Purwojati adalah sebuah
kecamatan di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. Wilayah Desa /
Kelurahan di Kecamatan Purwojati adalah meliputi : Gerduren, Kaliputih, Kalitapen,
Kaliurip, Kaliwangi, Karangmangu, Karangtalun Kidul, Karangtalun Lor, Klapasawit,
Purwojati.
Di wilayah Purwojati
ada beberapa makam yang mungkin dapat dikunjungi khususnya bagi mereka yang
terbiasa melakukan perjalanan ziarah terutama yang ada di wilayah Kabupaten
Banyumas dan sekitarnya. Diantara makam yang dapat dikunjungi di Kaliputih
adalah :
1.
Makam Mbah Wangsa Krama
Wangasa
Krama lahir sekitar akhir abad ke-16. Tidak diketahui tanggal tahun
kelahirannya. Beliau diperkirakan hidup sezaman dengan Syaikh Abdus Shomad
Jombor, atau bahkan beliau sendiri pernah menjadi murid beliau.
Penulis
bukan termasuk penduduk Kaliputih sehingga, untuk mengetahui lebih jauh dan
lebih dalam tentang latar belakang kehidupan masa lampau beliau.
Menurut
cerita rakyat setempat bahwa Mbah Wangsa Krama ini lahir bersama empat
orang adik. Sebelum disebut sebagai Desa Kaliputih, wilayah ini konon masuk
wilayah kekuasaan Padjajaran. Tetapi wilayah-wilayah di sebelah timur
Kawedanan Ajibarang ini termasuk wilayah yang diberi otoritas / otonomi untuk
mengatur wilayahnya sendiri.
Ketiga
adik dari Wangsa Krama ini semuanya menjadi prajurit sukarela, karena sang
ayah saat itu diberi kekuasaan untuk mengatur jalannya ketertiban desa.
Atau “Pemangku Abdi Dalem” dusun stempat.
Mengetahui
bahwa wilayah Kaliputih ini diberi kekuasaan otoritas penuh, maka dianggap
oleh Kawedanan Ajibarang dan Kawedanan pasir Luhur sebagai wilayah tanpa
tuan. Perebutan wilayah Kaliputih ini terjadi sekitar akhir abad ke-16,
ketika kawedanan Ajibarang menganggap bahwa wilayah ini adalah bagian dari
kekuasaan, sehingga terjadilah perang memperebutkan Kaliputih.
Kawedanan
Pasir Luhur menganggap bahwa ia juga memiliki hak untuk menguasai wilayah
ini, sebab berdasarkan luas kekuasaan wilayah Pasir Luhur adalah disebelah
Timur Kawedanan Ajibarang saat itu.
Terjadinya
persengketaan antar kepentingan yang masing-masing Kawedanan memiliki
alasan telah menyulut emosi ayah dari Wangsa Krama untuk tidak mau tunduk
kepada Kawedanan mana pun.
Satu
wilayah menghadapi dua Kawedanan. Semua masyarakat di wilayah tersebut saat
itu bertempur dengan penuh satria mempertahankan sejengkal tanah
kelahirannya. Salah satu Adik wangsa krama gugur ketika berperang melawan Kawedanan
Ajibarang, dalam peperangan tersebut Kawedanan Ajibarang tidak mampu
menaklukkan Kaliputih saat itu. Sedang
yang satunya gugur ketika mempertahankan wilayah dari penyerangan Kawedanan
Pasir Luhur. Adik yang satunya selamat ketika mampu mencapai kemenangan
mempertahankan penyerangan dari Kawedanan Pasir Luhur.
Wangsa
Krama merupakan anak pertama, saat itu adalah sosok pribadi yang pendiam
namun tegas. Sejak memasuki usia dewasa, oleh ayahnya di kirim ke Padepokan
Mbah Abdus Shomad Jombor. Selama beberapa tahun kemudian beliau keluar dari
Padepokan Abdus Shomad Jombor, untuk melakukan pengembaraan seperti halnya
yang dilakukan oleh Beliau Mbah Abdus Shomad Jombor.
Kepergiannya
dari Jombor saat itu digunakan untuk bertemu dengan sang ayah, dan mohon
pamit dan izin untuk melakukan
pengembaraan. Wangsa Krama muda yang masih energik ini kemudian melakukan
pengembaraan dan melakukan pertapaan di beberapa wilayah Banyumas. Pesan
sang ayah bahwa kelak kekuasaan desa ini akan diberikan kepada anak pertama
untuk menduduki jabatan sebagai “Pengabdi Wilayah Dalem”.
Setelah
merasa bekal keilmuan cukup, kemudian Wangsakrama muda mengambil keputusan
untuk pulang kembali kepada keluarganya, sambil mengetahui kabar terakhir
tentang wilayahnya yang sedang diperebutkan oleh dua kawedanan.
Sesampainya
di kediaman keluarga sang ayah yang telah sepuh menyambutnya dengan penuh
rasa haru dan bangga, melihat Wangsa Krama Muda yang energik, tampan dan
nampak seperti pendekar dapat berkumpul kembali bersama keluarga.
Ketika
sampai di rumah, ayahnya menyuruh Wangsa Krama untuk bertandang ke rumah
sang adik yang telah berkeluarga. Kehadirannya di rumah sang adik disambut
bahagia oleh istri adiknya. Selama ini istrinya tidak pernah bertemu dan
hanya tahu dari informasi sang suami, bahwa ia masih memiliki kakak
tercinta yang terus mengembara.
Kebahagiaan
itu membuat istri adiknya untuk memberi penghormatan, yang lebih terhadap
sang kakak. Di meja rumahnya penuh dengan hidangan yang sengaja dibuat dan
disediakan untuknya.
Sambil
bercerita tentang keadaan wilayah, diceritakan pula bahwa suaminya telah
satu minggu belum pulang, dan masih berjaga di batas desa Kaliputih
mengingat kemenangan ini masih dicapai beberapa hari, serta untuk mejaga
kemungkinan penyerangan berikutnya.
Pada
hari yang ketujuh sang suami pulang. Begitu sampai, ketukan pintu tidak
terdengar oleh sang istri, sehingga ia mengambil pintu belakang. Ketika
sedang berjalan menuju pintu belakang, dari balik jendela sang suami melihat
istrinya sedang bercengkrama dan makan bersama dengan orang lain.
Alangkah
terkejutnya sang suami yang baru saja pulang dari medan peperangan, dengan
membawa berbagai emosi, trauma, serta menumpuk rasa jengkel yang tinggi,
menyaksikan sang istri sedang berduaan dengan orang lain yang tidak lain
adalah kakak sendiri. Dada berdegub keras, darah perangnya menguasai emosi
diri yang tidak terkendali.
Istrinya
tergopoh menyambut kepulangan sang suami, begitu juga sang kakak yang sudah
puluhan tahun tidak bertemu membuat kerinduan itu tertumpuk ingin segera
memeluknya dan ingin menyampaikan ucapan selamat atas kemenangan yang telah
diraih.
Baru
saja sang kakak ingin memeluknya sebagai ujud kerinduan yang selama puluhan
tahun terpendam, kaki sang adik kontan menendang perut kakaknya. Kekuatan
emosi seorang yang habis bertempur rupanya tidak cukup untuk menenangkan
hati sang suami yang sedang kalap.
Sang
kakak yang terkapar di depan dirinya membuat istrinya terus menangis
dan mendekap agar tidak melakukan
kekerasan yang lain. Pedang yang masih terselip di pinggangnya telah
dikeluarkan dari “Sarung Wrangkah” dan sekali keluar butuh darah yang harus
ditumpahkan.
Pertengakaran
antar kakak dan adik ini menggemparkan para tetangga di kanan kiri, namun
mereka tidak mampu berbuat apa-apa karena mereka melihat suasana ketegangan
yang sulit diredakan oleh siapa pun, dan hatinya telah dikuasai
syetan-syetan lembah peperangan yang baru saja dilakukan.
Ada
beberapa hal yang melatar belakangi mengapa pertengkaran itu sampai
terjadi. Pertama, sang suami
menuduh sang istri telah berbuat mesum / selingkuh dengan kakaknya yang
lebih tampan. Kedua, sang suami
beranggapan bahwa kepulangan sang kakak adalah sedang memanfaatkan situasi
dan kondisi karena bertepatan dengan dirinya yang sedang berjuang di medan
pertempuran. Ketiga, sang adik
menduga bahwa antara istrinya dan kakaknya telah terjadi penyusunan rencana
/ mengatur rencana / siasat untuk membawa istinya lari meninggalkan sang
suami. Keempat, timbulnya rasa
iri yang berlebihan sejak sang ayah selalu berwasiat bahwa kakaknya akan
diberi jabatan sebagai “Pengabdi Wilayah Dalem” setelah sang ayah
meninggal.
Dalam
satu hari itu keputusan untuk mengadili siapa yang sesungguhnya bersalah
harus diadili oleh dirinya. Sang kakak dengan suara lemah lembut, tetap
bersumpah bahwa kehadirannya ke rumah sang adik adalah hanya kerinduan pada
sang adik yang telah puluh tahun tidak bertemu dan baru kembali. Sang istri
karena tidak pernah merasa melakukan berbagai tuduhan tersebut pun terus
meredam kemarahan sang suami.
Merasa
bahwa semua alasan tidak didengar sang adik, maka kemudian sang kakak lari
dari hadapan adiknya menuju ke tempat pertapaan wangsa krama di lokasi
hutan curah. Setelah terjadi saling kejar beberapa lamanya sampailah Wangsa
Krama menunjukkan tempat pertapaan terakhir di hutan curah sebelum dirinya
pulang dan bertandang ke rumah sang adik.
Namun
itu tidak cukup menjadi bukti bagi seorang yang sedang “dikuasai nafsu
amarah” hingga pada akhirnya sang kakak tidak berdaya untuk mengatakan
alasan dan bukti yang lain. “Silahkan kamu bunuh saja aku, bila kamu tidak
lagi memegang kata-kataku. Kelak kau akan menyesal dan kau akan dikucilkan
dari tetangga-tetanggamu dan istrimu, bukan karena kebusukan hatimu, tapi
karena air mata penyesalan yang mengalir dari kedua matamu telah mengotori
tanah wilayah ini. Pengembaraan suci panjangku telah kau kotori dengan
fitnah. Tidak ada seorang kakak yang melindungi bagi adik-adiknya dalam
ancaman kejahatan akan menemui ajalnya terlebih dahulu sebelum dia melihat
adik-adinya tersenyum. Namun kini rupanya telah terbalik, seorang adik yang
kelak akan menangis meratap atas
kesalahannya, karena sang kakak tidak lagi berada disampingnya. Pantang
bagiku membebani dosa atas kesalahan yang telah aku perbuat, jika aku
mengkhianati kejujuran dihadapan adikku sendiri. Kau harus mempercayaiku dengan
sumpahku bahwa aku tidak memperdaya istrimu sebab dia juga menjadi adikku.
Jika kau melanggar sumpahku, maka lebih terhormat adik-adikmu yang telah
gugur di medan pertempuran dan kaulah yang sesungguhnya yang akan terhina
dihadapan rakyatmu sendiri. Ingatlah
darah yang mengalir dari kesucian hati karena memegang kejujuran akan
berubah menjadi putih. Jika kau tetap tidak menjatuhkan pedangmu ke tanah
dan meminta ma’af atas kesalahanmu sendiri, maka kau bukanlah seorang
ksatria. Bukan pedangmu yang akan membuatmu jadi raja bukan juga mahkota
yang membuatmu dihormati rakyat karena kehebatanmu, tetapi hati dan
kemanusiaan. Agar kau percaya bahwa semua ini fitnah, tunjukkan kehebatanmu
bermain pedang denganku. Sekarang aku mengerti bahwa perjuangan yang telah
kau lakukan bukan karena panggilan hati. Kau berperang karena takut istri
cantikmu direbut musuh. Kau berperang karena nafsu terhadap harta duniawi,
takut berpindah dikuasai musuh-musuhmu...”
Belum
saja selesai Wangsa Krama berbicara, pedangnya telah ditebaskan di paha
sang kakak. Darah yang mngucur berwarna putih. Terpental tubuh Wangsa Krama
ke dalam kali / curah yang selama ini digunakan untuk bersuci dalam
melakukan penyepian. Darah terus mengucur terbawa air sepanjang sungai.
Dalam
serba kalut dan tidak tahu bagaimana yang harus dikatakan kepada sang
kakak, sang adik kemudian berteriak memanggil kepada siapa saja yang
mendengar untuk menolong nyawa Wangsa Krama dengan berteriak “ Kali
Putiiih”.
Sepanjang
sungai yang mengalir berwarna putih yang sebenarnya adalah darah Sang
Wangsa Krama, mengalir sepanjang wilayah, orang melihat seperti air Tape /
Kalitapen (air yang dihasilkan dari hasil fermentasi Singkong), dan air
sungainya tetap mengalir meskipun dilanda kemarau panjang (Kaliurip).
Kejujuran dan kesatria Wangsa Krama ini dikenang sebagai Kaliwangi.
Konon
setelah kejadian tersebut, sang adik tidak lagi pulang melihat istrinya.
Perasaan menyesal dan malu terhadap keluarga dan masyarakat membuat ia
pergi ke arah selatan, hingga tidak lagi diketahui nasib dirinya. Rasa
penyesalan seumur hidup, mengiringi hembusan nafas Wangsa Krama, kakak
satu-satunya sebagai pewaris pengabdi tahta, setelah dua adiknya mendahului
wafat dalam mempertahankan wilayahnya.
Dihadapan
sang kakak yang membujur kaku, sang adik tidak henti-hentinya menangis,
namun air matanya tidak cukup untuk membangkitkan jasad yang terbujur, air
mata yang tidak cukup suci untuk merubah darah putih sang kakak, bahkan
mengotori nilai keluhuran seorang ksatria.
Lokasi
Makam Mbah Wangsa Krama
Lokasi
makam Mbah wangsa Krama berada di hutan pegunungan Curah (minta ma’af bila
terdapat kesalahan penunjukkan tempat). Dari arah balai Desa Kaliputih
keutara kemudian menuju ke barat ke batas desa. Dari batas desa ini masih
harus berjalan kaki kurang lebih satu setengah kilometer, melewati sawah
dan ladang baru kemudian masuk ke lokasi hutan.
Perjalanan
pada malam hari sebaiknya membawa perlengkapan senter yang cukup serta
perlengkapan jaket, sebab begitu masuk lokasi hutan akan terasa tubuh kita
dingin tertiup angin pegunungan seperti di tempat-tempat yang lain.
Peziarah
dari luar kota biasanya akan dibimbing oleh kuncen atau menggunakan jasa
penduduk setempat sebagai penunjuk jalan. khususnya bagi masyarakat
Banyumas, makam Mbah Wangsa Krama telah dikenal bahkan masuk cagar
peninggalan, disamping berada di lokasi hutan negara.
Sepuluh
meter mendekat makam Mbah Wangsa Krama, maka kita akan disambut bau
belerang yang sangat menyengat. Bau belerang ini berasal dari air sungai /
curah dimana Mbah Wangsa Krama meninggal karena tidak lagi tertolong oleh
ulah adiknya sendiri. Dalam sungai curah ini biasanya para peziarah
menggunakan untuk mandi untuk membuang “Sebel Puyeng” kata orang Banyumas.
Sebelum melakukan do’a / tahlil di dekat makam Mbah Wangsa Krama sungai ini
biasanya digunakan untuk bersuci terlebih dahulu. Masyarakat disekitar
selalu mengingatkan kepada para peziarah, bahwa peziarah datang karena
mendo’akan bukan berziarah untuk meminta kepada yang telah wafat, agar
tidak tergelincir kepada kemusyrikan. Semua permintaan wajib ditujukan
kepada Allah SWT.
Pada
tempat ziarah itu disediakan tajug / cungkup berukuran 2x3 meter. bagi para
peziarah. Makamnya tidak mengalami pembaharuan sejak pertama kali beliau
dikebumikan, di bawah pohon yang umurnya sudah ratusan tahun, bahkan mungkin
seumur dan setua dengan letak makam Mbah Wangsa Krama. Konon di bawah pohon
inilah Mbah Wangsa Krama menghabiskan waktunya menyepi / bertapa menjelang
hari-hari terakhir Mbah Wangsa Krama akan mengabdikan ilmunya untuk
masyarakat Kaliputih dan sekitanya. Namun takdir berkata lain. Mbah Wangsa
Krama yang gagah berani tampan dan terhormat harus mengakhiri hidupnya di
ujung pedang adik sendiri, hanya untuk mensucikan kejujuran dan
membersihkan diri dari fitnah.
Penuturan
seputar sejarah Mbah Wangsa Krama amat beragam. Tentang kebenaran berbagai
cerita dari mulut ke mulut pun belum menjadikan bahwa diantara kisah yang
ada menjadi bukti yang paling benar. Namanya cerita rakyat yang diwariskan
bukan dengan tulisan, sehingga terkadang tidak sama antara penuturan satu
orang ke telinga yang lain. Namun berbagai cerita dan penuturan tersebut,
bukanlah maksud untuk “pelecehan” moral dan kemanusiaan bagi pelaku sejarah,
karena memang sejarah menceritakan yang telah terjadi. Sejarah tidak
bermaksud menghakimi tetapi berawal dari sejarah kita tahu masa lalu,
tentang berbagai kehebatan tokoh para pendahulu.
Wallahua’lam
2.
Syekh Nur 'Afiyah Kaliputih Purwojati
Makam Syekh Nur 'Afiyah, berada di bukit atau yang lebih dikenal "Astana Nur" / kebon penduduk setempat. Letaknya dari
Balai Desa Kaliputih ke timur, berjalan naik ke sebuah bukit Astana Nur / kurang lebih 500 meter dari arah jalan
raya. Di lokasi ziarah disediakan tajug / cungkup berukuran 2 x 3 meter.
Meski beliau semasa hidupnya telah berjasa menyebarkan agama Islam di
wilayah Kaliputih / Purwojati, namun makamnya dibangun amat sederhana.
Mbah Syekh Nur 'Afiyah, dilahirkan sekitar abad ke-17, beliau diperkirakan dari
wilayah Cirebon dan pernah berguru ke pada Sunan Gunung Jati. Belum
ditemukan data yang mendukung tentang Syaikh Nur Arifin sejak beliau berada
di wilayah Banyumas.
Informasi
yang selama ini berkembang di wilayah Kaliputih menunjukkan tentang
keterlibatan beliau sebagai guru masyarakat Kaliputih dalam menyebarkan dan
mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam kepada masyarakat setempat, sampai beliau
wafat di wilayah ini.
Syekh Nur 'Afiyah yang terkenal kesederhanaanya itu dalam melakukan perjalanan
dakwahnya hampir di semua wilayah Purwojati dan sekitarnya. Bekal yangh di
bawa hanya membawa “Kendi” ( sejenis perlengkapan masak yang dapat
digunakan untuk menanak nasi dan mendidihkan air. Bahkan karena
kesederhanaannya banyak masyarakat yang bersimpatik untuk menyediakan
tempat tinggal dan memberi makanan yang diperlukan. Keramahan dan
penghormatan penduduk setempat tidak serta merta Syekh Nur 'Afiyah merubah
cara hidup sehari-hari.
Syekh Nur 'Afiyah tidak ingin merepotkan orang lain, sehingga kebaikan-kebaikan
yang ditawarkan tidak menjadi penghalang dalam melakukan dakwahnya.
Terkadang orang bisa saja menjadi “Ewuh Pekewuh” untuk mengatakan yang
bathil, untuk mengingatkan yang salah, untuk menjadi teladan, seakan
menjadi “Rikuh” sebab telah ditolong dan diberi fasilitas.
Makamnya
tidak pernah sepi dari para pengunjung yang menyempatkan berdo’a, tahlilan
di dekat makam beliau.
3.
Mbah Mangku Jagat Kaliputih Purwojati
Demikian beberapa tulisan
tentang beberapa makam yang ada di Wilayah Kaliputih Purwojati, semoga
tulisan rintisan ini akan melengkapi Khasanah biografi tokoh-tokoh masa
silam di Banyumas.
|