Awal Dakwah
Muhammad tertidur pulas. Saat itu, Khadijah
keluar rumah menemui misannya, Waraqah bin Naufal, seorang pemeluk Nasrani
yang saleh. Diceritakannya peristiwa yang dialami Muhammad di Gua Hira.
Waraqah membesarkan hati Khadijah. Ia meyakini peristiwa itu adalah
pengangkatan Muhammad sebagai Rasul. Sementara itu, dalam tidurnya,
Muhammad kembali menggigil. Jibril datang menyampaikan wahyu berikutnya.
"Wahai yang berselimut.! Bangunlah dan sampaikan peringatan. Agungkan
Tuhanmu, sucikan pakaianmu, dan hindarkan darimu dosa. Janganlah kau
memberi karena ingin menerima lebih banyak. Demi Tuhanmu, tabahkan
hatimu."
Muhammad terbangun gelisah. Khadijah terus
menenteramkannya. Saat itu Muhammad, sempat gamang. Jangan-jangan yang
menjumpainya bukan malaikat, melainkan setan. Dengan caranya sendiri,
mereka mencoba menguji itu. Dikisahkan bahwa saat Jibril datang, Khadijah
sengaja memangku Muhammad di pahanya. Muhammad masih melihat sosok itu.
Baru setelah Khadijah menyingkap kain penutup mukanya, sosok itu menghilang
dari pandangan Muhammad.
Keyakinan Muhammad menguat setelah ia, ketika
hendak mengelilingi Ka'bah, bertemu Waraqah. Saat itu Waraqah
meyakinkannya. "Demi Dia yang memegang hidup Waraqah. Engkau adalah
Nabi atas umat ini. Engkau telah menerima Namus Besar seperti yang telah
diberikan pada Musa. Kau pasti akan didustakan orang, disiksa, diusir dan
diperangi. Kalau sampai waktu itu aku masih hidup, pasti aku akan membela
yang di pihak Allah dengan pembelaaan yang sudah diketahuinya." Untuk
beberapa lama, malaikat tak lagi datang. Muhammad teramat gundah. Ia
khawatir Tuhan meninggalkannya atau malah membencinya. Kabarnya, ia sempat
berpikir untuk menjatuhkan diri dari Gua Hira atau dari puncak bukit Abu
Qubais. Tapi tidak. Di tengah kegelisahannya, turunlah firman yang
menegaskan bahwa "Tuhanmu tidak meninggalkanmu, juga tidak
membenci" dalam rangkaian ayat yanh dikenal sebagai surat Adh-Dhuha.
Muhammad kemudian diajari cara salat. Ia selalu
mempraktekkannya bersama Khadijah. Ali kecil yang tinggal bersama mereka
pun ikut serta. Demikian pula Zaid bin Haritsah. Zaid adalah anak-anak yang
diculik dari keluarganya dan dijual sebagai budak. Keluarga Muhammad
membelinya, lalu mengangkatnya sebagai anak, sehingga sempat disebut Zaid
bin Muhammad.
Merekalah orang-orang pertama yang meninggalkan
berhala untuk menyembah hanya pada Allah. Sama seperti Isa, Musa, Ibrahim
dan para Nabi lain. Kabar itu sampai pada Abu Bakar -sahabat Muhammad
pemuka Kaum Taim. Abu Bakar mengenal Muhammad sebagai seorang lurus, maka
ia segera menganut Islam. Abu Bakar bahkan dapat mengajak beberapa orang
lainnya untuk mengikuti Muhammad.
Di antara para sahabat itu adalah Usman bin
Affan, Abdurrahman bin Auf, Talha bin Ubaidillah juga Zubair bin Awwam.
Melalui Abu Bakar, Saad bin Abi Waqas -keluarga Muhammad dari garis
Aminah-juga memeluk Islam. Demikian pula Bilal, seorang asal Ethiopia yang
menjadi budak Ummayah.
Saat itu, warga Mekah tidak banyak
mempersoalkannya. Mereka menganggap Muhammad tak lebih dari seorang pendeta
biasa sebagaimana Waraqah. Perselisihan baru muncul tiga tahun setelah masa
kenabian. Allah memerintahkan Muhammad untuk tidak lagi sembunyi-sembunyi
dalam beragama dengan menyeru keluarga terdekat. (Qur'an Surat 26:
214-216). Muhammad kemudian mengundang keluarga dekatnya, Bani Hasyim untuk
makan di rumahnya, lalu mengajak mereka menyembah Allah. Namun Abu Thalib
menghentikan pembicaraan itu.
Esok harinya, Muhammad kembali mengundang lalu
menyeru mereka. Sekali lagi, kerabat Muhammad itu hendak pergi. Saat itu
Ali, yang masih anak-anak, berdiri dan mengatakan: "Rasulullah, saya
akan membantumu. Saya adalah lawan siapa saja musuhmu." Seluruh yang
hadir terbahak. Mereka menertawakan Muhammad, Ali serta Abu Thalib -ayah Ali.
Dikisahkan pula saat itu Muhammad menyatakan
pembelaannya terhadap Ali dengan istilah bahwa Ali adalah pewarisnya,
dirinya adalah pewaris Ali. Kelak, hal ini yang dipakai dasar pihak yang
mengatakan bahwa Ali adalah satu-satunya pewaris untuk menjadi pemimpin umat
sepeninggal Muhammad. Suatu persoalan yang bakal melahirkan pertikaian
besar antar umat Islam.
Muhammad juga melakukan dakwah terbuka, yakni di
bukit Shafa yang kini menjadi bagian dari Masjidil Haram. "Hai
orang-orang Qurais," seru Muhammad dari puncak bukit itu. Orang-orang
pun berdatangan. "Kalau kuberi tahu bahwa di bukit ini terdapat
pasukan berkuda, percayakah kalian?"
"Ya," sahut mereka. "Kami tak
pernah meragukan kejujuranmu. Kami belum pernah mendengar engkau
berdusta" "Kalian kuperingatkan sebelum menghadapi siksa pedih,
hai Bani Abdul Muthalib, Bani Abdul Manaf, Bani Zuhra, Bani Makhzum dan
Bani Asad. Allah memerintahkan aku menyampaikan peringatan pada
keluarga-keluargaku terdekat. Aku tidak dapat memberi keuntungan apapun
pada kalian baik di dunia maupun akhirat kecuali kamu mengikrarkan 'La
ilaha illallah' (tiada tuhan selain Allah)".
Seorang berpostur gemuk yang juga paman
Muhammad, Abu Lahab menukas. "Celakah engkau Muhammad. Buat apa kau
kumpulkan kami." Allah lalu menurunkan firman, Surat Al-Lahab, atas
perilaku tersebut.
Muhammad terus menebar dakwah. Ia bukan saja
menyeru untuk meninggalkan berhala, namun juga berbuat baik pada sesama,
hidup berkasih sayang, tidak berlomba-lomba menumpuk harta. Pengaruh
Muhammad semakin meluas. Hal tersebut meresahkan para pemuka Qurais.
Mulailah perseteruan itu. Mula-mula mereka menyerang Muhammad dengan syair
yang mengejek. Juga menuntut Muhammad untuk menunjukkan mukjizat.
Setelah Muhammad secara terbuka mengritik
patung-patung sembahan di sekitar Ka'bah, mereka mendesak Abu Thalib untuk
tidak melindungi Muhammad. Sepuluh orang ditugasi membawa misi tersebut.
Mereka adalah Abu Sufyan bin Harb, Uthbah dan Syaibah bin Rabi'ah, Nubaih
dan Munabbih bin Hajjaj, Ash bin Wail, Walid bin Mughirah, Abu Bakhtarif,
Jawad bin Muthalib serta Abu Jahal bin Hisyam.
Beberapa kali, kaum kafir mendesak Abu Thalib.
Mereka bahkan menawarkan seorang pemuda tampan, Umara bin Walid agar
dipungut sebagai anak Abu Thalib asalkan Muhammad diserahkan kepada mereka.
Abu Thalib menolak permintaan itu. Namun ia menyampaikan pula desakan para
tokoh Qurais itu pada Muhammad.
Muhammad kukuh pada sikapnya. "Paman, demi
Allah, sekiranya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan
di tangan kiriku agar aku meninggalkan tugas ini, sungguh tak akan
kulakukan sampai Allah membuktikan kemenangan itu di tanganku atau aku mati
karenanya."
Bersama Khadijah
Muhammad digambarkan sebagai seorang
berperawakan sedang. Tidak kecil dan tidak besar. Rambutnya hitam berombak
dengan cambang lebar. Matanya hitam, roman mukanya seperti selalu merenung.
Ia gemar pula berhumor, namun tak pernah sampai tertawa terbahak yang
membuat gerahamnya tampak. Ia juga tak pernah meledak marah. Kemarahannya
hanya terlihat pada raut muka yang serius serta keringat kecilnya di dahi.
Muhammad inilah yang dipertimbangkan Khadijah sebagai suaminya.
Saat itu Khadijah binti Khuwailid berusia 40
tahun -15 tahun lebih tua dibanding Muhammad. Ia pengusaha ternama di
Mekah. Bisnisnya menjangkau wilayah Syria -daerah yang menjadi persimpangan
antara "Jalur Sutera" Cina-Eropa dengan jalur Syria-Yaman. Ia
cantik, lembut namun sangat disegani masyarakatnya. Orang-orang Mekah
menjulukinya sebagai "Ath-Thahirah" (seorang suci) dan "Sayyidatul
Quraish" (putri terhormat Quraish)." Khadijah dan Muhammad
sama-sama keturunan Qushay.
Khadijah lalu menyampaikan keinginan menikah
tersebut pada Muhammad, melalui Nufaisa -sahabatnya. Muhammad sempat
gamang. Ia tidak punya apa-apa untuk menikah. Namun kedua belah pihak keluarga
mendukung mereka. Dengan mas kawin 20 unta, Muhammad menikahi Khadijah.
Paman Khadijah, Umar bin Asad menjadi wali lantaran Khuwailid telah
meninggal sebelum Perang Fijar. Muhammad kemudian tinggal di rumah
Khadijah.
Keluarga mereka tenteram dan damai. Pada usianya
yang terbilang tua, Khadijah masih melahirkan enam anak. Dua anak pertama,
Qasim dan Abdullah meninggal selagi kecil. Empat putri mereka tumbuh hingga
dewasa. Zainab yang sulung dinikahkan dengan keponakan Khadijah, Abul'Ash
bin Rabi'. Ruqaya dan Ummi Khulthum dinikahkan dengan kakak-adik putra Abu
Lahab, paman Muhammad, yakni Uthba' dan Uthaiba. Setelah ajaran Islam
turun, Abu Lahab meminta anak-anaknya menceraikan anak-anak Muhammad. Kelak
mereka menikah dengan Khalifah Usman bin Affan, mula-mula Ruqaya yang
kemudian wafat, lalu Ummi Khulthum. Si bungsu Fatimah masih kecil. Setelah
masa Islam, Fatimah dinikahkan dengan Ali.
Perhatian pasangan Muhammad-Khadijah bukan hanya
memikirkan keluarganya sendiri, melainkan juga orang lain. Setiap musim
paceklik tiba, Halimah -Ibu susu Muhammad-selalu datang minta bantuan.
Mereka akan membekali pulang Halimah dengan air serta bahan pangan yang
diangkut unta untuk memenuhi kebutuhan warga desanya. Mereka juga menolong
Abu Thalib dari kemiskinannya. Untuk itu, Muhammad menemui pamannya yang
kaya Abbas untuk mengambil salah seorang anak Abu Thalib, Ja'far, sedangkan
keluarga Muhammad mengasuh anak yang lain, Ali.
Muhammad mendapat penghormatan besar saat
renovasi Ka'bah. Saat itu Ka'bah telah retak. Lokasinya di cekungan
perbukitan batu, membuat Ka'bah selalu menjadi sasaran banjir di musim
hujan. Masyarakat bermaksud membangun baru Ka'bah, namun tak seorang pun
berani memulai merobohkannya. Setelah tertunda beberapa lama, Walid bin
Mughirah memberanikan diri untuk memulai penghancuran itu. Ka'bah dibangun
kembali hingga setinggi 18 hasta atau sekitar 11 meter. Pintunya
ditinggikan dari tanah sehingga aman dari banjir. Enam tiang berderet
tiga-tiga dipancangkan.
Untuk pembangunan itu, warga Mekah membeli kayu
milik pedagang Romawi Baqum yang kapalnya pecah di dekat Jeddah. Baqum
bahkan bersedia membantu pembangunan itu bila didampingi Kopti -tukang kayu
Mekah. Pekerjaan berjalan lancar. Hubal, arca terbesar, telah dimasukkan ke
dalam Ka'bah. Namun, kemudian muncul persoalan, yakni untuk menempatkan
Hajar Aswad. Semua kabilah ingin mendapatkan kehormatan itu. Keluarga
Abdud-Dar dan 'Adi bahkan telah mengangkat sumpah darah untuk menyerang
siapapun yang akan mengambil tugas itu.
Orang tertua dan dihormati di antara mereka, Abu
Ummayah bin Mughira dari Bani Makhzum, mengajukan usul. Urusan penempatan
Hajar Aswad agar diserahkan pada orang pertama yang masuk ke pintu Shafa.
Siapapun dia. Orang itu ternyata Muhammad Al-Amien.
Secara bijaksana, Muhammad melibatkan semua
keluarga untuk meletakkan batu hitam itu. Caranya: ia membentangkan kain.
Semua pemimpin keluarga dipersilakannya memegang pinggir kain. Muhammad
mengangkat batu itu ke atas kain, lalu semua secara bersama-sama mengotong
batu tersebut, kemudian Muhammad kembali mengangkat dan meletakkannya pada
tempat semestinya. Semua puas
Dari Gembala ke Manajer
Dalam tradisi keluarga terhormat Arab masa itu,
bayi tidak disusui sendiri oleh Sang Ibu. Ia diserahkan pada orang lain
yang menjadi Ibu susu. Demikian pula Muhammad. Beberapa hari, ia disusui
oleh Tsuaiba -budak paman Muhammad, Abu Lahab, yang juga tengah menyusui
Hamzah -paman lainnya yang seusia Muhammad. Kemudian ia diserahkan pada
Halimah, perempuan miskin dari Bani Saad yang mencari pekerjaan sebagai Ibu
susu.
Semula Halimah menolak Muhammad. Ia menginginkan
bayi yang bukan seorang yatim, dan keluarganya sanggup membayar lebih
mahal. Tak ada bayi lain yang bisa disusui, Halimah pun membawa Muhammad ke
kampungnya. Suasana perkampungan Bani Saad disebut lebih baik bagi
pertumbuhan anak dibanding 'kota' Mekah. Udara di sana disebut lebih
bersih, bahasa Arab-nya pun lebih asli. Di masa bersama Halimah itulah
tersiar kisah mengenai Muhammad kecil.
Menurut kisah itu, Halimah menjumpai Muhammad dalam
keadaan pucat. Disebutkan bahwa Muhammad baru didatangi dua orang -yang
diyakini banyak kalangan sebagai malaikat. Orang tersebut kemudian membelah
dada Muhammad. Banyak orang percaya, itu adalah proses malaikat
"mencuci hati Muhammad'' sehingga bersih. Namun Haekal menyebut bahwa
kisah tersebut lemah. Saat itu Muhammad dan anak Halimah yang menyertainya
masih balita, sehingga kesaksiannya diragukan.
Pada usia lima tahun, Muhammad dikembalikan ke
Mekah. Konon Halimah khawatir atas keselamatan Muhammad. Dalam perjalanan
ke Mekah, Muhammad sempat terpisah dari Halimah dan tersesat sebelum
ditemukan secara tak sengaja oleh orang yang kemudian mengantarkan ke rumah
Abdul Muthalib. Saat Muhammad berusia enam tahun, Aminah sang ibu
membawanya ke Madinah menengok keluarga dan makam Abdullah, sang ayah.
Mereka ditemani budak Abdullah, Ummu Aiman, menempuh jarak sekitar 600 km
bersama kafilah dagang yang menuju Syam.
Saat pulang, setiba di Abwa -37 km dari
Madinah-Aminah jatuh sakit dan meninggal. Muhammad pun yatim piatu. Ia
dipelihara Abdul Muthalib. Namun, sang kakek juga meninggal saat Muhammad
berusia 8 tahun. Muhammad lalu tinggal di rumah Abu Thalib -anak bungsu
Abdul Muthalib yang hidup miskin. Kehidupan sehari-hari Muhammad adalah
menggembala kambing. Pada usia 12 tahun, Muhammad diajak pamannya berdagang
ke Syam.
Terkisahkan, dalam perjalanan itu Abu Thalib
bertemu pendeta Nasrani bernama Buhaira di Bushra. Sang pendeta memberi
tahu bahwa Muhammad bakal menjadi Nabi besar. Maka, ia menyarankan Abu Thalib
segera membawa pulang Muhammad agar tidak celaka olah ulah orang-orang yang
tak suka. Perjalanan ke negeri asing untuk berbisnis pada usia semuda itu
tentu memberi kesan kuat pada Muhammad.
Berkat ketulusan dan kelurusan hatinya, Muhammad
remaja mendapat sebutan Al-Amien, "yang dapat dipercaya", dari
orang-orang Mekah. Ia juga disebut-sebut terhindar dari berbagai bentuk
kemaksiatan yang acap timbul dari pesta. Setiap kali hendak menyaksikan
pesta bersama kawan-kawannya, Muhammad selalu tertidur. Sedangkan ketajaman
intelektual serta nuraninya terasah melalui hobinya mendengarkan para
penyair.
Pada bulan-bulan suci, di beberapa tempat di
dekat Mekah, selalu muncul pasar. Terutama di Ukaz yang berada di antara
Thaif dan Nakhla, serta di Majanna dan Dzul-Majaz. Di hari pasar, para
penyair membacakan sajak-sajaknya. Sebagian penyair itu beragama Nasrani
maupun Yahudi. Mereka umumnya mengeritik bangsa Arab yang menyembah
berhala. Peristiwa tersebut menambah sikap kritis Muhammad atas perilaku
masyarakatnya.
Persoalan pasar di Ukaz itu menyeret Muhammad
pada realita manusia: perang. Berawal dari pelanggaran kesepakatan sistem
dagang yang dilakukan Barradz bin Qais dari kabilah Kinana yang memicu
pelanggaran serupa 'Urwa bin 'Uthba dari kabilah Hawazin. Barradz lalu
membunuh 'Urwa di bulan suci yang diharamkan terjadi pertumpahan darah.
Kabilah Hawazin lalu mengangkat senjata terhadap kabilah Kinana. Karena
kekerabatan, kaum Quraish seperti Muhammad membela kabilah Kinana.
Selama empat tahun, pertempuran berlangsung pada
hari-hari tertentu setiap tahun. Itu terjadi saat Muhammad berusia sekitar
16 hingga 20 tahun. Disebutkan pula, di pertempuran itu Muhammad hanya
bertugas mengumpulkan anak panah lawan. Ada juga yang menyebut dia pernah
memanah lawan. Perang Fijar itu pun berakhir dengan kesepakatan damai.
Satu peristiwa penting yang jarang dikisahkan
adalah bergabungnya Muhammad pada Gerakan Hilfil Fudzul. Sebuah gerakan
untuk memberantas kesewenangan di masyarakat dan melindungi yang teraniaya.
Peristiwa itu terpicu oleh perampasan barang milik pedagang asing yang tiba
di Mekah oleh Wail bin Ash. Zubair bin Abdul Muthalib mengajak keluarga
Hasyim, Zuhra dan Taym untuk menegakkan kembali kehormatan kota Mekah.
Mereka berikrar di rumah Abdullah bin Jud'an untuk membentuk gerakan
tersebut. Pada usia 20-an tahun, Muhammad aktif dalam Hilfil Fudzul itu. Ia
ikut menyelamatkan gadis dari Bani Khais'am yang diculik Nabih bin Hajaj
dan kawan-kawan.
Kematangan Muhammad semakin tumbuh seiring
dengan meningkatnya usia. Saat Muhammad berusia 25 tahun, Abu Thalib
melihat peluang usaha bagi keponakannya. Ia tahu pengusaha terkaya di Mekah
saat itu, Khadijah, tengah mencari manajer bagi tim ekspedisi bisnisnya ke
Syam. Khadijah menawarkan gaji berupa dua ekor unta muda bagi manajer itu.
Atas sepersetujuan Muhammad, Abu Thalib menemui Khadijah meminta pekerjaan
tersebut buat keponakannya itu serta minta gaji dinaikkan menjadi empat
ekor unta. Khadijah setuju.
Untuk pertama kalinya Muhammad memimpin kafilah,
atau misi dagang, menyusuri jalur perdagangan utama Yaman - Syam melalui
Madyan, Wadil Qura dan banyak tempat lain yang pernah ditempuhnya saat
kecil. Di kafilah itu Muhammad dibantu oleh perempuan budak Khadijah,
Maisarah. Bisnis tersebut sukses besar. Dikabarkan tim dagang Muhammad
meraup keuntungan yang belum pernah mampu diraih misi-misi dagang
sebelumnya. Dalam perjalanannya tersebut, ia juga banyak berinteraksi
dengan bangsa-bangsa lain. Termasuk para pendeta Yahudi maupun Nasrani yang
terus mengajarkan keesaan Allah. Muhammad juga semakin memahami konstalasi
politik global, termasuk menyangkut dominasi Romawi serta perlawanan
Persia.
Khadijah terkesan atas keberhasilan Muhammad.
Laporan Maisarah memperkuat kesan tersebut. Maka, benih cinta pun perlahan
bersemi di hati pengusaha terkaya di Mekah yang hidup menjanda itu.
Drama Hijrah
Haekal melukiskan kisah ini sebagai "kisah
yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah
pengejaran yang penuh bahaya, demi kebenaran, keyakinan dan iman".
Yatsrib atau Madinah sudah pasti menjadi masa
depan Muhammad dan pengikutnya. Puluhan muslimin telah menyelinap pergi ke
sana. Kaum Qurais tak terlalu peduli. Perhatian mereka pada Muhammad yang
masih di Mekah yang tak akan mereka biarkan lolos. Padahal Muhammad telah
siap untuk pergi. Abu Bakar telah menyiapkan dua unta baginya dan bagi
Muhammad. Unta itu dipelihara Abdullah bin Uraiqiz.
Sampai pada harinya, perintah Allah untuk hijrah
pun turun. Muhammad memberi tahu Abu Bakar. Para pemuda Qurais juga semakin
ketat memata-matai rumah Muhammad. Mereka sesekali mengintip ke dalam
rumah, melihat Muhammad berbaring di tempat tidurnya. Namun Muhammad
meminta Ali mengenakan mantel hijaunya dari Hadramaut serta tidur di
dipannya. Kaum Qurais tenang. Mereka pikir Muhammad masih tidur. Ketika
esok harinya mendobrak pintu rumah Rasul, mereka hanya mendapati Ali yang
mengaku tak tahu menahu tentang keberadaan Muhammad.
Malam itu, Muhammad telah menyelinap dari jalan
belakang. Bersama Abu Bakar, ia berjalan mengendap dalam gelap, menuju
sebuah gua di bukit Tsur. Sebuah pilihan cerdik. Kaum Qurais tentu menduga
Muhammad menuju Yatsrib di utara Mekah. Muhammad malah melangkah ke
selatan. Kejadian ini juga memperlihatkan bahwa Muhammad tetap menggunakan
nalar yang wajar sebagai manusia. Jika mau, ia dapat meminta perlindungan
Allah berwujud kesaktian seperti yang dikejar-kejar banyak manusia
sekarang. Tapi tidak, Muhammad menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama untuk
kepentingan semacam itu.
Muhammad dan Abu Bakar hanya menjalankan siasat
biasa. Dalam persembunyiannya, mereka tetap memasang telinga melalui
Abdullah, anak Abu Bakar, yang tetap tinggal di Mekah. Setiap malam,
Abdullah menemui mereka di gua melaporkan perkembangan suasana serta
mengirim makanan yang disiapkan Aisyah dan saudaranya, Asma. Setiap pagi,
pembantu Abu Bakar -Amir bin Fuhaira-menggembala kambing menghapus jejak
itu.
Tiga malam mereka bersembunyi di gua itu. Satu
riwayat menyebut sejumlah pemuda Qurais telah mencapai bibir gua. Abu Bakar
gemetar meringkuk di sisi Muhammad. Saat itu, Muhammad berbisik. "La
tahzan, innallaaha ma'ana (Jangan sedih, Allah bersama kita) ". Rasul
juga menghibur dengan kata-kata, "Abu Bakar, kalau kau menduga kita
hanya berdua, Allah-lah yang ketiga." Orang-orang Qurais itu lalu
pergi. Konon mereka melihat sarang laba-laba serta burung merpati mengerami
telur di mulut gua. Tak mungkin Muhammad bersembunyi di situ.
Setelah aman, Abdullah bin Uraiqiz membawa
keluar mereka. Tiga unta beriringan ke Barat, berbekal makanan yang diikat
dengan sobekan sabuk Asma. Abu Bakar disebut membawa seluruh uang
simpanannya sebesar 5 ribu dirham. Mereka berjalan berputar menuju arah
Tihama, dekat Laut Merah, melalui jalur yang paling jarang dilalui manusia.
Baru kemudian mereka berbelok ke utara, ke Yatsrib, menapaki terik gurun.
Siang-malam mereka terus berjalan.
Kaum Qurais membuat sayembara dengan hadiah 100
unta bagi yang dapat menangkap Muhammad. Suraqa bin Malik tergiur
iming-iming itu. Ketika mendengar info ada tiga orang berunta beriringan,
ia mengelabui kawan-kawannya. "O.. itu adalah si anu," begitu
kira-kira ucapan Suraqa. Namun ia kemudian memacu kudanya sendirian
mengejar Muhammad. Sedemikian menggebu Suraqa, sehingga kudanya tersungkur.
Sekali lagi, ia tersungkur setelah dekat dengan Muhammad. Suraqa lalu
menyerah karena menganggap dirinya tengah sial.
Dua pekan kemudian, Muhammad tiba di Quba -desa
perkebunan kurma di luar kota Yatsrib. Ia tinggal di sana selama empat hari
dan membangun masjid sederhana. Di sana pula Muhammad bertemu kembali
dengan Ali yang berjalan kaki ke Yatsrib. Mereka kemudian berjalan bersama
menuju kota, dan disambut sangat meriah oleh warga Yatsrib dengan bacaan
salawat. Orang-orang Arab -baik yang Islam maupun penyembah berhala-serta
orang-orang Yahudi tumpah ruah untuk melihat sosok Muhammad yang banyak
diperbincangkan.
Orang-orang berebut menawarkan rumahnya sebagai
tempat tinggal Rasul. Tapi Muhammad menyebut bahwa ia akan tinggal di mana
untanya berhenti sendiri. Sampai ke sebuah tempat penjemuran korma, unta
itu berlutut. Muhammad menanyatakn tempat itu milik siapa. Ma'adh bin Afra
menjawab, rumah itu milik Sahal dan Suhail -dua orang yatim dari Banu
Najjar.
Setelah dibeli, rumah itu pun dibangun menjadi
masjid. Hanya sebagian dari ruangan masjid itu yang beratap. Di sanalah
orang-orang miskin --dari berbagai tempat yang datang menemui Muhammad
untuk memeluk Islam-- kemudian ditampung. Muhammad membangun rumah kecil
bagi keluarganya di sisi masjid itu. Semasa pembangunan rumah itu, Rasul
tinggal di rumah keluarga Abu Ayyub Khalid bin Zaid. Sekarang masjid yang
dibangun Rasulullah itu menjadi masjid Nabawi yang teduh di Madinah.
Sedangkan rumah tinggalnya menjadi tempat makam Rasul yang kini berada di
dalam masjid Nabawi.
Pada usia 53 tahun -setelah 13 tahun masa
kerasulannya serta membangun pondasi keislaman-Muhammad membuat langkah
besar itu: hijrah. Langkah berbahaya namun mengantarkannya menjadi pemimpin
utuh. Pemimpin keagamaan, kemasyarakatan juga politik. Peristiwa pada tahun
623 Masehi itu sekaligus mengajarkan keharusan umat Islam untuk berani
menempuh langkah besar untuk mencari lingkungan atau lahan baru yang
memungkinkan benih kebenaran dan kebajikan tumbuh lebih subur.
Ekspedisi Tabuk
Madinah telah tumbuh menjadi pusat pemerintahan
yang utuh. Sepulang dari pembebasan Mekah, seiring dengan semakin banyaknya
kabilah yang memeluk Islam, Muhammad pun mengenalkan ketentuan pajak dan
zakat. Setiap Muslimin diwajibkan untuk mengeluarkan zakat 'usyr'. Yakni
zakat hasil bumi sebesar 10 persen untuk pertanian beririgasi dan 20 persen
untuk pertanian tadah hujan. Orang-orang Arab yang belum memeluk Islam
diwajibkan membayar 'khazraj' atau pajak tanah.
Hampir seluruh masyarakat menerima baik
ketentuan demikian. Hanya beberapa kelompok kecil yang menentang. Antara
lain Bani Tamim. Salah satu puak di kelompok itu bahkan menyiapkan tombak
untuk menyambut petugas pemungut pajak.
Rasulullah mengambil langkah tegas. Lima puluh
orang pasukan berkuda yang dikomandoi Uyaina bin Hishn segera bergerak
menggempur pembangkang pajak itu. Lebih dari 50 orang warga Bani Tamim
-laki-laki, perempuan bahkan anak-anak, baik yang Muslim maupun yang masih
jahiliyah-digiring ke Madinah untuk dipenjarakan.
Masyarakat Bani Tamim mengirim utusan pada
Rasul, minta mereka dibebaskan. Diingatkannya bahwa sebagian tahanan itu
adalah orang-orang yang telah menyertai Muhammad dalam pembebasan Mekah dan
Perang Hunain. Namun Muhammad tidak memberi keringanan apapun pada mereka.
Baru setelah mereka menyerah dan kemudian masuk Islam seluruhnya, Rasul
membebaskan seluruh tahanan itu.
Sikap keras juga ditujukan pada orang-orang
munafik. Semakin banyaknya pemeluk Islam, semakin banyak pula jumlah
orang-orang munafik. Secara resmi mereka memeluk Islam, namun terus berupaya
menggerogoti kewibawaan Islam. Sikap keras itu ditunjukkan Rasul dalam
persiapan ekspedisi Tabuk. Saat itu, tersiar kabar bahwa Romawi tengah
menyiapkan pasukan untuk menggempur kekuatan Islam. Rasul kemudian menyeru
kaum Muslimin untuk bersiap menghadapi Romawi.
Beberapa orang munafik mencari-cari alasan untuk
tidak ikut berperang melawan Romawi. Muhammad tidak mendesak mereka untuk
pergi, melainkan malah memintanya untuk tetap di Madinah. Ketika Abdullah
bin Ubay menyusun pasukan sendiri untuk ikut ekspedisi, Rasul juga menolak.
Ketika itu orang-orang munafik juga membangun masjid dan meminta Muhammad
meresmikannya.
Ketika itu Muhammad meminta mereka menunda
peresmian tersebut. Namun sepulang dari Tabuk, Nabi bahkan menugasi sahabat
untuk membakar masjid tersebut, yang kemudian dikenal sebagai "masjid
dhirar". Yakni masjid yang dibangun bukan untuk tujuan sesungguhnya,
melainkan untuk tempat memecah belah umat. Terbukti bahwa orang-orang
menggunakan masjid tersebut untuk tempat berkumpul, bergosip, mencari-cari
kesalahan umat Islam sendiri.
Perhatian Muhammad kemudian tersita terhadap
ancaman Romawi. Ia menggalang kekuatan yang melibatkan sekitar 30 ribu
prajurit. Masih banyak lagi yang ingin bergabung. Namun Muhammad menolak
mereka lantaran terbatasnya jumlah unta dan kuda yang dimiliki. Padahal
orang-orang kaya menyerahkan sebagian besar hartanya untuk ekspedisi
tersebut. Di antaranya adalah Usman Bin Affan. Ratusan orang menangis
karena tak dapat mengikuti perjalanan tersebut.
Dalam usia sekitar 60 tahun, Muhammad masih
memimpin sendiri pasukan menuju ke arah Syam. Mereka sempat beristirahat di
Tsamud, wilayah yang di masa silam telah dihancurkan Allah karena
keingkaran warganya terhadap Nabi Allah. Pasukan kemudian melanjutkan
perjalanan ke Tabuk -tempat ayang diyakini bakal menjadi ajang perang besar
melawan Romawi. Namun ternyata Romawi teklah menarik pasukannya.
Di Tabuk, Muhammad sempat menjalin perjanjian
dengan penguasa Alia yang beragama Nasrani, Yohanna bin Ru'ba. Yohanna
menjanjikan bahwa wilayahnya akan mengikuti ketentuan yang berlaku bagi
wilayah-wilayah lain yang juga tunduk pada Muhammad. Pada Yohanna, Muhammad
memberikan cindera mata berupa mantel tenunan dari Yaman.
Sementara itu, Khalid bin Walid dan 500
pasukannya melanjutkan misi ke Duma, wilayah garis depan kekuasaan Romawi.
Mereka berhasil menyergap pemimpin Duma, Ukaidir. Ukaidir lalu dibawa ke
Madinah menyusul Muhammad yang telah pulang dari Tabuk. Ia datang
mengenakan baju sutera berumbai emas, dan diiringi 2000 ekor unta dan 800
ekor kambing. Warga Madinah ternganga melihat penampilan Ukaidir. Pemimpin
Duma itu kemudian juga masuk Islam.
Kemenangan besar telah diraih. Namun Rasulullah
menerima cobaan. Anak laki-laki yang sangat disayanginya, Ibrahim, jatuh
sakit dan kemudian meninggal. Muhammad bercucurkan air mata sampai ia
diingatkan para sahabat bukankah ia sendiri melarang bersedih karena
kematian. Muhammad lalu menjawab bahwa yang dilarang bukanlah berduka cita,
melainkan "menangis (untuk musibah) dengan suara keras".
Haji Wadha'
Tonggak-tonggak masyarakat Islam telah
ditegakkan. Satu - dua rombongan misi masih dikirimkan Rasulullah. Termasuk
misi 300 orang yang dipimpin Ali bin Abu Thalib, ke Yaman. Sekarang
Rasulullah lebih bisa berkonsentrasi menata masyarakat Islam dari Madinah.
Waktu telah mengantarkan Rasul ke tahun ke-10
Hijriah. Mendekati bulan haji, terpikir oleh Muhammad untuk menunaikan
ibadah haji besar. Rasul sudah dua kali menunaikan ibadah umrah, yang juga
disebut haji kecil. Namun Rasul belum pernah menunaikan ibadah haji besar.
Kini, waktu untuk melakukan ibadah tersebut tiba.
Muhammad pun mengumumkan rencananya untuk
berhaji itu. Rencana tersebut segera menyebar ke seluruh jazirah Arab.
Mendengar kabar itu, orang-orang dari berbagai pelosok berduyun datang ke
Madinah. Mereka ingin menunaikan ibadah haji bersama Rasul. Puluhan ribu
tenda didirikan di sekitar kota Madinah. Kerlap-kerlip cahaya iman
menjadikan Madinah terasa sangat indah.
Pada tanggal 25 Dzulkaidah, Rasulullah beranjak
meninggalkan Madinah. Seluruh anggota keluarga ia bawa serta. Bersama
mereka adalah puluhan ribu jamaah lainnya. Ada yang menyebut 90.000 orang.
Ada yang mengatakannya 114.000 ribu. Berapapun, mereka adalah rombongan
terbesar yang pernah ada yang melintasi terik sahara secara bersama.
Di Dhul Hulaifa, rombongan beristirahat semalam.
Esok harinya, Nabi berganti pakaian dengan mengenakan kain ihram. Demikian
pula orang-orang Muslim lainnya. Mereka kemudian bergerak lagi ke arah
Mekah. Seruan talbiah ('labbaika Allahumma labbaika.....') tak
putus-putusnya dialunkan. Sungguh bagai sebuah pentas drama luar biasa di
alam nyata. Hampir seratus ribu bergerak bersama dalam seragam putih-putih
sederhana menyusuri gurun pasir dan lembah pebukitan. Suara mereka
bersahut-sahutan membahana, memenuhi seluruh ruang yang ada di perjalanan
itu.
Pada hari keempat, mereka tiba di Mekah.
Rasulullah menuju ka'bah, puluhan ribu orang itu menuju ka'bah. Rasul
menyentuh dan mencium hajar aswad, puluhan ribu orang itu menyentuh dan
mencium hajar aswad. Rasul bertawaf berlari kecil mengelilingi ka'bah,
puluhan ribu orang itu bertawaf. Demikian seterusnya. Sampai rasul salat di
maqam Ibrahim, kembali mencium hajar aswad, lalu ber-sa'i antara bukit
Shafa dan Marwa. Usai sa'i, Rasul memerintahkan orang-orang yang tak
membawa hewan kurban agar melepaskan pakaian ihramnya.
Dari Yaman, rombongan Ali kemudian bergabung
dengan Rasul di Mekah. Mereka tinggal di kota itu sampai Hari Tarwiyah,
yakni tanggal 8 Zulhijah. Hari itu, Muhammad dan rombongan pergi ke Mina.
Di sana, Rasul terus berada di dalam kemah, termasuk ketika melaksanakan
salat. Esoknya, usai salat subuh, Rasul bersiap untuk berangkat menuju
Arafah. Pagi itu pula, Muhammad bergerak menuju Namira dan terus
beristirahat di sana.
Mendekati siang, Rasul kembali meminta untanya,
Al-Qashwa. Ia berjalan menuju ke tengah wadi di daerah 'Urana-Arafah. Dari
atas untanya itu, Rasul menyerukan khutbahnya yang terkenal tersebut.
Kata-katanya sangat jelas. Pada setiap kalimat, Muhammad berhenti sejenak.
Rabi'a bin Umayya, mengulang kata-kata itu, dengan suara lantang sehingga
isi khutbah didengar oleh semua jamaah.
Muhammad menutup khutbahnya dengan berkata:
"Ya Allah, sudah kusampaikan!" Serentak jamaah pun menjawab:
"Benar". Lalu Muhammad menambahkannya: "Ya Allah, saksikan
ini."
Rasul pun turun dari untanya. Ia terus di sana
sampai waktu sembahyang dzuhur dan asar. Setelah itu, ia menaiki untanya
kembali menuju Sakharat. Di sana, Muhammad membacakan firman Allah, Surat
Al-Maidah ayat 3: "Hari ini, Kusempurnakan bagimu semua agamamu ini,
dan Kucukupkan nikmat-Ku padamu, serta Kuridhoi Islam sebagai
agamamu."
Abu Bakar menangis mendengar ayat tersebut.
Inilah isyarat bahwa risalah Rasul telah tuntas. Malam itu, Rasul
meninggalkan Arafah dan menginap di Muzdalifa. Pagi hari ia turun ke
Masyaril Haram, kemudian ke Mina untuk melemparkan kerikil ke Jumrah. Di
kemah, Rasulullah menyembelih 63 ekor unta -jumlah yang sebanyak tahun
usianya. Muhammad kemudian mencukur rambutnya, mengakhiri ibadah haji ini.
Satu-satunya ibadah haji besar yang dilakukannya.
Masa Awal di Madinah
Tak mudah bagi Rasulullah menjalani hari-hari
pertamanya di Madinah. Berbagai masalah telah menghadang. Para pengikutnya
asal Mekah, muhajirin, tak mempunyai makanan, apalagi pekerjaan. Antara
Muhajirin dan Anshar dapat bersaing berebut hati Muhammad. Kaum Khazraj dan
Aus masih mungkin bertikai lagi. Musuh setiap saat dapat menyerang. Baik
kaum Qurais di Mekah, maupun Yahudi tetangga mereka sendiri.
Di saat begitu pelik, Rasulullah mencetuskan
gagasan. Sebuah gagasan cemerlang menurut ilmu strategi lantaran memenuhi
kriteria "sangat sederhana" dan "sangat mudah
dilaksanakan". Yakni mempersaudarakan satu orang dengan satu orang
lainnya, tanpa peduli asal-usul Mekah atau Madinah serta dari keluarga
manapun. Cara seperti itu sekarang dipakai dalam pelatihan atau 'training'
yang dikembangkan masyarakat Barat. Mereka menggunakan istilah 'buddy
system'. Setiap dua orang saling "menjaga" dengan cara membantu
dan mengingatkan masing-masing.
Dengan cara itu berbagai persoalan teratasi
sekaligus. Mereka tinggal memusatkan perhatian pada berbagai persoalan di
depan. Muhammad "bersaudara" dengan Ali. Hamzah dengan Zaid yang
dulu menjadi budaknya. Abu Bakar dengan Kharija bin Zaid. Umar dengan Ithban
bin Malik.
Satu riwayat menjelaskan pola persaudaraan itu.
Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan seorang Anshar -warga asli
Madinah- Sa'ad bin Rabi'. Sa'ad menawarkan separuh hartanya, namun
Abdurrahman menolak. Ia hanya minta ditunjukkan jalan ke pasar. Di sana, ia
berdagang mentega dan keju sehingga sukses besar. Kisah lain menyebutkan
bahwa Abdurrahman juga dipinjami uang. Dengan uang itu ia membeli sebidang
tanah di samping pasar yang telah ada.
Saat itu, pasar yang ada adalah milik seorang
Yahudi dengan konsep serupa mal sekarang. Pedagang boleh berjualan di pasar
itu dengan menyewa tempat pada pemilik tanah. Abdurrahman lalu membuat
pengumuman bahwa siapa saja boleh berdagang di tanahnya tanpa harus
menyewa. Hanya bila untung, pedagang menyisihkan sebagian uang
("fee" atau "bagi hasil") bagi Abdurrahman selaku
pemilik tanah. Bila tidak ada keuntungan mereka tak perlu membayar apapun.
Sontak, hampir semua pedagang pindah ke
"pasar" Abdurrahman bin Auf. Bagi mereka, sistem ini lebih adil
dan tak merugikan pedagang sama sekali. Maka, konsep Abdurrahman bin Auf
ini menjadi salah satu rujukan bagi pengembangan sistem ekonomi syariah
sekarang.
Muhammad lalu membangun budi pekerti atau akhlak
masyarakat. Ia percaya, itulah pondasi untuk membangun masyarakat. Ia
tekankan pentingnya semua orang untuk berlaku santun dan saling
menghormati. Ia tunjukkan keutamaan manusia untuk bekerja dan bukan
meminta-minta. Ia tegaskan "tangan di atas (memberi) lebih baik dari
tangan di bawah (menerima)." Juga keharusan untuk membantu tetangga
atau orang kesusahan tanpa melihat suku maupun agama. Muhammad bahkan
melarang pengikutnya untuk menghormati dirinya secara berlebihan. Ia tak
mau dihormati berlebihan seperti penghormatan yang diberikan pada Nabi Isa.
Pada masa inilah, ibadah ritual diajarkan. Mulai
dari salat, puasa hingga zakat. Rasul juga menyeru pentingnya salat
berjamaah. Lalu ia dan para sahabat berdiskusi soal bagaimana mengingatkan
datangnya waktu salat. Ada usulan agar menggunakan terompet seperti Yahudi.
Atau dengan lonceng seperti kaum Nasrani. Namun kemudian Rasul meminta
Bilal -melalui Abdullah bin Zaid- untuk menyerukan azan. Sejak itu, setiap
waktu salat tiba, Bilal selalu berdiri di atap rumah seorang perempuan Banu
Najjar di samping masjid untuk menyeru azan. Tempat itu lebih tinggi
ketimbang atap masjid.
Rasul pun membangun Madinah sebagai sebuah
'Republik kota'. Untuk itu ia merumuskan deklarasi yang mengikat seluruh
warga. Isi deklarasi yang sangat menyeluruh itu antara lain adalah jaminan
bagi "kebebasan beragama". Mula-mula, deklarasi ditandatangani
bersama Yahudi Bani Auf. Kemudian juga dengan Bani Quraiza, Bani Nadzir dan
Qainuqa.
Hubungan harmonis Muslim-Yahudi tersebut menarik
perhatian kalangan Nasrani. Saat itu, di kancah global, Nasrani mengusai
peta politik melalui dominasi Kerajaan Romawi. Rombongan kaum Nasrani dari
Najjran -yang disebut menggunakan "60 kendaraan"-pun berkunjung
ke Madinah. Maka terjadilah dialog antar agama yang langsung melibatkan
Rasulullah.
Namun, hubungan antar agama tak selalu mulus.
Para pemuka Yahudi acap melancarkan polemik terhadap Islam. Mereka
menguasai dalil-dalil yang diturunkan oleh Musa. Mereka juga lebih
berpendidikan ketimbang orang-orang Qurais di Mekah. Muhammad kini
menghadapi tantangan baru yang lebih sulit: perang wacana atau argumentasi.
Sebuah tantangan serupa yang harus dihadapi umat Islam di abad 21 ini.
Saat itu Muslim dan Yahudi sama-sama menghadap
Baitul Maqdis-Yerusalem, dalam beribadah. Allah kemudian menurunkan wahyu
agar Umat Islam beralih untuk menghadapkan wajah ke Ka'bah di Mekah. Wahyu
tersebut turun saat Muhammad tengah salat dhuhur berjamaah di rumah seorang
janda tua. Muhammad dan beberapa sahabat datang untuk menghibur perempuan
yang baru ditingal mati keluarganya itu. Konon, Muhammad hendak pulang
sebelum dhuhur. Namun perempuan itu menahannya, meminta Muhammad untuk
menunggu makan siang yang tengah disiapkannya.
Seperti biasanya, Muhammad salat menghadap ke
Yerusalem, dari Madinah ke arah utara. Begitu wahyu tersebut turun di
tengah salat, Muhammad membalikkan badan menghadap ke selatan, ke arah
Ka'bah di Mekah. Rumah perempuan itu sekarang menjadi Masjid Kiblatain
-atau masjid dengan dua kiblat di Madinah
Melawan Romawi
"Jangan membunuh perempuan, bayi, tuna netra
serta anak-anak. Jangan menghancurkan rumah-rumah atau menebangi
pohon." Kata-kata itu diucapkan oleh Rasul. Tiga ribu pasukan
pilihannya telah beranjak meninggalkan Madinah. Muhammad mengantarkan
mereka sampai keluar kota. Mereka hendak melaksanakan misi suci. Muhammad
secara khusus berdoa buat mereka. "Tuhan menyertai dan melindungi kamu
sekalian. Semoga kembali dengan selamat." Para prajurit itu bergemuruh
menuju utara, ke arah Syam.
Syam. Syria sekarang. Sudah lama Muhammad
mengincar kawasan ini untuk dakwahnya. Wilayah ini berada di jalur utama
perdagangan dunia saat itu, Cina-Eropa. Di Syam pula jalur itu bercabang
menuju jazirah Arab dan Yaman, serta menuju Mesir dan seluruh wilayah di
Afrika. Maka Rasulullah beberapa kali mengirim misi dakwah ke arah itu.
Salah satu misi tersebut adalah ke Dathut
Thalha, perbatasan Syam. Muhammad mengirim 15 orang sahabatnya untuk
mengajar Islam. Namun mereka dibunuh tanpa alasan yang jelas. Hanya satu
orang selamat. Kejadian tersebut diyakini sebagai alasan Muhammad untuk
mengirim pasukan perangnya. Namun ada juga yang menilai bahwa pengiriman
pasukan itu terjadi setelah duta Rasulullah yang membawa surat ajakan masuk
Islam pada Gubernur Bushra dibunuh oleh seorang badui Ghassan atas nama
Heraklius -penguasa Romawi.
Maka Muhammad pun mengirim pasukannya. Ia
mengangkat Zaid bin Haritsa, anak angkatnya, untuk memimpin pasukan itu.
Sekiranya Zaid meninggal, Muhammad berpesan agar komando diserahkan pada
Ja'far bin Abu Thalib. Seandainya maut juga merenggut Ja'far, kepemimpinan
agar diserahkan Abdullah bin Rawaha -salah seorang ksatria yang sangat
disegani.
Syuhrabil, Gubernur Romawi untu Syam, telah
mendengar kabar gerakan pasukan Muhammad itu. Ia lalu memobilisasi tentara
dari kabilah-kabilah setempat buat menghadang. Ia juga minta Heraklius
untuk mengirim pasukan tambahan. Maka berkumpullah pasukan yang
diperkirakan mencapai jumlah 100-200 ribu yang terdiri dari pasukan Romawi
asal Yunani,serta orang Lakhm, Jundham, Bahra, Qain dan lainnya. Ada
riwayat yang menyebut Heraklius memimpin sendiri pasukannya. Namun ada yng
menyebut bahwa komandan pasukan itu bukan Heraklius melainkan Theodore,
saudara raja.
Di Ma'an, kamu muslimin sempat berhenti selama
dua malam. Mereka gamang melihat kekuatan lawan yang sangat besar. Namun
Abdullah bin Rawaha mengobarkan semangat. Bukankah mereka semua pergi ke
medan laga untuk mendapatkan hal yang mereka idamkan: mati syahid.
Pasukan muslim memgambil posisi di Mu'ta. Di
sini mereka digempur habis-habisan tentara Romawi. Zaid bertempur
habis-habisan sampai tombak lawan menembus dadanya. Komando lalu diserahkan
pada Ja'far, yang mempertahankan bendera mati-matian. Kabarnya, ketika
tangan kanannya dipenggal, Ja'far memegang bendera dengan tangan kirinya.
Begitu tangan kirinya dipenggal, ia mencoba tetap menegakkan tangkai
bendera: memeluk dengan kedua bahunya. Saat itulah kepala Ja'far dibelah.
Abdullah anak Rawaha mengambil alih komando.
Namun ia pun gugur. Dalam keadaan carut-marut, pasukam Muslimin aklamasi
menunjuk Khalid bin Walid. Khalid kemudian membuat strategi yang
membingungkan lawan. Pasukannya mengggempur lawan secara sporadis sampai
hari petang, kemudian mereka mundur. Namun, pada pagi buta, ia menyebar
pasukan seluas mungkin, lalu secara serempak menyerang. Hal demikian
membuat kekuatan Romawi menjadi kacau.
Dalam keadaan tak terkoordinasi, tentara Romawi
berlarian mundur. Saat itu pula, pasukan Islam yang telah sangat banyak
menderita, juga menarik diri ke Madinah. Sebagian kaum Muslim di Madinah
meneriaki mereka sebagai pengecut karena lari dari medan perang. Namun
Muhammad justru memuji kegagagahan mereka. Sambil bercucur air mata,
Muhammad merangkul anak Zaid dan membelai rambutnya. Ia juga menemui anak
dan istri Ja'far.
Sekilas misi tersebut gagal. Namun, secara
moral, pasukan Islam telah menang. Sepak terjang Khalid telah mengundang
simpati lawan. Farwa anak Amir dari suku Jundham yang menjadi salah seorang
komandan pasukan Romawi sangat kagum pada Khalid. Sembilan pedang telah
dihabiskan Khalid. Siasatnya yang cerdik mampu menyelamatkan pasukan Islam
dari kehancuran total, dan bahkan membikin kalang kabut lawan.
Farwa kemudian masuk Islam. Heraklius marah
besar. Kaisar itu menyatakan akan mengampuni Farwa, dan berjanji
mengembalikannya ke jabatan semula bila bersedia memeluk Nasrani kembali.
Farwa menolak. Ia lalu dihukum mati. Tindakan Romawi tersebut justru
membuat orang-orang Arab di sekitar Syam berpaling pada Muhammad. Kebencian
terhadap Romawi malah bekembang.
Maka, ketika kemudian mengirim kembali misi ke
arah Syam, Muhammad mencatat sukses besar. Misi yang dikomandoi Amr Bin Ash
berjalan mulus, praktis tanpa perlawanan apapun. Islam kini telah siap
untuk menyebar ke tempat yang lebih jauh. Ke Afrika Utara dan Eropa di arah
Barat, serta ke Asia di arah Timur.
Menjelang Kelahiran
Muhammad adalah keturunan Nabi Ismail -nabi
dengan 12 putra yang menjadi cikal bakal bangsa Arab. Para nenek moyang
Muhammad adalah penjaga Baitullah sekaligus pemimpin masyarakat di Mekah,
tempat yang menjadi tujuan bangsa Arab dari berbagai penjuru untuk
berziarah setahun sekali. Tradisi ziarah yang sekarang, di masa Islam,
menjadi ibadah haji. Salah seorang yang menonjol adalah Qusay yang hidup
sekitar abad kelima Masehi.
Tugas Qusay sebagai penjaga ka'bah adalah memegang
kunci ('hijabah'), mengangkat panglima perang dengan memberikan bendera
simbol yang dipegangnya ('liwa'), menerima tamu ('wifadah') serta
menyediakan minum bagi para peziarah ('siqayah').
Ketika lanjut usia, Qusay menyerahkan mandat
terhormat itu pada pada anak tertuanya, Abdud-Dar. Namun anak keduanya,
Abdul Manaf, lebih disegani warga. Anak Abdul Manaf adalah Muthalib, serta
si kembar siam Hasyim dan Abdu Syam yang harus dipisah dengan pisau. Darah
tumpah saat pemisahan mereka, diyakini orang Arab sebagai pertanda
keturunan mereka bakal berseteru.
Anak-anak Abdul Manaf mencoba merebut hak
menjaga Baitullah dari anak-anak Abdud-Dar yang kurang berwibawa di
masyarakat. Pertikaian senjata nyaris terjadi. Kompromi disepakati. Separuh
hak, yakni menerima tamu dan menyediakan minum, diberikan pada anak-anak
Abdul Manaf. Hasyim yang dipercaya memegang amanat tersebut.
Anak Abdu Syam, Umayah, mencoba merebut mandat
itu. Hakim memutuskan bahwa hak tersebut tetap pada Hasyim. Umayah, sesuai
perjanjian, dipaksa meninggalkan Makkah. Keturunan Umayah -seperti Abu
Sofyan maupun Muawiyah- kelak memang bermusuhan dengan keturunan Hasyim.
Hasyim lalu menikahi Salma binti Amr dari Bani
Khazraj -perempuan sangat terhormat di Yatsrib atau Madinah. Mereka
berputra Syaibah (yang berarti uban) yang di masa tuanya dikenal sebagai
Abdul Muthalib -kakek Muhammad. Inilah ikatan kuat Muhammad dengan Madinah,
kota yang dipilihnya sebagai tempat hijrah saat dimusuhi warga Mekah.
Syaibah tinggal di Madinah sampai Muthalib -yang menggantikan Hasyim karena
wafat-menjemputnya untuk dibawa ke Mekah. Warga Mekah sempat menyangka
Syaibah sebagai budak Muthalib, maka ia dipanggil dengan sebutan Abdul
Muthalib.
Abdul Muthalib mewarisi kehormatan menjaga
Baitullah dan memimpin masyarakatnya. Namanya semakin menjulang setelah ia
dan anaknya, Harits, berhasil menggali dan menemukan kembali sumur Zamzam
yang telah lama hilang. Namun ia juga sempat berbuat fatal: berjanji akan
mengorbankan (menyembelih) seorang anaknya bila ia dikaruniai 10 anak.
Begitu mempunyai 10 anak, maka ia hendak melaksanakan janjinya. Nama
sepuluh anaknya dia undi ('kidah') di depan arca Hubal. Abdullah -ayah
Muhammad-yang terpilih.
Masyarakat menentang rencana Abdul Muthalib.
Mereka menyarankannya agar menghubungi perempuan ahli nujum. Ahli nujum
tersebut mengatakan bahwa pengorbanan itu boleh diganti dengan unta asalkan
nama unta dan Abdullah diundi. Mula-mula sepuluh unta yang dipertaruhkan.
Namun tetap Abdullah yang terpilih oleh undian. Jumlah unta terus ditambah
sepuluh demi sepuluh. Baru setelah seratus unta, untalah yang keluar dalam
undian, meskipun itu diulang tiga kali. Abdullah selamat.
Peristiwa besar yang terjadi di masa Abdul
Muthalib adalah rencana penghancuran Ka'bah. Seorang panglima perang
Kerajaan Habsyi (kini Ethiopia) yang beragama Nasrani, Abrahah, mengangkat
diri sebagai Gubernur Yaman setelah ia menghancurkan Kerajaan Yahudi di
wilayah itu. Ia terganggu dengan reputasi Mekah yang menjadi tempat ziarah
orang-orang Arab. Ia membangun Ka'bah baru dan megah di Yaman, serta akan
menghancurkan Ka'bah di Mekah. Abrahah mengerahkan pasukan gajahnya untuk
menyerbu Mekah.
Mendekati Mekah, Abrahah menugasi pembantunya
-Hunata-untuk menemui Abdul Muthalib. Hunata dan Abdul Muthalib menemui
Abrahah yang berjanji tak akan mengganggu warga bila mereka dibiarkan
menghancurkan Baitullah. Abdul Muthalib pasrah. Menjelang penghancuran
Ka'bah terjadilah petaka tersebut. Qur'an menyebut peristiwa yang
menewaskan Abrahah dan pasukannya dalam Surat Al-Fil. "Dan Dia
mengirimkan kepada mereka "Toiron Ababil", yang melempari mereka
dengan batu-batu cadas yang terbakar, maka Dia jadikan mereka bagai daun
dimakan ulat".
Pendapat umum menyebut "Toiron Ababil"
sebagai "Burung Ababil" atau "Burung yang
berbondong-bondong". Buku "Sejarah Hidup Muhammad" yang
ditulis Muhammad Husain Haekal mengemukakannya sebagai wabah kuman cacar
(mungkin maksudnya wabah Sampar atau Anthrax -penyakit serupa yang
menewaskan sepertiga warga Eropa dan Timur Tengah di abad 14). Namun ada
pula analisa yang menyebut pada tahun-tahun itu memang terjadi hujan meteor
-hujan batu panas yang berjatuhan atau 'terbang' dari langit. Wallahua'lam.
Yang pasti masa tersebut dikenal sebagai Tahun Gajah yang juga merupakan
tahun kelahiran Muhammad.
Pada masa itu, Abdullah putra Abdul Muthalib
telah menikahi Aminah. Ia kemudian pergi berbisnis ke Syria. Dalam
perjalanan pulang, Abdullah jatuh sakit dan meninggal di Madinah. Muhammad
lahir setelah ayahnya meninggal. Hari kelahirannya dipertentangkan orang.
Namun, pendapat Ibn Ishaq dan kawan-kawan yang paling banyak diyakini
masyarakat: yakni bahwa Muhammad dilahirkan pada 12 Rabiul Awal. Orientalis
Caussin de Perceval dalam 'Essai sur L'Histoire des Arabes' yang dikutip
Haekal menyebut masa kelahiran Muhammad adalah Agustus 570 Masehi. Ia
dilahirkan di rumah kakeknya -tempat yang kini tak jauh dari Masjidil
Haram.
Bayi itu dibawa Abdul Muthalib ke depan Ka'bah
dan diberi nama Muhammad yang berarti "terpuji". Suatu nama yang
tak lazim pada masa itu. Konon, Abdul Muthalib sempat hendak memberi nama
bayi itu Qustam -serupa nama anaknya yang telah meninggal. Namun Aminah
-berdasarkan ilham-mengusulkan nama Muhammad itu
Menjelang Wahyu Tiba
Mekah memang tampak tenang. Penduduk bekerja
seperti biasa, dan sesekali -terutama bila menghadapi kesulitan-- datang ke
Ka'bah untuk menyembah atau menyerahkan sesaji pada arca-arca. Ada 300-an
arca di sana. Hubal adalah arca terbesar berbentuk laki-laki. Konon, patung
itu terbuat dari batu akik.
Di perkampungan di luar Mekah, tiga berhala
sangat didewakan. Mereka dinamai Lat, Uzza dan Manat. Ketiganya adalah
patung berwujud perempuan. Penyembahan berhala itu bukan tidak masuk akal,
namun juga tak membuat perilaku masyarakat mengarah pada kebaikan.
Diam-diam penolakan terhadap berhala mulai
terjadi. Hal tersebut nyata ketika semua warga berkumpul di Nakhla
menghormati Uzza. Beberapa orang menyelinap pergi. Mereka adalah Waraqah
bin Naufal, Zaid bin Amr, Usman bin Huwairith serta Ubaidullah bin Jahsy.
Mereka berupaya mencari kebenaran yang dapat memuaskan dahaga rohani dan
pikirannya.
Waraqah kemudian menjadi pemeluk teguh agama
Nasrani. Demikian pula Usman yang pergi ke Romawi. Suatu saat, ia kembali
ke Mekah dan berusaha menaklukkan wilayah tersebut sehingga ia diangkat menjadi
Gubernur Romawi di situ. Namun ia dibunuh warga Arab. Ubaidullah sempat
masuk Islam dan ikut hijrah ke Mesir, namun ia memutuskan tinggal di sana
dan berganti agama menjadi Kristen. Istrinya, Ummu Habiba, tetap memeluk
Islam dan dinikahi Rasulullah SAW setelah Khadijah wafat.
Muhammad telah berinteraksi dengan para pemeluk
Nasrani dan Yahudi yang juga mengesakan Sang Pencipta. Secara diam-diam ia
menggugat masyarakatnya yang menyembah berhala. Maka, Muhammad pun sering
mengasingkan diri ke Gua Hira -tempat yang sangar namun berpemandangan
indah di puncak bukit batu, 6 km di Utara Mekah. Sepanjang bulan Ramadhan,
setiap tahun, Muhammad selalu berada di sana sendirian dengan hanya membawa
sedikit bekal. Hati dan pikirannya bergolak mencari kebenaran, sampai
terjadilah peristiwa itu.
Saat itu Muhammad berusia 40 tahun. Pada malam
yang diyakini sebagai tanggal 17 Ramadhan, 610 Masehi, 'seseorang' yang
kemudian diketahui sebagai Malaikat Jibril, mendatanginya di Gua Hira saat
ia tertidur. Malaikat itu mendesaknya. "Bacalah," katanya.
"Aku tak bisa membaca," kata Muhammad. "Bacalah," seru
malaikat itu lagi dengan tangan seraya mencekik Muhammad. "Apa yang
akan kubaca?" tanya Muhammad pula.
Selanjutnya, Malaikat itupun menuntunnya untuk
membaca ayat-ayat yang kemudian disebut sebagai wahyu pertama bagi Muhammad
SAW. "Bacalah! Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan.
Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah.
Yang mengajarkan dengan pena. Mengajarkan manusia apa yang belum
diketahuinya..."
Muhammad gemetar. Ia segera berlari menuruni
gunung, pulang menjumpai Khadijah. Khadijah pun membimbing Muhammad,
menyelimutinya di pembaringan, serta membesarkan hati suaminya dengan
kata-kata.
"Wahai putra pamanku (cara Khadijah memanggil
Muhammad), bergembiralah dan tabahkan hatimu. Demi Dia pemegang kendali
hidup Khadijah, aku berharap engkau (Muhammad) akan menjadi Nabi atas umat
ini. Allah sama sekali tak akan mempetolokkanmu, sebab engkau yang
mempererat tali kekeluargaan, jujur dalam kata-kata; kau yang mau memikul
beban orang lain, menghormati tamu dan menolong mereka yang dalam kesulitan
atas jalan yang benar."
Malam itu, jarum waktu telah bergerak. Muhammad
telah ditunjuk sebagai Rasul -detik-detik yang memungkinkan kebenaran
tersebar ke seluruh jagad hingga sekarang. Juga yang membuat para pelaku
keonaran dan kemaksiatan terus memusuhi Muhammad.
Pembebasan Mekah
Tanpa terasa masyarakat Islam menguat dengan
sangat cepat. Di utara, di antara Syria dan Irak sekarang, masyarakat
berbondong-bondong mengikuti Islam. Hal demikian semakin memerosotkan
wibawa pemerintahan Romawi yang berkuasa di wilayah itu. Di jazirah Arab,
justru tinggal masyarakat Mekah dn sekitarnya yang masih memusuhi Islam.
Namun, perubahan keadaan berlangsung dengan
sangat cepat. Tanpa diduga, pihak Qurais melanggar perjanjian damai mereka
dengan kaum Muslim. Bani Bakar yang berada di pihak Qurais, tiba-tiba
menyerang Bani Khuza'a yang menurut perjanjian Hudaibiya berada di pihak
muslim. Beberapa orang Khuza'a tewas. Hal itu dilaporkan oleh pemuka
masyarakat setempat, Budail anak Warqa pada Muhammad di Madinah.
Abu Sofyan berupaya mencegah keberangkatan
Budail. Namun terlambat. Ia juga berusaha menemui Muhammad di Madinah.
Tapi, tak satupun orang di Madinah bersedia membantu itu. Ummu Habibia,
putri Abu Sofyan yang telah memeluk Islam, pun menolak mempertemukan
ayahnya itu dengan Sang Rasul. Pulanglah Abu Sofyan.
Perjanjian Hudaibiya telah batal. Sekarang tak
ada lagi larangan bagi Muhammad untuk mengerahkan pasukannya mengepung
Mekah. Itulah yang dilakukannya. Pasukan muslim disiagakan untuk perjalanan
tersebut. Di tengah jalan, berbagai kabilah bergabung dengan mereka.
Termasuk kabilah-kabilah dari Ghatafan yang dulu bersama Qurais hendak
menggempur Madinah di Perang Khandaq. Diperkirakan jumlah pasukan itu
mencapai 10 ribu orang.
Kaum Qurais masih berdebat ketika rombongan
Muhammad hampir mencapai Mekah. Tak ada informasi apapun atas gerakan
pasukan itu. Seorang muslim Madinah, Hatib bin Abu Balta'a, sempat
membocorkan rencana tersebut lantaran tidak tega membayangkan nasib yang
akan ditanggung para saudaranya di Mekah. Namun Ali dan Zubair dapat
mengejar Sarah, perempuan yang dititipi surat tersebut.
Di dekat Mekah, di Maraz Zahran, rombongan Muhammad
berhenti. Di sana, beberapa orang kerabatnya dari Bani Hasyim, mendatangi
Muhammad dan menyatakan diri masuk Islam. Paman Muhammad, Abbas bin Abdul
Muthalib, juga datang untuk mencegah terjadinya banjir darah. Abbas sempat
mondar-mandir di antara kedua kubu, sebelum kemudian memergoki Abu Sufyan
bin Harb. Pemimpin tertinggi Qurais itu lalu dibawanya pada Muhammad.
Malam itu Muhammad tidak menemui Abu Sufyan.
Namun ia berpesan agar musuh besarnya tersebut dilindungi keselamatannya
hingga pertemuan esok harinya. Dalam pertemuan itu, Muhammad berjanji untuk
tidak memerangi Qurais. "Barangsiapa datang ke rumah Abu Sufyan, orang
itu selamat. Barang Siapa menutup pintu rumahnya, orang itu selamat.
Barangsiapa masuk ke dalam masjid (lingkungan ka'bah), orang itu
selamat." Pada prinsipnya, siapa yang tidak mengangkat senjata pada
kaum muslimin, mereka tidak akan diperangi.
Toh Muhammad tetap bersiaga seandainya pecah
perang. Pasukan elit yang mengenakan pakaian serba hijau dan berbaju zirah
telah mengelilingi Muhammad. Empat regu pasukan disiapkan. Masing-masing
dipimpin oleh Khalid bin Walid, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin Ubada serta Abu
Ubaidah bin Jarrah. Mereka bersiap memasuki Mekah dari arah yang berbeda.
Sa'ad bin Ubada sempat berbuat keliru. Ketika memasuki
Mekah, Sa'ad berteriak: "Hari ini adalah hari perang. Hari
dibolehkannya segala yang terlarang..." Seruan yang bertolak belakang
dengan janji Muhammad untuk memasuki Mekah secara damai. Muhammad segera
merebut bendera komando dari tangan Sa'ad dan menyerahkannya pada Qais,
anak Sa'ad yang sekalipun berbadan besar namun lembut hati.
Namun, dari arah belakang tiba-tiba pasukan
Ikrima bin Abu Jahal tiba-tiba menyerang. Khalid menghadapi seranagn
tersebut. Tiga belas orang Qurais tewas, sisanya -termasuk Ikrima-melarikan
diri. Sementara itu, di Mekah tak setetes pun darah mengalir karena serbuan
kaum Muslimin. Muhammad masuk Mekah dari Bukit Hind, tak jauh dari makam
Khadijah, istrinya. Ia berhenti sebentar di kemah lengkung yang ada di
situ, dan melepas pandangan ke seluruh penjuru Mekah. Rasul pergi ke
ka'bah, menyentuh hajar aswad dan mengelilingi ka'bah untuk bertawaf. Rasul
juga meminta Utsman bin Talha untuk membuka pintu ka'bah. Di pintu itu ia
berdiri dan berkhutbah di hadapan hadirin.
Rasul, dalam khutbahnya, mengutip Quran surat
Al-Hujurat ayat tiga belas. "Wahai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan
menjadikanmu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal.
Sesungguhnya orang paling mulia di antaramu menurut pandangan Allah adalah
yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui dan Maha
Mengerti."
Ketika orang Qurais tengah menunggu-nunggu
hukuman apa yang bakal dijatuhkan bagi mereka, Muhammad justru berkata:
"Fadzhabu, faantumut-thulaqau". "Pergilah, kalian bebas
sekarang." Tujuh belas orang tokoh yang dianggap paling makar telah
dijatuhi hukuman mati. Namun mereka juga diampuni, termasuk Hindun, istri
Abu Sufyan yang telah merobek dada serta memakan jantung Hamzah dalam perang
Uhud. Hanya empat orang yang telanjur telah dieksekusi.
Muhammad kemudian meminta orang-orang untuk
menyingkirkan patung-patung di sekitar ka'bah. Setelah itu, Bilal menyeru
azan lima kali dalam sehari. Sejak itulah azan tak pernah berhenti berkumandang
dari tempat yang kini menjadi Masjidil Haram di Mekah itu, sampai sekarang.
Perang Badar
Kehidupan di Madinah semakin stabil.
Perekonomian berjalan lancar. Muhammad perlu menjaga ketenangan tersebut.
Maka ia pun membangun kekuatan tempur. Beberapa ekspedisi militer
dilakukan. Diantaranya dengan mengirim ekspedisi ke wilayah Ish, tepi Laut
Merah yang dikomandani Hamzah. Pasukan ini nyaris bentrok dengan pasukan
Abu Jahal. Pasukan Ubaidah bin Harith yang dikirim ke Wadi Rabigh -
Hijaz-berpapasan dengan tentara Abu Sofyan. Pasukan Saad bin Abi Waqash pun
berpatroli ke Hijaz.
Muhammad bahkan memimpin sendiri milisi Muslim.
Itu dilakukannya setelah setahun di Madinah. Mula-mula ia pergi ke Abwa dan
Wadan. Kedua, ia memimpin 200 pasukan ke Buwat. Ketiga, Muhammad pergi ke
'Usyaira di mana ia tinggal selama bulan Jumadil Awal hingga awal Jumadil
Akhir. Saat Rasul pergi, kepemimpinan di Madinah diserahkan pada Saad bin
Ubada, dan kemudian Abu Salama bin Abdul As'ad. Hasil misi tersebut adalah
kesepakatan persekutuan dengan Bani Dzamra dan Bani Mudlij. Hal ini
memperkuat posisi Madinah dalam berperang dengan Mekah.
Namun bentrok tak terhidarkan. Pasukan Kurz bin
Jabir dari Mekah menyerang pinggiran Madinah, merampas kambing dan unta.
Muhammad -setelah menyerahkan kepemimpinan di Madinah-- memimpin sendiri
pasukan mengejar Kurz. Banyak yang menyebut peristiwa ini sebagai Perang
Badar pertama. Kemudian pasukan Muslim pimpinan Abdullah bin Jahsy bentrok
dengan rombongan Qurais pimpinan Amr bin Hadzrami. Amr tewas terpanah oleh
Waqid bin Abdullah Attamimi. Dua orang Qurais tertawan.
Setelah itu, Muhammad dan pasukan pergi ke Badar
untuk memotong jalur perdagangan Mekah dan Syam. Abu Sofyan, pemimpin
kafilah yang hendak pulang dari Syam, mengirim kurir minta bantuan penduduk
Mekah. Abu Jahal segera memobilisasi bantuan itu.
Pada hari kedelapan bulan Ramadhan, tahun kedua
hijriah, pasukan Muslim bergerak. Setiap tiga atau empat orang menggunakan
satu unta, naik bergantian. Tanpa kecuali Muhammad yang bergantian dengan
Ali serta Marthad bin Marthad. Rombongan berjumlah 305 orang. Mereka
terdiri dari 83 muhajirin, 61 orang Aus, yang lain orang Khazraj. Pimpinan
kota Madinah diserahkan pada Abu Lubaba, sedang imam masjid pada Amr bin
Ummu Maktum.
Siasat segera dibangun. Mulai dari posisi
pasukan hingga mengukur kekuatan lawan. Muhammad semula menetapkan posisi
di suatu tempat. Sahabatnya, Hubab, bertanya apakah posisi itu merupakan
petunjuk dari Allah? Setelah dijawab "bukan", Hubab menyarankan
suatu strategi. Yakni memilih posisi di ujung depan, sehingga sumur-sumur
berada di belakangnya. Dengan demikian, kaum Qurais berperang tanpa akses
air. Sedangkan muslim punya banyak cadangan air.
Selain itu, Saad bin Mudhab juga membangun gubuk
sebagai pos bagi Muhammad untuk memberikan komando. Ia keberatan bila Rasul
berada di garis depan. Dengan demikian, jika pasukan Muslim kalah, Muhammad
tak dapat ditawan lawan, melainkan dapat segera mengorganisasikan pasukan
baru yang tinggal di Madinah. Rasul juga menaksir jumlah kekuatan lawan
dari banyaknya unta yang dipotong. Dengan 9-10 unta dipotong setiap hari,
berarti kekuatan lawan sekitar 1000 orang.
Beberapa kaum Qurais sempat berpikir untuk
menghindari perang. Bagaimanapun antara mereka mempunyai hubungan
kekerabatan. Namun Abu Jahal berkeras. Aswad bin Abdul Asad lalu menerjang
maju, dan langsung tersungkur oleh pedang Hamzah. Kemudian dua bersaudara
Uthba' dan Syaiba bin Rabia, serta Walid anak Uthba maju bersama yang
segera disongsong Hamzah, Ali dan Ubaida bin Harith. Ketiga penyerang itu
tewas.
Serentak pertempuran berlangsung di semua lini.
Bilal bin Rabah menewaskan bekas tuannya, Umayya. Abu Jahal tewas di tangan
Mu'adh. Perang berkecamuk persis pada tanggal 17 di tengah terik bulan
Ramadhan. Qurais kalah besar. Beberapa orang ditawan. Rasul memerintahkan
eksekusi langsung pada dua orang yang dikenal sangat sering
menjelek-jelekkan Islam, Nadzr bin Harith dan Uqba anak Abi Muait.
Sempat terjadi perdebatan di kalangan muslim.
Abu Bakar yang dikenal lemah lembut, meminta agar tawanan ditahan secara
wajar sampai kaum Qurais -sesuai tradisi masa itu-menebusnya. Umar yang
tegas minta agar semua tawanan dibunuh. Rasul memutuskan yang pertama.
Mereka yang berasal dari keluarga kaya, harus
membayar mahal tebusan. Sedangkan yang miskin dapat dibebaskan tanpa
membayar apapun. Zainab -putri Muhammad yang tinggal di Mekah-membebaskan
suaminya, Zaid bin Haritsa dengan cincin peninggalan Khadijah. Zaid
dibebaskan namun diminta menceraikan Zainab. Suatu saat Zaid kembali ditawan
muslim di Madinah, ia lalu masuk Islam dan kembali menikah dengan Zainab.
Suasana di Mekah sangat muram. Abu Lahab,
sepulang perang, kemudiam demam sampai ia meninggal. Namun Hindun bin Uthba
-istri Abu Sufyan-justru menggalang kembali kekuatan. Ia bersumpah akan
membalas dendam kematian ayah, paman serta saudara di perang itu. Ia
buktikan sumpahnya dalam Perang Uhud.
Adapun di Madinah, di saat Rasul dan pasukannya
pergi ke Badar, ketegangan mencuat antara Muslim dengan Yahudi. Seorang
Yahudi, Ka'ab diketahui memprovokasi kalangannya agar mengganggu para
perempuan muslim. Puncaknya adalah ketika Yahudi mengait baju perempuan
Muslim hingga kainnya tersingkap. Mereka ramai-ramai menertawakan perempuan
itu. Seorang muslim mencabut pedangnya dan membunuh laki-laki Yahudi itu.
Ia kemudian juga dibunuh. Ka'ab kemudian dibunuh oleh orang-orang Islam.
Demikian juga dua orang Yahudi yang selalu mengata-ngatai Islam, Abu Afak
dan Ashma.
Setelah Rasul kembali ke Madinah, Yahudi Bani
Qainuqa pembuat onar dan melanggar kesepakatan damai itu mereka kucilkan.
Kabilah tersebut kemudian pindah ke Adhriat -ke arah Yerusalem. Untuk
sementara, kehidupan Madinah kembali tenang.
Perang Hunain
Lima belas hari Muhammad berada di Mekah. Segala
sesuatunya tampak berjalan lancar. Tapi, belum. Penyerahan warga Mekah tak
diikuti masyarakat di sekitarnya. Orang-orang Hawazin dan Thaqif yang
mendiami daerah yang lebih subur ketimbang Mekah, justru mengangkat
senjata. Seorang pemuda berkharisma, Malik anak Auf, mengumpulkan seluruh
kabilah yang ada.
Laki-laki, perempuan, anak-anak bahkan seluruh
ternak dikumpulkannya di dataran Autas. Hawa perang dikobar-kobarkannya.
Hal demikian sempat dikritik oleh seorang pejuang tua, Duraid. Namun
semangat perang Malik tetap menggelegak. Tak ada satupun orang di
lingkungannya yang mampu menahan kobaran semangat itu.
Muhammad telah mendengar ancaman dari Malik. Ia
lalu mengumpulkan pasukannya. Kini mereka bukan hanya pasukan dari Madinah
ditambah berbagai kabilah yang telah bergabung. Mereka diperkuat pula oleh
tentara Qurais. Abu Sufyan, yang baru menyerah pada Muhammad, ikut serta di
dalamnya. Mereka kemudian bergerak ke lembah Hunain. Jumlah pasukan itu
ditaksir sekitar 12 ribu.
Saat itu, tampaknya pasukan Muslim terlampau
percaya diri. Berhasil menaklukkan Mekah dengan mudah, membuat mereka
kurang bersiaga pada jebakan lawan. Mereka berhasil memasuki lembah Hunain
dengan aman, dan kini menyusur ke arah bawah menuju wadi di Tihama. Ketika
fajar belum lagi merekah, tiba-tiba pasukan Malik bin Auf menghujani mereka
dengan anak panah dari lereng-lereng bukit. Pasukan muslim berlarian
menyelamatkan diri.
Orang-orang Qurais yang mengikuti ajaran
Muhammad dengan setengah hati tertawa terkekeh-kekeh melihat kejadian
tersebut. Mereka senang melihat orang-orang Madinah kena musibah.
"Mereka tak akan berhenti lari sebelum sampai ke laut," Abu
Sufyan.
Muhammad pun meneriaki pasukannya untuk
berhenti. "Mau ke mana kalian? Mau ke mana?" seru Muhammad. Abbas
yang bersuara lantang pun memanggil-manggil mereka. Suaranya bergema ke
lembah-lembah perbukitan itu. "Marilah saudara-saudara, Muhammad masih
hidup," serunya. Baru beberapa saat kemudian mereka kembali lagi.
Pasukan pun diatur kembali.
Orang-orang Hawazin telah keluar dari tempat
persembunyiannya untuk mengejar pasukan Muslim. Sebaliknya, pasukan Islam
juga telah diorganisasikan kembali. Maka, pagi itu, perang pun pecah tanpa
terelakkan lagi. Kali ini Hawazin kalah total. Mereka berlarian dengan
meninggalkan 22 ribu unta dan 40 ribu kambing. Malik bin Auf lolos dalam
peperangan ini. Ia mundur bersama orang-orang Hawazin, namun kemudian
berbelok ke Ta'if, yang menjadi benteng orang-orang Thaqif.
Ta'if adalah tempat Muhammad pernah hijrah namun
mendapat lemparan batu. Di tempat ini pula terdapat berhala yang sangat
dipuja masyarakat Arab, setelah berhala-berhala di sekitar ka'bah. Muhammad
lalu mengarahkan pasukannya untuk mengepung kota tersebut. Namun benteng
Ta'if terlalu kuat. Beberapa orang Islam bahkan gugur terkena sambaran anak
panah. Rasul kemudian memindahkan markasnya ke tempat yang tak dapat
dijangkau dengan anak panah. Di sana Rasul mendirikan dua kemah merah, dan
ia bersembahyang diantaranya. Di tempat tersebut kini berdiri masjid Ta'if.
Kepungan tak meruntuhkan Ta'if. Padahal, masa
itu, Muhammad telah menggunakan beberapa teknik baru. Antara lain serangan
dengan pelontar batu yang disebut 'manjaniq'. Dari beberapa orang Ta'if
yang melarikan diri, Rasul tahu bahwa persediaan makanan di dalam benteng
masih sangat banyak. Artinya, perlu waktu yang sangat lama untuk mengepung
kota tersebut. Sementara itu, pasukan Islam mulai lelah. Apalagi, bulan
suci mulai menjelang. Bulan yang di masa terdahulu maupun di masa Islam tak
diizinkan sama sekali untuk berperang.
Rasul pun menarik pasukannya dari Ta'if. Pasukan
itu bergerak menuju wilayah kaum Hawazin, dan meminta kabilah tersebut
untuk menyerah. Masyarakat Hawazin menuntut Muhammad agar membebaskan para
tawanan perang. Muhammad meluluskan permintaan itu. Pada mereka, Muhammad
bahkan berpesan bahwa seandainya Malik bin Auf dan keluarganya menyerahkan
diri dan bersedia memeluk Islam, ia akan mengembalikan harta mereka dan
malah akan memberinya seratus unta. Di sini Muhammad menggunakan pendekatan
baru, yakni merangkul musuh, untuk menyebarkan kebesaran Islam.
Namun tawaran Muhammad pada orang-orang Hawazin
ini meresahkan pengikutnya sendiri, baik orang-orang Anshar maupun
Muhajirin. Tak pernah mereka mendapatkan harta pampasan perang sebanyak
kali ini. Mereka berharap akan mendapatkan bagian yang sangat besar dari
pampasan tersebut. Janji Muhammad pada orang-orang Hawazin memupuskan
harapan itu.
Namun Muhammad teguh pada sikapnya. Dengan sabar
ia bicara pada para sahabatnya. Rasul menunjukkan bahwa tujuan
perjuangannya selama ini bukanlah untuk menjadi kaya, melainkan untuk
menyebarkan kebenaran. Para sahabat dapat memahami prinsip tersebut.
Dari Ji'rana di sebelah tenggara Mekah, Rasul
pun berangkat untuk menunaikan ibadah umrah. Usai umrah, Muhammad menunjuk
Attab bin Asid dan Mu'adh bin Jabal untuk tetap tinggal di Mekah. Keduanya
ditugasi untuk mengajarkan Quran serta nilai-nilai Islam secara menyeluruh
pada kaum Qurais. Muhammad dan rombongan besarnya lalu kembali ke Madinah.
Perang Khaibar
Hanya beberapa hari Muhammad berada di Madinah
usai peristiwa Hudaibiya itu. Sekitar dua pekan kemudian, Rasul bahkan
memimpin sendiri ekspedisi militer menuju Khaibar, daerah sejauh tiga hari
perjalanan dari Madinah. Khaibar adalah daerah subur yang menjadi benteng
utama Yahudi di jazirah Arab. Terutama setelah Yahudi di Madinah
ditaklukkan oleh Rasulullah.
Yahudi tak mempunyai cukup kekuatan untuk
menggempur kaum Muslimin. Namun mereka cerdik. Mereka mampu menyatukan
musuh-musuh Muhammad dari berbagai kabilah yang sangat kuat. Hal itu
terbukti pada Perang Khandaq. Bagi warga Muslim di Madinah, Yahudi lebih
berbahaya dibanding musuh-musuh lainnya.
Maka Muhammad menyerbu ke jantung pertahanan
musuh. Suatu pekerjaan yang tak mudah dilakukan. Pasukan Romawi yang lebih
kuat pun tak mampu menaklukkan benteng Khaibar yang memiliki sistem
pertahanan berlapis-lapis yang sangat baik. Sallam anak Misykam
mengorganisasikan prajurit Yahudi. Perempuan, anak-anak dan harta benda
mereka tempatkan di benteng Watih dan Sulaim. Persediaan makanan
dikumpulkan di benteng Na'im. Pasukan perang dikonsentrasikan di benteng
Natat. Sedangkan Sallam dan para prajurit pilihan maju ke garis depan.
Sallam tewas dalam pertempuran itu. Tapi
pertahanan Khaibar belum dapat ditembus. Muhammad menugasi Abu Bakar untuk
menjadi komandan pasukan. Namun gagal. Demikian pula Umar. Akhirnya
kepemimpinan komando diserahkan pada Ali.
Di Khaibar inilah nama Ali menjulang.
Keberhasilannya merenggut pintu benteng untuk menjadi perisai selalu
dikisahkan dari abad ke abad. Ali dan pasukannya juga berhasil menjebol
pertahanan lawan. Harith bin Abu Zainab -komandan Yahudi setelah Sallam-pun
tewas. Benteng Na'im jatuh ke tangan pasukan Islam.
Setelah itu benteng demi benteng dikuasai.
Seluruhnya melalui pertarungan sengit. Benteng Qamush kemudian jatuh.
Demikian juga benteng Zubair setelah dikepung cukup lama. Semula Yahudi
bertahan di benteng tersebut. Namun pasukan Islam memotong saluran air
menuju benteng yang memaksa pasukan Yahudi keluar dari tempat
perlindungannya dan bertempur langsung. Benteng Watih dan Sulaim pun tanpa
kecuali jatuh ke tangan pasukan Islam.
Yahudi lalu menyerah. Seluruh benteng diserahkan
pada umat Islam. Muhammad memerintahkan pasukannya untuk tetap melindungi
warga Yahudi dan seluruh kekayaannya, kecuali Kinana bin Rabi' yang
terbukti berbohong saat dimintai keterangan Rasulullah.
Perlindungan itu tampaknya sengaja diberikan
oleh Rasulullah untuk menunjukkan beda perlakuan kalangan Islam dan Nasrani
terhadap pihak yang dikalahkan. Biasanya, pasukan Nasrani dari kekaisaran
Romawi akan menghancurludeskan kelompok Yahudi yang dikalahkannya. Sekarang
kaum Yahudi Khaibar diberi kemerdekaan untuk mengatur dirinya sendiri
sepanjang mengikuti garis kepemimpinan Muhammad dalam politik.
Muhammad sempat tinggal beberapa lama di
Khaibar. Ia bahkan nyaris meninggal lantaran diracun. Diriwayatkan bahwa
Zainab binti Harith menaruh dendam pada Muhammad. Sallam, suaminya, tewas
dalam pertempuran Khaibar. Zainab lalu mengirim sepotong daging domba untuk
Muhammad. Rasulullah sempat mengigit sedikit daging tersebut, namun segera
memuntahkannya setelah merasa ada hal yang ganjil. Tidak demikian halnya
dengan sahabat Rasul, Bisyri bin Bara. Ia meninggal lantaran memakan daging
tersebut.
Khaibar telah ditaklukkan. Rombongan pasukan
Rasulullah kembali ke Madinah melalui Wadil Qura, wilayah yang dikuasi
kelompok Yahudi lainnya. Pasukan Yahudi setempat mencegat rombongan
tersebut. Sebagaimana di Khaibar, mereka kemudian ditaklukkan pula.
Sedangkan Yahudi Taima' malah mengulurkan tawaran damai tanpa melalui
peperangan.
Dengan penaklukan tersebut, Islam di Madinah
telah menjadi kekuatan utama di jazirah Arab. Ketenangan masyarakat semakin
terwujud. Dengan demikian, Muhammad dapat lebih berkonsentrasi dalam dakwah
membangun moralitas masyarakat.
Perjalanan Malam ke Baitul Maqdis
Muhammad terus berdakwah. Khadijah dengan sabar
terus mendorong suaminya itu sampai harta keluarga mereka habis. Tekanan
semakin keras. Selama tiga tahun kaum Qurais mengucilkan orang-orang Islam.
Mereka hanya dapat tinggal di celah-celah batu pebukitan dengan bergantung
makan pada rumput-rumput kering.
Seorang Qurais, Hisyam bin Amir bersimpati pada
keadaan orang-orang Islam itu. Ia menghubungi Zuhair dari Bani Makhzum,
Muth'im dan Bani Naufal serta Abu Bakhtari dan Zam'a dari Bani Asad untuk
menghentikan pengucilan itu. Ia ingatkan betapa buruk kelaparan yang
diderita Muhammad dan pengikutnya, sedangkan saudara-saudara lainnya hidup
berkelimpahan.
Mereka lalu datang ke Ka'bah. Di dinding Ka'bah
dicantumkan piagam pengucilan itu. Pengucilan tidak berlaku lagi bila
piagam tersebut dirobek. Setelah mengelilingi Ka'bah tujuh kali, Hisyam
mengumumkan rencana perobekan piagam. Abu Jahal menentangnya. Namun
sebagian besar orang Qurais mendukung Hisyam. Ketika Hisyam hendak merobek
piagam itu -demikian menurut riwayat-rayap telah menggerogoti piagam itu
hingga tinggal bagian atasnya yang bertulis "Atas nama-Mu ya
Allah".
Kaum Qurais sebenarnya tidak menolak menyembah
Allah Sang Pencipta. Mereka hanya ingin dibolehkan untuk tetap juga
menyembah berhala serta melaksanakan tradisi yang banyak diwarnai maksiat.
Maka, persis setelah penghapusan piagam itu, mereka mengajak Muhammad
berkompromi. Suatu malam, dalam pertemuan sampai pagi, mereka telah
menyebut Muhammad sebagai "pemimpin kami". Mereka hanya minta
sedikit kelonggaran menjalani kehidupan lamanya.
Sekali lagi, Muhammad adalah manusia. Dalam
keadaan yang sangat lemah baik fisik maupun psikis, ia nyaris menerima
kompromi itu. Setidaknya itu yang diungkapkan penulis Hayat Muhammad,
Muhammad Husain Haikal, yang mengutip hadis dari Said bin Jubair dan
Qatada. Sebagaimana saat mengabaikan Ibnu Ummu Maktum, kali ini Muhammad
ditegur Allah kembali. Yakni melalui ayat Quran Surat 17(Al-Isra):73-75).
Namun hadis Ata' dari Ibn Abbas menyebut bahwa konteks turunnya ayat ini
adalah peristiwa saat Muhammad bimbang atas permintaan orang-orang Thaqif.
Mereka bersedia memeluk Islam asal daerahnya dinyatakan sebagai tanah suci
seperti Mekah.
Tak lama setelah peristiwa itu, Muhammad mengalami
musibah besar. Abu Thalib -paman yang telah memeliharanya sejak kecil serta
terus melindunginya sebagai rasul-wafat. Hanya beberapa bulan kemudian,
Khadijah yang menjadi sandaran hati Muhammad -orang yang paling setia
menghibur dan menemani di masa yang paling sulit sekalipun-menyusul wafat.
Muhammad sangat berduka. Sedangkan orang-orang Qurais makin gencar
mengganggunya.
Muhammad lalu pergi Ta'if, menjajaki sekiranya
masyarakat di daerah pertanian subur itu bersedia mendengar seruannya.
Seorang diri ia pergi ke sana. Namun yang ditemui hanyalah sorak sorai
hinaan serta lemparan. Dengan sedih Muhammad menghindar dari mereka dan
berlindung di kebun anggur milik dua saudara 'Uthba dan Syaiba anak Rabi'a.
Di sanalah Muhammad memanjatkan doa kepiluannya. Hanya dengan Adas -seorang
Nasrani budak Uthba' yang memberikan anggur padanya-Muhammad sempat
berbincang. Kabarnya, Adas sempat heran bagaimana Muhammad mengenal nama
(Nabi) Yunus anak Matta.
Muhammad kemudian menikahi Aisyah, putri Abu
Bakar, yang kala itu baru berusia tujuh tahun. Dalam kultur Arab,
perkawinan adalah salah satu tradisi untuk mempererat persahabatan. Aisyah
tetap tinggal di rumah ayahnya dan tidak digauli Muhammad sampai beberapa
tahun kemudian. Muhammad juga menikahi janda miskin Sauda. Suami terdahulu
Sauda adalah seorang yang ikut hijrah ke Habsyi, lalu meninggal di Mekah.
Dua perkawinan ini, juga yang lain, cukup menjelaskan latar belakang
pernikahan-pernikahan Muhammad setelah Khadijah wafat.
Sekitar tahun 621 Masehi, terjadilah peristiwa
Isra' Mi'raj. Muhammad tengah menginap di rumah keluarga sepupunya, Hindun
binti Abu Thalib. Menurut Hindun, malam hari selesai salat terakhir, semua
anggota keluarga tidur. Demikian pula Muhammad. Pagi harinya, mereka salat
bersama. Usai salat itulah Muhammad berkata: "Ummi Hani (panggilan
Hindun), saya salat akhir malam bersama kalian seperti yang kalian lihat di
sini. Lalu saya ke Baitul Maqdis (Yerusalem) dan salat di sana, sekarang
saya salat siang bersama-sama seperti yang kalian lihat."
Hindun minta Muhammad untuk tidak menceritakan
kisah tersebut karena akan mengundang kegemparan. "Tapi saya harus
ceritakan (ini) pada mereka," kata Muhammad. Allah pun menegaskan
peristiwa itu dalam Surat 17 (Al-Isra): 1.
Kegemparan pun terjadi. Sangat banyak kisah yang
beredar mengenai peristiwa tersebut, baik dongeng sama sekali tanpa dasar
maupun kisah yang berdasar. Di antara kisah tersebut adalah mitos 'Buraq'
yang disebut kuda pirang dengan rumbai emas dan mutiara dan bersayap
gemerlapan, Juga mengenai kesaksian Muhammad terhadap berbagai jenis
siksaan di akhirat; pertemuannya dengan para Nabi terdahulu, serta
tawar-menawar antara Muhammad dengan Allah sehingga salat yang diwajibkan
hanya 5 kali, bukan 50 kali, dalam sehari. Allah Maha Tahu apa yang
sesungguhnya terjadi.
Yang menjadi perdebatan serius adalah bagaimana
Muhammad dapat menempuh jarak Mekah-Yerusalem hanya sekejap? Juga apakah
yang melakukan perjalanan itu ruh Muhammad saja atau juga termasuk
jasadnya. Pertanyaan yang wajar untuk tingkat pengetahuan masyarakat pada
masa itu. Kini, teori Einstein dapat menjelaskan kebingunan tersebut. Dari
Teori Relativitas dapat dijelaskan bahwa zat (termasuk tubuh manusia) akan
berubah wujud menjadi enerji bila dibawa oleh enerji (termasuk malaikat). Sedangkan
enerji dapat bergerak pada kecepatan yang sama dengan kecepatan cahaya,
sekitar 300 ribu km per detik, sehingga jarak Mekah - Yerusalem dapat
ditempuh dalam sekejap mata. Serupa dengan pemindahan singgasana Ratu
Bilqis di masa Sulaiman.
Muhammad saat itu berusia 51 tahun. Perjalanan
ke Baitul Maqdis serta Sidratul Muntaha itu kian mengobarkan semangat
perjuangannya untuk menyeru seluruh umat manusia ke Jalan Allah. Apalagi,
ia telah melihat sinar terang bagi Islam telah mulai terlihat di Yatsrib.n
Perjanjian Hudaibiya
Sudah enam tahun Muhammad hijrah. Masa-masa yang
sangat sulit telah terlampaui. Kini tibalah bulan suci. Pada masa-masa
seperti itu, masyarakat Arab dari berbagai pelosok, umumnya berdatangan
untuk berziarah ke ka'bah. Sudah menjadi kesepakatan, kaum Qurais di Mekah
harus menerima siapapun yang akan berkunjung. Seluruh perselisihan pada
bulan haji itu harus dihentikan. Menumpahkan darah, dengan alasan apapun,
diharamkan.
Perasaan rindu pada ka'bah mulai mengusik hati
Muhammad dan orang-orang Islam. Ke sanalah setiap hari mereka menghadapkan
wajah untuk bersujud pada Allah Sang Pencipta. Sekarang adalah waktu yang
tepat untuk mewujudkan kerinduan itu. Maka, Muhammad pun mengumumkan
rencananya untuk pergi ke Mekah berziarah ke ka'bah.
Sekitar seribu empat ratus orang menemani Sang
Rasul menempuh perjalanan itu. Mereka tidak membawa baju zirah atau
perlengkapan perang apapun. Mereka mengenakan baju ihram putih, dan hanya
membawa pedang bersarung -perlengkapan dasar orang Arab waktu itu setiap
bepergian. Rasul juga membawa 70 unta korban. Peristiwa tersebut
diperkirakan terjadi pada Maret, 628 Masehi.
Perjalanan berlangsung lancar hingga mendekati
Mekah. Di Hudaibiya, unta Muhammad yang diberinya nama Al-Qashwa, pun
berhenti dan berlutut. Muhammad memutuskan rombongan untuk beristirahat di
situ. Pihak Qurais yang telah mendengar kabar perjalanan tersebut menjadi
bingung bukan kepalang. Menyerang rombongan Muhammad berarti melanggar
kesepakatan adat. Hal demikian akan membuat Qurais dimusuhi oleh semua
golongan Arab. Apalagi mereka tahu, Muhammad datang untuk menunaikan ibadah
dan bukan berperang. Namun mereka juga khawatir bila Muhammad tiba-tiba
menyerang Mekah.
Qurais pun menyiapkan pasukan tempur di bawah
pimpinan Khalid bin Walid yang saat itu masih kafir. Khalid adalah petempur
muda yang sangat disegani kawan maupun lawan. Karena kecerdikannya, umat
Islam mengalami kekalahan di Perang Uhud. Selain itu, mereka juga mengirim
utusan menemui Muhammad untuk mengetahui maksud sebenarnya rombongan
tersebut. Sebaliknya, Muhammad juga mengirim Usman bin Affan untuk menemui
Abu Sofyan di Mekah. Usman menegaskan bahwa rombongan dari Madinah hanya
akan beribadah ke ka'bah, lalu kembali ke Madinah.
Suasana sempat tegang ketika Usman tak kunjung
kembali. Kaum muslimin sampai perlu membuat ikrar Rizwan -siap mati bersama
untuk menyelamatkan Usman. Syukurlah, itu tak terjadi. Abu Sofyan lalu
mengutus Suhail bin Amir untuk berunding dengan Muhammad.
Perundingan dilakukan. Suhail tampak keras untuk
memaksakan pendapatnya mengenai isi kesepakatan. Bahkan ia mengedit kalimat
demi kalimat yang disusun pihak Muslim. Misalnya terhadap penulisan
"Bismillahir-Rahmanir-Rahim" (Dengan nama Allah yang Pengasih dan
Penyayang) di awal perjanjian. Suhail memaksakannya mengubah menjadi
"Bismikallahumma" (Dengan nama-Mu ya Allah). Ia juga menolak
pemakaian istilah "Muhammad Rasululllah" dan menggantinya dengan
"Muhammad bin Abdullah."
Demikian pula tentang isi perjanjian. Di
antaranya adalah bahwa saat itu umat Islam harus kembali ke Madinah. Mereka
diizinkan untuk berziarah pada tahun depan. Selain itu, jika akan
orang-orang Mekah lari ke Madinah (untuk masuk Islam), pihak Muhammad harus
menolaknya sehinga yang bersangkutan kembali ke Mekah. Sebaliknya, bila ada
orang Madinah yang lari untuk bergabung dengan Qurais di Mekah, orang-orang
Qurais tidak berkewajiban mengembalikannya. Perjanjian tersebut mengikat
seluruh warga Mekah dan Madinah. Juga mengikat Bani Bakar yang berpihak
pada kubu Mekah, serta Bani Khuza'a yang berpihak pada kubu Madinah.
Muhammad tampak mengalah dalam perjanjian itu.
Hal demikian membuat gusar kaum muslimin lainnya. Umar yang paling tidak
sabar. Ia menemui Abu Bakar. "Abu Bakar, bukankah dia Rasulullah.
Bukankah kita ini Muslimin? Mengapa kita mau direndahkan dalam soal agama
kita?". Umar bahkan menyampaikan itu langsung pada Muhammad. Muhammad
dengan sabar mendengarkan Umar. Namun ia kemudian menutup pembicaraan
dengan kalimat: "Saya hamba Allah dan Rasul-Nya. Saya tak akan
melanggar perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyesatkan saya."
Rombongan kemudian kembali Madinah. Muhammad memang mengalah dalam
perjanjian Hudaibiya itu. Tapi sebenarnya, ia baru memperoleh kemenangan
besar. Untuk pertama kalinya kaum Qurais mengakui keberadaan Islam secara
resmi, dan mereka juga tak dapat lagi menolak umat Islam untuk berkunjung
ke ka'bah tahun depannya. Muhammad telah mengalihkan bentuk perjuangannya
dari perjuangan bersenjata ke perjuangan politik.
Persitiwa Khandaq (6 Hijriah)
Salman berasal dari Parsi atau Iran sekarang. Ia
tidak puas dengan agama Majusi (menyembah bintang) yang dianut
masyarakatnya. Ia lalu berkelana. Salman sempat mengikuti pendeta Nasrani
di daerah Palestina sebelum kemudian tertipu dan dijual sebagai seorang
budak. Namun kemudian ia menjadi seorang Muslim merdeka di Madinah.
Kabar rencana Qurais menyerbu Madinah telah
berhembus kencang. Salman mendengar pula kabar itu. Ia tahu,
saudara-saudaranya sesama Muslim di Madinah merasa gentar dengan kabar
tersebut. Bayang-bayang kekalahan di Perang Uhud belum lagi sirna. Apalagi
kini Qurais tidak sendirian. Mereka dibantu oleh puak-puak Arab dari
Ghatafan, serta jaringan intelijen Yahudi. Pasukan musuh diperkirakan
mencapai jumlah 10 ribu orang.
Di saat Muslim berkecil hati itu, Salman
melontarkan gagasan untuk menggali parit di dataran pintu masuk Madinah.
Itu strategi perang yang sama sekali belum dikenal masyarakat Arab. Rasul
menyetujui gagasan itu. Maka, siang malam seluruh warga Madinah -termasuk
Rasulullah maupun warga Yahudi-bekerja keras menggali parit tersebut.
Selama enam hari, parit tersebut diselesaikan.
Rumah-rumah di sisi parit dikosongkan. Para perempuan dan anak-anak
diungsikan ke belakang. Batu-batu ditumpuk untuk senjata melawan musuh yang
nekat melompati parit itu. Dengan demikian posisi Muslim di Madinah cukup
aman. Di sebelah kanan terlindung gunung batu yang terjal, di depan
terdapat parit besar yang akan membuat terperosok pasukan berkuda apalagi
unta, di kiri terdapat bukit Sal. Di bukit inilah Muhammad bermarkas yang
ditandai dengan keberadaan tenda merah miliknya.
Musuh sebenarnya bisa masuk dari dataran di
belakang. Tapi itu tak mungkin dilakukan. Di sana adalah pemukiman Yahudi
Quraiza yang terikat perjanjian dengan Muhammad. Masyarakat Yahudi ini bertugas
untuk mengatur kebutuhan makan bagi pasukan Muslim di garis depan.
Segera pasukan musuh yang dikomandani Abu Sofyan
tiba di Uhud. Mereka terkejut karena tak melihat satupun pasukan Muslim.
Lebih terkejut lagi saat mereka melihat parit perlindungan di pintu masuk
Madinah. Tak ada lagi yang dapat dilakukan selain mengepung Madinah, dan
membuat warga kota itu kelaparan. Namun yang demikian juga sulit dilakukan
karena persediaan makanan di Madinah cukup untuk waktu yang relatif lama.
Apalagi saat itu musim dingin.
Sudah berhari-hari mereka mengepung. Tak ada
perkembangan berarti. Ka'ab bin Akhtab --Yahudi penyusun rencana perang
itu-lalu membujuk dua pihak. Yakni agar Qurais dan Ghatafan untuk tidak
pulang. Ia minta waktu 10 hari lagi buat meyakinkan Yahudi Quraiza agar
mengkhianati perjanjiannya dengan Muslimin. Warga Quraiza sempat ragu.
Namun mereka pun memanfaatkan kesempatan. Yakni menuntut Muhammad agar
memanggil kembali Yahudi Bani Qainuqa dan Bani Nadzir yang telah diusir
dari Madinah. Yahudi Quraiza bahkan menghentikan pasokan makanan pada kaum
muslimin.
Orang-orang Islam mulai menderita dengan sangat.
Kelaparan di garis depan perang pada saat musim dingin membuat pasukan
muslim berjatuhan sakit. Beberapa orang bahkan meninggal karena itu. Dua
sahabat Rasul, Hasan bin Tsabit dan Shafia binti Abdul Muthalib telah
memergoki Yahudi yang memata-matai posisi pasukan Muslim untuk dibocorkan
pada musuh. Beberapa orang tentara lawan juga telah menerobos parit, di
antaranya Amir anak Abdul Wudud, Ikrima anak Abu Jahal serta Dzirar bin
Khattab. Untunglah Ali berhasil mematahkan perlawanan mereka.
Muhammad menugasi dua pemimpin Muslim asli
Madinah (Anshar) untuk menemui para pemimpin Quraiza agar menghentikan
pengkhiatannya tersebut. Mereka adalah Sa'ad bin Mu'adz dari Bani Aus serta
Sa'ad bin Ubadha dari Khazraj. Namun Yahudi Quraiza menampik keinginan itu.
Mereka akan terus memboikot sampai tuntutannya dipenuhi.
Keadaan umat Islam semakin parah. Muhammad lalu
berdiri di bukit Sal dan berdoa praktis tanpa henti. Bahkan di saat udara
sangat dingin menjelang dinihari menusuk-nusuk tulangnya. Menurut riwayat,
pada hari ketiga -di saat kondisi Rasul itu sudah sangat menurun-tiba-tiba
muncul badai dingin yang luar biasa. Masyarakat Muslim dapat berlindung di
pemukimannya sendiri. Kaum Qurais dan kelompok-kelompok dari Ghatafan -yang
dalam Quran disebut "Al-Ahzab"-yang berada di tempat terbuka
menjadi sasaran badai itu. Pasukan itu hancur sama sekali.
Masing-masing orang bersusah payah menyelamatkan
diri. Usai peristiwa Khandaq, Muhammad menugaskan pasukan Muslim untuk
mengepung Yahudi Quraiza atas pengkhiatannya. Setelah beberapa hari,
Quraiza menyerah. Mereka minta agar hukuman yang dijatuhkan adalah
pengusiran dari Madinah, sama dengan hukuman bagi Bani Qainuqa dan Bani
Nadzir terdahulu.
Rasul mengatakan bahwa hukuman akan dijatuhkan
oleh seorang hakim. Ia berjanji tidak akan intervensi atau campur tangan.
Orang-orang Quraiza berhak memilih sendiri hakim tersebut. Saat itu pula,
mereka memilih Sa'ad bin Mu'adz. Pemimpin suku Aus yang sempat ditugasi
Muhammad untuk bernegosiasi dengan Quraiza itu sehari-hari memang cukup
dekat dengan kalangan Yahudi. Namun, tanpa diduga oleh semua, Sa'ad justru
menjatuhkan hukuman mati bagi semua laki-laki kelompok pengkhianat
tersebut. Eksekusi pun dilakukan. Para perempuan dan anak-anak dari
keluarga Yahudi Quraiza itu lalu menjadi tanggungan umat Islam.
Sejak saat itu, Madinah aman tenteram.
Rasulullah lalu berkonsentrasi untuk membangun peradaban masyarakat. Sebuah
peradaban yang menjadi model dasar bagi konsep "civil society"
(masyarakat Madani) kini.n
Provokasi Yahudi
Rona muka Muhammad memerah. Ia tak menyangka
bahwa pengikutnya begitu pengecut. Kaum Qurais telah mengirimkan tantangan
untuk bertempur di Badar kembali. Nua'im bin Mas'ud -kurir Qurais-bahkan
mengabarkan hal yang menakutkan. Katanya, pihak Mekah telah menyiapkan
pasukan dengan kekuatan yang tak akan terbayangkan warga Madinah.
Muhammad mengajak warganya kembali mengangkat
senjata. Namun mereka cuma terdiam. Melihat itu, Rasul pun bersumpah akan
tetap pergi ke Badar, meskipun seorang diri. Baru setelah itu, satu per
satu mereka membulatkan tekad: siap menghadapi Qurais. Muhammad menyerahkan
kepemimpinan Madinah pada Abdullah -anak tokoh oportunis Abdullah bin Ubay.
Ia memimpin pasukannya ke Badar.
Di pihak Qurais, Abu Sofyan juga telah
meninggalkan Mekah. Dua ribu pasukan ikut bersamanya. Namun, setelah dua
hari perjalanan, Abu Sofyan membatalkan niatnya. Ia membawa pasukannya
pulang ke Mekah. Pasukan Muhammad menunggu selama delapan hari sebelum
kembali ke Madinah.
Perang telah terhindarkan. Namun, sebelum
peristiwa itu, berbagai hal besar telah terjadi di kalangan muslim.
Kehancuran dalam Tragedi Uhud telah meruntuhkan wibawa masyarakat Islam di
Madinah. Musuh, yang semula sempat takut, kini bangkit mengincar kaum
Muslim. Dua kakak beradik anak Khuailid, Tulaiha dan Salama, mulai
memobilisasi Bani Asad untuk menggempur Muhammad.
Sebanyak 150 pasukan gerak cepat pimpinan Abu
Salama bin Abdul Asad bergerak secara rahasia menggempur musuh di
sarangnya. Kekuatan Bani Asad hancur total. Setelah itu, Khalid bin Sufyan
di Nakhla hendak berbuat serupa. Dia mulai mengorganisasikan pasukan. Upaya
Khalid terhenti setelah dia dibunuh Abdullah bin Unais di rumahnya sendiri.
Berbagai siasat lalu dirancang untuk melawan
Muhammad. Misalnya yang dilakukan masyarakat Hudhail. Mereka minta Muhammad
agar mengirim utusan untuk mengajarkan Islam. Muhammad menugasi enam orang.
Empat orang utusan Rasul itu dibantai di tengah jalan. Dua orang lainnya,
Zaid dan Khubaib dijual pada orang Qurais untuk balas dendam.
Zaid sempat ditawari untuk dibebaskan asalkan
bersedia membunuh Muhammad. Ia menggeleng, lalu kepalanya dipenggal sebagai
balasan atas kematian Umaya bin Khalaf di Perang Badar. Khubaib sempat
minta waktu untuk salat dua rakaat sebelum disalib.
Muhammad sangat berduka. Apalagi kemudian 38
dari 40 orang pilihannya untuk berdakwah ke Najd dibantai di Bi'ir Sauna,
pada 625 Masehi. Mereka ditugasi atas undangan untuk berdakwah, dan di
bawah perlindungan seorang terkemuka, Abu Bara'. Kini mereka tewas. Yang
selamat, Amr bin Ummaya juga mengalami masalah karena ia keliru membunuh
dua orang yang disangkanya adalah musuh.
Muhammad minta bantuan Yahudi Bani Nadzir yang
terikat perjanjian dengan Islam untuk menyelesaikan salah bunuh itu. Namun
beberapa orang Banu Nadzir malah berkomplot untuk membunuh Muhammad. Atas
provokasi Abdullah bin Ubay serta Huyay, Yahudi itu melawan. Pertempuran
sempat terjadi selama 12 hari. Sebagaimana Bani Qainuqa terdahulu, Bani
Nadzir pun kemudian diusir dari Madinah.
Tantangan paling serius muncul dari Ghatafan,
terutama dari Bani Muharib dan Tha'laba. Muhammad dengan 400 pasukannya
menyerbu mendadak. Musuh yang belum siap, melarikan diri. Dua pekan
ekspedisi tersebut dilakukan. Saat itulah Muhammad memberi contoh
pelaksanaan salat Khauf atau salat dalam peperangan. Sebagian terus
bersujud sebagaimana biasa, sebagian lain berjaga-jaga menghadap arah
musuh. Demikian dilakukan secara bergantian.
Muhammad juga membawa pasukan ekspedisi ke
wilayah Utara, yakni ke daerah oase Dumat Jandal di dekat perbatasan dengan
Yordania dan Irak sekarang. Tak terjadi pertempuran apapun dalam ekspedisi
ini.
Namun diam-diam musuh mulai mengorganisasikan diri.
Kaum Yahudi, terutama yang tekah terusir dari Madinah, telah melobi hampir
seluruh kabilah Arab untuk bersatu melawan Muhammad. Selain orang-orang
Qurais Mekah, Bani Qais, Ailan, Fazara, Asyja, Sulaim, Sa'ad serta Asad
telah mengumpulkan kekuatan untuk bersama-sama menggempur Madinah.
Secercah Sinar di Aqabah
Muhammad memiliki darah Yatsrib. Kakeknya, Abdul
Muthalib, adalah putra perempuan Khazraj paling disegani, Salma. Di saat
Muhammad dimusuhi masyarakatnya sendiri di Mekah, orang-orang Yatsrib tengah
mencari figur pemimpin yang dapat menyatukan mereka. Muhammad adalah figur
yang memenuhi harapan itu.
Proses pencarian pemimpin itu berlatar pada
kemelut yang menimpa bangsa Arab di Yatsrib, yang terbagi atas kabilah
Khazraj dan Aus. Berbeda dengan masyarakat Mekah yang cenderung kasar dan
berprofesi dari pedagang hingga perampok, orang-orang Yatsrib umumnya
adalah petani yang santun dan lembut hati. Namun mereka baru mengalami
tragedi memilukan, yakni pertempuran antara bani Khazraj dan Aus yang berpuncak
pada insiden Buth'ah.
Pada mulanya, kedua kabilah itu hidup rukun.
Mereka umumnya hanya pekerja kecil. Sedangkan perekonomian dan kehidupan
sosial dikendalikan Yahudi. Namun Yahudi dihancurkan kerajaan Romawi,
termasuk di Yatsrib. Romawi bahkan menggunakan orang-orang Aus dan Khazraj
untuk menggusur posisi Yahudi. Orang-orang Yahudi tak ingin kehilangan
kendali atas kota itu. Maka mereka memprovokasi kedua kabilah tersebut
sehingga perang.
Aus sempat kalah melawan Khazraj. Mereka
melarikan diri ke arah Najd hingga Abu Usaid Hudzair berbalik arah dan
bertekad untuk memerangi Khazraj sampai mati. Orang-orang Aus terbakar oleh
semangat Abu Usaid. Mereka ganti menyerbu Khazraj. Kebun-kebun kurma dan
rumah-rumah mereka bakar habis. Abu Usaid keluar masuk rumah demi rumah
untuk membunuh setiap penghuninya. Abu Qais datang mencegahnya dengan
mengatakan bahwa "Bertetangga dengan mereka (Khazraj) lebih baik dari
bertetangga dengan rubah (Yahudi)."
Pertikaian hanya akan membuat kerusakan bersama.
Itu keyakinan mereka. Kedua kabilah itu lalu bertekad membangun kehidupan
baru. Beberapa orang Yatsrib telah mengenal Muhammad saat mereka berziarah,
serta saat mencari persekutuan dengan Mekah. Seorang pemuda Yatsrib, Iyas
bin Mu'adh, bahkan telah masuk Islam. Di saat masyarakatnya berembug
mencari pemimpin itu, pemuka Yatsrib yang tengah berziarah ke Mekah bertemu
dengan Muhammad. Ia, Suwaid bin Shamit, malah masuk Islam setelah Muhammad
memperdengarkan ayat-ayat Quran.
Pada musim ziarah di bulan suci tahun berikutnya,
12 orang utusan warga Yatsrib pun menemui Muhammad. Mereka bertemu di bukit
Aqaba pada hari Tasriq -hari setelah Idul Adha- setelah menempuh perjalanan
secara sembunyi-sembunyi. Mereka kemudian berikrar yang disebut sebagai
ikrar Aqaba pertama.
Isi ikrar itu adalah pernyataan untuk hanya
menyembah Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak,
tidak mengumpat dan memfitnah baik di depan maupun belakang, tidak menolak
berbuat baik. Siapa yang mematuhi semua itu akan memperoleh pahala surga,
jika ada yang menyalahinya maka persoalannya diserahkan pada Tuhan. Tuhan
berkuasa untuk menyiksa serta berkuasa mengampuni segala dosa.
Muhammad kemudian menugasi Mushab bin Umair ikut
bersama mereka ke Yatsrib. Ia bertugas mengajarkan Islam pada warga kota
itu. Mushab pula yang melaporkan pada Muhammad kesungguhan orang-orang
Yatsrib untuk memeluk Islam.
Pada 622 Masehi, rombongan kedua warga Yatsrib
tiba menemui Muhammad. Mereka sebanyak 73 orang laki-laki dan dua
perempuan. Setelah saling mengucap janji setia, Muhammad meminta mereka
memilih 12 wakil. Dua belas orang itu yang mengucap ikrar di tengah gelap
malam di celah bukit Aqaba. Sebelum ikrar, warga Yatsrib sempat minta
Muhammad agar mengingatkan Bara' bin Ma'rur yang dalam salatnya selalu
menghadap ke Mekah, agar mengalihkannya ke arah Baitul Maqdis sebagaimana
Muhammad dan yang lain.
Pertemuan Aqaba itu bocor ke telinga orang-orang
Qurais. Mereka segera pergi ke sana. Namun orang-orang telah pergi, kecuali
Saad bin Ubada yang masih berada di Aqaba. Saad kemudian dibawa ke Mekah
dan disiksa. Ia diselamatkan Jubair bin Mut'im yang pernah ditolongnya
dalam perjalanan ke Syam.
Persekutuan telah diikat. Muhammad telah membuat
langkah strategis: bersumpah setia dengan warga Yatsrib. Jika terjadi
sesuatu pada Muhammad, kini bukan saja keluarga Hasyim yang akan membela.
Orang-orang Yatsrib yang juga mempunyai ikatan darah dengan Muhammad akan
pula bertindak. Apalagi orang-orang Yatsrib itu telah memeluk Islam.
Nilai strategis langkah Muhammad semakin nampak
bila melihat posisi Yatsrib yang berada di jalur perdagangan Mekah dengan
Syam. Orang-orang Qurais akan kesulitan untuk berdagang ke Syam jika
bermusuhan dengan warga Yatsrib. Keadaan demikian semakin membuat gusar
orang-orang Qurais.
Mereka lalu merancang siasat. Dalam pertemuan di
Darun Nadwa, mereka bersepakat. Para pemuda dari setiap kabilah akan
ditugasi membunuh Muhammad secara bersama untuk kemudian berpencar. Dengan
demikian kesalahan tidak dapat ditimpakan pada salah satu kabilah. Setelah
itu, mereka secara bersama akan membayar kematian itu dengan tebusan unta.
Bau amis darah semakin kuat tercium. Namun
Muhammad tampak tenang-tenang saja. "Jangan tergesa-gesa," kata
Muhammad ketika Abu Bakar minta izin untuk hijrah ke Yatsrib.
Siksaan Demi Siksaan
Abu Thalib enggan menyerahkan Muhammad.
Ketegangan di Mekah pun kian sengit. Saad bin Abu Waqas telah dipukuli Abu
Jahal dan kawan-kawan. Bilal telah dipaksa oleh tuannya, Umayah, untuk
meninggalkan Islam. Ia dicambuki dan diikat telentang di tengah terik
padang pasir dengan batu besar menindih perut dan dadanya.
"Ahad...ahad, (Yang Esa..Yang Esa),"
desis Bilal yang enggan menyerah, sampai kemudian Abu Bakar datang membeli
dan membebaskannya. Abu Bakar juga menyelamatkan budak perempuan Umar bin
Khattab. Umar saat itu masih memusuhi Islam.
Muhammad tak luput dari gangguan. Abu Jahal
melemparinya dengan isi perut kambing yang baru disembelih. Istri Abu
Jahal, ikut melemparkan kotoran binatang ke depan rumah Muhammad. Abu Jahal
terus memaki-maki dan mengganggu Muhammad. Ini didengar oleh Hamzah -paman
yang juga saudara susu Muhammad. Sepulang dari berburu, ia segera menemui
Abu Jahal yang berada di Ka'bah dan menghantamkan busurnya. Hamzah kemudian
menemui Muhammad dan menyatakan masuk Islam. Keberadaan Hamzah -yang secara
fisik dianggap jagoan-membuat gentar musuh-musuh Muhammad.
Kaum Qurais lalu minta Uthba bin Rabi'ah ,
seorang yang disegani di sana, membujuk Muhammad. Ia menawarkan apapun yang
Muhammad hendak minta asalkan bersedia kembali pada tradisi. Muhammad
menyambut Uthba' dengan membacakan surat As-Sajadah (Surat 32). Bacaan yang
justru membuat Uthba' terpesona.
Gangguan terhadap pengikut Muhammad kian
mengeras. Bahkan ada yang disiksa sampai meninggal meskipun tak ada riwayat
yang menyebut pasti nama mereka yang telah mati syahid. Untuk melindungi
pengikutnya, Muhammad menyarankan sebagian mereka pindah ke Habsyi -Mesir.
Raja Najasyi (Negus) dikenal sebagai seorang Nasrani yang bijak. Sebelas
laki-laki dan empat perempuan berangkat dengan berpencar. Menyangka keadaan
telah aman, mereka pun pulang. Namun tekanan yang tak kunjung henti,
membuat kaum muslimin kembali Hijrah ke Habsyi. Pada gelombang kedua ini,
sebanyak 80 laki-laki -tanpa perempuan dan anak-anak-yang berhijrah. Mereka
terus tinggal di sana sampai Muhammad hijrah ke Yatsrib atau Madinah.
Kaum Qurais Mekah mengutus Amr bin Ash dan
Abdullah bin Abi Rabia menemui Raja Najasyi. Keduanya minta agar pendatang
dari Mekah itu diusir. Sebelum mengambil keputusan, raja meminta
orang-orang Islam menjelaskan sikapnya. Dengan penjelasan yang sangat baik,
Ja'far bin Abu Thalib berhasil meyakinkan pandangannya. Ja'far juga
mengutip ayat-ayat Surat Maryam yang membuat Raja Najasyi semakin percaya
pada mereka. Ia berjanji akan tetap melindungi orang-orang Islam.
"Antara agama Anda dan agama kami tidak lebih dari garis ini,"
kata Najasyi sambil menggoreskan tongkat di tanah.
Di Mekah satu peristiwa terjadi. Muhammad,
Hamzah, Abu Bakar, Ali dan beberapa sahabat tengah berkumpul di rumah
Arqam, dekat bukit Shafa. Umar bin Khattab -seorang temperamental dan
tukang berkelahi di lingkungan Qurais- menuju ke sana. Ia menghunus pedang
dan mengaku hendak membunuh Muhammad. Nu'aim bin Abdullah yang berpapasan
dengan Umar mengatakan bahwa Bani Abdul Manaf akan menuntut balas bila
Muhammad sampai tewas. Mengapa Umar tak mengurus keluarganya sendiri?
Ketika itu, Fatimah adik Umar beserta suaminya, Said bin Zaid telah masuk
Islam.
Umar lalu berbalik, dan menerjang rumah Fatimah.
Ia memukul muka Said hingga berdarah. Sedangkan Fatimah tengah membaca
Quran. Namun timbul rasa ibanya pada Said. Ayat-ayat Quran yang dibaca
Fatimah menyentuh hatinya. Maka Umar bergegas menemui Muhammad dan mengucap
"syahadat". Sejak itu, Umar bersama Hamzah menjadi pilar yang
melindungi Muhammad dari musuh-musuhnya.
Muhammad terus berdakwah. Ia sering terlihat
berdiskusi dengan Jabir, seorang budak Nasrani, di Marwa. Ia dituding
menyebarkan ajaran yang dibawa Jabir. Atau sebagai seorang ahli retorika
dan pendongeng yang lihai memukau pendengarnya. Orang-orang Qurais mencoba
mengimbanginya melalui Nadzer bin Harith. Hal demikian menimbulkan rasa
penasaran Tufail ad-Dausi -seorang intelektual setempat-untuk membuntuti
Muhammad. Ujungnya, ia masuk Islam. Tufail tahu syair atau gubahan terbaik
manusia. Ayat-ayat Quran bukan seperti itu.
Sebenarnya banyak pemuka Qurais yang tertarik
mendengar ajaran yang disampaikan Muhammad. Abu Sufyan, Abu Jahal dan
Akhnas bin Syariq pernah dipergoki diam-diam mendengarkan Muhammad membaca
ayat-ayat Quran. Namun mereka merasa kehilangan harga diri bila mengikuti
seruan Muhammad. Muhammad pun mencoba merangkul para pemuka Qurais. Di
antaranya adalah dengan mendekati Walid bin Mughirah. Pada saat berbicara
dengan Walid itulah terbukti bahwa Muhammad juga seorang manusia biasa
seperti kita: dapat berbuat keliru.
Saat itu, seorang tuna netra Ibnu Ummu Maktum
menemuinya untuk bertanya soal Islam. Muhammad yang tengah sibuk bicara
dengan Walid mengabaikannya. Allah pun menegur perilaku Muhammad itu dengan
Surat Abasa: "Ia masam dan membuang muka. Ketika seorang buta
mendatanginya ....." Allah mengingatkan bahwa Ibnu Ummu Maktum datang
dengan lebih tulus. Sedangkan Walid -menurut riwayat-adalah orang yang iri
mengapa Quran tidak turun pada pemuka masyarakat sepertinya.
Surat Buat Para Raja
Semakin hari, keutamaan Islam semakin terlihat
dengan nyata. Ajaran untuk menyembah Allah Sang Pencipta secara total
-tidak dengan menduakannya pada yang lain-bukan sekadar mengharuskan
manusia untuk bersujud sebagai ibadah ritual kepadanya. Lebih dari itu juga
mendorong setiap pribadi untuk berperilaku baik. Islam juga merumuskan
tatanan sosial yang sangat komplet dan menyeluruh.
Praktek orang-orang Arab "jahiliyah"
telah ditinggalkan sama sekali pemeluk Islam. Berbohong, menipu, mencuri,
merampok, membunuh (kecuali dalam perang), berjudi, "mengundi
nasib", berzina, dan banyak praktek lain telah sepenuhnya dijauhi.
Minum 'khamr' atau alkohol kemudian juga diharamkan. Selain dengan menumbuhkan
kesadaran masing-masing, Islam mengancam hukuman neraka bagi setiap pelaku
dosa. Kecuali bila pelaku dosa itu bertaubat dengan sungguh-sungguh.
Umat Islam diwajibkan untuk berkata benar,
jujur, rendah hati serta santun pada sesama. Perilaku sabar, bersahaja,
serta tekun selalu diharapkan dari setiap muslim. Bermegah-megahan diri,
baik dalam bentuk kekayaan maupun kebanggaan keluarga, dilarang. Interaksi
sosial, masalah lingkungan, pendidikan, ekonomi hingga politik dirumuskan
secara rinci. Semua merupakan jalan untuk mewujudkan keadilan sosial,
kecukupan serta pemerataan ekonomi, hingga keamanan dan ketertiban
masyarakat.
Muhammad Rasulullah merasa bahwa pondasi tatanan
keislaman tersebut telah cukup tertanam di masyarakat Madinah. Kini saatnya
untuk menyebarkan ajaran tersebut keluar. Untuk itu, Muhammad berniat
mengirim surat bagi para penguasa berisi ajakan memeluk Islam. Tak
teriwayatkan siapa penulis surat itu. Besar kemungkinan diantara mereka
adalah sekretaris Rasul, Zaid bin Tsabit. Zaid, yang juga salah satu
pencatat wahyu Allah, diangkat menjadi sekretaris Rasul setelah ia diminta
belajar bahasa Ibrani dan Syria. Ia menggantikan sekretaris terdahulu,
seorang Yahudi yang bersama kabilahnya telah diusir keluar dari Madinah.
Surat pun disiapkan untuk dua raja besar yang
tengah bermusuhan, yakni Kaisar Romawi Heraklius serta Raja Persia Kisra.
Selain itu, Muhammad juga mengirim surat pada Raja Negus di Abisina atau
Ethiophia sekarang; pada Gubernur Muqauqis di Mesir dan Gubernur Harith
Al-Ghassani yang menguasai wilayah Palestina dan Syria; juga pada Gubernur
Harith Al-Himyari di Yaman. Mesir, Palestina dan Syria saat itu tunduk di
bawah kekuasaan Romawi, sedangkan Yaman di bawah kendali kerajaan Persia.
Surat juga ditujukan untuk penguasa Yamama, Oman serta Bahrain.
Surat-surat itu dibuka dengan tulisan
"Bismillahir-Rahmanir-Rahim" (Dengan nama Allah, Maha Pengasih,
Maha Penyayang", lalu dilanjutkan dengan kalimat "Dari Muhammad
hamba Allah kepada ....." Surat kemudian ditutup dengan stempel dari
cincin perak bertuliskan : "Muhammad Rasulullah."
Duta-duta pengirim surat pun ditunjuk. Dihya bin
Khalifa mendapat tugas untuk ke Romawi, Abdullah bin Hudhafa ke Persia, Amr
bin Ummaya untuk Abisina, Hatib bin Abi Balta'a untuk Mesir, Amr bin Ash
untuk Oman, Salit bin Amr untuk Yamama, Ala bin Hadrami untuk Bahrain,
Syuja' bin Wahab untuk Ghassan, serta Muhajir bin Ummaya untuk Yaman.
Serentak mereka pun berangkat ke tujuan masing-masing.
Heraklius kabarnya menyambut baik utusan
Muhammad tersebut. Ia bahkan membalas surat tersebut dengan kata-kata yang
baik. Gubernur Ghassan sempat minta izin Heraklius untuk menghukum Muhammad
yang dinilainya lancang. Namun Heraklius melarang. Melihat sikap baik
tersebut, sebagian kalangan malah menyangka Heraklius telah menerima ajakan
Muhammad untuk masuk Islam.
Sikap sebaliknya ditunjukkan oleh Kisra yang
baru kalah perang melawan Romawi. Ia dikabarkan merobek-robek surat
Muhammad. Ia bahkan mengirim surat pada Gubernur Yaman agar membunuh
Muhammad dan mengirimkan kepalanya ke Persia. Namun Gubernur Yaman justru
memenuhi seruan Muhammad untuk masuk Islam, dan membebaskan diri dari
kekuasaan Persia.
Raja Negus di Abisina juga menyambut surat
Muhammad. Banyak yang menyebut Negus telah menerima ajaran Islam. Penulis
sejarah Muhammad Haekal meragukan itu. Sejak lama, raja ini melindungi
orang-orang Islam dari kejaran Qurais. Kini ia memenuhi permintaan Muhammad
agar membantu orang-orang muslim di Abisina untuk kembali ke jazirah Arab,
dan menetap di Madinah. Negus menyiapkan dua buah kapal untuk mengangkut
rombongan yang dipimpin Ja'far bin Abu Thalib menyeberangi Laut Merah.
Sikap sangat baik juga ditunjukkan oleh
Muqauqis. Ia mengaku sangat percaya bahwa akan ada Rasul setelah Isa. Namun
ia menduga bahwa rasul itu akan muncul di Syam. Muqauqis kemudian mengirim
berbagai barang dari Mesir sebagai hadiah. Juga seekor bagal serta seekor
keledai dengan corak warna yang sangat unik. Ikut serta dalam rombongan
dari Mesir ini adalah dua orang putri, yakni Maria dan Sirin. Maria kemudian
dinikahi Rasulullah dan memberinya putra yang diberi nama Ibrahim.
Sebagaimana dua anak laki-laki Muhammad lainnya, Ibrahim juga meninggal
sewaktu kecil.
Surat-surat Rasulullah tersebut semakin
memperkuat posisi politik umat Islam yang berpusat di Madinah. Lebih
penting lagi, Islam semakin luas berkumandang. Bukan semata di jazirah
Arab, namun juga mulai terdengar di benua Afrika, Eropa serta Asia.
Tahun-tahun Terakhir
Tak ada perang di Tabuk. Darah tidak
ditumpahkan. Namun ekspedisi itu telah meninggalkan kesan mendalam di
seluruh jazirah Arab. Keengganan Romawi untuk menghadapi tentara Muslim
menjadikan pasukan Muhammad sebagai satu-satunya kekuatan nyata di jazirah
itu. "Romawi telah mengalahkan Persia. Mereka telah merebut kembali
Salib Besar dan membawanya balik ke Yerusalem. Tapi Romawi takut pada
tentara Muhammad." Demikian yang ada di benak kabilah-kabilah.
Maka, setelah ekspedisi Tabuk, kabilah demi
kabilah berdatangan ke Madinah. Mereka menjumpai Muhammad buat mengucapkan
dua kalimat syahadat. Demikian juga tokoh-tokoh perorangan. Di antaranya
adalah Urwa bin Mas'ud, tokoh masyarakat Thaqif. Ketika masyarakatnya
bertempur di Hunain dan Ta'if melawan pasukan Rasul, Urwa sedang berada di
Yaman. Ia menyesali sikap masyarakatnya yang menolak Islam. Maka, sepulang
dari Yaman, Urwa segera menemui Rasul.
Usai itu, Urwa pamit untuk pulang ke Ta'if. Ia
berjanji akan membawa masyarakatnya untuk mengikuti jalan Allah. Rasul
sempat mengingatkan Urwa agar berhati-hati lantaran masyarakat Thaqif sangat
fanatik pada berhala yang diberi nama Lath. Rasul benar. Urwa mengajak
masyarakatnya untuk salat, namun mereka malah membalasnya dengan menghujani
anak panah. Urwa wafat.
Menjelang menghembuskan nafas terakhirnya, Urwa
sempat berkata: "Kehormatan telah diberikan Tuhan kepadaku, Kesaksian
Tuhan telah dilimpahkan kepadaku. Yang kualami ini sama dengan yang dialami
para syhada yang berjuang di samping Rasulullah saw sebelum meninggalkan
kita." Pembunuhan terhadap Urwa justru meresahkan masyarakatnya sendiri.
Mereka menjadi merasa tidak aman. Hampir seluruh kabilah di sekeliling
sekarang telah mengikuti seruan Muhammad. Enam orang pemuka Thaqif kemudian
menemui Muhammad dengan sangat cemas. Mereka khawatir atas balasan pihak
Islam. Namun tidak. Muhammad memperlakukan mereka dengan baik.
Namun Muhammad tetap bersikap tegas terhadap
tawaran yang mereka ajukan. Muhammad menolak permintaan agar orang-orang
Ta'if dibolehkan untuk tidak menghancurkan patung Lath. Juga agar mereka
dibebaskan dari kewajiban salat. "Sungguh tidak ada kebaikan dalam
agama bila tanpa salat," kata Rasul. Satu-satunya permintaan yang
dipenuhi hanyalah agar Lath dihancurkan oleh orang lain, dan bukan oleh
tangan orang-orang Ta'if sendiri.
Abu Sufyan dan Mughira diminta Muhammad untuk melaksanakan
tugas itu. Para pertempuan Thaqif menangis saat Lath dihancurkan. Seluruh
perhiasan yang menempel pada Lath diambil, dipakai untuk membayar utang
Urwa dan Aswad. Kini habislah kekuatan Arab yang memusuhi Islam.
Rasulullah terus bekerja untuk memantapkan
keislaman masyarakat. Saat ibadah haji tiba, Rasul juga tidak berangkat ke
Mekah. Ia justru menugasi Abu Bakar untuk memimpin 300 orang jamaah.
Rombongan itu telah berangkat ketika Rasulullah minta Ali bin Abu Thalib
pergi menyusul. Ketika seluruh jamaah, baik yang Islam maupun orang-orang
yang masih jahiliyah yang datang dari seluruh penjuru jazirah Arab,
berkumpul di Mina, Ali pun berdiri untuk pidato.
Dibacakannya ayat-ayat Qur'an surat At-Taubah,
dari ayat 1 hingga 36. Pada prinsipnya, Ali menekankan empat hal. Pertama,
seorang kafir tidak akan masuk surga. Kedua, setelah tahun itu
"orang-orang musyrik" tidak dibolehkan menunaikan ibadah haji.
Ketiga, tak boleh lagi melakukan tawaf dengan telanjang -sebuah praktek
yang banyak terjadi sebelum masa Islam. Keempat, ikatan perjanjian dengan
Rasulullah terus berlaku. Penegasan Rasul yang disampaikan Ali ini
mengawali masa pengkhususan untuk memasuki Mekah -apalagi wilayah
ka'bah-hanya untuk orang Islam.
Sementara itu, di Madinah, kabilah demi kabilah
mengirimkan utusannya untuk menemui Muhammad. Tak pernah rasul menerima
tamu sebanyak pada tahun-tahun terakhir. Utusan-utusan tersebut seluruhnya
menyatakan bahwa kabilahnya telah menerima Islam sebagai agama yang utuh.
Haekal menyebut bahwa Ibnu Sa'ad telah menulis masalah perutusan ini secara
khusus dalam bukunya 'At-tabakatul Kubra'. Begitu banyaknya utusan
tersebut, sehingga Ibnu Sa'ad menghabiskan 50 halaman.
Namun, pada masa itu, Islam juga menghadapi
tantangan baru. Yakni semakin banyaknya orang-orang munafik. Pada
tahun-tahun itu, mencuat nama Musailama. Kemana-mana ia bahkan menyatakan
diri sebagai Rasul. Ia mengarang syair-syair yang didakwakannya sebagai
wahyu Tuhan. Di masa sekarang, apalagi abad-abad depan, Islam akan selalu
berhadapan dengan Musailama-Musailama baru yang lebih lihai yang juga menyebut
diri "membawa kebenaran" .
Tragedi Uhud (5 Hijriah)
Muhammad terus bekerja keras untuk menata
masyarakat. Kehidupan umat Islam di Madinah semakin baik. Setelah menang di
Perang Badar, mereka makin disegani kabilah-kabilah Arab. Perdagangan
maupun pertanian berjalan lancar. Rongrongan Yahudi, untuk sementara, telah
diatasi. Hal itu memudahkan Rasul untuk menyeru masyarakat untuk
berperilaku lebih baik. Seruan yang bergema sampai sekarang, bahkan masa
mendatang.
Suasana damai tersebut bukan tanpa ancaman. Di
Mekah, kaum Qurais menggalang kekuatan besar. Bagi mereka, kuatnya muslim
adalah duri yang harus disingkirkan. Apalagi, Madinah berada di tengah
jalur perdagangan Mekah-Syam. Maka, Abu Sofyan menggalang kekuatan 3000
orang, termasuk 100 orang asal Thaqif. Sekitar 700 orang diantarany
mengenakan baju besi, dan 200 orang pasukan berkuda. Sebanyak 3000 unta
mendukung serangan itu.
Muhammad dan masyarakat Muslim tak tahu rencana
itu. Sampai kemudian Muhammad menerima surat dari pamannya yang masih
kafir, Abbas bin Abdul Muthalib, yang membocorkan rencana tersebut. Orang
dari Ghifar yang menjadi kurir Abbas menemui Muhammad di Masjid Quba. Ubay
bin Ka'b diminta Muhammad membaca surat itu. Mereka kemudian kembali
Madinah, membahas ancaman Qurais. Anas dan Mu'nis anak Fudzala yang diminta
menyelidiki keadaan, melaporkan bahwa musuh telah berada di sekitar Uhud,
pinggiran kota Madinah.
Perdebatan berlangsung. Muhammad cenderung untuk
bertahan di Madinah. Demikian pula para orang-orang tua asli Madinah,
apalagi orang-orang Yahudi. Namun para anak muda --terutama yang belum ikut
Perang Badar-mendesak agar mereka menyongsong musuh. Suara terbanyak
menghendaki itu. Rasul pun mengalah pada keinginan demokratis tersebut.
Hari itu hari Jumat. Muhammad mengimami salat
Jumat, kemudian kembali ke kamarnya. Abu Bakar dan Umar menyusul masuk,
membantu Muhammad mengenakan sorban dan baju besinya. Rasulullah saat itu
berusia sekitar 58 tahun. Ia memimpin sendiri pasukannya yang berkekuatan
700-an orang. Mereka segera menuju bukit Uhud. Sebanyak 50 orang ditugasi
Muhammad untuk menjadi pemanah. Mereka harus menempati posisi di lereng
bukit, tanpa boleh pergi, kecuali diperintahkan Muhammad.
Kaum Yahudi juga telah menyiapkan pasukan.
Muhammad melarang pasukannya, "minta pertolongan orang musrik untuk
melawan orang musrik." Benar, pasukan Yahudi -yang semestinya juga
harus ikut mempertahankan Madinah-membubarkan diri.
Malam itu, mereka bersiaga di lereng-lereng
Uhud. Rasul pun menyerahkan pedangnya pada Abu Dujana. Pagi hari tanggal 15
Syawal, tahun kelima Hijriah, darah mulai tumpah setelah Ali berduel dengan
komandan pasukan Qurais, Talha anak Abu Talha. Talha tewas seketika.
Selanjutnya, Ali, Hamzah dan Abu Dudjana terus berkelebat tak tertahankan.
Pedang Rasul menghantam orang-orang Qurais. Bahkan sudah di atas kepala
Hindun, namun Abu Dudjana mengurungkan. Ia mengaku tak tega membunuh
perempuan, meskipun perempuan itulah yang telah mengobarkan perang.
Hindun memimpin barisan perempuan yang membawa
tambur dan bersorak-sorai menyemangati kaum Qurais. Mereka meneriakkan
syair-syarir. Antara lain, yang dikutip Haekal, "Kamu maju, kami peluk
dan kami hamparkan kasur yang empuk; atau kamu mundur kita berpisah.
Berpisah tanpa cinta."
Keputusan Abu Dudjana keliru. Hindun ternyata
mengorganisasikan para budak, termasuk Wahsyi -budaknya asal Ethiopia. Bila
berhasil membunuh Hamzah yang telah menewaskan ayah Hindun di Perang Badar,
mereka akan dimerdekakan dari perbudakan. Wahsyi berhasil menghunjamkan
tombaknya menembus perut bagian bawah. Tombak terus menancap sampai paman
Nabi itu wafat. Konon, Hindun kemudian membelah dada Hamzah dan memakan
jantung korban.
Bayang-bayang Perang Badar seperti kembali
terlihat, pagi itu. Kaum Qurais mulai kalang-kabut meninggalkan arena.
Orang-orang Islam mengejar-kejar mereka. Namun kemudian mereka tergoda oleh
harta jarahan. Mereka segera berebut harta yang ditinggalkan orang-orang
Qurais. Para pemanah di puncak-puncak bukit pun berlarian mengejar barang
jarahan. Abdullah bin Juzair mengingatkan mereka untuk tidak meninggalkan
pos, namun mereka tak peduli.
Di saat demikian, pasukan berkuda Qurais
pimpinan Khalid bin Walid memutar bukit melakukan serangan balik. Pasukan
muslim yang tak lagi bersiaga kocar-kacir. Korban berjatuhan. Muhammad
terdesak hingga mundur ke puncak bukit. Ia sempat terperosok ke dalam
lubang jebakan, namun diselamatkan Ali serta Talha anak Ubaidillah. Tokoh
Qurais, Uthba bin Abi Waqas, melemparkan batu ke muka Muhammad. Dua keping
lingkaran topi baja terputus dan menyobek pipi serta bibir Muhammad. Wajah
Sang Rasul pun berdarah-darah.
Panah terus menghujani Muhammad. Namun Abu
Dudjana menggunakan punggungnya sebagai perisai untuk melindungi Rasul itu.
Saad bin Abi Waqas membalas serangan panah tersebut. Muhammad ikut
menyiapkan anak panah bagi Saad. Tak lama setelah itu, kabar kematian
Muhammad pun menyebar. Kaum Qurais bersorak-sorai. Dalam keadaan letih
mereka pun meninggalkan Uhud untuk kembali ke Mekah. Abu Bakar dan Umar
-yang tak mengetahui keberadaan Muhammad-tertunduk lesu. Anas bin Nadzr,
yang juga menyangka Rasul meninggal, kemudian mengamuk. Ia menyerang Qurais
habis-habisan sampai tubuhnya hancur nyaris tanpa dapat dikenali lagi.
Namun, masih ada satu dua Qurais yang memburu
Muhammad. Ubay bin Khalaf berhasil menemukan tempat istirahat Muhammad.
Ubay belum sempat mengayunkan pedang tatkala Muhammad berhasil menyambar
tombak Harith anak Shimma, dan menghunjamkannya. Ali kemudian membasuh muka
Muhammad yang berdarah-darah. Abu Ubaida mencabut pecahan besi yang
menembus wajah Muhammad, sehingga dua gigi Rasul itu tanggal.
Mereka semua kemudian salat dzuhur berjamaah
sambil duduk. Rasulullah menjadi imamnya. Senja hari, mereka tertatih-tatih
menuruni bukit, menghampiri satu demi satu kaum Muslimin yang menjadi
korban, lalu memakamkan mereka. 70 orang telah syahid.
Muhammad dan pasukannya kembali ke kota Medinah
dengan suasana pilu. Kaum Yahudi menyaksikan mereka dari balik jendela
rumah masing-masing. Senyum mengembang di bibir para Yahudi itu. Namun,
mereka keliru bila menyangka semangat Muslimin telah runtuh. Esok paginya,
Rasul mengerahkan pasukan mengejar pasukan Qurais. Mereka menunggu tiga
hari dan menyalakan api unggun sekiranya kaum Qurais berani bertempur. Abu
Sofyan, yang telah letih berperang, memerintahkan pasukannya untuk terus
pulang ke Mekah.
Umrah Pertama
Sungguh itu bukan pemandangan lazim. Hari itu,
kaum Qurais berbondong-bondong meninggalkan Mekah. Tua, muda dan anak-anak,
laki-laki maupun perempuan, tanpa kecuali. Orang-orang itu mendaki
bukit-bukit di sekitar Mekah. Perhatian mereka tertuju pada kepulan debu
yang membubung dari arah utara.
Ya, dari utara -dari arah Madinah-sekitar 2000
orang tengah mendekati Mekah. Mereka adalah rombongan Rasulullah. Setahun
sebelumnya, dalam jumlah yang lebih kecil, mereka telah mencoba memasuki
Mekah untuk ziarah. Perjalanan itu tertahan di Hudaibiya -tempat kedua
pihak meneken perjanjian. Dalam perjanjian itu, Muhammad dan rombongan baru
boleh datang ke Mekah setahun kemudian. Jika saat itu tiba, kaum Qurais
akan menyingkir sementara dari Mekah.
Setahun telah berlalu. Pada bulan suci ini,
Muhammad benar-benar datang bersama umat Islam lainnya. Mereka semua larut
dalam seruan "labbaika, labbaika" yang tak putus-putusnya
membahana. Sudah sekitar tujuh tahun meninggalkan kota tempat ka'bah itu
berada. Kini "rumah Allah" tersebut telah berada di hadapannya.
Muhammad menyelempangkan jubah ke pundak
kirinya. Dibiarkannya pundak dan lengan kanannya terbuka. Saat itu pula, ia
berdoa "Allahumarham, amra-a arahumulyauma min nafsihi quwwata."
(Ya Allah, berikan rahmat kepada orang yang hari ini telah memperlihatkan
kemampuan dirinya").
Ia lalu melangkah menyentuh hajar aswad di sudut
ka'bah, lalu berlari kecil hingga Rukun Yamani atau sudut selatan yang
merupakan sudut ketiga, dan kemudian berjalan kembali untuk menyentuh hajar
aswad. Hal demikian dilakukannya tiga kali. Selebihnya Muhammad
mengelilingi ka'bah dengan arah yang berlawanan dengan putaran jarum jam
itu dengan berjalan kaki. Ribuan umat Islam mengikuti setiap gerakan
Muhammad. Sebuah pemandangan yang mempesona orang-orang Qurais yang
menyaksikan dari lereng-lereng bukit.
Abdullah bin Rawaha tidak dapat menahan diri
untuk larut dalam suasana tersebut. Ia nyaris meneriakkan tantangan perang
pada Qurais. Namun Umar bin Khattab mencegahnya. Sebagai pelampiasannya,
Umar menyarankan Abdullah untuk meneriakkan kata yang sekarang cukup
dikenal oleh masyarakat Islam: "La ilaha illallah wahdah, wanashara
abdah, wa'a'azza jundah, wakhadalal ahzaba wahdah". ("Tiada Tuhan
selain Allah Yang Esa, yang menolong hamba-Nya, memperkuat tentara-Nya dan
menghancurkan sendiri musuh yang bersekutu.")
Abdullah terus mengulang-ulang kalimat tersebut
yang diikuti hampir seluruh umat Islam. Kata-kata itu terus bergema,
menghunjam hati-hati orang Qurais yang hanya dapat menyaksikan dari jauh.
Usai mengelilingi ka'bah, Muhammad yang
mengendarai kendaraannya, menuju bukit Shafa. Dari sana Rasul bergerak ke bukit
Marwa, dan kembali ke bukit Shafa lagi hingga tujuh kali perjalanan.
Perjalanan yang sekarang disebut sa'i ini diyakini sebagai upaya
menapaktilasi perjuangan keluarga Nabi Ibrahim, khususnya Siti Hadjar, saat
membangun baitullah, berabad-abad sebelumnya. Usai perjalanan tersebut,
sesuai tradisi orang-orang Arab masa itu, Muhammad pun bercukur rambut,
kemudian memotong kurban.
Esok harinya, Muhammad memasuki ka'bah dan terus
berada di sana sampai tiba salat dzuhur. Sebagaimana di Madinah, Bilal bin Rabah,
kemudian naik ke atap bangunan untuk mengumandangkan azan. Rasul pun
menjadi imam salat berjamaah di sana, di antara patung-patung yang masih
banyak terdapat di sekitar ka'bah.
Muhammad tinggal di Mekah selama tiga hari.
Setelah itu, ia dan rombongan kembali ke Madinah. Ada dua keuntungan yang
diperolehnya dalam perjalanan kali ini. Ia dan rombongan bukan saja dapat
menunaikan ibadah umrah -yang sering disebut pula sebagai Umrah Pengganti
(Umratul Qadha), ia juga berhasil merebut hati tokoh-tokoh penting Qurais.
Saat Muhammad di perjalanan menuju Madinah itu,
Khalid bin Walid mengejarnya dan menyatakan diri masuk Islam. Khalid adalah
seorang muda yang menjadi komandan paling cerdik pasukan Qurais. Kelak ia
banyak berperan dalam sejumlah ekspedisi militer kalangan Islam. Setelah
Khalid, Amr bin Ash serta Ustman anak Talha yang menjadi penjaga ka'bah,
menyusul masuk Islam. Setelah Rasul wafat, Amr banyak menimbulkan persoalan
terutama menyangkut perselisihannya dengan Ali bin Abu Thalib.
Umrah ditunaikan. Kota Mekah tinggal sesaat lagi
untuk sepenuhnya berada dalam kendali Rasulullah.
Wafat
Syam. Wilayah ini tampaknya mempunyai tempat
yang khusus di hati Rasulullah. Sewaktu kecil, ia pernah dibawa pamannya
--Abu Thalib-untuk berdagang ke daerah tersebut. Di waktu muda, ia pernah
pergi ke sana untuk menjadi manajer misi dagang milik Khadijah. Setelah
menjadi Rasul, ia juga pernah memimpin ekspedisi militer terbesar yang
mengarah ke Syam, yakni ekspedisi Tabuk. Kini terpikir kembali oleh Rasul
untuk kembali mengirim ekspedisi ke Palestina dan Syam.
Para sahabat pilihan telah ditunjuk Rasul. Ia
juga telah mengangkat Usama putra Zaid bin Haritha --anak angkat Rasul yang
gugur di pertempuran Mu'ta-untuk menjadi komandan. Sebuah keputusan
kontroversial masa itu, karena Usama belum berusia 20 tahun.
Seluruh perlengkapan sudah disiapkan. Kuda-kuda
telah siap dipacu. Tiba-tiba Rasulullah jatuh sakit. Terkisahkan bahwa
dalam sakitnya, Rasul sulit untuk tidur. Tengah malam, ia lalu keluar rumah
dengn ditemani oleh pembantunya, Abu Muwayba. Rasul -menurut kisah
ini-pergi ke Baqi' Gharqad, pemakaman muslim di Madinah. Di sana Rasul
berdoa untuk orang-orang yang telah wafat, dan seperti berbicara pada para
ahli kubur.
Demam Rasul semakin hari semakin bertambah.
Namun ia mencoba tetap melakukan aktivitas biasa. Beberapa kisah menyebut
bahwa Rasul masih bercanda dengan istrinya, Aisyah, di saat sakit. Namun
suatu hari, ketika Muhammad di rumah Maimunah, serangan demam menguat.
Muhammad tak dapat berbuat apapun selain berbaring. Ia kemudian dipindahkan
ke tempat Aisyah.
Dikisahkan pula bahwa begitu hebat serangan
demam itu sehingga Muhammad merasa seperti terbakar. Hal ini menunjukkan
bahwa Muhammad -meskipun dipilih Allah menjadi Rasul-Nya-tetaplah seorang
manusia biasa. Ia punya perasaan sedih dan gembira sebagaimana manusia
biasa. Ia juga merasakan sakit secara normal. Untuk mengurangi rasa panas
itu, Muhammad minta disiram dengan "tujuh kirbat" air dari
berbagai sumur. "Cukup, cukup...!" katanya.
Rasul merasa sedikit ringan. Ia mengenakan
pakaiannya kembali, mengikat kepala, lalu pergi ke masjid. Di atas mimbar,
Muhammad mengucap banyak puji syukur kepada Allah, mendoakan para sahabat
yang gugur di Uhud, juga banyak lagi memanjatkan doa yang lain. Saat itu pula,
Muhammad menegaskan agar semua mendukung Usama untuk melaksanakan misi yang
telah direncanakan. "Dia sudah pantas memimpin seperti ayahnya dulu
juga pantas memimpin."
Rasul juga mengatakan bahwa "Seorang hamba
Allah oleh Tuhan telah disuruh memilih antara di dunia ini atau di
sisi-Nya, maka ia memilih di sisi Tuhan." Muhammad lalu terdiam. Ia
tidak menyebut siapa hamba yang diminta Tuhan untuk memilih itu. Hadirin
pun terdiam. Sejenak suasana masjid menjadi senyap. Baru kemudian Abu Bakar
memecah keheningan dengan tekadnya untuk menebus jiwa Muhammad dengan jiwa
kami dan anak-anak kami. Abu Bakar tahu, yang dimaksud "hamba
Allah" oleh Muhammad adalah Muhammad sendiri.
"Sabarlah, Abu Bakar," hibur Muhammad.
Dengan bersusah payah ia lalu meninggalkan masjid. Namun, sebelum pulang,
ia sempat berpesan agar kaum Muhajirin terus menjaga Anshar.
Usama dan pasukannya masih menunggu di Madinah.
Keadaan Rasul semakin parah. Untuk menjadi imam masjid, Muhammad minta agar
orang-orang menghubungi Abu Bakar. Aisyah -putri Abu Bakar-protes karena
suara ayahnya terlalu pelan untuk menjadi imam, dan sering menangis saat
membaca ayat-ayat Quran. Namun Rasul tetap minta agar Abu Bakar yang
menjadi imam. Ketika terdengar suara Umar yang keras mengimami salat di
masjid, Rasul berkata: "Mana Abu Bakar?" Belakangan, banyak orang
percaya, bahwa kejadian tersebut adalah isyarat Rasul agar kaum Muslimin
memilih Abu Bakar sebagai penggantinya kelak.
Begitu parah keadaan Muhammad. Ia sempat pingsan
beberapa lama. Rasul juga minta istrinya agar menyedekahkan uang miliknya
yang cuma tujuh dinar. Ia tak ingin meninggal dengan masih memiliki
kekayaan -betapapun sedikit-- di tangan.
Demam Rasul tampak mereda. Dengan kepala diikat,
dan ditopang oleh Ali bin Abu Thalib dan Fadzil bin Abbas, Rasul ke masjid.
Abu Bakar yang tengah menjadi imam menyisih untuk memberi tempat pada
Muhammad. Namun Muhammad mendorong Abu Bakar untuk terus menjadi imam. Ia
salat sambil duduk di sebelah kanan Abu Bakar.
Orang-orang gembira. Muhammad telah menunjukkan
tanda-tanda sembuh. Usama segera pamit pada Rasul untuk melaksanakan
ekspedisinya. Namun, kemudian, hari itu tiba. Di musim panas, yang
diperkirakan tanggal 8 Juni 632, Rasulullah wafat di pangkuan Aisyah.
Diriwayatkan, hari itu Muhammad meminta diambilkan air dingin. Ia mengusap
wajah dengan air itu, lalu bersiwak. Menurut Aisyah, Rasul sempat berdoa
untuk dimudahkan dalam menghadapi sakaratul maut. Kemudian tubuhnya terasa
memberat.
Kini pemimpin, sahabat, bahkan kekasih seluruh
umat Islam itu menghadap-Nya. Umat terguncang. Umar sempat mengancam akan
memotong kaki siapapun yang mengatakan Muhammad meninggal. Namun Abu Bakar
mengingatkan semua dengan membacakan ayat Quran, Surat Ali Imran ayat 144:
"Muhammad hanyalah Rasul sebagaimana para rasul sebelumnya. Bila ia
wafat atau terbunuh, apakah kamu akan berbalik ke belakang?......"
Dua puluh tiga tahun Muhammad menjadi Rasul. Di
Madinah, selama 10 tahun -setara dengan dua kali masa jabatan presiden
sekarang-Muhammad menjadi pemimpin bangsa. Muhammad pun wafat dengan
meninggalkan "keteladanan yang sempurna" untuk menjalani
kehidupan. Selebihnya, ia menyerahkan pada setiap muslim -yang seluruhnya
telah dibekali Allah dengan nurani dan akal-untuk mengadaptasi keteladanan
itu sesuai dengan masa dan situasi yang berbeda-beda.
|