Pada masa awal Islam,
rasulullah SAW memang melarang umat Islam untuk melakukan ziarah kubur. Hal
ini dimaksudkan untuk menjaga aqidah umat Islam. Rasulullah SAW hawatir
kalau ziarah kubur diperbolehkan, umat Islam akan menjadi penyembah
kuburan. Seteleh akidah umat Islam kuat dan tidak ada kekhawatian untuk
berbuat syirik, Rasulullah SAW membolehkan pra sahabatnya untuk melakukan
ziarah kubur. Karena ziarah kubur dapat membantu umat Islam untuk mengingat
saat kematiaanya.
Buraidah meriwayatkan
bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Saya pernah melarang kamu berziarah kubur.
Tapi sekarang Muhammad tetah diberi izin untuk berziarah ke makam ibunya.
Maka sekarang, berziarahlah! Karena perbuatan itu dapat mengingatkan kamu
kepada akhirat.” (HR. At-Tirmidzi)
Dengan adanya hadits
ini maka ziarah kubur itu hukumnya baoleh bagi laki-laki dan perempuan.
Namun demikian bagaimana dengan hadits Nabi SAW yang secara tegas
menyatakan larangan perempuan berziarah kubur?
Abu Hurairah
meriwayatkan Rasulullah SAW melaknat wanita yang berziarah kubur. (HR Ahmad
bin Hanbal)
Menyikapi hadits ini
ulama menyatakan bahwa larangan itu telah dicabut menjadi sebuah kebolehan
berziarah baik laki-laki maupun perempuan. Dalam kitab Sunan at-Tirmidzi
disebutkan:
Sebagian ahli ilmu
mengatakan bahwa hadits itu diucapkan sebelum Nabi SAW membolehkan untuk
melakukan ziarah kubur. Setelah Rasulullah SAW membolehkannya, laki-laki
dan perempuan tercakup dalam kebolehan itu. (Sunan At-TIrmidzi, [976]
Ibnu Hajar Al-Haitami
pernah ditanya tentang ziarah ke amakam para wali, beliau mengatakan:
Beliau ditanya tentang
berziarah ke makam para wali pada waktu tertentu dengan melakukan
perjalanan khusus ke makam mereka. Beliau menjawab, berziarah ke makam para
wali adalah ibadah yang disunnahkan. Demikian pula dengan perjalanan ke
makam mereka. (Al-Fatawi al-Kubra al-Fiqhiyah, juz II, hal 24).
Ketika berziarah
seseorang dianjurkan untuk membaca Al-Qur’an atau lainya. Ma’qil bin Yasar
meriwayatkan Rasul SAW bersabda: Bacalah surat Yasin pada orang-orang mati
di antara kamu. (HR Abu Daud)
Maka, Ziarah kubur itu
memang dianjurkan dalam agama Islam bagi laki-laki dan perempuan, sebab
didalamnya terkandung manfaat yang sangat besar. Baik bagi orang yang telah
meninggal dunia berupa hadia pahala bacaan Al-Qur’an, atau pun bagi orang
yang berziarah itu sendiri, yakni mengingatkan manusia akan kematian yang
pasti akan menjemputnya.
Catatan KH. Muhyiddin Abdusshomad, Ketua PCNU
Jember, Jawa Timur
Memang, jika membaca sejarah,
tradisi ziarah telah menjadi salah satu bentuk ungkapan agama rakyat
(popular religion). Ini bukan monopoli agama tertentu (baca: Islam).
Pemeluk Buddha, misalnya, kerap berziarah ke tempat kelahiran Siddharta di
Kapilavastu, tempat Siddharta mencapai pencerahan rohani di Bodh Gaya,
tempat Siddharta pertama kali menyampaikan ajaran di Benares, dan tempat
Siddharta mencapai parinirwana di Kusinagara.
Demikian pula umat
Katholik. Ziarah umumnya mereka lakukan dengan mengunjungi tempat-tempat
suci, seperti kelahiran Yesus di Nazaret, Taman Getzemani, Bukit Golgota,
Basilika Santo Petrus, Lourdes, Taize, Gua Maria (di Pohsarang, Kediri, dan
Sendangsono). Ziarah juga dilakukan ke Ise bagi umat Shinto di Jepang, ke
Haika bagi umat Bahai, dan ke Sungai Gangga bagi umat Hindu. Bahkan, para
penganut komunis yang mengaku atheis, juga melakukan ziarah ke Musoleum
Lenin di Moskow.
Dalam konteks ini,
ziarah mengandung dua makna. Makna pertama dan yang fundamental adalah
“berkunjung ke makam seseorang yang telah meninggal”. Sedangkan makna lain
menunjuk pada “kunjungan ke masjid-masjid atau tempat-tempat suci”.
Tempat-tempat suci itu biasanya dikaitkan dengan petilasan para wali atau
orang-orang yang dianggap suci.
Pelaku ziarah
menganggap ini adalah upaya mengambil manfaat dari kekuatan dan kemuliaan
rohani orang-orang yang dianggap dekat dengan Allah. Meski praktik ini
mendapat kritik keras dari sebagian Muslim, namun pelaku ziarah seolah
tidak ambil pusing. Sebabnya barangkali karena pemikir Islam yang membela praktik
ziarah tidak sedikit. Al-Ghazali, misalnya, berpendapat bahwa ziarah dapat
mengantarkan seseorang untuk memiliki sikap penyerahan diri. Ibn Al-Arabi,
yang berjuluk Syaikh al-Akbar dalam tradisi sufi, juga sangat gemar
berkhalwat di makam-makam demi laku spiritual.
Karena itu, melenyapkan
praktik ziarah tidak semudah membalik telapak tangan. Bagi sebagian Muslim
Indonesia, ziarah bahkan menjadi bagian integral dari amaliah rohani yang
berkaitan dengan kepercayaan terhadap barakah dan karamah. Bahkan,
dibanding umat Islam di negara lain, Muslim Indonesia memiliki
tempat-tempat keramat paling banyak, dengan beragam tradisi yang acapkali
tidak diketahui dari mana sumber rujukannya.
Meluasnya pengaruh
globalisasi yang ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi, ternyata
tidak menyurutkan tradisi ziarah. Jumlah pelaku ziarah di era serba digital
ini tidak berkurang, tetapi justru meningkat. Terlebih, setelah muncul
usaha-usaha komersil dalam bidang pelayanan transportasi dan akomodasi.
Bermunculanlah makam-makam keramat baru yang dijadikan obyek ziarah.
Fenomena ini tentu
sangat memprihatinkan. Ziarah memang tidak dilarang, bahkan dianjurkan.
Tetapi ketika tradisi ziarah sudah berubah menjadi praktik pemujaan
terhadap makam-makam, tentu ini tidak boleh dibiarkan. Jika sampai umat
Islam ini terjerumus dalam praktik keagamaan menyimpang yang berbau syirik,
dosanya tidak akan diampuni oleh Allah. Kita tentu tidak ingin umat Islam
mengalami nasib demikian.
Karenanya, dengan
segenap daya, kita harus memurnikan tauhid, tanpa campuran sinkretisme.
Pesan Islam jangan sampai ternoda oleh pengaruh-pengaruh heterogen dari
luar. Masih banyak sarana bisa kita pakai untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Bukankah sebagai manusia yang mengaku beriman, kita tidak meragukan
sifat rahman dan rahim Allah yang dilimpahkan bagi setiap hamba-Nya yang
berkenan meminta melalui doa-doa.
Mari menumpahkan keluh
kesah hanya kepada Allah, tanpa melalui makam-makam keramat, punden-punden,
dan pedanyangan di desa-desa yang itu justru akan menyebabkan akidah kita
rusak.
M. Husnaini, Pendidik di PP Al-Basyir Takerharjo
Solokuro Lamongan
Tradisi Ziarah Nabi Hud
AS
Di masa Syekh Abdullah
Ba ‘Abbad abad 7 H, ziarah Hud setiap tahunnya diadakan setelah selesai
panen kurma. Rombongan beliau pimpin langsung. Kemudian pada masa Sayyid
Syekh Abu Bakar bin Salim Al Alawi (w 992 H) musim ziarah Hud ditradisikan
setiap tahunnya pada bulan Sya’ban.
Waktu Ziarah Hud
‘alaihis salam merupakan hari libur tahunan selama 8 hari bagi para pekerja
dan petani. Biasanya, jauh-jauh hari, sebelum datangnya waktu ziarah, mulai
Jumadil Tsani banyak hal yang dilakukan untuk persiapan berangkat ziarah.
Di antaranya, mengutus para motivator ke masjid-masjid, menjelaskan
pemberangkatan ziarah dan mengulas tentang sejarah Nabi Hud ‘alaihis salam.
Hal ini dilakukan untuk memberi motivasi pada masyarakat umum tentang
pentingnya ziarah.
Tahwidah adalah
lantunan pada waktu membaca syair-syair yang memberi motivasi untuk
berziarah Hud AS. Biasanya dilakukan setelah acara maulid pada hari Rabu
akhir bulan Rajab.
Setelah selesai,
jama’ah membentuk barisan. Setiap baris terdiri dari 20 hingga 50 orang,
dipimpin oleh seorang nassyad (pemimpin pelantun suara). Mereka melantunkan
syair-syair mengikuti bacaan nassyad, seperti kalimat ‘ya Hud ya
Nabiullah.’ Beberapa hari sebelum ziarah, para pekerja, khususnya keluarga
Ba ‘Abbad, berangkat terlebih dahulu ke tempat ziarah, untuk memperbaiki
tempat yang rusak, seperti masjid, rumah dan jalanan.
Tanggal 27 Rajab,
peziarah diklasifikasikan dalam beberapa rombongan. Setiap rombongan
memiliki ketua. Tugas ketua antara lain menertibkan dan membagi tugas pada
setiap anggota rombongan.
Setelah semuanya siap,
mereka berangkat ke lokasi Makam Nabi Hud ‘alaihis salam. Masyarakat
Seiyun, Shibam dan kawasan barat Shibam berangkat pada tanggal 4 atau 5
Sya’ban. Sedangkan penduduk Tarim dan kawasan timur Tarim berangkat pada
tanggal 7 atau 9 Sya’ban.
Sebelum berangkat,
masing-masing peziarah mengadakan kesepakatan dengan pemilik unta, tentang
ongkos sewa pulang pergi. Namun sebelumnya, unta dibawa ke tempat lapangan
penawaran ongkos tunggang yang letaknya di Tarim. Unta-unta, oleh
pemiliknya dilatih untuk mampu lari kekencang-kencangnya. Masing-masing
unta yang akan ditunggangi, pelananya dihias dengan seni dan hiasan yang
berbeda satu sama lainnya. Kemudian peziarah berangkat secara berkelompok.
Setiap kelompok memiliki penjaga yang dipilih dari sukunya masing-masing.
Rombongan tidak boleh berjalan kecuali dengan penjaganya.
Di tengah perjalanan
menuju makam Nabi Hud, banyak hal-hal yang dilakukan para peziarah. Di
antaranya ziarah ke makam-makam yang ada di sepanjang perjalanan. Mereka
mengumandangkan syair-syair yang mengandung makna tawasul kepada para
arwah. Juga ketika rombongan melewati kota dan desa, peziarah menyuarakan
julukannya. Mengingat setiap tempat kota dan desa di Hadhramaut ada
julukannya masing-masing.
Di Syi’ib Hud (lembah
kecil Hud), dibangun tempat-tempat sesuai kebutuhan peziarah selama di
sana, berupa rumah, masjid dan pasar. Setiap kabilah memiliki tempat
tinggal masing-masing yang dibangun seizin keluarga besar Ba ‘Abbad.
Sebelum ziarah ke makam Nabi Hud ‘alaihis salam, semua peziarah mandi di
sungai, dipimpin oleh ketua sukunya (Munshib, Habib atau Syekh). Setelah
mandi, peziarah berebutan ke sisi ketuanya, untuk minum air sungai yang
diambil dengan tangan ketua. Setelah mandi dan minum, mereka melaksanakan
shalat sunnah wudlu’ dua rakaat di Hashah Umar, yaitu tempat di pinggir
sungai yang biasa ditempati shalat oleh para peziarah sehabis mandi di
sungai.
Setelah shalat sunnah
wudlu’, mulailah mereka beriringan menuju makam Nabi Hud ‘alaihis salam. Di
tempat antara makam Nabi Hud ‘alaihis salam dan sungai, mereka berhenti
sejenak di sumur Taslimah. Dengan dipimpin munshib, peziarah
mengumandangkan salam kepada arwah Rasul dan Nabi serta salam kepada para
Malaikat. Setelah selesai, peziarah melanjutkan perjalanannya ke makam Hud
‘alaihis salam. Sesampai di sana, dalam posisi berdiri di depan makam Nabi
Hud, mereka mengumandangkan salam kepada para arwah Rasul, arwah Nabi dan
Malaikat. Kemudian peziarah duduk membaca surat Hud dan ditutup dengan
membaca Surat al-Fatihah. Setelah selesai, semuanya turun ke tempat naqah,
yaitu tempat yang terletak di bawah makam nabi Hud. Mereka membaca maulid
(sejarah kelahiran dan kehidupan Nabi Muhammad SAW) dan mendengarkan
mau’idzah hasanah. Setelah itu, ritual ziarah selesai dan ditutup dengan
membaca Surat al-Fatihah.
Ziarah Hud dilakukan
selama empat hari. Setiap harinya, dua kali pagi dan sore, dengan cara yang
sama seperti di atas. Hari ke empat tanggal 11 Sya’ban adalah hari penutup
(waqfah). Ziarah penutup khusus dipimpin oleh munsib (ketua Kabilah) dari
keluarga Syekh Abu Bakar bin Salim.
Di sela-sela ziarah,
malam harinya, peziarah menampilkan pertunjukannya. Merka juga saling
bersilaturrahim satu sama lainnya.
Setelah aktifitas
ziarah selesai, para peziarah bergegas pulang ke daerahnya masing dengan
tertib. Dimulai dari rombongan Keluarga Alawi, Keluarga Seiyun dan daerah
barat Seiyun. Mereka berangkat pulang setelah shalat Ashar tanggal 11
Sya’ban. Sedangkan penduduk Tarim pulang esok harinya pada tanggal 12
Sya’ban. Keluarga bin Syihab dan Syeh Abu Bakar bin Salim pulang tanggal 15
Sya’ban, karena tanggal 14 Sya’ban (malam nisfu sya’ban) mereka membaca doa
Sya’ban di makam Nabi Hud ‘alaihis salam.
Saat pulang, para
peziarah biasanya membawa oleh-oleh untuk keluarga dan tetangganya. Ada
yang membagikan sisa bekal, ada pula yang membeli oleh-oleh di tengah
perjalanan. Juga tak lupa, oleh-oleh untuk anak kecil yang berupa mainan
bangunan, unta, himar (keledai, red) dan baghal (peranakan himar dan
keledai, red) yang terbuat dari tembikar.
Ziarah ke makam
Walisongo menjelang datangnya bulan Ramadhan ini sudah menjadi tradisi kami
sejak muda. Dengan jumlah jamaah yang kecil ziarah kami lebih khusyuk.
Tidak terburu-buru, katanya.
Dari Sunan Ampel akan
melanjutkan ke Kota Gresik yaitu ke makam Syekh Maulana Malik Ibrahim dan
Sunan Giri. Selajutnya bergerak ke utara ke Sunan Drajat di Lamongan dan
Sunan Bonang di Tuban. Dari wilayah Jawa Timur akan diteruskan ke Sunan
Muria, Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus, ketiganya di Jawa Tengah. Terakhir
ke Sunan Gunung Jati di Cirebon, Jawa Barat.
Biasanya akan ditambah
ke makam Gus Dur di Jombang, Syekh Jumadil Qubro di Mojokerto, KH Abdul
Hamid di Pasuruan, Syekh Kholil di Bangkalan.
Bagi Kiai Rifai dari
Desa Pagerwojo, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, ziarah
ke makam Walisongo merupakan tradisi yang baik untuk lebih memantapkan
ibadah puasa Ramadhan sebagai perjuangan melawan hawa nafsu. Dengan
berziarah dan berdoa di makam Walisongo, kita jadi ingat bahwa kita akan
mati. Sebagai wujud terima kasih atas perjuangan mereka yang menyiarkan
Islam di Jawa. Kalau tak ada perjuangan mereka, mungkin kita tidak menjadi
muslim, katanya. Dia memimpin rombongan dua bus atau sekitar 80 orang.
Bagi Nur Latifah, asal
Dukuh Kupang, Kota Surabaya, kelompok khatimil quran mereka sering
berziarah ke makam Walisongo. Ziarah secara khusus di bulan Syaban ini
disertai harapan agar nanti pada bulan suci Ramadhan bisa khusyu menjalani
ibadah puasa dan lainnya. Intinya kami pada Ramadhan ingin fokus
melaksanakan ibadah puasa, katanya.
Tarwiyah, peziarah asal
Krian, Kabupaten Sidoarjo menuturkan, selain bulan Syaban biasanya dirinya
bersama keolompok pengajiannya juga tiap Maulid Nabi pasti ikut berziarah
ke makam Malik Ibrahim. Ini sudah tradisi berzi arah bertepatan dengan
Maulid NabiMuhammad SAW. Ya saya ikut mengaji semaan Al Quran juga haul
Syekh Maulana Malik Ibrahim, tutur Tarwiyah.
Harus antre Pengurus
Kompleks Makam Wisata Ziarah Syekh Maulana Malik Ibrahim, Salim
menjelaskan, rata-rata pengunjung berkelompok mencapai 100 bus per hari.
Jika satu bis isi 50 orang rata-rata di bulan Syaban ada 5.000 pengunjung
yang datang. Itu belum termasuk yang datang dengan kendaraan pribadi atau
angkutan umum, tuturnya.
Pada tahun 2010 jumlah
pengunjung mencapai 1.365.000 pengunjung lokal dan 400.000 pengunjung manca
negara. Angka itu naik sekitar 15 persen dari tahun sebelumnya, katanya.
Dia menuturkan,
pengunjung wisata ziarah makam akan ramai pada bulan Muharam, Rabiul Awal,
dan Sa'ban kalender Hijriyah. Tetapi pada bulan puasa justru agak sepi.
Kalau pun ada kebanyakan peziarah lokal, tuturnya.
Meningkatnya jumlah
peziarah menjelang Ramadhan, membuat daerah sekitar makam Walisongo hidup
selama 24 jam. Karena peziarah itu datAng dan perginya tidak m engenal
batasan waktu. Keramaian pengunjung di Makam Maulana Malik Ibrahim terlihat
dari terminal parkir di Jalan Pahlawan yang penuh dan pengunjung yang
datang pergi bergantian di kompleks makam. Hal yang sama terlihat di
kompleks wisata ziarah makam Sun an Giri di Sekarkurung.
Petugas di kompleks
makam Sunan Giri, Chandra menuturkan pada Senin petang ada 65 bus rombongan
dari Situbondo. Sebelumnya saat Nisfu Syaban hari Minggu lalu, sini penuh
pengunjung. Pelawak dan pembawa acara televise Tukul Arwana pun harus antre
masuk ke makam Sunan Giri, tuturnya.
Momentum tersebut
merupakan berkah bagi tukang ojek dan kusir dokar di terminal wisata ziarah
makam Sunan Giri. Hanya tukang ojek yang mengenakan rompi paguyuban ojek
Sunan Giri dan dokar yang ada tuli san dokar wisata Sunan Giri yang bisa
menarik penumpang. Tarif ojek Rp 2.000 per orang sekali jalan, satu sepeda
motor diisi dua orang penumpang. Tarif dokar (kereta kuda) Rp 3.000 sekali
jalan. Satu dokar diisi lima orang.
Ziarah kubur adalah
sesuatu y ang juga dikerjakan Rasulullah. Tujuannya bukan untuk meminta
sesuatu kepada ahli kubur melainkan untuk mendoakan mereka. Merefleksi diri
perjuangan mereka. Merefleksi diri bahwa kita juga akan mati. Ini tradisi
yang baik. Dan menurut Hadits riawayat Musl im, menciptakan tradisi yang
baik itu mendapat pahala, kata Ny Hastuti, seorang guru agama di Surabaya
Tradisi Ziarah Kubur
Pasca Idul Fithri
Makam Loang Baloq
Lombok
Hari raya ‘Idul Fithri
adalah hari yang selalu dinanti-nanti kaum muslimin. Tak ada satu pun di
antara kaum muslimin yang ingin kehilangan moment berharga tersebut.
Apalagi di negeri kita, selain memeriahkan Idul Fithri atau lebaran, tidak
sedikit pula yang berangkat mudik ke kampung halaman. Di antara alasan
mudik adalah untuk mengunjungi kerabat dan saling bersilaturahmi. Dan yang
sudah menjadi tradisi kita yang sudah menjadi budaya di masyarakat kita
adalah tradisi Sungkeman alias salam-salaman dan bermaaf-maafan, yaitu
mengunjungi dari rumah-kerumah tetangga dan sanak keluarga yang berada
ditempat yang jauh dari kampung halaman.
Perlu kita ingat bahwa
nenek moyang kita dahulu di indonesia pada awal datangnya Islam ke Bumi
pertiwi ini masih memiliki akar budaya yang sangat kuat sehingga pada waktu
penyebaran Islam yang dilakukan oleh Wali Songo memberikan dakwahnya dengan
akulturasi budaya setempat dengan nilai-nilai syari`at Islam, sehingga
Islam mudah menyebar diseluruh penjuru tanah air khususnya di tanah jawa,
begitupula dengan tradisi sungkeman ke orang-orang yang masih hidup dan
yang telah meninggal dunia.
Sehingga sampai
sekarang budaya tersebut sudah menjadi tradisi dan mengakar pada masyarakat
Indonesia, dengan menjadikan moment Hari raya ‘Idul Fithri untuk berziarah
ke makam-makam keluarga dan ke makam-makam para Tuan guru-tuan guru
(Ulama/Kiyai) yang telah berjasa didalam menyebarkan Islam di tanah
Nusantara, Namun disini perlu kita kritisi bagaimana Hukum mengkhususkan
zaiarah makam pada hari-hari tertentu yang mana para Ulama Salaf atau yang
mengkultuskan dirinya dengan nama Salafy atau Wahaby yang tidak membolehkan
mengkhususkan Ziarah kubur/makam pada hari-hari tertentu karena dengan
alasan : karena tidak ada dasar ataupun dalil dalam agama yang menuntun
ziarah kubur pada hari-hari tertentu.
Itulah pendapat salah
satu dari kelompok islamis, akan tetapi lain dengan pendapat pendapat
mayoritas ulama` yang ada di Indonesia yang masih mempertahankan
nilai-nilai budaya. tentunya kedua-duanya tidak ada yang salah karena pada
dasaranya ziarah kubur/makam itu diperboleh oleh Rasululloh SAW didalam
salah satu haditsnya : "Sekarang Ziarah Kuburlah karena itu akan lebih
mengingatkan kalaian pada kematian".
Sebagai muslim
Indonesia yang masih mempertahankan tradisi-tradisi nenek moyang, tentunya
ingin menjalankan Syari`at Islam dengan kaffah (Lengkap) dengan berdasarkan
dalil-dalil agama tanpa harus merusak nilai-nilai yang terkandung
didalamnya. Maka untuk menjalankan syari`at islam tanpa harus meninggalkan
tradisi sebenarnya bisa kita lakukan
dengan mengambil nilai-nilai positifnya, Oleh karena itu disini penulis
lebih setuju dengan tradisi kita yaitu ziarah kubur disaat momen idhul
fitri dengan syarat :
1. Tidak Tawasshul di
kuburan
2. Mentaati adab-adab
ziarah kubur
3. Dan tidak melanggar
syari`at islam
Sejarawan Mansjur
Suryanegara mengungkapkan, tradisi berziarah di Indonesia kemudian meluas
hingga menjadi ziarah ke kampung halaman saat Hari Raya Idul Fitri. Itulah
cikal bakal dari tradisi mudik yang kita kenal saat ini.
Mansjur mengatakan,
tradisi ziarah di Indonesia telah ada sejak sebelum jaman penjajahan.
Seiring perkembangan jaman, tradisi ziarah atau mudik kemudian semakin
mudah dilakukan masyarakat saat ini dengan dukungan sarana transportasi.
“Dari dulu tradisi itu
sudah ada. Hanya, kuantitasnya tentu berbeda, karena jumlah penduduk pun
tidak sebanyak sekarang. Alat transportasinya pun hanya delman. Kalau
sekarang kan mobil. Jadi menjadi budaya, orang lalu semua ramai-ramai pergi
ke kampungnya lagi, karena menghubungkan silaturahmi yang hidup dan
silaturahmi yang sudah pergi (meninggal),” ujar Mansjur Suryanegara.
Mansjur menambahkan
bahwa filosofi ziarah berasal dari keterikatan manusia secara batiniah
kepada kedua orangtuanya sejak masih berada dalam kandungan. Keterikatan
tersebut terus terjalin hingga salah satu di antara anggota keluarga
tersebut meninggal dunia. Oleh karena itulah, ziarah akan terus ada hingga
akhir jaman. Selain dianjurkan oleh agama, ziarah juga dapat mempererat
tali silaturahmi atau kekeluargaan.
TRADISI ZIARAH MAKAM
LELUHUR PADA MASYARAKAT JAWA
Bagi masyarakat Jawa
makam merupakan tempat yang dianggap suci dan pantas dihormati. Makam
sebagai tempat peristirahatan bagi arwah nenek moyang dan keluarga yang
telah meninggal. Keberadaan makam dari tokoh tertentu menimbulkan daya
tarik bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas ziarah dengan berbagai
motivasi. Kunjungan ke makam pada dasarnya merupakan tradisi agama Hindu
yang pada masa lampau berupa pemujaan terhadap roh leluhur. Candi pada
awalnya adalah tempat abu jenazah raja raja masa lampau dan para generasi
penerus mengadakan pemujaan di tempat itu. Makam, terutama makam tokoh
sejarah, tokoh mitos, atau tokoh agama, juga merupakan tujuan wisata rohani
yang banyak dikunjungi wisatawan baik dalam negeri maupun luar negeri.
Ziarah makam merupakan
satu dari sekian tradisi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa.
Berbagai maksud dan tujuan maupun motivasi selalu menyertai aktivitas
ziarah. Ziarah kubur yang dilakukan oleh orang Jawa ke makam yang dianggap
keramat sebenarnya akibat pengaruh masa Jawa-Hindu. Pada masa itu,
kedudukan raja masih dianggap sebagai titising dewa sehingga segala sesuatu
yang berhubungan dengan seorang raja masih dianggap keramat termasuk makam,
petilasan, maupun benda-benda peninggalan lainnya.
Kepercayaan masyarakat
pada masa Jawa-Hindu masih terbawa hingga saat ini. Banyak orang
beranggapan bahwa dengan berziarah ke makam leluhur atau tokoh – tokoh
magis tertentu dapat menimbulkan pengaruh tertentu. Kisah keunggulan atau
keistimewaan tokoh yang dimakamkan merupakan daya tarik bagi masyarakat
untuk mewujudkan keinginannya. Misalnya dengan mengunjungi atau berziarah
ke makam tokoh yang berpangkat tinggi, maka akan mendapatkan berkah berupa
pangkat yang tinggi pula.
Bagi masyarakat Jawa,
ziarah secara umum dilakukan pada pertengahan sampai akhir bulan Ruwah
menjelang Ramadhan. Pada saat itu masyarakat biasanya secara bersama-sama
satu dusun atau satu desa maupun perorangan dengan keluarga terdekat
melakukan tradisi ziarah ke makam leluhur. Kegiatan ziarah ini secara umum
disebut nyadran. Kata nyadran berarti slametan (sesaji) ing papan kang
kramat.
Selamatan (memberi
sesaji) di tempat yang angker /keramat.
Kata nyadran juga
memiliki pengertian lain yaitu slametan ing sasi Ruwah nylameti para
leluwur (kang lumrah ana ing kuburan utawa papan sing kramat ngiras reresik
tuwin ngirim kembang) selamatan di bulan Ruwah menghormati para leluhur
(biasanya di makam atau tempat yang keramat sekaligus membersihkan dan
mengirim bunga).
Di daerah-daerah yang
mempunyai tempat bersejarah, agak berbau angker, pantai-pantai, goa-goa,
yang punya kisah tersendiri biasanya mempunyai upacara adat yang disebut
nyadran. Tak ubahnya dengan makna upacara-upacara adat yang lain, nyadran
ini juga mengandung makna religius. Ada yang dengan jalan memasang sesaji
di tempat itu selama tiga hari berturut turut, ada yang dengan cara melabuh
makanan yang telah ‘diramu’ dengan berbagai macam kembang. Ada pula yang
mengadakan kenduri dengan makanan makanan yang enak, lalu diadakan
pertunjukan besar-besaran dan sebagainya.
Kebiasaan mengunjungi
makam sebenarnya merupakan pengaruh dari kebiasaan mengunjungi candi atau
tempat suci lainnya di masa dahulu dengan tujuan melakukan pemujaan
terhadap roh nenek moyang. Kebiasaan ini semakin mendalam jika yang
dikunjungi adalah tokoh yang mempunyai kharisma tertentu, mempunyai
kedudukan tertentu seperti raja, ulama, pemuka agama, tokoh mistik, dan
sebagainya.
Dengan berkembangnya
jaman, berkembang pula pemahaman manusia tentang ziarah, bahkan muncul
berbagai maksud, tujuan, motivasi maupun daya tarik dari aktivitas ziarah
ini.
Ziarah Sebagai Ungkapan
Doa Bagi Arwah Leluhur
Secara umum ziarah yang
dilakukan menjelang bulan Ramadhan bagi masyarakat Jawa mempunyai maksud
untuk mendoakan arwah leluhur mereka. Masyarakat biasanya secara
bersama-sama mengadakan kerja bakti membersihkan makam desa atau dusun
dengan segala tradisi dan adat kebiasaan yang berlaku secara turun temurun.
Ada juga yang dilengkapi dengan mengadakan kenduri bersama di makam, atau
di rumah kepala dusun mereka. Pada umumnya mereka mengadakan sesaji dengan
tidak lupa membuat kolak dan apem. Tradisi ini biasa disebut ruwahan,
sesuai dengan bulan diadakannya yaitu bulan Ruwah.
Bagi keluarga-keluarga
tertentu biasanya telah diadakan kesepakatan untuk nyadran pada hari ke
berapa dalam bulan Ruwah tersebut. Mereka yang berada jauh dari makam
selalu menyempatkan diri untuk dapat bersama-sama mengunjungi makam
keluarga mereka. Pada waktu ziarah tidak lupa mereka juga membawa bunga
tabor untuk ditaburkan ke pusara makam keluarga mereka. Setiap keluarga
biasanya mengajak serta anggota keluarga supaya mereka mengetahui dan
mengenal para leluhur yang telah dimakamkan di situ. Adanya tradisi nyadran
ini menimbulkan berbagai aktivitas yang muncul hanya pada saat tertentu
yaitu hari-hari menjelang masyarakat melakukan kegiatan nyadran.
Aktivitas yang dapat
dikatakan insidental ini seperti misalnya penjualan bunga tabur yang
meningkat tajam pada hari-hari sejak pertengahan bulan Ruwah. Hal ini
dikarenakan masyarakat yang nyadran sudah dipastikan akan memerlukan bunga
tabor untuk nyekar di makam leluhur mereka.
Karenanya tidak aneh
apabila pada saat-saat itu penjual bunga mulai marak, baik penjual yang
memang biasanya sehari-hari berjualan bunga ataupun penjual bunga tiban,
mereka hanya berjualan bunga pada saat-saat hari ramai nyekar.
Terkait dengan tradisi
nyekar atau nyadran ini muncul pula aktivitas lain berupa jasa tenaga
membersihkan makam. Di berbagai makam muncul para penyedia jasa untuk
membersihkan makam keluarga tertentu dengan sedikit imbalan. Mereka
biasanya berada di sekitar makam dan membersihkan makam bagi keluarga yang
datang untuk ziarah.
Dalam hal ini tradisi
ziarah mempunyai fungsi untuk mengingatkan kita yang masih hidup bahwa
suatu saat kematian akan kita alami. Selain itu juga seperti telah disebutkan
dalam uraian di atas, bahwa ziarah makam akan menimbulkan ikatan batin
antara yang masih hidup dengan leluhur yang telah meninggal.
Berbagai Motivasi Bagi
Peziarah Tokoh Mitos
Secara umum tujuan
ziarah selain sebagai ungkapan doa dan pengenalan akan sejarah nenek
moyang, masih ada motivasi ziarah yang berkembang dalam masyarakat. Contoh
yang dapat disebutkan di sini adalah adanya tradisi nyadran makam di
kompleks Makam Sewu di Desa Wijirejo, Pandak, Bantul. Di kompleks makam ini
dimakamkan juga tokoh terkenal yang biasa disebut Panembahan Bodo. Di Makam
Sewu pada hari-hari tertentu ramai dikunjungi peziarah yaitu pada hari
Selasa Kliwon dan Senin Pon.
Panembahan Bodo adalah
tokoh penyebar agama Islam, teguh dalam belajar agama Islam, mempunyai
sifat rendah hati, tidak mau mengunggulkan diri sendiri.
Walaupun ia telah
berguru agama Islam hingga mengharuskan dirinya masuk pondok pesantren,
namun ia tetap menganggap dirinya bodoh. Karenanya ia diberi julukan
Panembahan Bodo.
Para peziarah datang
dengan berbagai tujuan atau motivasi; ngalap berkah, untuk memperoleh
kekuatan, popularitas, stabilitas pribadi, umur panjang, mencari rejeki,
maupun mencari kebahagiaan bagi anak cucu atau keselamatan hidup. Hal-hal
ini biasanya yang paling umum diharapkan orang apabila berziarah ke makam
tokoh mitos terkenal.
Secara umum motivasi
berziarah dapat digolongkan dalam empat hal meliputi taktyarasa: berziarah
dengan tujuan memperoleh berkah dan keteguhan hidup (ngalap berkah);
gorowasi: (berziarah ke makam legendaris untuk memperoleh kekuatan,
popularitas, stabilitas pribadi, serta umur panjang, mencari ketenangan
batin; widiginong: (berziarah dengan tujuan mencari kekayaan dunia maupun
jabatan duniawi atau mencari rejeki; samaptadanu: upaya mencari kebahagiaan
anak cucu agar selamat atau untuk mencari keselamatan.
Tempat ziarah yang lain
dapat disebutkan di sini yaitu di makam KRA Sosronagoro yang terletak di
daerah Manang, Grogol, Sukoharjo. KRA Sosronagoro adalah patih Kraton
Surakarta Hadiningrat pada masa Paku Buwono X. Beliau semasa hidupnya
adalah seorang patih yang terkenal, bijaksana, dan berpengetahuan luas
serta dalam. Karenanya sampai sekarang beliau masih sangat dihormati oleh
anak cucunya. Pada hari-hari tertentu biasanya malam Jumat dan Selasa
Kliwon banyak peziarah datang dari berbagai daerah. Mereka berziarah dan
tirakat ngalap berkah dengan berbagai tujuan atau permohonan. Pada umumnya
mereka yang datang menginginkan pangkat yang tinggi, ingin naik pangkat,
atau menginginkan kedudukan tertentu. Semua itu karena kharisma tokoh yang
dimakamkan yaitu KRA Sosronagoro. Semasa hidup beliau sebagai seorang tokoh
negara yang kuat bertapa, sifat soleh dan bijak membuatnya lebih dari
manusia biasa. Hidupnya penuh dengan keprihatinan dan kesungguhan dalam
mengabdi di kraton pada masa mudanya. Bahkan cita-citanya ditempuh dengan
tapa kungkum di Sungai Pepe.
Ketokohannya, bahkan
setelah beliau wafat pun masih sangat dihormati dan disegani oleh
masyarakat terbukti makamnya masih selalu ramai dikunjungi para peziarah.
Para peziarah datang dengan berbagai harapan dan keinginan, rejeki, jodoh,
pangkat, kedudukan, ketenteraman batin, dan sebagainya.
Bagi para peziarah yang
bertirakat di sana kadangkala juga melihat atau mengalami hal-hal yang
aneh, di luar akal sehat. Misalnya ada peziarah dari Jakarta yang pada
waktu tirakat melihat lampu banyak sekali, ternyata itu merupakan pertanda
keinginannya tercapai, yaitu ingin menjadi pedagang yang sukses. Ada pula
yang melihat harimau putih, yang konon merupakan penjaga (mbaureksa) makam.
Bagi mereka yang keinginannya terkabul juga sering mengadakan tahlilan,
yasinan, atau selamatan di makam tersebut.
Tokoh mitos lain yang
terkenal dan menjadi tujuan ziarah adalah Sunan Drajat, yang dimakamkan di
Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Mengapa dinamakan Sunan Drajat?
Pada masa mudanya beliau bernama Raden Qosim, putra Sunan Ampel dengan Dewi
Candrawati. Beliau ditugaskan untuk berdakwah di bagian barat dari
Surabaya, lalu membuka pesantren di daerah Jelag (termasuk wilayah Desa
Banjarwati), Kecamatan Paciran. Setahun kemudian Raden Qosim pindah ke arah
selatan, sekitar satu kilometer, sesuai petunjuk yang diperolehnya, lalu
mendirikan langgar yang digunakan untuk berdakwah. Langgar yang didirikan
terletak di bukit yang agak tinggi sehingga dinamakan Desa Drajat.
Masyarakat sangat menghormati
dan segan terhadap Raden Qosim yang sangat tinggi ilmunya. Sampai
meninggalnya beliau dimakamkan di Desa Drajat tersebut.
Masyarakat lalu
mengaitkan antara harta, derajat, dan pangkat, serta beranggapan bahwa
setiap orang akan dihormati dan dihargai apabila ziarah ke makam Sunan
Drajat. Karena itu banyak orang yang berziarah ke makam Sunan Drajat dengan
maksud agar keinginannya tercapai. Dengan melakukan tata cara seperti
umumnya orang berziarah, berdzikir serta mendoakan arwah yang dimakamkan di
situ, sebagai imbalannya Yang Maha Kuasa akan mengabulkan keinginannya.
Tekanan hidup dan
kemiskinan juga mendorong orang untuk melakukan tindakan ritual dengan
berziarah ke makam tokoh mitos terkenal, seperti yang terjadi di makam
Eyang Seloning di sebelah utara Parang Wedang, Parangtritis, Bantul. Ada
peziarah yang mempunyai keinginan memiliki rumah karena ia dan keluarganya
selama ini tidak mempunyai rumah yang layak. Dengan bertirakat dan berdoa
disertai usaha gigih akhirnya peziarah itu berhasil memiliki rumah yang
layak bagi keluarganya. Tirakat yang dilakukan sangat berat seperti pasa
ngebleng (tidak makan minum sama sekali), pasa nyirik uyah (puasa tidak
makan garam), dan lain-lain.
Masyarakat Jawa
mempunyai anggapan bahwa keberadaan makam leluhur harus dihormati dengan
alasan makam adalah tempat peristirahatan terakhir bagi manusia khususnya
leluhur yang telah meninggal.
Leluhur itulah yang
diyakini dapat memberikan kekuatan atau berkah tertentu. Oleh karena itu
masyarakat mengaktualisasikan dengan perlakuan khusus terhadap makam
leluhur. Hal ini akan semakin tampak nyata pada makam para tokoh yang
dianggap mempunyai kekuatan lebih pada masa hidupnya. Kisah kehebatan dan
luar biasanya para tokoh yang diziarahi memberikan motivasi para peziarah
untuk bertirakat mengharapkan keberuntungan. Dengan demikian, mereka
beranggapan makam dapat memberikan berkah bagi pengunjungnya atau
peziarahnya yang melaksanakan tirakat dengan khusuk dan ikhlas.
Candi Sebagai
Persemayaman Tokoh Mitos
Perilaku religius berkaitan
dengan ziarah makam masih banyak lagi di berbagai makam keramat yang lain.
Candi sebagai salah satu tempat keramat bagi pemeluk Hindu Budha merupakan
tempat ziarah yang selalu dikunjungi pada hari-hari atau peristiwa
tertentu. Candi tak ubahnya makam, merupakan tempat persemayaman raja-raja
pada masa lampau.
Asal mula istilah candi
berasal dari kata Candika, yaitu sebutan bagi Dewi Durga sesudah mati.
Istilah candi juga terdapat di Pulau Sumatra, yaitu Candi Japara di Lampung
dan Candi Bangsu di kompleks Muara Takus. Di Kalimantan Timur juga ada
yaitu Candi Agung. Masyarakat Jawa Timur lebih senang menyebut dengan
istilah cungkup, di Sumatra Utara biasa disebut biara.
Dalam paham Hindu,
candi merupakan gambaran Gunung Mahameru, tempat para dewa-dewi, bidadara
dan bidadari. Puncak gunung yang tinggi menggambarkan alam “kehutanan” yang
penuh dengan aneka satwa dan tumbuhan. Di kahyangan atau alam kadewan roh
manusia akan menjelma kembali ke dalam wujud berbagai binatang, seimbang
dengan perbuatannya semasa hidup di dunia yang penuh dengan godaan dan hawa
nafsu. Hal ini disebut reinkarnasi (kehidupan kedua). Puncak Gunung
Mahameru menggambarkan puncak kesucian. Karenanya candi pada umumnya
dibangun di atas bukit atau tanah yang letaknya lebih tinggi daripada
sekitarnya.
Candi Prambanan lebih
dikenal dengan nama Candi Rara Jonggrang. Dalam prasasti 856 M disebutkan
susunan dan konstruksi bangunan candi Roro Jonggrang dan raja yang
membangunnya, yaitu Raja Rakai Pikatan dari dinasti Sanjaya. Dinasti Sanjaya
mempunyai aliran kepercayaan agama Siwa atau Hindu. Dalam kepercayaan Hindu
orang yang meninggal jenazahnya tidak dikubur tetapi dibakar.
Pada masa itu Candi
Jonggrang digunakan untuk menyimpan abu jenazah Raja Kayuwangi. Hal ini
sesuai dengan bentuk konstruksi candi yang berupa lingga dan yoni. Abu
jenazah disimpan dalam yoni dan ditutup dengan lingga. Lingga dan yoni juga
sebagai simbol laki laki dan wanita.
Makam Tokoh Mitos dan
Upacara Adat
Berkaitan dengan ziarah
ke makam tidak lepas dari peran tokoh mitos yang sering pula menjadi cikal
bakal suatu desa atau daerah tertentu. Banyak upacara adat desa tertentu
yang mengaitkan dengan tokoh tertentu yang dimakamkan di sekitar daerah
yang bersangkutan. Contoh yang dapat disebutkan di sini misalnya upacara
adat Ki Ageng Tunggul Wulung yang setiap tahun diadakan di Dusun Dukuhan,
Desa Sendang Agung, Minggir, Sleman. Upacara adat ini selalu diadakan pada
hari Jumat Pon dan pada intinya untuk memuliakan dan menghormati jasa-jasa
Eyang Tunggul Wulung.
Siapakah Eyang Tunggul
Wulung itu? Beliau adalah seorang tokoh yang sakti mandraguna, masih
kerabat Kraton Majapahit. Konon pada waktu Majapahit kalah para kerabat dan
sentana Majapahit bubar melarikan diri ke berbagai daerah menyelamatkan
diri. Satu di antaranya adalah Ki Ageng Tunggul Wulung yang melarikan diri
ke arah barat sampai di Dusun Beji atau Diro sebelah timur Sungai Progo.
Menurut cerita dari
mulut ke mulut, perjalanan Ki Ageng Tunggul Wulung disertai isterinya yang
bernama Raden Ayu Gadung Mlati dengan tujuh orang punggawa dan beberapa
abdi terpercaya. Juga membawa pusaka kerajaan yang menurut perintah Raja
Brawijaya harus diserahkan kepada calon raja pengganti yang berhak. Pusaka
yang dibawa antara lain tombak Tunggul Wasesa, Keris Pulang Geni, Bendera
Tunggul Wulung. Sampai di Dusun Dukuhan bertempat tinggal di sana, sampai
akhirnya mereka semua mukswa (meninggal dan hilang bersama raganya). Tempat
hilangnya lalu diberi tanda dengan batu nisan seperti umumnya makam, dan
dianggap sebagai tempat keramat. Oleh karena itu banyak orang yang
berziarah ke tempat itu. Makam Ki Ageng Tunggul Wulung berada di Dusun
Dukuhan di lahan dekat tepi Sungai Progo.
Setiap pelaksanaan
upacara disertai dengan pergelaran wayang kulit semalam suntuk dan tarian
tayub. Sebab diyakini pada masa hidupnya Ki Ageng Tunggul Wulung senang
dengan kedua jenis kesenian tersebut.
Konon pernah suatu saat
ada seorang ledhek tayub yang ingin hidupnya lebih baik melakukan tirakat
di makam Tunggul Wulung. Tanpa ada sebab yang jelas ledhek itu menghilang.
Karena peristiwa itu masyarakat menganggap bahwa Eyang Tunggul Wulung
memang senang dengan kesenian itu dan mengajak ledhek tayub tersebut.
Sampai sekarang Ki
Ageng Tunggul Wulung diyakini oleh masyarakat Dusun Dukuhan sebagai cikal
bakal mereka dan yang memberikan perlindungan terhadap warga dusun mereka.
Terbukti dengan adanya ubarampe upacara adat yang berupa sesaji dan jodhang
berisi hasil bumi yang pada saatnya diperebutkan. Masyarakat meyakini hasil
bumi yang diperebutkan itu akan membawa berkah bagi mereka.
Hal serupa juga terjadi
di daerah Gunung Kidul, tepatnya di Dusun Ngenep, Desa Dadapayu, Kecamatan
Semanu, Gunung Kidul. Tokoh mitos yang mereka segani adalah Ki Mentokuwoso,
seorang tokoh penyiar agama Islam di daerah itu.
Karena jasa-jasanya
terhadap kraton pada waktu dulu beliau ditawari untuk minta hadiah yang
diinginkan. Beliau hanya minta agar daerahnya dibebaskan dari kewajiban
membayar upeti dan diperbolehkan mengadakan upacara Garebeg Maulud seperti
di kraton, dan permintaan itu dikabulkan oleh raja. Sebagai tokoh yang
sakti dan mempunyai ilmu yang tinggi, konon beliau juga menciptakan masjid
tiban sebagai pelengkap Upacara Grebeg. Masjid itu sekaligus juga menjadi
sarana dan tempat dakwah yang dilakukan oleh Ki Mentokuwoso.
Dalam kaitannya dengan
asal mula Grebeg Ngenep, tokoh Ki Mentokuwoso menghubungkan dunia nyata
dengan dunia gaib bagi masyarakat Ngenep. Bagi orang orang yang tinggal di
Desa Dadapayu dan sekitarnya Upacara Grebeg Ngenep merupakan peristiwa yang
selalu ditunggu tunggu untuk ikut berpartisipasi. Bahkan masyarakat secara
antusias ikut berebut hasil pertanian (wulu wetu) yang dibentuk dalam wujud
gunungan yang memang diperebutkan setelah acara doa bersama. Nama Ki
Mentokuwoso dan saudara-saudaranya juga selalu dikenang bahkan makamnya
sering diziarahi. Menurut Kadus Sembuku, makam Kyai Bayi, salah satu
saudara Ki Mentokuwoso,sering dijadikan tempat nenepi orang-orang dari luar
Ngenep. Biasanya orang yang nenepi atau ziarah mempunyai keinginan agar
dapat naik pangkat.
Makam Sebagai Objek
Wisata Spiritual
Sebagai tempat yang
dianggap suci, makam juga merupakan tempat wisata yang pantas untuk
dikunjungi. Makam raja-raja di Imogiri, misalnya, menjadi tujuan wisata
yang selalu ramai dikunjungi. Selain sebagai tempat yang disucikan, makam
raja-raja di Imogiri memang sebagai kompleks makam yang cukup besar, dengan
letaknya di atas bukit yang tinggi, dilengkapi dengan berbagai fasilitas
bagi para pengunjung.
Demikian pula makam
keluarga Pakualaman di Girigondo, hampir sama dengan makam raja-raja
Imogiri. Demikian pula di Makam Sewu (Makam Panembahan Bodo), Makam Sunan
Ampel, makam para Walisanga, dan sebagainya. Masih banyak pula makam
tokoh-tokoh terkenal yang sekaligus sebagai objek wisata.
Kedatangan pengunjung
dari berbagai daerah, apalagi yang jauh atau bahkan dari mancanegara,
menimbulkan dampak pula bagi masyarakat sekitar. Selain pada hari hari
tertentu yang berkaitan dengan ziarah ritual seperti malam Selasa Kliwon
atau Jumat Kliwon, pada hari-hari libur nasional bahkan lebih ramai oleh
kunjungan para wisatawan, baik dalam negeri maupun luar negeri. Pada waktu
banyak pengunjung dipastikan akan banyak para pedagang tiban atau asongan
yang menjajakan berbagai barang dagangan kepada pengunjung. Hal ini juga membawa
perubahan ekonomi pada masyarakat sekitar makam yang menjadi objek wisata
tersebut.
Penutup
Tak dapat dipungkiri
bahwa dalam kehidupan masyarakat Jawa ada saat di mana manusia akan
melakukan aktivitas yang berkaitan dengan makam atau ziarah ke makam. Makam
dan segala aktivitas yang berkaitan dengan ziarah akan mengingatkan manusia
bahwa setelah kehidupan akan ada kematian, sehingga manusia akan sadar
untuk biasa melakukan perbuatan baik sebagai bekal dalam menghadapi alam
arwah. Aktivitas ziarah oleh banyak fihak juga dimanfaatkan untuk
kepentingankepentingan tertentu, misalnya mencari ketenangan, mencari
rejeki, keberuntungan, dan sebagainya, sesuai dengan kharisma dan kisah
keistimewaan tokoh yang dimakamkan.
DO’A ANAK KEPADA
ORANGTUANYA
Dengan nama Allah Yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Ya Allah
Indahkan kepada mereka
ucapanku
Haluskan kepada mereka
tabiatku
Lembutkan kepada mereka
hatiku
Jadikan aku orang yang
sangat mencintai mereka
Ya Allah
Balaslah kebaikan
mereka karena telah mendidikku
Berikan ganjaran kepada
mereka karena telah memuliakanku
Jagalah mereka
sebagaimana mereka memeliharaku pada masa kecilku
Ya Allah
untuk setiap derita
yang menimpa mereka karenaku
untuk setiap hal yang
tidak enak yang mengenai mereka karenaku
untuk setiap hak mereka
yang aku abaikan
jadikan semua itu
penghapus terhadap dosa mereka
ketinggian derajat
mereka
kelebihan dalam
kebaikan mereka
Wahai Yang Mengubah
keburukan dengan kebaikan secara berlipat ganda
Ya Allah
untuk setiap
pembicaraan mereka yang melanggar batas terhadapku
untuk setiap perbuatan
yang berlebihan terhadapku
untuk setiap hak-ku
yang mereka lalaikan
untuk setiap kewajiban
terhadapku yang mereka abaikan
semua sudah aku berikan
kepada mereka dan aku ikhlaskan atas mereka
dan aku tidak membenci
mereka cara mereka memperlakukanku,
Ya Allah
mereka mempunyai hak
terlalu besar dari diriku
kebaikan yang terlalu
utana terhadapku
perberian yang terlalu
banyak bagiku
sehingga aku tidak
dapat membalasnya dengan adil atau memberikan kepada imbalan sepadan
Duhai Tuhanku
bagaimana harus kubalas
budi mereka
lamanya kesibukan
mereka untuk mengurusku
beratnya kelelahan
mereka menjagaku
dan penanggungan mereka
akan kesempitan untuk memberikan keleluasaan bagiku
Aduhai
Aku tidak akan bisa
memenuhi hak mereka terhadapku
Aku tidak mampu
melaksanakan kewajibanku kepada mereka
Aku tidak sanggup
menjalankan kewajibanku untuk berkhidmat kepada mereka
Maka, sampaikan
shalawat kepada Rasulullah dan keluarganya
Bantulah aku
Wahai Yang Paling baik
untuk dimintai bantuan
Bimbinglah aku
Wahai Pembimbing yang
dirindukan
Jangan jadikan aku
orang yang durhaka kepada ayah bunda
pada hari ketika setiap
diri dibalas karena hasil kerjanya dan mereka tidak dianiaya
Ya Allah
Sampaikan shalawat
kepada Rasulullah dan keluarganya
Istimewakan kedua orang
tuaku dengan yang paling utama dari apa yang Kau istimewakan kepada orang
tua wahai Yang Paling Pengasih dari segala yang mengasihi
Ya Allah
Jangan biarkan aku lupa
untuk menyebut mereka sesudah shalatku
pada saat-saat malamku,
pada saat-saat siangku
Ya Allah
Sampaikan shalawat
kepada Rasulullah dan keluarganya
Ampunilah aku dengan
doaku kepada mereka dengan ampunan yang sempurna
Ampunilah kedua orang
tuaku dengan kebaikan mereka padaku
Ridhailah mereka dengan
syafaatku untuk mereka dengan keridhaan yang paripurna
Sampaikan mereka dengan
anugerah-Mu kepada tempat-tempat kesejahteraan
Ya Allah
Jika ampunan-Mu lebih
dahulu datang kepada mereka,
izinkan mereka untuk
memberi syafaat kepadaku
Jika ampunan-Mu lebih
dahulu sampai kepadaku,
izinkan aku untuk
memberi syafaat kepada mereka
Sehingga dengan kasih
sayang-Mu kami berkumpul di rumah-Mu yang mulia
di tempat ampunan dan
kasih-Mu
Sungguh Engkau Pemilik
karunia yang besar dan anugerah yang abadi
Engkaulah Yang maha
Pengasih dari semua yang pengasih.
(Ash-Shahifah
As-Sajjadiyah, doa ke 24)
Ziarah kubur dalam
Islam memang dianjurkan, tujuanya adalah mendoakan mereka yang telah
meninggal agar diampuni dosanya. Namun tidak sedikit yang memaknai ziarah
kubur sebagai upaya untuk memohon berkah dari mereka yang telah meninggal
dunia.
Tokoh intelektual Islam
Azumardi Azra mengatakan kebiasaan ini tidak lepas dari singgungan budaya
yang ada. "Ziarah kubur tidak lagi sekadar praktek keagamaan tapi
sudah berpadu dengan budaya. Sehingga yang kemudian terjadi adalah orang
berziarah tapi meratap bisa dapat jodoh atau jabatan. Ini memang agak sulit
dihalangi karena sudah terjadi gejala budaya," kata Azumardi.
Kondisi ini seakan
membenarkan apa yang dikatakan Claude Guillot dan Henri Chambert-Loir
(2007), bahwa makam wali adalah tempat pengungkapan perasaan religius yang
bebas serta juga tempat memelihara ritus-ritus kuno. Jika amal sembahyang
di masjid mencerminkan kesatuan dan keseragaman dunia Islam, maka amal
ziarah ke makam wali mencerminkan keanekaragaman budaya yang tercakup dalam
dunia Islam. "Namun ulama bisa mengingatkan agar peziarah tidak
melakukan hal tersebut."
|