Negara ini merdeka tidak gratis , perjalanan
panjang dilalui dengan pengorbanan darah dan nyawa untuk menegakkan
kemerdekaan demi kedaulatan sebagai sebuah bangsa, yaitu bangsa indonesia.
350th dijajah belanda , sama dengan negara ini diperbudak belanda selama 7
turunan ( 50th perturunan ) dan selama itu pula bangsa ini berjuang
mengusir penjajah tersebut.
Namun , seringkali bangsa ini lupa sejarah
sehingga sakit hati dan pengorbanan para pejuang bangsa dilupakan begitu
saja , perjuangan menuntut permintaan "MAAF" ke belanda atas
dosa-dosa mereka mandek dan mati suri. Yang ada malah sekarang bangsa ini
dirampok habis-habisan oleh koruptor , untuk mengingatkan kembali
perjuangan para leluhur kita
menyajikan artikel perang-perang besar kemerdekaan.
BULAN-bulan terakhir tahun 1948 adalah saat
terberat dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Bukan saja karena
Republik yang masih usia balita itu harus menghadapi musuh di depan
Belanda-tetapi juga ditusuk dari belakang oleh anak-bangsa sendiri, yaitu
kelompok komunis (PKI) pimpinan Muso yang mendalangi peristiwa (kudeta)
Madiun pada pertengahan September 1948.
Klimaksnya ialah terjadinya serangan (agresi)
militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948. Akibatnya nyaris fatal. Ibu
kota Republik, Yogyakarta, diduduki Belanda, Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Mohammad Hatta beserta sejumlah menteri yang berada di ibu kota
ditangkap. Sejak itu Belanda menganggap Republik sudah tamat riwayatnya. Akan
tetapi, kemenangan militernya itu hanya bersifat sementara. Walaupun ibu
kota Yogya jatuh ke tangan Belanda dan Presiden Soekarno serta Wakil
Presiden Hatta dengan sejumlah menteri dapat ditawannya, nyatanya Republik
tidak pernah bubar seperti yang dibayangkan Belanda. Suatu titik balik yang
tak terduga oleh Belanda datang secara hampir serentak dari dua jurusan
Pertama, dari Yogya dan kedua dari Bukittinggi
di Sumatera. Beberapa jam sebelum kejatuhan Yogya, sebuah sidang darurat
kabinet berhasil mengambil keputusan historis yang amat penting: Presiden
dan Wakil Presiden memberikan mandat (dalam sumber “menguasakan”) kepada Mr
Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI di
Sumatera. Jika ikhtiar ini gagal, mandat diserahkan kepada Dr Soedarsono, Mr
Maramis dan Palar untuk membentuk exile-government di New Delhi, India.
Surat mandat tersebut kabarnya tidak sempat “dikawatkan” karena hubungan
telekomunikasi keburu jatuh ke tangan Belanda. Namun, naskahnya dalam
bentuk ketikan sempat beredar di kalangan orang Republieken.
Kedua, sewaktu mengetahui (via radio) bahwa
Yogya diserang, Mr Sjafruddin Prawiranegara (waktu itu Menteri Kemakmuran)
yang sedang bertugas di Sumatera, segera mengumumkan berdirinya Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi. Tindakannya itu mulanya
bukan berdasarkan pada mandat yang dikirimkan Yogya, melainkan atas
inisiatif “spontan”, Sjafruddin dengan pemimpin setempat, PDRI pada
gilirannya dapat berperan sebagai “pemerintah alternatif” bagi Republik
yang tengah menghadapi “koma”.
Sebagaimana terbukti kemudian, selama delapan
bulan keberadaannya (Desember 1948-Juli 1949), PDRI di bawah kepemimpinan
Sjafruddin di Sumatera mampu memainkan peran penting sebagai pusat
gravitasi baru dalam mempersatukan kembali kekuatan Republik yang
bercerai-berai di Jawa dan Sumatera. Bahkan, tidak kurang dari Panglima
Soedirman sendiri, yang kecewa dengan menyerahnya Soekarno-Hatta kepada
Belanda, menyatakan kesetiaannya kepada PDRI dan siap memimpin perjuangan
dengan bergerilya di hutan-hutan belantara dalam keadaan sakit parah
sekalipun.
Sementara itu, kontak-kontak PDRI via India ke
dunia internasional membuat kemenangan militer Belanda semakin tak berarti,
suatu Pyrrhic victory, suatu kemenangan yang terlalu banyak makan korban, suatu
kemenangan sia-sia karena sukses militer yang dicapainya harus ditarik
kembali. Hanya dalam tempo tiga hari setelah kejatuhan Yogya, tepatnya
tanggal 22-23 Desember, Dewan Keamanan PBB buru-buru mengadakan sidangnya.
Semua negara, kecuali Belgia, mengecam keras tindakan Belanda di Indonesia.
Pihak Belanda benar-benar dibuat sebagai “pesakitan” yang kehilangan muka
di panggung pengadilan dunia.
Resolusi DK-PBB, kemudian juga diperkuat dengan
Konferensi Asia di New Delhi kurang satu bulan kemudian, yang menuntut
pembebasan segera para pemimpin Republik yang ditangkap, begitu juga
pengembalian ibu kota Yogya dan pembentukan pemerintahan Indonesia yang
demokratis tanpa campur tangan Belanda. Dalam perundingan-perundingan
selanjutnya negara bekas penjajah itu tidak bisa lagi mengelak dari campur
tangan internasional. Sejak itu, kebohongan-kebohongan yang direkayasa
Belanda lewat manipulasi informasi untuk mempengaruhi opini dunia semakin
kelihatan belangnya sehingga membuat posisinya semakin terpojok, baik di
Indonesia maupun di mata dunia.
Tulisan ini ingin mendiskusikan sekadarnya
tentang posisi Soekarno di masa PDRI, yang selama ini terkesan ingin
dilupakan, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh sejumlah penulis
biografinya, dan bahkan juga dalam wacana sejarah bangsa umumnya. Apakah
dilema sejarah yang dihadapinya dalam kerangka perjuangan diplomasi
dan/atau militer pada masa itu? Apa sebenarnya yang terjadi dalam diri
Soekarno sehingga peranannya dalam masa-masa krisis waktu itu seakan-akan
tenggelam sebagai kawasan terra incognita yang belum banyak disentuh selama
ini?
Pemimpin yang hadir di saat-saat kritis
Telah berpuluh-puluh tahun “Bapak Bangsa” (the
founding fathers)-jika yang dimaksud dengan itu ialah semua tokoh yang ikut
merumuskan konstitusi-berjuang mendirikan sebuah nation-state, negara
bangsa yang akhirnya diproklamasikan 17 Agustus 1945 itu: Republik
Indonesia atau sering disingkat dengan Republik saja. Dalam usianya yang
masih bayi itu, Republik yang dimerdekakan dengan revolusi itu terpaksa
harus menghadapi cobaan yang bertubi-tubi. Namun, belum pernah terjadi
sebelumnya dan juga tidak sesudahnya, kecuali hanya pada masa agresi kedua,
ketika sebuah ibu kota negara jatuh ke tangan musuh, Presiden dan Wakil
Presidennya beserta sejumlah menteri ditangkap Belanda. Juga belum pernah
terjadi sebelumnya, kecuali pada masa ini, simpati dan dukungan dunia
internasional terhadap Indonesia demikian intensnya. Di atas segala-galanya
nasib Republik pada akhirnya haruslah ditentukan oleh pemimpin dan bangsanya
sendiri.
Salah seorang pemimpinnya yang paling terkemuka
ialah Soekarno, proklamator dan Presiden Republik yang pertama. Ia tak
hanya cakap dalam menghadirkan gagasan, tetapi juga seorang pemimpin yang
selalu hadir memberi “kata-putus” di saat-saat yang paling genting bagi
negara dan bangsanya. Itulah yang terjadi, misalnya, pada saat-saat genting
sebelum Proklamasi, di mana faktor Soekarno bersama Hatta, menjadi amat
menentukan dalam Kasus Rengasdengklok. Bukankah, situasi kritis pada rapat
raksasa yang penuh gejolak di Lapangan Ikada-satu bulan setelah ia menjadi
presiden-hanya dapat didinginkan oleh Soekarno, hingga hadirin bisa pulang
dengan tenang dan pertumpahan darah dengan Jepang pun akhirnya tak perlu
terjadi? Bukankah Soekarno pula yang dipanggil Sekutu untuk meredakan
pertempuran 10 November di Surabaya ketika posisinya yang semakin terjepit
dan siap melepaskan senjata modern, memerlukan seorang Bung Karno, demi
untuk menghindari semakin banyak korban ‘mati-konyol’ karena pasukan bambu
runcing yang siap “berjibaku” untuk Tanah Air mereka, seperti juga dalam
pertempuran Ambarawa?
Akan tetapi, di masa kritis pada penghujung
tahun 1948, bisakah Soekarno sebagai pemimpin, membawa bangsanya keluar
dari keadaan gawat itu? Memang tak mudah melihat Bung Karno dalam potret
hitam putih. Seperti dikatakan sejarawan Onghokham (1978), dia adalah
“pribadi yang kompleks dan tokoh penuh aneka warna”. Namun, untuk satu hal,
“Bung Karno adalah sebuah gelora“, tulis kolumnis Gunawan Mohamad dalam
sebuah esai pendeknya (1991). Sebuah gelora adalah sesuatu yang
menggetarkan. Sebuah gelora juga merupakan sesuatu yang bisa memesonakan
dan bahkan menghanyutkan. Tetapi, sebuah gelora juga merupakan sesuatu yang
tak punya definisi yang persis. Ia bagaikan nebula yang jauh di langit.
Mungkin gugus itu sehimpun bintang yang bersinar atau barangkali hanya
selapis kabut bercahaya.
Nebula yang bersinar itu ialah harapan yang
dipancarkan dari figur dan pidato-pidatonya yang menggetarkan. Tetapi,
harapan juga bisa berbalik menjadi kekecewaan baru, ketika apa yang
dijanjikannya tak sesuai kenyataan. Itulah yang terjadi pada saat-saat
genting sewaktu agresi Belanda kedua itu.
Pada bulan-bulan terakhir 1948, Bung Karno
sangat sibuk mengadakan perjalanan dan menyampaikan pidato-pidato
politiknya yang gegap gempita, guna mengangkat moral perjuangan yang
semakin merosot karena ditusuk dari muka dan belakang. Di depan ada
Belanda, yang setelah Perjanjian Renville (Januari 1948) terus-menerus
menggembosi dukungan Republik dengan mendirikan negara-negara federal versi
Van Mook. Waktu itu hampir semua wilayah Indonesia sudah berada di bawah
pengaruh Belanda dengan berdirinya negara-negara federal ciptaan Van Mook
di sana, kecuali di tiga daerah: Yogyakarta, Sumatera Barat, dan Aceh, di
mana negara federal tidak mendapat tempat karena kesetiaan kepada Republik
sudah merupakan harga mati yang tak bisa ditawar-tawar.
Sementara tekanan politik federal Van Mook
semakin gencar, terjadi pula pemberontakan PKI di Solo dan Madiun bulan
September 1948. Pemberontakan itu bukan hanya suatu pengkhianatan,
melainkan juga “tusukan dari belakang”, yang memperlemah Republik di saat
posisi Belanda semakin unjuk kekuatan dan diperkirakan akan melakukan
serangan baru setiap saat. Dalam suasana kacau balau dan terombang-ambing
“di antara dua karang” seperti dilukiskan Hatta waktu itu Soekarno-Hatta
adalah “dwitunggal” yang membuat kepastian dalam ketidakpastian. Sebuah
pesan radio dari Presiden Soekarno meminta ketegasan kepada rakyat untuk
memilih pemerintahan yang sah atau Muso.
Pidato-pidato Soekarno menggetarkan, acap kali
diselingi dengan slogan-slogan yang menggugah. Salah satu slogan berbahasa
Belanda yang tidak saja sering diulang-ulanginya dalam setiap kesempatan,
melainkan juga dengan gigih diperjuangkannya sejak muda ialah
samenbundeling van alle krachten (menghimpun segala kekuatan). “Saya
menyaksikan bagaimana pidatonya mampu membangkitkan kesadaran politik di
kalangan rakyat di desa dan di kota“, kenang George McT Kahin, seorang
mahasiswa Amerika yang saat itu berada di Yogya untuk keperluan riset
disertasinya. Ia benar-benar mengenal detak jantung rakyatnya dan “tidak
dapat ditandingi oleh pemimpin mana pun juga“, tulis Kahin dalam sebuah
risalahnya (1986).
Namun, ucapan Bung Karno yang paling berkesan
waktu itu, hingga sering dikutip-kutip koran dan itu diulanginya lagi lewat
radio dan terakhir dalam pidatonya dua hari sebelum aksi militer Belanda
ialah, “Jika Belanda ngotot menggunakan kekuatan militernya untuk
menghancurkan Republik Indonesia dengan menduduki Yogyakarta, tujuh puluh
juta rakyat Indonesia akan bangkit berjuang dan saya sendiri akan memimpin
perang gerilya.” (Merdeka, 29 Mei 1948)
Namun, apa yang terjadi kemudian ialah sebuah
kekecewaan. Ketika Yogya diserang, Soekarno dan pemimpin Republik
merencanakan tetap tinggal di dalam kota, artinya menyerah kepada Belanda.
Reaksi dari kalangan militer, terutama di kalangan para perwira yang tahu
bahwa Soekarno sebelumnya bersedia untuk ikut bergerilya bersama mereka,
telah menimbulkan rasa kecewa yang dalam. Bahkan, perintah yang dikeluarkan
Hatta, pada saat-saat terakhir menjelang kejatuhan Yogyakarta, agar
perjuangan diteruskan, tidak lagi mampu memulihkan rasa hormat tentara
terhadap pemimpin sipil mereka. Peristiwa di atas, menurut Ulf Sundhaussen
(1982) merupakan awal rusaknya hubungan sipil-militer dalam perpolitikan
Indonesia.
Akan tetapi, kekecewaan pada Bung Karno-patahnya
kepercayaan kepada obor, sebuah simbol-tidak hanya merisaukan banyak orang.
Kejadian dramatis di hari itu juga menimbulkan kekecewaan dan kecemasan
Soekarno pribadi. Ia pun senantiasa berada dalam kecemasan terus-menerus
terhadap nasib Republik dan terhadap nyawanya. “Pada akhirnya saya hanya
manusia biasa. Siapa yang tahu apa rencana mereka terhadap saya? Saya punya
perasaan mereka akan membunuh saya. Tiap kali saya mendengar bunyi yang
asing, saya berpikir: sekarang tiba saatnya; mereka akan membawa saya ke
depan pleton penembak“, begitu dituturkannya kepada Cindy Adam, penulis
otobiografinya yang terkenal.
Walaupun pada akhirnya Presiden dan Wakil
Presiden dengan sejumlah anggota kabinet ditawan Belanda, suasana kritis
dan mencekam waktu itu tidak perlu membuat kedua tokoh puncak Republik itu
kehilangan akal sehat. Pada detik-detik sebelum kejatuhan Yogya, mereka
masih sempat melepas anak panah terakhir dari busurnya: mandat berdirinya
PDRI, sebuah keputusan yang menentukan perjalanan sejarah Republik
selanjutnya. Setelah itu mereka ditangkap dan tak lagi tahu apa yang
terjadi di luar dinding tembok tahanan mereka.
Menurut keterangan Hatta di belakang hari,
keputusan apakah pemerintah akan tetap berada dalam kota atau ikut
bergerilya bukan atas kemauan pribadi Presiden dan Wakil Presiden,
melainkan keputusan yang ditetapkan kabinet berdasarkan pemungutan suara.
Soekarno dan Menteri Laoh cenderung memilih sikap pertama, artinya tetap di
tempat, sedangkan pihak militer, terutama Panglima Besar Soedirman, dengan
tegas sejak pagi-pagi sudah memutuskan untuk meninggalkan kota, artinya
siap bergerilya dengan prajurit TNI. Simatupang juga menyarankan agar
Presiden dan Wakil Presiden sebaiknya “ikut perang gerilya”. Namun, karena
tidak tersedia cukup pasukan pengawal untuk kedua pemimpin itu, dia bisa
menerima sikap resmi pemerintah. (Hatta, 1982: 541-2)
Hidup dalam pembuangan
Para pemimpin Republik yang ditawan Belanda
selepas pendudukan Yogya, diasingkan pada dua tempat yang berbeda. Tiga
orang pemimpin besar Indonesia: Soekarno, Haji Agus Salim, dan Sutan
Sjahrir ditawan di Brastagi, Sumatera Utara, kemudian dipindahkan ke
Prapat. Selebihnya, termasuk Hatta, dideportasi ke Bangka. Di antara tokoh
yang ditawan di Brastagi, Haji Agoes Salim adalah yang paling tua, tetapi
paling singkat masa penahanannya. Di zaman Belanda ia tak pernah masuk
penjara, kecuali sebentar di zaman Jepang. Karena penahanan itu dianggap
kekhilafan belaka, kemudian ia dibebaskan dengan “permintaan maaf” dari
pembesar Jepang. Tetapi, kejadian serupa juga dapat ditemukan dalam setiap
zaman sejarah Indonesia merdeka, bahkan juga dalam periode yang lebih
belakangan.
Akan tetapi, Soekarno dan Sjahrir sama-sama
pernah mengalami hidup dalam penjara Belanda dalam waktu yang lama. Sjahrir
pernah menjadi Digulis, tahanan kelas berat bersama Hatta dan kawan-kawan
di Digul, Papua, kemudian dipindahkan ke Bandaneira, dekat Ambon. Jika
dihitung ada sekitar 10 tahun lamanya Sjahrir hidup dalam tahanan Belanda.
Sedang Soekarno juga menghabiskan sebagian besar waktunya dalam tahanan
Belanda. Mula-mula masuk penjara berdasarkan keputusan “Landraad” Bandung tahun
1930, kemudian ia dibuang lagi ke Ende, lalu dipindahkan lagi ke Bengkulu.
Sewaktu dibebaskan karena Jepang masuk dan Belanda jatuh, Soekarno sudah
menghabiskan usianya dalam tahanan Belanda selama 10 tahun.
Antara Sjahrir dan Bung Karno yang sama-sama
ditahan di Brastagi, kemudian dipindahkan ke Prapat, terdapat beberapa
kesamaan nasib dalam berurusan dengan penjara Belanda. Kecuali ditahan
untuk waktu yang lama-sampai 10 tahun-keduanya adalah korban exorbitante
rechten Belanda, yaitu hak khusus pemerintah kolonial untuk menahan dengan
mengasingkan siapa saja yang dianggap membahayakan rust en orde (keamanan
dan ketertiban).
Tentu saja “membahayakan” menurut tafsiran yang
berkuasa. Kalau hal itu dinamakan “kezaliman”, orang tak begitu keliru.
Terlebih lagi jika dibandingkan dengan tahanan biasa, exorbitante rechten,
menurut Mr Moh Roem (1983), amat berat. Sebab, korban exorbitante rechten
tidak pernah diberitahu berapa lama ia akan ditahan dan juga tidak tahu
tuduhan yang dikenakan kepadanya, atau jika pun tahu terasa sekali
mengada-ada. Tetapi, kalau tahanan biasa, bisa mengetahui apa yang
dituduhkan kepadanya. Begitu pula perkaranya akan diperiksa secara terbuka
di depan pengadilan dan ia dapat membela diri atau dibela oleh pengacara.
Jika ia dijatuhi hukuman, ia diberitahu berapa lama vonis hukumannya.
Apa pun namanya, hukuman yang diterima Bung
Karno dan Sjahrir amat mempengaruhi perjalanan hidupnya, dan dengan
demikian juga sejarah bangsanya. Keduanya juga pernah ditahan di akhir
hayatnya. Sjahrir ditahan oleh Soekarno dan tidak sempat menikmati
pembebasan karena dalam masa tahanan ia meninggal dunia di tempat
pengobatannya di Zurich. Soekarno ditawan oleh Soeharto dan sampai
meninggalnya ia juga tak pernah mengalami pembebasan. Namun, belum pernah
terjadi sebelumnya Sjahrir dan Soekarno hidup begitu dekat kecuali pada
masa ini. Mereka tinggal bertiga dengan Haji Agus Salim dalam satu kamar.
Sjahrir pendiam dan suka marah kalau
ketenangannya merasa terusik, sementara Soekarno adalah pribadi yang ceria
suka “membunuh” waktunya dengan menyanyi atau apa saja yang disukainya.
Ketika mereka dibolehkan pengawal memesan kebutuhan yang diperlukan,
Sjahrir minta dibawakan buku-bukunya, tetapi Soekarno minta dibawakan
kemeja “Arrow”. Sekali waktu Bung Karno pernah mengatakan, “saya tak
keberatan menjadi tawanan Belanda karena ada tujuh cermin di kamar saya….”
Sjahrir dibuat jengkel dengan sikap-sikap Bung Karno yang dianggapnya a
bloody old fool atau dengan umpatan serapah yang tak mengenakkan. Tetapi,
inilah klimaksnya.
Bung Karno kalau lagi mandi suka nyanyi. Sekali
waktu Bung Karno menyanyi di kamar mandi dengan suara cukup keras dan bagi
Sjahrir dirasakannya membuat ribut, hingga Sjahrir berteriak (dalam bahasa
Belanda): houd je mond (tutup mulutmu). Soekarno terdiam dan jengkel juga
sama Sjahrir. Ketika suatu kali Moh Roem menanyakan kepada Soekarno mengapa
ia benci pada Sjahrir, ia mengatakan, “Bagaimanapun juga saya adalah Kepala
Negara, mengapa dia menghardik saya seperti itu?”
Dalam kasus lain, sewaktu PM Belanda Willem
Drees datang ke Indonesia, Sjahrir diminta datang ke Jakarta untuk bertemu
dengan Drees. Sjahrir bersedia datang ke Jakarta, tetapi ia tidak kembali
lagi ke Prapat karena sudah dibebaskan Belanda, dengan maksud untuk
memanfaatkannya sebagai “perantara” dalam rencana perundingan baru,
Roem-Roijen. Kejadian ini membuat Bung Karno tambah marah. “Mengapa ia
tidak kembali ke sini” (Prapat). “Kalau begitu ia tidak setia,” sambungnya
lagi seperti diceritakannya kepada Haji Agus Salim.
Sepeninggal Sjahrir, di Prapat hanya tinggal dua
tawanan, Bung Karno dan HA Salim. Sejak Februari 1949, keduanya digabungkan
dengan tawanan Republik di Manumbing, Bangka. Tetapi, karena Bung Karno
tidak tahan hawa dingin, ia minta dipindahkan ke Mentok, yang berhawa
panas. Karena beliau tidak mau tinggal di sana sendirian, maka ditunjuk
beberapa orang untuk menemani Bung Karno di sana. Antara lain H Agus Salim,
Mr Moh Roem, dan Ali Sastroamidjojo. Sejak itu tawanan jadi dua kelompok:
Kelompok Manumbing di bawah pimpinan Bung Hatta dan Kelompok Muntok di
bawah pimpinan Bung Karno.
Ketika prakarsa persetujuan Roem-Roijen dimulai
bulan April 1949, Sjahrir yang sudah dibebaskan, atas saran Hatta, diangkat
sebagai penasihat delegasi perunding Indonesia ke Roem-Roijen. Mulanya
Sjahrir menolak karena mempertanyakan tanda tangan Soekarno dalam surat
keputusan itu. “Apa dia itu? Mengapa dia yang harus mengangkat saya? Orang
yang seharusnya mengangkat saya ialah Mr Sjafruddin Prawiranegara”, (Ketua
PDRI di Sumatera). Roem kesal, tetapi lebih kesal lagi dan marah ialah Bung
Karno setelah mendengar itu.
Pengalaman yang kurang menyenangkan selama dalam
masa tahanan, dan kekecewaan dirinya dan orang-orang yang setia kepadanya
pada saat memilih ditawan Belanda dan bukan bergerilya, saat kejatuhan
Yogya, agaknya merupakan bagian terburuk dalam memori sejarah pribadi Bung
Karno, dan sekaligus penyebab utama mengapa ia terkesan melupakan sejarah
episode PDRI. Baginya, episode ini seakan-akan eine vergangheit die nicht
vergehen will, sebuah pengalaman masa lalu yang ingin-tapi tak bisa
dilupakan-dalam ingatan kolektif, sebagaimana tercermin dalam
otobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adam. Lagi pula, setelah kembali ke
Yoyga dan dalam perundingan-perundingan selanjutnya, bukan Bung Karno,
tetapi Hatta-lah sebagai Perdana Menteri yang menjadi nakhoda Republik
hingga pengakuan kedaulatan di pengujung 1949.
PDRI, ujian pertama integrasi bangsa
Pada detik-detik terakhir yang menegangkan
sebelum pemimpin puncak Republik ditawan Belanda, Hatta masih sempat
mendiktekan pidato singkatnya untuk diedarkan ke seluruh wilayah Republik.
“Musuh mau mengepung pemerintah, tetapi Republik tidak tergantung pada
nasibnja orang2 jang mendjadi kepala-negara atau jang duduk dalam
pemerintahan…. Rakjat harus berdjoang terus….” Memang, Republik tidak hanya
punya Soekarno-Hatta, tetapi juga sederetan nama besar lainnya.
Salah seorang yang paling diremehkan agaknya ialah
Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Selama tahun-tahun krisis 1948-1950
sesungguhnya dialah tokoh yang memegang kendali dalam mengurusi intern di
bidang militer, ekonomi dan politik di belakang layar. Sjafruddin
Prawiranegara berada jauh dalam hutan di Sumatera, sedangkan Soekarno-Hatta
dalam kerangkeng Belanda di Bangka.
Apa jadinya Republik kalau tidak ada Sri Sultan?
Otoritasnya sebagai ahli waris takhta Yogya tak tersentuh oleh tangan
kekuasaan Belanda. Sebagai Republiekan sejati ia tak hanya menyerahkan
takhtanya untuk rakyat, tetapi berbuat banyak untuk Republik.
Tidak hanya menjembatani kubu PDRI dan Bangka,
tetapi juga melindungi kepentingan Republik di Yogya. Sesungguhnya dialah
arsitek utama dalam serangan balik Republik terhadap kedudukan Belanda di
Yogya, yang dikomandoi oleh Letkol Soeharto pada awal Maret 1949. Dia
jugalah yang membiayai semua keperluan Republik ketika “kembali ke Yogya”.
Sekitar 6 juta gulden kekayaan Kraton Yogya diserahkan untuk menghidupi
dapur Republik.
Maka Belanda keliru besar, ketika Yogya jatuh ke
tangannya menyimpulkan bahwa Republik telah dirobohkan. Mereka lupa atau
tak mau peduli bahwa Republik yang diproklamasikan sejak 17 Agustus 1945
itu, telah tercerahkan (enlightened) oleh cita-cita kebangsaan sejak awal abad
lalu. Ia bukanlah sebuah kerajaan, juga bukan hadiah Jepang, sebagaimana
yang ada dalam benak kaum kolonialis Belanda, melainkan sebuah
“negara-bangsa” yang modern yang telah dipersiapkan sedemikian rupa.
Pembukaan UUD ’45 dan bangunan konstitusi itu sendiri,
sesungguhnya adalah blue-print dari Republik yang baru itu, dan keduanya
disusun oleh para “bapak bangsa” dengan penuh kesadaran dan kecerdasan
sebuah generasi yang tak ada duanya. Ketika pimpinan puncak Republik
ditawan Belanda, PDRI di Sumatera mampu memerankan dirinya sebagai faktor
integratif, yang menjadi pusat jaringan perjuangan Republik via India ke
dunia internasional dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di ibu kota Yogya dan
Jenderal Soedirman di medan gerilya.
Maka, pada masa perjuangan kemerdekaan,
khususnya era PDRI, teori politik klasik kolonial tak berlaku lagi, yang
selalu percaya bahwa jika raja atau pemimpin ditawan atau dibujuk, semua
akan beres, bisa ditundukkan. Nyatanya tidak demikian, dan Belanda sempat
dibuat shock karena kemenangan militernya hanya sebuah kemenangan yang
sia-sia.
Sesungguhnya inilah periode di mana proses
integrasi nasional menunjukkan hasil, ketika panggung sejarah beralih dari
kota ke desa-desa dan hutan-hutan, ketika rakyat tidak lagi sekadar
pelengkap penderita, melainkan tokoh sentral di panggung sejarah bangsa.
Baik PDRI maupun militer tidak bisa hidup kalau bukan disubsidi nasibnya
oleh rakyat, tetapi mengapa sekarang semuanya seakan-akan dilupakan?
Memang wacana sejarah bangsa kita, seperti
dikatakan sejarawan Taufik Abdullah, adalah soal pilihan: ada bagian yang
ingin dilupakan dan yang ingin diingat dan bahkan dipalsukan. Pilihan yang
semena-mena terhadap sejarah bangsa bisa menyesatkan selama kriterianya
ialah like and dislike yang berkuasa. Terserahlah kalau itu sejarah
pribadi. Sejarah PDRI seperti juga biografi Soekarno adalah bagian dari
sejarah bangsa, dan keduanya merupakan wajah kita di masa lalu dengan
segala warna-warninya
|