid, Yaman. Di Kota ini ia belajar
kepada Muhammad bin Abdul Baqi al-Mizjaji an-Naqsabandi, Sayid Ali
al-Zabidi, dan Muhammad bin Wajihas-Sa’di al-Yamani. Disinilah ia belajar
tarekat Naqsabandiyah dan Tarekat Alawiyah dari al-Zabidi.
Di Haramaian ia belajar
dengan guru-gurunya dari Singkel. Dari Ibrahim al-Qur’ani, ia memperoleh
kepercayaan untuk menyalin kitab ad-Durrah al-Fakhira (Mutiara yang
Membanggakan) dan Risalah fil-Wujud (Tulisan tentang Wujud)
Setelah itu ia
melanjutkan pengembaraannya ke Damaskus. Di kota ini ia belajar dengan Ayub
bin AhmadAyub Ad-Dimisqi al-Khalwati ). Setelah itu ia kembali ke tanah air
pada tahun 1075 H / 1664 M, setelah 28 tahun mengembara di luar negeri. Ia
tidak langsung ke Goa. Ia menikah dengan putri Sultan Ageng Tirtayasa.
Karena Belanda merasa
terancam dengan pengaruh beliau maka Syekh Yusuf di buang ke Afrika Selatan
hingga wafat pada tanggal 22 Dzulhijjah 1111/22 Mei 1699 M.
Syekh
Abdussamad al-Palimbani lahir
di Palembang tahun 1116 H / 1704 M. Ayahnya seorang sayid dari san’a, Yaman
yang sering melakukan perjalanan ke India dan Jawa, sebelum menetap di
Keddah, ia diangkat menjadi Qadli (Hakim Agung) di Kesultanan Keddah.
Sekitar tahun 1112 H / 1700 M, ia pergi ke Palembang dan menikahi wanita
setempat, kemudian kembali ke Keddah dengan membawa putranya yaitu
al-Palimbani.
Di Keddah dan Patani,
al-Palimbani memperoleh pendidikan awal. Setelah itu ia dikirim ke Timur
Tengah untuk melanjutkan pendidikannya. Di Haramaian ia terlibat diskusi
dengan para ulama komunitas Jawi
(Ashab al-Jawiyi). Ia sempat bertemu dengan Syekh Muhammad
Arsyadal-Banjari, Abdul Wahab Bugis, Abdurrahman al-Batawidan Daud
al-Fatani.
Dal;am bidang sufi ia
menyebarkan ajaran neosufisme, untuk melakukan jihad melawan kekuasaan
kolonial Belanda. Salah satu karya yang mengindikasikan hal itu adalah
Nasihah al-Muslimin wa Tazkiyarah al-Mukminin fi Fadla’ilil Jihad fi
Sabilillah ( Nasihat bagi kaum Muslimin dan Peringatan bagi Orang Beriman
tentang keutamaan jihad di Jalan Allah ) .
Diantara guru-guru
beliau dari Haramaian adalah : Muhammad bin Abdulkarim as-Samani, Muhammad
bin Sulaiman al-Kurdi dan Abdul Mun’im ad-Damanhuri. Karirnya dimantapkan
di Haramaian dan tidak kembali ke Nusantara seperti ulama lainnya hingga
wafatnya tahun 1203 H / 1789 M. dalam usia 58 tahun.
MuhammadNafis
al-Banjari lahir pada tahun 1148 H
/ 1735 M di Martapura. Ia belajar di Makkah bersama as-Sammani, Muhammad
al- Jawhari, Abdullah bin Hijazi as-Sarqawi, Muhammad Siddiq bin Umar Khan
dan Abdurrahman bin Abdul Aziz al-Maghribi.
Pengaruhnya di
Kalimantan adalah dalam bidang tasawuf. Karyanya adalah Ad-Durrun Nafis fi
Bayanil Wahdah wal Af’alul Asma wa Sifat wa Zatut Taqdis. Karya ini selesai
pada tahun 1200 H / 1785 M. Karya ini berkali- kali dicetak di Kairo dan
Makkah. Karya lain yang belum pernah dicetak adalah Majmu’ul Asrar Li
Ahlillahil Aytar.
Muhammad
Arsyad al-Banjari lahir tahun 1122 H /
1710 M. DI Martapura, Kalimantab Selatan. Ia memperoleh pendidikan dasar
keagamaan dari ayahnya dan dari para guru di sekitarnya. Pada umur 7 tahun
beliau telah mampu membaca al-Qur’an secara sempurna. Kemampuan tersebut
menarik perhatian Sultan Tahlilullah ( 1112-1158 H / 1700-1745 M ),
sehingga ia meminta tinggal bersama di istana, dan menikashkannya. Saat
istri sedang mengandung, ia dikirim ke Haramaian untuk menuntut ilmu atas
biaya kasultanan.
Di Haramaian ia belajar
bersama dengan al-Palim Banjari selama 30 tahun. Gurunya As-Sammani,
Ad-Damanhuri, Sulaiman al-Kurdi, Athaillah al-Misri, Ibrahimar-Rais
al-Zamzami. Dengan Azamzami ia belajar falaq yang menjadikan beliau paling
ahli diantara ulama Melayu di Indonesia.
Kitab karangannya
adalah Sabilul Muhtadin (jalan bagi
orang yang mencari petunjuk). Dalam ilmu bathin ia menulis Kanzul Ma’rifah
(gudang Pengetahuan).
Beliau menerima Tarekat
Samaniyah dari as-Samani, dan ia merupakan orang yang bertanggungjawab atas
tersebarnya Tarekat tersebut di Kalimantan. Ia menetap di Makkah selama 30
tahun dan di Madinah 5 tahun. Ia kembali ke tanah air / Martapura tahun
1186 H / 1773 M.
Muhammad Arsyad
al-Banjari adalah ulama besar yang sangat berpengaruh dan berperanm penting
dalam sejarah Islam, khususnya di Kalimantan. Ia pernah menduduki Mufti
Kasulthahanan Banjar.
Muhammad Arsyad al-Banjari lahir di Lok Gabang,
Martapura, Kalimantan Selatan pada tahun 1710. Ia adalah putra tertua dari
Abdullah dan Siti Amina. Setelah wafat, ia juga dikenal dengan sebutan
Datuk Kalampayan karena makamnya berlokasi di di Desa Kalampayan (sekitar
56 km dari kota banjarmasin).
Ketika berusia tujuh
tahun ia diangkat menjadi anak angkat Sultan Tahlilullah (1700-1745). Umur
30 tahun Sulthan mengirim ke Makkah untuk menuntut ilmu dengan biaya
kerajaan. Sebelum berangkat Sultan menikahkan dengan seoran wanita bernama
Bajut, agar al-Banjari tetap pulang ke Banjar.Selama 30 tahun ia belajar
berbagai cabang ilmu. Di antara gurunya yang terkenal adalah Syekh
Attailah. Ia diberi izin mengeluarkan fatwa di Masjidil Haram. Ia
melanjutkan pendidikannya di Madinah kepada Imam Haramai, Syekh al-Islam
Muhammad bin Sulaiman a-Kurdi dan Syekh Abdul Karim as-Samani al-Madani.
Selama belajar di tanah
suci, al-Banjari berteman akarab dengan Syekh Abdussamad al-Palimbani dari
Palembang, Abdul Wahab Bugis (Sadanring Daeng Bunga Wardiyah) dari
Makassar, dam Syekh Abdurrahman Masri dari Jakarta. Sebenarnya al-Banjari ingin melanjutkan
pendiudikan ke Mesir tetapi Syekh al-Islam Muhammad bin Sulaiman al Kurdi
menasihatkan agar mereka kembali ke kampung untuk membina umat.
Diantara usaha usaha
al-Banjari adalah membetulkan arah kiblat seperti pada Masjid Jembatan
Lima, Masjid Luar Batang dan Masjid Pekojan. Di Mihrab Masjid Jembatan Lima
di Kecamatan Tambora Jakarta Barat tercatat dalam bahasa Arab bahwa arah masajid
itru diputar ke kanan sekitar 25 drajat olewh al-Banjari pada 4 Safar 1186
H (7 Mei 1772 M).
Al-Banjari tiba di
Martapura (ibu Kota Kasulthanan Banjar) pada bulan Ramadhan 1186 H atau
Desember 1772 M. Sejak itu hingga wafatnya (Kalampayan 6 Syawal 1227 H / 13
Oktober 1812 M) ia menghabdikan dirnya membina masyarakat dan mengmbangkan
Islam dibantu Syekh Abdul Wahab Bugis menantunya. Syekh Abdul Wahab Bugis
dinikahkan al-Banjari dengan putrinya Syarifah di Mekkah tidak lama setelah
al-Banjari menerima surat dari Sultan Banjar bahwa istrinya telah
melahirkan anak dan Sudah Dewasa.
Langkah pertama yang
diambil al-banjari setibanya di Martapura adalah membina kader-kader ulama,
khususnya di lingkungan keluarga sendiri. Untuk itu ia tidak tinggal di
istana. Ia meminta kepada Sultan agar diberi sebidang tanah yang akan
digunakan sebagai tempat tinggal, tempat pendidikan, dan pusat pengembangan
Islam. Sultan Tamjidillah (1745-1778) yang berkuasa saat itu mengabulkan
permintaannya. Al-Banjari diberi sebidang tanah kosong berupa hutan
belukar, yang kemudian diubah menjadi perkampungan, membangun rumah, tempat
pengajian, perpustakaan dan asrama para santri. Kampung itu sekarang
terkenal dengan nama Dalam Pagar. Sebuah tempat pendidikan yang pertama
kali dikenalkan al-Banjari, sebuah tempat pendiudikan yang lengkap dengan
mushala, tempat belajar, kiai, perpustakaan dan asrama untuk para santri.
Disamping itu al-banjari terjun langsung ke masyarakat.
Al-Banjari kemudian
memberlakukan hukum Islam atas anjuran Kasultanan banjar, baik hukum
perdata maupun hukum pidana. Untuk melaksankan tujuan tersebut dibentuk
Mahkamah Syari’ah disamping dibentuk lembaga kekadian. Untuk melaksanakan
Mahkamah Syari’ah ini dibentuk mufti. Mufti pertama yang ditujuk adalah
Syekh Muhammad As’ad, cucu al-banjari. Adapun kadi yang pertama yang adalah
Abu Zu’ud, anak al-banjar.
Diantara hasil karya
al-Bnajari adalah, Sabilul Muhtadin (Jalan orang yang mendapat Petunjuk)
Kitab ini menjadi pegangan dan bahan pelajaran di berbagai daerah di Indonesia,
Malaisyia dan Thailan pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Syekh
Muhammad bin Umar an-Nawawi al-Bantani lahir
di Tanara, Serang Banten pada tahun 1230 H / 1813 M. Ayahnya Umar bin
Arabi, adalah seorang pejabat penghulu kecamatan Tanara Banten. Ibunya
seorang muslimah yang taat asli penduduk Tanara. Sejak kecil ia belajar
dari ayahnya dalam bidang ilmu-ilmu agama.
Pada umur 15 tahun,
Nawawi al-Bantani pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji, dan
tinggal / menetap di Makkah selama tiga tahun. Ia belajar dengan Sayid
Ahmad bin Sayid Abdurrahman an-Nawawi, Sayid Ahmad Dimyati dan Sayid Ahmad
Zaini Dahlan. Sedangkan di Madinah, ia berguru kepada Syekh Muhammad Khatib
Sambas al-Hambali. Di Mesir ia berguru kepada Yusuf Samulaweni, Nahrawi dan
Abdul Hamid Dahastani.
Pada tahun 1833, Syekh
Nawawi al-Bantani kembali ke Banten. Tahun 1855 M ia berangkat ke Haramain
dan menetap di sana hingga akhir hayatnya tahun 1314 /1897.
Ia mengajar di Masjidil
Haam sejak tahun 1860 M, khususnya di Ma’bad Nashr al-Ma’arif ad-Diniyah.
Beliau mendapat gelar Syekh al-Hijaz.
Ia memiliki lebih dari
3000 murid. Diantara murid yang berasal dari Melayu adalah KH. Hasyim
As’ari, KH. Akhmad Khalil, KH. Ilyas dan KH. TB. Muhammad Asnawi dari
Caringin. Ia menulis lebih dari 100 buah buku yang berkisar dalam bidang
tafsir, fiqih, tauhid, tasawuf, tata bahasa Arab, hadis dan akhlak. Dalam
bidang tafsir karyanya adalah Tafsir al-Munir atau Tafsir Marah Labid.
Syekh
Ahmad Khatib Minangkabau, lahir di Bukittinggi,
Sumatera Barat pada tahun 1276 H / 1855 M. Ayahnya adalah seorang Jaksa di
Padang, sedangkan ibunya adalah seorang anak dari Tuanku Nan Renceh,
seorang ulama terkemuka dari golongan Paderi.
Ahmad Khatib kecil
mendapat pendidikan awal pada sekolah yang didirikan oleh Belanda yaitu
sekolah rendah dan sekolah guru di daerahnya. Tahun 1876 M, Ahmad Khatib
melanjutkan pendidikan agama di Makkah, tempat kelak ia memperoleh
kedudukan tinggi dalam mengajarkan agama dan Imam dari mazdhab syafi’I di
Masjidil Haram.
Meski tidak kembali ke
tanah air, namun beliau sangat gigih dalam mempropagandakan pembaharuan,
terutama yang berkaitan dengan Minangkabau. Gagasan pembaharuannya di bawa
oleh para jama’ah haji dari Melayu serta para murid –muridnya. Diantara
murid-muridnya adalah, Syekh Tahir Jalaluddiin al-Azhari (1869-1956), Syekh
Muhammad Jamil Jambek (1860-1947), Haji Karim Amrullah (1879-1945), dan
Haji Abdullah Amad (1878-1933).
Diantara gagasan
pembaharuan Islam yang dilakukan Syekh Akhmad Khatib adalah menekenkan pada
pentingnya syari’at dan menolak tarekat. Karyanya adalah Izhar Zugalul
Kadzibin yang berisi penolakan terhadap praktik tarekat Naqsabandiyah.
|