Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury
POSISI BANGSA ARAB DAN KAUMNYA
Pada hakikatnya istilah Sirah Nabawiyah
merupakan ungkapan tentang risalah yang dibawa Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wasallam kepada manusia, untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan
menuju cahaya, dari 'ibadah kepada hamba menuju 'ibadah kepada Allah. Dan
tidak mungkin bisa menghadirkan gambarannya yang amat menawan secara pas
dan mengena kecuali setelah melakukan perbandingan antara latar belakang
risalah ini (risalah Nabawiyyah) dan pengaruhnya. Berangkat dari sinilah
kami merasa perlu mengemukakan fasal yang berbicara tentang kaum-kaum 'Arab
dan perkembangannya sebelum Islam, serta tentang kondisi-kondisi saat Nabi
Muhammad diutus.
Posisi Bangsa Arab
Menurut bahasa, 'Arab artinya padang pasir,
tanah gundul dan gersang yang tiada air dan tanamannya. Sebutan dengan
istilah ini sudah diberikan sejak dahulu kala kepada jazirah Arab,
sebagaimana sebutan yang diberikan kepada suatu kaum yang disesuaikan
dengan daerah tertentu, lalu mereka menjadikannya sebagai tempat tinggal.
Jazirah Arab dibatasi Laut Merah dan gurun Sinai
di sebelah barat, di sebelah timur dibatasi teluk Arab dan sebagian besar
negara Iraq bagian selatan, di sebelah selatan dibatasi laut Arab yang
bersambung dengan lautan India dan di sebelah utara dibatasi negeri Syam
dan sebagian kecil dari negara Iraq, sekalipun mungkin ada sedikit
perbedaan dalam penentuan batasan ini. Luasnya membentang antara satu juta
mil kali satu juta tiga ratus ribu mil.
Jazirah Arab memiliki peranan yang sangat besar
karena letak geografisnya. Sedangkan dilihat dari kondisi internalnya,
Jazirah Arab hanya dikelilingi gurun dan pasir di segala sudutnya. Karena
kondisi seperti inilah yang membuat jazirah Arab seperti benteng pertahanan
yang kokoh, yang tidak memperkenankan bangsa asing untuk menjajah, mencaplok
dan menguasai Bangsa Arab. Oleh karena itu kita bisa melihat penduduk
jazirah Arab yang hidup merdeka dan bebas dalam segala urusan semenjak
zaman dahulu. Sekalipun begitu mereka tetap hidup berdampingan dengan dua
imperium yang besar saat itu, yang serangannya tak mungkin bisa dihadang
andaikan tidak ada benteng pertahanan yang kokoh seperti itu.
Sedangkan hubungannya dengan dunia luar, Jazirah
Arab terletak di benua yang sudah dikenal semenjak dahulu kala, yang
mempertautkan daratan dan lautan. Sebelah barat Laut merupakan pintu masuk
ke benua Afrika, sebelah timur laut merupakan kunci untuk masuk ke benua
Eropa dan sebelah timur merupakan pintu masuk bagi bangsa-bangsa non-Arab,
timur tengah dan timur dekat, terus membentang ke India dan Cina. Setiap benua
mempertemukan lautnya dengan Jazirah Arab dan setiap kapal laut yang
berlayar tentu akan bersandar di ujungnya.
Karena letak geografisnya seperti itu pula,
sebelah utara dan selatan dari jazirah Arab menjadi tempat berlabuh
berbagai bangsa untuk saling tukar-menukar perniagaan, peradaban, agama dan
seni.
Kaum-kaum Arab
Ditilik dari silsilah keturunan dan
cikal-bakalnya, para sejarawan membagi kaum-kaum Arab menjadi tiga bagian,
yaitu:
Arab Bâ-idah, yaitu kaum-kaum Arab terdahulu
yang sudah punah dan tidak mungkin sejarahnya bisa dilacak secara rinci dan
komplit, seperti 'Ad, Tsamud, Thasm, Judais, 'Imlaq dan lain-lainnya.
Arab 'ÂAribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal
dari keturunan Ya'rib bin Yasyjub bin Qahthan, atau disebut pula Arab
Qahthaniyah.
Arab Musta'ribah. yaitu kaum-kaum Arab yang
berasal dari keturunan Isma'il, yang disebut pula Arab 'Adnaniyah.
Tempat kelahiran Arab 'ÂAribah atau kaum Qahthan
adalah negeri Yaman, lalu berkembang menjadi beberapa kabilah dan suku,
yang terkenal adalah dua kabilah:
Kabilah Himyar, yang terdiri dari beberapa suku
terkenal, yaitu Zaid Al-Jumhur, Qudhâ'ah dan Sakâsik.
Kahlân, yang terdiri dari beberapa suku terkenal
yaitu Hamadan, Anmar, Thayyi', Madzhaj, Kindah, Lakham, Judzam, Azd, Aus,
Khazraj, anak keturunan Jafnah raja Syam dan lain-lainnya. Suku-suku Kahlân
banyak yang hijrah meninggalkan Yaman, lalu menyebar ke berbagai penjuru
Jazirah menjelang terjadinya banjir besar saat mereka mengalami kegagalan
dalam perdagangan. Hal ini sebagai akibat dari tekanan Bangsa Romawi dan
tindakan mereka menguasai jalur perdagangan laut dan setelah mereka
menghancurkan jalur darat serta berhasil menguasai Mesir dan Syam, (dalam
riwayat lain) dikatakan : bahwa mereka hijrah setelah terjadinya banjir
besar tersebut.
Juga tidak menutup kemungkinan jika hal itu
sebagai akibat dari persaingan antara suku-suku Kahlan dan suku-suku
Himyar, yang berakhir dengan keluarnya suku-suku Himyar dan pindahnya
suku-suku Kahlân.
Suku-Suku Kahlân yang berhijrah bisa dibagi
menjadi empat golongan :
Azd ; Kehijrahan mereka langsung dipimpin oleh
pemuka dan pemimpin mereka, 'Imran bin 'Amru Muzaiqiya'. Mereka
berpindah-pindah di negeri Yaman dan mengirim para pemandu; lalu berjalan
ke arah utara dan timur. Dan inilah rincian akhir tempat-tempat yang pernah
mereka tinggali setelah perjalanan mereka tersebut : Tsa'labah bin Amru
pindah dari al-Azd menuju Hijaz, lalu menetap diantara (tempat yang
bernama) Tsa'labiyah dan Dzi Qar. Setelah anaknya besar dan kuat, dia
pindah ke Madinah dan menetap disana. Dan diantara keturunan Tsa'labah ini
adalah Aus dan Khazraj, yaitu dua orang anak dari Haritsah bin Tsa'labah.
Diantara keturunan mereka yang bernama Haritsah
bin 'Amr (atau yang dikenal dengan Khuza'ah) dan anak keturunannya
berpindah ke Hijaz, hingga mereka singgah di Murr azh-Zhahran, yang
selanjutnya membuka tanah suci dan mendiami Makkah serta mengekstradisi
penduduk aslinya, al-Jarahimah. Sedangkan 'Imran bin 'Amr singgah di Omman
lalu bertempat tinggal di sana bersama anak-anak keturunannya, yang disebut
Azd Omman, sedangkan kabilah-kabilah Nashr bin aI-Azd menetap di Tuhâmah,
yang disebut Uzd Syanû-ah. Jafnah bin 'Amr pergi ke Syam dan menetap di
sana bersama anak keturunannya. Dia dijuluki Bapak para raja
al-Ghassâsinah, yang dinisbatkan kepada mata air di Hijaz, yang dikenal
dengan nama Ghassân yang telah mereka singgahi sebelum akhimya pindah ke
Syam.
Lakhm dan Judzam; mereka pindah ke bagian Timur
dan Barat. Tokoh di kalangan mereka adalah Nashr bin Rabi'ah, pemimpin
raja-raja Al-Manadzirah di Hirah.
Bani Thayyi' ; Mereka berpindah ke arah utara
setelah perjalanan Azd hingga singgah di antara dua gunung; Aja dan Salma,
dan akhirnya menetap di sana dan kedua gunung tersebut kemudian dekenal
dengan dua gunungThayyi'.
Kindah; Mereka singgah di Bahrain, kemudian
terpaksa meninggalkannya dan singgah di Hadhramaut. Namun nasib mereka
tidak jauh berbeda dengan apa yang menimpa mereka saat berada di Bahrain,
hingga mereka pindah lagi ke Najd. Di sana mereka mendirikan pemerintahan
yang besar dan kuat. Tapi pemerintahan itu cepat berakhir tanpa
meninggalkan bekas sedikitpun. Di sana ada satu kabilah Himyar yaitu
Qudha'ah (meskipun masih diperselisihkan penisbatannya kepada Himyar)yang
meninggalkan Yaman dan bermukim di daerah pedalaman as-Samawah, pinggiran
Iraq.*
* Lihat rincian tentang kabilah-kabilah ini dan
hijrahnya dalam buku-buku: "Nasab Ma'd wal Yaman al-Kabir",
"Jamharatun Nasab", "al-'Iqdul Farid", "Qalaidul
Jumman", "Nihayatul Arib", "Tarikh Ibni Khaldun",
"Saba-ikuz Zahab" , dll. Dan terdapat perbedaan yang cukup
mencolok dalam berbagai referensi sejarah dalam menetapkan periode
hijrah-hijrah yang mereka lakukan dan sebab-sebabnya. Tapi setel•h
mengamati secara cermat dari berbagai sudut pandang, maka kami telah menetapkan
pendapat yang kami anggap kuat dalam bab ini berdasarkan dalil yang ada.
Adapun Arab Musta'ribah, mereka merupakan cikal
bakal dari nenek moyang mereka yang tertua Ibrahim 'Alaihis-Salam, yang
berasal dari negeri Iraq, dari sebuah kota yang disebut Ar, dan terletak di
pinggir barat sungai Eufrat, berdekatan dengan Kufah. Cukup banyak upaya
penggalian dan pengeboran yang dilakukan untuk mengungkap rincian yang
mendetail tentang kota ini dan keluarga Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam serta
kondisi religius dan sosial yang ada di negeri itu.
Sudah diketahui bersama bahwa Ibrahim ' Alaihis
Salam hijrah dari Iraq ke Hâran atau Hirran, termasuk pula ke Palestina,
dan menjadikan negeri itu sebagai pijakan/markas dakwah beliau. Beliau
banyak menyusuri pelosok negeri ini dan lainnya, dan beliau pernah sekali
mengunjungi Mesir. Fir-'aun (sebutan bagi penguasa Mesir) kala itu berupaya
untuk melakukan tipu daya dan niat buruk terhadap istri beliau, Sarah.
Namun Allah membalas tipu dayanya (senjata makan tuan). Dan tersadarlah
Fir'aun itu betapa kedekatan hubungan Sarah dengan Allah hingga akhirnya ia
jadikan anaknya,** Hajar sebagai abdinya (Sarah). Hal itu dia lakukan
sebagai tanda pengakuannya terhadap keutamaannya, kemudian dia (Hajar)
dikawinkan oleh Sarah dengan Ibrahim. Ibrahim Alaihis Salam kembali ke
Palestina dan Allah menganugerahinya Isma'il dari Hajar. Sarah terbakar api
cemburu. Dia memaksa Ibrahim untuk mengekstradisi Hajar dan putranya yang
masih kecil, Isma'il. Maka beliau membawa keduanya ke Hijaz dan menempatkan
mereka berdua di suatu lembah yang tiada ditumbuhi tanaman (gersang dan
tandus) di sisi Baitul Haram, yang saat itu hanyalah berupa
gunduka~gundukan tanah. Rasa gundah mulai menggayuti pikiran Ibrahim,
Beliau menoleh ke kiri dan kanan, lalu meletakkan mereka berdua di dalam
tenda, diatas mata air zamzam, bagian atas masjid. Dan pada saat itu tak
ada seorang pun yang tinggal di Makkah dan tidak ada mata air. Beliau
meletakkan didekat mereka kantong kulit yang berisi kurma, dan wadah air.
Setelah itu beliau kembali lagi ke Palestina. Berselang beberapa hari
kemudian, bekal dan air pun habis. Sementara tidak ada mata air yang
mengalir. Disana tiba-tiba mata air Zamzam memancar berkat karunia Allah,
sehingga bisa menjadi sumber penghidupan bagi mereka berdua hingga batas
waktu tertentu. Kisah mengenai hal ini sudah banyak diketahui secara
lengkapnya.
** Menurut kisah yang sudah banyak dikenal,
Hajar adalah seorang budak wanita. Tetapi seorang penulis kenamaan,
al-'Allamah al-Qadhy Muhammad Sulaiman Al-Manshurfury telah melakukan
penelitian secara seksama bahwa Hajar adalah seorang wanita merdeka, dan
dia adalah putri Fir'aun sendiri. Lihat buku "Rahmatun lil'alamin,
2/3637 dan juga buku "Tarikh Ibni Khaldun", 2/1/77.
Suatu kabilah dari Yaman (Jurhum Kedua) datang
setelah itu dan bermukim di Mekkah atas perkenan dari ibu Isma'il . Ada
yang mengatakan, mereka sudah berada di sana sebelum itu, tepatnya di
lembah-lembah di pinggir kota Makkah. Adapun riwayat Bukhari menegaskan
bahwa mereka singgah di Mekkah setelah kedatangan Isma'il dan ibunya,
sebelum Isma'il menginjak remaja. Mereka sudah biasa melewati lembah Makkah
ini sebelum itu.
Dari waktu ke waktu Ibrahim datang ke Makkah
untuk menjenguk keluarganya. Dalam hal ini tidak diketahui berapa kali
kunjungan/perjalanan yang dilakukannya, Hanya saja menurut beberapa
referensi sejarah yang dapat dipercaya, kunjungan itu dilakukan sebanyak
empat kali. Allah telah menyebutkan di dalam Al-Qur'an, bahwa Dia Ta'ala
memperlihatkan Ibrahim dalam mimpinya seolah-olah dia menyembelih anaknya,
Isma'il. Maka beliau langsung melaksanakan perintah ini. Allah berfirman :
"Tatkala keduanya telah berserah diri dan
Ibrahim menbaringkan onaknya atar pelipis(nya), (nyatalah kesabaran
keduanya). Dan, kami panggillah dia, 'Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah
mrmbenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar ujian yang
nyata. Dan, Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. "
(Ash-Shaffat: 103-107).
Didalam Kitab Kejadian disebutkan bahwa umur
Isma'il selisih tiga belas tahun lebih tua dari Ishaq. Secara tekstual,
kisah ini menunjukkan bahwa peristiwa itu tejadi sebelum kelahiran Ishaq
sebab kabar gembira tentang kelahiran Ishaq disampaikan setelah pengupasan
kisah ini secara keseluruhan.
Setidak-tidaknya kisah ini mengandung satu kisah
perjalanan sebelum Isma'il menginjak remaja. Sedangkan tiga kisah
selanjutnya telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara panjang lebar dari
Ibnu 'Abbas secara marfu', yang intinya bahwa ketika remaja Isma'il dan
belajar bahasa Arab dari kabilah Jurhum, mereka merasa tertarik kepadanya,
lalu mereka mengawinkannya dengan salah seorang wanita golongan mereka dan
saat itu ibu Isma'il sudah meninggal dunia. Maka suatu saat Ibrahim hendak
menjenguk keluarga yang ditinggalkannya setelah terjadinya pernikahan
tersebut, beliau tidak mendapatkan Isma'il, lalu beliau bertanya kepada
istrinya mengenai suaminya, Isma'il dan kondisi mereka berdua. Istri Isma'il
mengeluhkan kehidupm mereka yang melarat. Maka Ibrahim menitip pesan agar
suaminya nanti mengganti palang pintu rumahnya. Setelah diberitahu, Isma'il
mengerti maksud pesan ayahnya. Maka Isma'il menceraikan istrinya itu dan
kawin lagi dengan wanita lain, yaitu putri Madhdhadh bin 'Amr, pemimpin dan
pemuka kabilah Jurhum menurut pendapat kebanyakan (sejarawan-pen).
Setelah perkawinan Isma'il yang kedua ini,
Ibrahim datang lagi, namun tidak bertemu dengan Isma'il lalu akhirnya
kembali ke Palestina setelah beliau menanyakan kepada istrinya tersebit
tentang Isma'il dan kondisi mereka berdua, isterinya memuij kepada Allah
(atas apa yang dianugerahkan kepada mereka berdua). Kemudian Ibrahim
kembali menitip pesan lewat istri Isma'il, agar Isma'il memperkokoh palang
pintu rumahnya. Pada kedatangan yang ketiga kalinya Ibrahim bisa bertemu
dengan Isma'il, yang saat itu sedang meraut anak panahnya di bawah sebuah
pohon di dekat zamzam. Tatkala melihat kehadiran ayahnya, Isma'il berbuat
sebagaimana layaknya seorang anak yang lama tidak bersua bapaknya, begitu
juga dengan Ibrahim. Pertemuan ini terjadi setelah sekian lama yang sangat
jarang dijumpai seorang ayah yang penuh rasa kasih sayang dan lemah lembut
bisa menahan kesabaran untuk bersua anaknya, begitu pula dengan Isma'il,
sebagai anak yang berbakti dan shalih. Dan kali ini mereka berdua membangun
Ka'bah dan meninggikan pondasinya. Kemudian Ibrahim pun mengumumkan kepada
khalayak agar melakukan haji sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah
kepadanya.
Dari perkawinannya dengan putri Madhdhadh,
Isma'il dikaruniai oleh Allah sebanyak dua belas orang anak yang semuanya
laki-laki, yaitu: Nabat atau Nabayuth, Qidar, Adba-il, Mubsyam, Misyma',
Duma, Misya, Hidad, Yatma, Yathur, Nafis dan Qaidaman. Dari mereka inilah
kemudian berkembang menjadi dua belas kabilah, yang semuanya menetap di
Mekkah untuk beberapa lama. Mata pencaharian mayoritas mereka adalah
berdagang dari negeri Yaman ke negeri Syam dan Mesir. Selanjutnya
kabilah-kabilah ini menyebar di berbaga i penjuru Jazirah, dan bahkan
hingga keluar Jazirah, kemudian seiring dengan pejalanan waktu, keadaan
mereka tidak lagi terdeteksi, kecuali anak keturunan Nabat dan Qidar.
Peradaban anak keturunan Nabat mengalami
kemajuan di bagian utara Hijaz. Mereka mampu mendirikan pemerintahan yang
kuat dan menguasai daerah-daerah di sekitarnya, dan menjadikan Al-Bathra'
sebagai ibukotanya. Tak seorangpun yang mampu melawan mereka hingga
datangnya pasukan Romawi yang berhasil melindas mereka. Sekelompok Peneliti
berpendapat bahwa raja-raja keturunan keluarga besar Ghassan, termasuk juga
kaum Anshor dari suku Aus dan Khazraj bukan berasal dari keturunan keluarga
besar Qahthan, tetapi mereka adalah dari keturunan keluaraga besar Nabat,
anak Isma'il dan sisa-sisa mereka masih berada di kawasan itu, dan pendapat
ini diambil oleh Imam Bukhari sedangkan Imam Ibnu Hajar menguatkan pendapat
yang mengatakan bahwa anak keturunan keluarga besar Qahthan adalah berasal
dari keturunan keluarga besar Nabat.
Adapun anak keturunan Qidar bin Isma'il masih
menetap di Makkah, beranak pinak di sana hingga menurunkan 'Adnan dan
anaknya Ma'ad. Dari dialah orang-orang Arab Adnaniyah menisbatkan nasab
mereka. Dan Adnan adalah nenek moyang kedua puluh satu dalam silsilah
keturunan Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam. Diriwayatkan bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi Wasallam, jika beliau menyebutkan nasabnya dan sampai
kepada Adnan, maka beliau berhenti dan bersabda, "Para ahli silsilah
nasab banyak yang berdusta", lalu beliau tidak melanjutkannya.
Segolongan ulama memperbolehkan mengangkat nasab dari Adnan ke atas dan
melemahkan (mendho'ifkan) hadits yang mengisyaratkan hal itu (hadits yang
disebut diatas). Menurut mereka berdasarkan penelitian yang detail;
sesungguhnya antara Adnan dan Ibrahim 'Alaihis-Salam terdapat empat puluh
keturunan.
Keturunan Ma'ad dari anaknya, Nizar telah
berpencar kemana-mana (menurut suatu pendapat, Nizar adalah satu-satunya
anak Ma'ad). Dan Nizar sendiri mempunyai empat orang anak, yang kemudian berkembang
menjadi empat kabilah yang besar, yaitu: Iyad, Anmar, Rabi'ah dan Mudhar.
Dua kabilah terakhir inilah yang paling banyak marga dan sukunya. Sedangkan
dari Rabi'ah muncul Asad bin Rabi'ah, Anzah, Abdul-Qais, dua anak Wa-il
;Bakr dan Taghlib, Hanifah dan lain-lainnya.
Sedangkan kabilah Mudhar berkembang menjadi dua
suku yang besar, yaitu Qais 'Ailan bin Mudhar dan marga-marga Ilyas bin
Mudhar. Dan dari Qais 'Ailan muncul Bani Sulaim, Bani Hawazin, Bani
Ghathafan. Kemudian dari Ghathafan muncul 'Abs, Dzibyan, Asyja' dan Ghany
bin A'shar.
Dari Ilyas bin Mudhar muncul Tamim bin Murrah,
Hudzail bin Mudrikah, Bani Asad bin Khuzaimah dan marga-marga Kinanah bin
Khuzaimah. Dan dari Kinanah muncul Quraisy, yaitu anak keturunan Fihr bin
Malik bin an-Nadhar bin Kinanah.
Quraisy terbagi menjadi beberapa kabilah, yang
terkenal adalah Jumuh, Sahm, 'Udai, Makhzum, Tim, Zuhrah dan suku-suku
Qushay bin Kilab, yaitu Abdud Dar bin Qushay, Asad bin Abdul 'Uzza bin
Qushay dan Abdu Manaf bin Qushay.
Sedangkan Abdu Manaf mempunyai empat anak: Abdu
Syams, Naufal, al-Muththalib dan Hasyim. Hasyim adalah keluarga yang
dipilih oleh Allah yang diantaanya muncul Muhammad bin Abdullah bin
Abdul-Muththalib bin Hasyim. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah
bersabda:
"Sesungguhnya Allah telah memilih isma'il
dari anak keturunan Ibrahim, memilih Kinanah dari anak keturunan Isma'il,
memilih Quraisy dari anak keturunan Bani Kinanah, memilih Bani Hasyim dari
keturunan Quraisy dan memilihku dari keturuan Bani Hasyim. ".(H.R.
Muslim dan at-Turmudzy).
Dari al-'Abbas bin Abdul Muththalib, dia
berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk,
lalu Dia menjadikanku dan sebaik-baik golongan mereka dan sebaik-baik dua
golongan, kemudian memilih beberapa kabilah, lalu menjadikanku diantara
sebaik-baik kabilah, kemudian memilih beberapa keluarga Ialu menjadikanku
diantara sebaik-baik keluarga mereka, maka aku adalah sebaik-baik jiwa
diantara mereka dan sebaik-baik keluarga diantara mereka".
(Diriwayatkan oleh at-Turmudzy).
Setelah anak-anak 'Adnan beranak-pinak, mereka
berpencar diberbagai tempat di penjuru jazirah Arab, menjelajahi
tempat-tempat yang banyak curah hujannya dan ditumbuhi oleh tanaman.
Abdul Qais dan keturunan Bakr bin Wa-il serta
keturunan Tamim pindah ke Bahrain dan menetap di sana. Sedangkan Bani
Hanifah bin Sha'b bin Ali bin Bakr bergerak menuju Yamamah dan singgah di
Hijr, ibukota Yamamah. Semua keluarga Bakr bin Wa-il menetap di berbagai
penjuru tanah Jazirah, mulai dari Yamamah, Bahrain, Saif Kazhimah hingga
mencapai laut, kemudian tanah kosong Iraq, al-Ablah hingga Haita.
Taghlib menetap di Jazirah dekat kawasan Eufrat,
diantaranya terdapat suku-suku yang pernah hidup berdampingan dengan
(kabilah) Bakr sedangkan Bani Tamim menetap di daerah pedalaman Bashrah.
Bani Sulaim menetap dekat Madinah, dari Wadi al-Qura hingga ke Khaibar
hingga bagian timur Madinah mencapai batas dua gunung hingga berakhir di
kawasan pegungan Hurrah. Sementara Tsaqif menetap di Tha'if dan Hawazin di
timur Makkah dipinggiran Authas yaitu dalam perjalanan antara Makkah dan
Bashrah. Dan Bani Asad bermukim di timur Taima' dan barat Kufah. Mereka dan
Taima' diantarai perkampungan Buhtur dari suku Thayyi'. Sedangkan masa
perjalanan mereka dan Kufah ditempuh selama lima hari. Ada lagi suku
Dzubyan yang bermukim di dekat Taima' menuju Huran. Di Tihamah tersisa
beberapa suku-suku Kinanah, sedangkan di Makkah tinggal suku-suku Quraisy.
Mereka berpencar-pencar dan tidak ada sesuatupun yang bisa menghimpun
mereka, hingga muncul Qushay bin Kilab. Dialah yang menyatukan mereka dan
membentuk satu kesatuan yang bisa mengangkat kedudukan dan martabat mereka.
|
KEKUASAAN DAN IMARAH DI KALANGAN BANGSA ARAB
Selagi kita hendak membicarakan masalah
kekuasaan di kalangan Bangsa Arab sebelum Islam, berarti kita harus membuat
miniatur sejarah pemerintahan, imarah (keemiratan), agama dan kepercayaan
di kalangan Bangsa Arab, agar lebih mudah bagi kita untuk memahami kondisi
yang tengah bergejolak saat kemunculan Islam.
Para penguasa jazirah tatkala terbitnya matahari
Islam, bisa dibagi menjadi dua kelompok:
Raja-raja yang mempunyai mahkota, tetapi pada
hakikatnya mereka tidak memiliki independensi dan berdiri sendiri
Para pemimpin dan pemuka kabilah atau suku, yang
memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewa seperti kekuasaan para raja.
Mayoritas di antara mereka memiliki independensi. Bahkan boleh jadi
sebagian diantara mereka mempunyai subordinasi layaknya seorang raja yang
mengenakan mahkota.
Raja-raja yang memiliki mahkota adalah raja-raja
Yaman, raja-raja kawasan Syam, Ghassan dan Hirah. Sedangkan
penguasa-penguasa lainnya di jazirah Arab tidak memiliki mahkota.
Raja-raja di Yaman
Suku bangsa tertua yang dikenal di Yaman adalah
kaum Saba'. Mereka bisa diketahui lewat penemuan fosil Aur, yang hidup dua
puluh abad Sebelum Masehi (SM). Puncak peradaban dan pengaruh kekuasaan
mereka dimulai pada tahun sebelas SM.
Klasifikasi periodisasi kekuasaan mereka dapat
diperkirakan sebagai berikut :
Antara tahun 1300 SM hingga 620 SM ; pada
periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti al-Mu'iniah, sedangkan
raja-raja mereka dijuluki sebagai "Mukrib Saba'", dengan
ibukotanya Sharwah. Puing-puing peninggalan mereka dapat ditemui sekitar
jarak 50 km ke arah barat laut dari negeri Ma'rib, dan dari jarak 142 km
arah timur kota Shan'a' yang dikenal dengan sebutan Kharibah.
Pada periode merekalah dimulainya pembangunan
bendungan, yang dikenal dengan nama bendungan Ma'rib, yang memiliki peran
tersendiri dalam sejarah Yaman. Ada yang mengatakan, wilayah kekuasaan kaum
Saba' ini meliputi daerah-daerah jajahan didalam dan luar negeri Arab.
Antara tahun 620 SM hingga 115 SM ; Pada periode
ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti Saba', dan mereka menanggalkan
julukan "Mukrib" alias hanya dikenal dengan raja-raja Saba'
dengan menjadikan Ma'rib sebagai ibukota, sebagai ganti dari Sharwah.
Puing-puing kota ini dapat ditemui sejauh 192 km dari arah timur Shan'a'.
Sejak tahun 115 SM hingga tahun 300 M ; Pada
periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti al-Himyariyyah I, sebab
kabilah Himyar telah memisahkan diri dari kerajaan Saba', dan menjadikan
kota Raidan sebagai ibukotanya, menggantikan Ma'rib. Kota Raidan dikenal
kemudian dengan nama Zhaffar. Puing-puing peninggalannya dapat ditemukan di
sebuah bukit yang memutar dekat Yarim.
Pada periode ini mereka mulai melemah dan jatuh,
serta mengalami kerugian besar dalam perdagangan yang mereka lakukan.
Diantara penyebabnya adalah beberapa factor ; pertama, dikuasainya kawasan
utara Hijaz. Kedua, berhasilnya Bangsa Romawi menguasai jalur perdagangan
laut setelah sebelumnya mereka menancapkan kekuasaan mereka di Mesir, Syria
dan bagian utara kawasan Hijaz. Ketiga, adanya persaingan antar
masing-masing kabilah . Faktor-faktor inilah yang menyebabkan berpencarnya
keluarga besar suku Qahthan dan hijrahnya mereka ke negeri-negei yang jauh.
Sejak tahun 300 M hingga masuknya Islam ke Yaman
; Pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti al-Himyariyyah II
dan kondisi yang mereka alami penuh dengan kerusuhan-kerusuhan dan
kekacauan, beruntunnya peristiwa kudeta, serta timbulnya perang keluarga
yang mengakibatkan mereka menjadi santapan kekuatan asing yang selalu
mengintai hingga hal itu kemudian mengakhiri kemerdekaan yang mereka pernah
renggut. Begitu juga, pada periode ini Bangsa Romawi berhasil memasuki kota
'Adn serta atas bantuan mereka, untuk pertama kalinya orang-orang Habasyah
berhasil menduduki negeri Yaman, yaitu tahun 340 M. Hal itu dapat mereka
lakukan berkat persaingan yang terjadi antara dua kabilah; Hamadan dan
Himyar. Pendudukan mereka berlangsung hingga tahun 378 M. Kemudian negeri
Yaman memperoleh kemerdekaannya akan tetapi kemudian bendungan Ma'rib jebol
hingga mengakibatkan banjir besar seperti yang disebutkan oleh Al-Qur'an
dengan istilah Sailul 'Arim pada tahun 450 atau 451 M. Itulah peristiwa
besar yang berkesudahan dengan lenyapnya peradaban dan bercerai berainya
suku bangsa mereka.
Pada tahun 523 M, Dzu Nawwas, seorang Yahudi
memimpin pasukannya menyerang orang-orang Nasrani dari penduduk Najran, dan
berusaha memaksa mereka meninggalkan agama nasrani. Karena mereka menolak,
maka dia membuat parit-parit besar yang di dalamnya api yang menyala, lalu
mereka dilemparkan ke dalam api tersebut hidup-hidup, sebagaimana yang
diisyaratkan oleh AlQur'an dalam surat al-Buruj. Kejadian ini membakar
dendam di hati orang-orang Nasrani dan mendorong mereka untuk memperluas
daerah kekuasaan dan penaklukan terhadap negeri Arab dibawah kemando
imperium Romawi. Mereka bekerja sama dengan orang-orang Habasyah yang
sebelumnya telah mereka provokasi dan menyiapkan armada laut buat mereka
sehingga bergabunglah sebanyak 70.000 personil tentara dari mereka. Mereka
untuk kedua kalinya berhasil menduduki negeri Yaman dibawah komando Aryath
pada tahun 525 M. Dia menjadi penguasa di sana atas penunjukan dari raja
Habasyah hingga kemudian dia dibunuh oleh Abrahah bin ash-Shabbah
al-Asyram, anak buahnya sendiri pada tahun 549 M, dan selanjutnya dia
berhasil menggantikan Aryath setelah meminta restu raja Habasyah. Abrahah
inilah yang mengerahkan pasukannya untuk menghancurkan Ka'bah. Dalam
sejarah dia dan pasukannya dikenal dengan pasukan penunggang gajah
(ashhabul fil). Sepulangnya dari sana menuju Shan'a', dia mati dan digantikan
oleh kedua anaknya yang kedua-duanya ketika menjadi penguasa lebih otoriter
dan sadis dari orangtuanya.
Setelah peristiwa "gajah" tersebut,
penduduk Yaman meminta bantuan kepada orang-orang Persi untuk menghadang
serangan pasukan Habasyah dan kerjasama ini berhasil sehingga mereka
akhirnya dapat mengusir orang-orang Habasyah dari negeri Yaman. Mereka
memperoleh kemerdekaan pada tahun 575 M, berkat jasa seorang panglima yang
bernama Ma'di Yakrib bin Saif Dzi Yazin al-Himyari yang kemudian mereka
angkat menjadi raja mereka. Meskipun begitu, Ma'di Yakrib masih
mempertahankan sejumlah orang-orang Habasyah sebagai pengawal yang selalu
menyertainya dalam perjalanannya. Hal itu justru menjadi bumerang baginya,
maka pada suatu hari mereka berhasil membunuhnya. Dengan kematiannya
berakhirlah dinasti raja dari keluarga besar Dzi Yazin. Setelah itu Kisra
mengangkat penguasa dari Bangsa Persia sendiri di Shan'a', dan menjadikan
Yaman sebagai salah satu wilayah konfederasi kekisraan Persia. Kemudian hal
itu terus berlanjut hingga era kekisraan terakhir yang dipimpin oleh
Badzan, yang memeluk Islam pada tahun 638 M. Dengan keislamannya ini
berakhirlah kekuasaan kekisraan Persia atas negeri Yaman *.
* Lihat rinciannya pada buku "al-Yaman
'abrat Tarikh" , hal. 77, 83, 124, 130, 157, 161, dst ; "Tarikh
ardhil Quran", Juz I, dari hal. 133 hingga akhir buku ini;
"Tarikhul 'Arab Qablal Islam", hal. 101-151 ; dalam menentukan
tahun-tahun peristiwa tersebut terjadi perbedaaan yang amat signifikan
antara referensi-referensi sejarah. Bahkan sebagian penulis mengomentari
tentang rincian tersebut, dengan mengutip firman Allah : "AlQuran ini
tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu".
Raja-raja di Hirah
Untuk beberapa periode, negeri Iraq masih
menjadi konfederasi kekisraan Persia hingga munculnya Cyrus Yang Agung
(557-529 SM.) yang dapat mempersatukan kembali Bangsa Persia. Maka selama
kekuasaannya, tak seorangpun yang dapat menandingi dan mengalahkannya,
hingga muncul Alexander dari Macedonia pada tahun 326 SM, yang mampu
mengalahkan "Dara I", raja mereka dan menceraiberaikan persatuan
mereka. Akibatnya negeri mereka terkotak-kotak dan muncullah di
masing-masing wilayah raja-raja baru, yang dikenal dengan raja-raja
ath-Thawa'if . Mereka berkuasa atas wilayah-wilayah masing-masing hingga
tahun 230 M. Pada era kekuasaan raja-raja ath-Thawa'if inilah orang-orang
Qahthan berpindah dan kemudian menempati daerah pedalaman Iraq. Mereka
kemudian berpapasan dengan orang-orang dari keturunan 'Adnan yang juga
berhijrah dan membanjiri pemukiman baru tersebut dan memilih bermukim di
wilayah teluk dari sungai Eufrat .
Bangsa Persia kembali menjadi suatu kekuatan
untuk kedua kalinya pada era Ardasyir, pendiri dinasti Sasaniyah sejak
tahun 226 M. Dialah yang berhasil mempersatukan Bangsa Persia dan memaksa
Bangsa Arab yang bermukim disana untuk mengakui kekuasaannya. Dan ini
merupakan sebab mengungsinya orang-orang Qudha'ah ke Syam dan tunduknya
penduduk Hirah dan Anbar kepadanya.
Pada era Ardasyir ini pula, Judzaimah
al-Wadhdhah berkuasa atas Hirah dan seluruh penduduk pedalaman Iraq dan
Jazirah Arab yang terdiri dari keturunan Rabi'ah dan Mudhar. Ardasyir
merasa mustahil dapat menguasai Bangsa Arab secara langsung dan mencegah
mereka untuk menyerang kekuasaannya kecuali dengan cara menjadikan salah
seorang dari mereka (Bangsa Arab) yang memiliki kefanatikan dan loyalitas
terhadapnya dalam membelanya sebagai kaki tangannya. Disamping itu, dia
juga sewaktu-waktu bisa meminta bantuan mereka untuk mengalahkan raja-raja
Romawi yang amat dia takuti. Dengan demikian dia dapat menandingi tentara
bentukan yang terdiri dari Bangsa Arab juga, seperti apa yang dibentuk oleh
raja-raja Romawi sehingga berbenturanlah antara Bangsa Arab Syam dan Iraq.
Dia juga masih mempersiapkan satu batalyon dari pasukan Persia untuk
disuplai dalam menghadapi para penguasa Arab pedalaman yang membangkang
terhadap kekuasaanya. Juzaimah meninggal sekitar tahun 268 M.
Sepeninggal Juzaimah, 'Amru bin 'Ady bin Nashr
al-Lakhmi naik tahta dan menjadi penguasa atas Hirah dan Anbar pada tahun
268-288 M. Dia adalah raja dari dinasti Lakhmi Pertama pada era Kisra Sabur
bin Ardasyir dan kekuasaan dinasti Lakhmi terus berlanjut atas kedua
wilayah tersebut hingga naiknya Qubbaz bin Fairuz menjadi Kisra Persia pada
tahun 448-531 M. Pada era kekuasaannya muncullah Mazdak, yang mempromosikan
gaya hidup permisivisme. Tindakannya ini diikuti juga oleh Qubbaz dan
kebanyakan rakyatnya. Qubadz kemudian mengirim utusan kepada raja Hirah,
yaitu al-Mundzir bin Ma'us Sama' (512-554 M), dan mengajaknya untuk memilih
faham ini dan menjadikannya sebagai jalan hidup . Namun al-Mundzir menolak
ajakan itu dengan penuh kesatria, sehingga Qubbadz mencopotnya dan
menggantikannya dengan al-Harits bin 'Amru bin Hajar al-Kindi yang
merespons ajakan kepada Mazdakisme tersebut.
Qubbadz kemudian diganti oleh Kisra Anusyirwan
(531-578 M) yang sangat membenci faham tersebut. Karenanya, dia kemudian
membunuh Mazdak dan banyak para pengikutnya serta mengangkat kembali
al-Munzir sebagai penguasa atas Hirah. Sementara itu dia terus memburu
al-Harits bin 'Amr akan tetapi dia memilih bersembunyi ke pemukiman kabilah
Kalb hingga meninggal di sana.
Kekuasaan Anusyirwan terus berlanjut sepeninggal
al-Munzir bin Ma'us Sama', hingga naiknya an-Nu'man bin al-Munzir. Dialah
orang yang memancing kemarahan Kisra, yang bermula dari adanya suatu fitnah
hasil rekayasa Zaid bin 'Adiy al-Ibady. Kisra akhirnya mengirim utusan
kepada an-Nu'man untuk memburunya, maka secara sembunyi-sembunyi, an-Nu'man
menemui Hani' bin Mas'ud, pemimpin suku Ali Syaiban seraya menitipkan
keluarga dan harta bendanya. Setelah itu, dia menghadap Kisra yang langsung
menjebloskannya ke dalam penjara hingga meninggal dunia. Sebagai
penggantinya, Kisra mengangkat Iyas bin Qabishah Ath-Thaiy dan
memerintahkannva untuk mengirimkan utusan kepada Hani' bin Mas'ud agar dia
memintanya untuk menyerahkan titipan yang ada padanya namun Hani'menolaknya
dengan penuh keberanian bahkan dia memaklumatkan perang melawan raja. Tak
berapa lama tibalah para komandan batalyon berikut prajuritnya yang diutus
oleh Kisra dalam rombongan yang membawa Iyas tersebut sehingga kemudian
terjadilah antara kedua pasukan itu, suatu pertempuran yang amat dahsyat di
dekat tempat yang bernama "Zi Qaar" dan pertempuran tersebut
akhirnya dimenangkan oleh Banu Syaiban, yang masih satu suku dengan Hani'
sementara hal ini bagi Persia merupakan kekalahan yang sangat memalukan.
Kemenangan ini merupakan yang pertama kalinya bagi bangsa Arab terhadap
kekuatan asing. Ada yang mengatakan bahwa hal itu terjadi tak berapa lama menjelang
kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebab beliau lahir delapan
bulan setelah bertahtanya Iyas bin Qabishah atas Hirah.
Sepeninggal Iyas, Kisra mengangkat seorang
penguasa di Hirah dari bangsa Persia yang bernama Azazbah yang memerintah selama
tujuh belas tahun (614-631 M). Pada tahun 632 M tampuk kekuasaan disana
kembali dipegang oleh keluarga Lakhm. Diantaranya adalah al-Munzir bin
an-Nu'man yang dijuluki dengan "al-Ma'rur". Umur kekuasaannya
tidak lebih dari delapan bulan sebab kemudian berhasil dikuasai oleh
pasukan Muslimin dibawah komando Panglima Khalid bin al-Walid.
Raja-raja di Syam
Manakala Bangsa Arab banyak diwarnai perpindahan
berbagai kabilah, maka suku-suku Qudha'ah justru beranjak menuju kawasan
Syam dan menetap disana. Mereka terdiri dari Bani Salih bin Halwan yang
diantara anak keturunannya adalah Banu Dhaj'am bin Salih dan lebih dikenal
kemudian dengan adh-Dhaja'imah. Mereka berhasil dijadikan oleh Bangsa
Romawi sebagai kaki tangan dalam menghadang perbuatan iseng Bangsa Arab
daratan dan sebagai kekuatan penopang dalam menghadapi pasukan Persia.
Banyak diantara mereka yang diangkat sebagai raja dan hal itu berlangsung
selama bertahun-tahun. Raja dari kalangan mereka yang paling terkenal
adalah Ziyad bin al-Habulah. Periode kekuasaan mereka diperkirakan
berlangsung dari permulaan abad 2 M hingga berakhirnya yaitu setelah
kedatangan keluarga besar suku Ghassan yang dapat mengalahkan
adh-Dhaja'imah dan merebut semua kekuasaan mereka. Atas kemenangan suku
Ghassan ini, mereka kemudian diangkat oleh Bangsa Romawi sebagai raja atas
Bangsa Arab di Syam dengan pusat pemerintahan mereka di kota Hauran. Dalam
hal ini, kekuasaan mereka sebagai kaki tangan Bangsa Romawi disana terus
berlangsung hingga pecahnya perang "Yarmuk" pada tahun 13 H.
Tercatat, bahwa raja terakhir mereka Jabalah bin al-Ayham telah memeluk
Islam pada masa kekhalifahan Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab
radhiallahu 'anhu.
Emirat di Hijaz
Isma'il 'alaihissalam menjadi pemimpin Mekkah
dan menangani urusan Ka'bah sepanjang hidupnya. Beliau meninggal pada usia
137 tahun. Sepeninggal beliau, kedua putra beliau yaitu; Nabit kemudian
Qaidar secara bergilir menggantikan posisinya. Ada riwayat yang mengatakan
bahwa Qaidar lah yang lebih dahulu kemudian baru Nabit. Sepeninggal
keduanya, urusan Makkah kemudian ditangani oleh kakek mereka Mudhadh bin
'Amru al-Jurhumi **.
** Ini bukan Mudhadh al-Jurhumi tertua yang dulu
pernah disinggung dalam kisah Nabi Isma'il 'alaihissalam.
Dengan demikian beralihlah kepemimpinan ke
tangan suku Jurhum dan terus berlanjut dalam waktu yang lama. Kedua putra
Nabi Ismail menempati kedudukan yang terhormat di hati mereka lantaran jasa
ayahanda keduanya dalam membangun Baitullah, padahal mereka tidak memiliki
fungsi apapun dalam pemerintahan.
Hari-hari dan zaman pun berlalu sedangkan
perihal anak cucu Nabi Isma'il masih redup tak tersentuh hingga gaung suku
Jurhum pun akhirnya semakin melemah menjelang munculnya Bukhtunshar.
Dipihak lain, peran politik suku 'Adnan mulai bersinar di Mekkah pada masa
itu yang indikasinya adalah tampilnya 'Adnan sendiri sebagai pemimpin
Bangsa Arab tatkala berlangsung serangan Bukhtunshar terhadap mereka di Zat
'irq, sementara tak seorangpun dari suku Jurhum yang berperan dalam
peristiwa tersebut.
Bani 'Adnan berpencar ke Yaman ketika terjadinya
serangan kedua oleh Bukhtunshar pada tahun 587 M. Sedangkan Barkhiya,
seorang karib Yarmayah, Nabi dari Bani Israil mengajak Ma'ad untuk pergi
menuju Hiran, sebuah wilayah di Syam. Akan tetapi setelah tekanan
Bukhtunshar mulai mengendor, Ma'ad kembali lagi ke Mekkah dan setibanya
disana, dia tidak menemui lagi penduduk dari suku Jurhum kecuali Jarsyam
bin Jalhamah, lalu dia mengawini anaknya, Mu'anah dan melahirkan seorang anak
laki-laki bernama Nizar.
Di Mekkah, keadaan suku Jurhum semakin memburuk
setelah itu, dan mereka mengalami kesulitan hidup. Hal ini menyebabkan
mereka menganiaya para pendatang dan menghalalkan harta yang dimiliki oleh
administrasi Ka'bah. Tindakan ini menimbulkan kemarahan orang-orang dari
Bani 'Adnan sehingga membuat mereka mempertimbangkan kembali sikap terhadap
mereka sebelumnya. Ketika Khuza'ah melintasi Marr azh-Zhahran dan melihat
keberadaan rombongan orang-orang 'Adnan yang terdiri dari suku Jurhum, dia
tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, maka atas bantuan keturunan Bani
'Adnan yang lain yaitu Bani Bakr bin 'Abdu Manaf bin Kinanah mereka lantas
memerangi orang-orang Jurhum, akibatnya mereka diusir dari Mekkah. Dengan
begitu, dia berhasil mengusai pemerintahan Mekkah pada pertengahan abad II
M.
Tatkala orang-orang Jurhum akan mengungsi keluar
Mekkah, mereka menyumbat sumur Zamzam dan menghilangkan letaknya serta
mengubur didalamnya beberapa benda. Ibnu Ishaq berkata : " 'Amru bin
al-Harits bin Mudhadh al-Jurhumi keluar dengan membawa pintalan Ka'bah dan
Hajar Aswad lalu mengubur keduanya di sumur Zamzam, kemudian dia dan
orang-orang Jurhum yang ikut bersamanya berangkat menuju Yaman. Namun
betapa mereka sangat tertekan dan sedih sekali karena harus meninggalkan
kota Mekkah dan kekuasaan yang pernah mereka raih disana. Untuk mengenang
hal itu, 'Amru merangkai sebuah sya'ir :
Seakan tiada pelipur lara lagi, juga para
pegadang antara Hujun dan Shafa di kota Mekkah
Sungguh, kamilah dulu penghuninya
Namun oleh perubahan malam dan dataran berdebu,
kami dibinasakan
Periode Ismail 'alaihissalam diprediksi
berlangsung sekitar dua puluh abad sebelum Masehi. Dengan demikian masa
keberadaan Jurhum di Mekkah berkisar sekitar dua puluh satu abad sedangkan
masa kekuasaan mereka adalah selama dua puluh abad. Khuza'ah menangani
sendiri urusan administrasi Mekkah tanpa menyertakan peran Bani Bakr,
kecuali terhadap kabilah-kabilah Mudhar yang diberikan kepada mereka tiga
spesifikasi :
Memberangkatkan orang-orang (yang berhaji) dari
'Arafah ke Muzdalifah, dan membolehkan mereka berangkat dari Mina pada hari
Nafar (kepulangan dari melakukan haji tersebut) ; urusan ini ditangani oleh
Bani al-Ghauts bin Murrah, dari keturunan Ilyas bin Mudhar. Mereka ini dijuluki
dengan sebutan "Shûfah"; makna dari pembolehan tersebut adalah :
bahwa orang-orang yang berhaji tersebut tidak melempar pada hari Nafar
hingga salah seorang dari kaum "Shûfah" tersebut melakukannya
terlebih dulu, kemudian bila semua telah selesai melaksanakan prosesi
ritual tersebut dan mereka ingin melakukan nafar/pulang dari Mina, kaum
"Shûfah" mengambil posisi disamping kedua sisi (jumrah) 'Aqabah,
dan ketika itu, tidak boleh seorang pun lewat kecuali setelah mereka,
kemudian bila mereka telah lewat barulah orang-orang diizinkan lewat.
Tatkala kaum "Shûfah" sudah berkurang keturunannya/musnah,
tradisi ini dilanjutkan oleh Bani Sa'd bin Zaid Munah dari suku Tamim.
Melakukan ifâdhah (bertolak) dari Juma', pada
pagi hari Nahr (hari penyembelihan hewan qurban) menuju Mina ; urusan ini
diserahkan kepada Bani 'Udwan.
Merekayasa bulan-bulan Haram (agar tidak terkena
larangan berperang didalamnya-penj); urusan ini ditangani oleh Bani Tamim
dari keturunan Bani Kinanah.
Periode kekuasaan Khuza'ah berlangsung selama
tiga ratus tahun. Pada periode ini kaum 'Adnan menyebar di kawasan Najd,
pinggiran 'Iraq dan Bahrain. Sedangkan keturunan Quraisy ; mereka hidup
sebagai Hallul (suku yang suka turun gunung) dan Shirm (yang turun gunung
guna mencari air bersama unta mereka) dan menyebar ke pinggiran kota Mekkah
dan menempati rumah-rumah yang berpencar-pencar di tengah kaum mereka, Bani
Kinanah. Namun begitu, mereka tidak memiliki wewenang apa pun baik dalam
pengurusan kota Mekkah ataupun Ka'bah hingga kemunculan Qushai bin Kilab.
Mengenai jatidiri Qushai ini, diceritakan bahwa
bapaknya meninggal dunia saat dia masih dalam momongan ibunya, kemudian
ibunya menikah lagi dengan seorang laki-laki dari Bani 'Uzrah yaitu Rabi'ah
bin Haram, lalu ibunya dibawa ke negeri asalnya di pinggiran Kota Syam.
Ketika Qushai beranjak dewasa, dia kembali ke kota Mekkah yang kala itu
diperintah oleh Hulail bin Habasyah dari Khuza'ah lalu dia meminang putri
Hulail, Hubba maka gayung pun bersambut dan keduanya kemudian dinikahkan. Ketika
Hulail meninggal dunia, terjadi perang antara Khuza'ah dan Quraisy yang
berakhir dengan kemenangan Qushai dan penguasaannya terhadap urusan kota
Mekkah dan Ka'bah.
Ada tiga versi riwayat, berkaitan dengan sebab
terjadinya perang tersebut :
Bahwa ketika Qushai telah beranak pianak, harta
melimpah, pangkatnya semakin tinggi dan bersamaan dengan itu Hulail telah
tiada, dia menganggap dirinya lah yang paling berhak atas urusan Ka'bah dan
kota Mekkah daripada Khuza'ah dan Bani Bakr sebab suku Quraisy adalah
pemuka dan pewaris tunggal keluarga Nabi Ismail lantas dia membicarakan hal
ini dengan beberapa pemuka Quraisy dan Bani Kinanah dalam upaya mengusir
Khuza'ah dan Bani Bakr dari kota Mekkah. Idenya tersebut disambut baik oleh
mereka.
Bahwa Hulail, sebagaimana pengakuan Khuza'ah,
berwasiat kepada Qushai agar mengurusi Ka'bah dan Mekkah.
Bahwa Hulail menyerahkan urusan Ka'bah kepada
putrinya, Hubba dan mengangkat Abu Ghibsyan al-Khuza'i sebagai wakilnya
lantas kemudian dia yang mengurusi Ka'bah tersebut mewakili Hubba. Tatkala
Hulail meninggal, Qushai berhasil menipunya dan membeli kewenangannya atas
Ka'bah tersebut dengan segeriba arak, atau sejumlah onta yang berkisar
antara tiga ekor hingga tiga puluh ekor. Khuza'ah tidak puas dengan
transaksi jual beli tersebut dan berupaya menghalang-halangi Qushai atas
penguasaannya terhadap urusan Ka'bah tersebut. Menyikapi hal itu, Qushai
mengumpulkan sejumlah orang dari Quraisy dan Bani Kinanah untuk tujuan
mengusir mereka dari kota Mekkah, maka mereka menyambut hal itu.
Apa pun alasannya, setelah Hulail meninggal
dunia dan kaum Shûfah menjalani aktivitas mereka tersebut, maka Qushai
tampil bersama orang-orang Quraisy dan Kinanah di dekat 'Aqabah sembari
berseru: " Kami lebih berhak daripada kalian ! ". Karena
pelecehan ini, mereka lantas memeranginya namun Qushai berhasil mengalahkan
mereka dan merampas semua kekuasaan mereka. Khuza'ah dan Bani Bakr
mengambil sikap tidak menyerang setelah itu, maka Qushailah akhirnya yang
malah lebih dahulu mengambil inisiatif penyerangan dan sepakat untuk
memerangi mereka. Maka bertemulah kedua kekuatan tersebut dan terjadilah
peperangan yang amat dahsyat tetapi kedua musuhnya tersebut justru menjadi
mangsa yang empuk baginya. Akibat tekanan ini, mereka mengajaknya untuk berdamai
dan bertahkim kepada Ya'mur bin 'Auf, salah seorang dari Bani Bakr. Ya'mur
memutuskan bahwa Qushai lah yang berhak atas Ka'bah dan urusan kota Mekkah
daripada Khuza'ah. Begitu juga diputuskan, setiap tetes darah yang
ditumpahkan oleh Qushai maka akan menjadi tanggung jawabnya sendiri
sedangkan setiap nyawa yang melayang oleh tangan Khuza'ah dan Bani Bakr
harus dibayar dengan tebusan, serta (diputuskan juga) bahwa Qushai harus
dibebastugaskan dari pengelolaan atas Ka'bah. Maka dari sejak itu, Ya'mur
dijuluki sebagai asy-Syaddakh (Sang Pemecah masalah). Kekuasaan Qushai atas
penanganan Mekkah dan Ka'bah berlangsung pada pertengahan abad V Masehi
yaitu tahun 440 M. Dengan demikian, jadilah Qushai sekaligus suku Quraisy
memiliki kekuasaan penuh dan otoritas atas Mekkah serta pelaksana ritual
keagamaan bagi Ka'bah yang selalu dikunjungi oleh orang-orang Arab dari
seluruh Jazirah.
Di antara langkah yang diambil oleh Qushai
adalah memindahkan kaumnya dari rumah-rumah mereka ke Mekkah dan memberikan
mereka lahan yang dibagi menjadi empat bidang, lantas menempatkan setiap
suku dari Quraisy ke lahan yang telah ditentukan bagi mereka serta
menetapkan jabatan sebelumnya kepada mereka yang pernah memegangnya yaitu
suku Nasa-ah, Ali Shafwan, 'Udwan dan Murrah bin 'Auf sebab dia melihat
sudah selayaknya dia tidak merubahnya.
Qushai banyak meninggalkan
peninggalan-penginggalan sejarah; diantaranya adalah didirikannya Darun
Nadwah disamping utara Masjid Ka'bah (Masjidil Haram), dan menjadikan
pintunya mengarah ke masjid. Darun Nadwah merupakan tempat berkumpulnya
orang-orang Quraisy yang didalamnya dibahas hal-hal yang sangat strategis
bagi mereka. Oleh karena itu, ia mendapatkan tempat tersendiri dihati
mereka karena dapat mencetak kata sepakat diantara mereka dan menyelesaikan
sengketa secara baik.
Diantara wewenang Qushai dalam mengelola
pemerintahannya adalah sebagai berikut :
Mengepalai Darun Nadwah ; Dalam Darun Nadwah ini
mereka berembuk tentang masalah-masalah yang sangat strategis disamping
sebagai tempat mengawinkan anak-anak perempuan mereka.
Pemegang panji ; Panji perang tidak akan bisa
dipegang oleh orang lain selainnya termasuk anak-anaknya dan harus berada
di Darun Nadwah.
Qiyadah (wewenang memberikan izin perjalanan) ;
Kafilah dagang atau lainnya tidak akan bisa keluar dari Mekkah kecuali
dengan seizinnya atau anak-anaknya.
Hijabah yaitu wewenang atas Ka'bah ; pintu
Ka'bah tidak boleh dibuka kecuali olehnya begitu juga dalam seluruh hal
yang terkait dengan pelayanannya.
Siqayah (wewenang menangani masalah air bagi
jemaah haji) ; mereka mengisi penuh galon-galon air yang disisipkan
didekatnya buah kurma dan zabib (sejenis anggur kering). Dengan bagitu
jemaah haji yang datang ke Mekkah bisa meminumnya.
Rifadah (wewenang menyediakan makanan); mereka
menyediakan makanan khusus buat tamu-tamu mereka (jemaah haji). Qushai
mewajibkan semacam kharaj/ pajak kepada kaum Quraisy yang dikeluarkan pada
setiap musim haji dan hal tersebut kemudian dipergunakan untuk membeli
persediaan makanan buat jemaah haji, khususnya bagi mereka yang tidak
memiliki bekal yang cukup.
Semua hal tersebut adalah menjadi wewenang
Qushai, sedangkan anaknya 'Abdu Manaf juga otomatis telah memiliki kharisma
dan kepemimpinan di masa hidupnya, dan hal itu diikuti juga oleh adiknya
'Abdud Dar maka berkatalah Qushai kepadanya : " aku akan menghadapkanmu
dengan kaum kita meskipun sebenarnya mereka telah menghormatimu".
Kemudian Qushai berwasiat kepadanya agar dia memperhatikan wewenangnya
dalam mengemban mashlahat kaum Quraisy, lalu dia berikan kepadanya wewenang
atas Darun Nadwah, hijabah, panji, siqayah dan rifadah. Qushai termasuk
orang yang tidak pernah mengingkari dan mencabut kembali apa yang telah
terlanjur diucapkan dan diberikannya dan begitulah semua urusannya semasa
hidup dan setelah matinya yang diyakininya dan selalu konsisten terhadapnya.
Tatkala Qushai meninggal dunia, anak-anaknya dengan setia menjalankan
wasiatnya dan tidak tampak perseteruan diantara mereka, akan tetapi ketika
'Abdu Manaf meninggal dunia, anak-anaknya bersaing keras dengan anak-anak
paman mereka, 'Abdud Dar (saudara-saudara sepupu mereka) dalam
memperebutkan wewenang tersebut. Akhirnya, suku Quraisy terpecah menjadi
dua kelompok bahkan hampir saja terjadi perang saudara diantara mereka,
untunglah hal itu mereka bawa ke meja perundingan. Hasilnya, wewenang atas
siqayah dan rifadah diserahkan kepada anak-anak 'Abdu Manaf sedangkan Darun
Nadwah, panji dan hijabah diserahkan kepada ana-anak 'Abdud Dar. Anak-anak
'Abdu Manaf kemudian memilih jalan undian untuk menentukan siapa diantara
mereka yang memiliki kewenangan atas siqayah dan rifadah. Undian itu
akhirnya jatuh ketangan Hasyim bin 'Abdu Manaf sehingga dialah yang berhak
atas pengelolaan keduanya selama hidupnya. Dan ketika dia meninggal dunia,
wewenang tersebut dipegang oleh adiknya, al-Muththolib bin 'Abdu Manaf yang
diteruskan kemudian oleh 'Abdul Muththolib bin Hasyim bin 'Abdu Manaf,
kakek Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam . Kewenangan tersebut terus
dilanjutkan oleh keturunannya hingga datangnya Islam dimana ketika itu
kewenangannya berada ditangan al-'Abbas bin 'Abdul al-Muththolib. Dalam
riwayat lain, dikatakan bahwa Qushai sendirilah yang membagi-bagikan
wewenang atas urusan-urusan tersebut diantara anak-anaknya untuk kemudian
setelah dia meninggal tinggal dijalankan oleh mereka.
Selain itu suku Quraisy juga mempunyai
kewenangan yang lain yang mereka bagi-bagi diantara mereka, yaitu
masing-masing boleh membentuk negara-negara kecil, bahkan bila boleh
diungkapkan dengan ungkapan yang pas saat ini adalah semacam semi negara
demokrasi. Instansi-instansi yang ada, begitu juga dengan bentuk
pemerintahannya hampir menyerupai bentuk pemerintahan yang ada sekarang
yaitu sistim parlemen dan majelis-majelisnya. Berikut penjelasannya :
Al-Isar : penanganan bejana-bejana tempat darah
ketika terjadi sumpah, dan urusan ini diserahkan kepada suku Jumah.
Tahjirul amwal (pembekuan harta) : yaitu
diperuntukkan dalam tata cara penyerahan qurban/sesajian dan nazar-nazar
kepada berhala-berhala mereka, begitu juga dalam memecahkan
sengketa-sengketa dan perkerabatan, dan urusan ini diserahkan kepada Bani
Sahm.
Syura : yang diserahkan kepada Bani Asad.
Al-Asynaq : peraturan dalam menangani kasus
diyat (denda bagi tindak kriminal) dan gharamat (denda pelanggaran
perdata), dan urusan ini diserahkan kepada Bani Tayyim.
Al-'iqab : pemegang panji kaum dan ini
diserahkan kepada Bani Umayyah.
Al-Qabbah : peraturan kemiliteran dan menunggang
kuda. Hal ini diserahkan kepada Bani Makhzum.
As-Sifarah (kedutaan) : Hal ini diserahkan
kepada Bani 'Ady ***.
*** Lihat; "Tarikh ardhil Quran",
II/104, 105, 106 . Riwayat yang masyhur adalah bahwa yang membawa panji
adalah Bani 'Abdid Dar, sedang kepemimpinan berada ditangan Bani Umayyah.
Kekuasaan di seluruh negeri Arab
Di bagian muka telah kami singgung tentang
kepindahan kabilah-kabilah Qahthan dan 'Adnan, begitu juga dengan kondisi
negeri-negeri Arab yang terpecah-pecah diantara mereka sendiri;
Kabilah-kabilah yang berdekatan dengan Hirah tunduk kepada raja Arab di
Hirah, dan suku yang tinggal di pedalaman Syam tunduk terhadap raja
Ghassan. Hanya saja ketundukan mereka ini sekedar nama (bersifat simbolis)
bukan secara riil di lapangan. Sedangkan mereka yang berada di
daerah-daerah pedalaman dalam jazirah Arab mendapatkan kebebasan mutlak.
Sebenarnya, setiap kabilah-kabilah tersebut
memiliki para pemuka yang mereka angkat sebagai pemimpin kabilah, begitu
juga kabilah ibarat pemerintah mini yang landasan berpijaknya adalah
kesatuan ras dan kepentingan yang saling menguntungkan dalam menjaga secara
bersama tanah air dan membendung serangan lawan.
Posisi para pemuka kabilah tersebut di tengah
pengikutnya tak ubahnya seperti posisi para raja. Jadi, setiap kabilah
selalu tunduk kepada pendapat pemimpinnya baik dalam kondisi damai ataupun
perang dan tidak ada yang berani membantahnya. Kekuasaannya dalam memimpin
dan memberikan pendapat bak seorang diktator yang kuat sehingga bila ada
sebagian yang marah maka beribu-ribu pedang berkilatan lah yang bermain dan
ketika itu tak seorang pun yang bertanya kenapa hal itu terjadi. Anehnya,
karena persaingan dalam memperebutkan kepemimpinan terjadi diantara sesama
keturunan satu paman sendiri kadang membuat mereka sedikit bermuka dua
alias over acting dihadapan orang banyak. Hal itu tampak dalam
prilaku-prilaku dalam berderma, menjamu tamu, menyumbang, berlemah lembut,
menonjolkan keberanian dan menolong orang lain yang mereka lakukan
semata-mata agar mendapatkan pujian dari orang, khususnya lagi para penyair
yang merangkap penyambung lidah kabilah pada masa itu. Disamping itu,
mereka lakukan juga, agar derajat mereka lebih tinggi dari para pesaingnya.
Para pemuka dan pemimpin kabilah memiliki hak
istimewa sehingga mereka bisa mengambil bagian dari harta rampasan tersebut
; baik mendapat bagian mirba', shaffi, nasyithah atau fudhul . Dalam
menyifati tindakan ini, seorang penyair bersenandung :
Bagimu bagian mirba', shaffi, nasyithah, dan
fudhul
Dalam kekuasaanmu terhadap kami
Yang dimaksud dengan mirba' adalah seperempat
harta rampasan. Ash-Shaffi adalah bagian yang diambil untuk dirinya
sendiri. An-Nasyithah adalah sesuatu yang didapat oleh pasukan di jalan
sebelum sampai tujuan. Sedangkan al-Fudhul adalah bagian sisa dari harta
rampasan yang tidak dapat dibagikan kepada individu-individu para pejuang
seperti keledai, kuda dan lain-lain.
Kondisi Politik
Setelah.kami jelaskan tentang para penguasa di
negeri Arab, maka akan kami jelaskan sedikit gambaran tentang kondisi
politik yang mereka alami. Tiga wilayah yang letaknya berdampingan dengan
negeri asing, kondisinya sangat lemah dan tidak pernah berubah positif.
Mereka dikelompokkan kepada golongan tuan-tuan atau para budak, para
penguasa atau rakyat. Para tuan-tuan, terutama bila mereka orang asing,
memiliki seluruh kambing sedangkan para budak, sebaliknya yaitu mereka
semua wajib membayar upeti. Dengan ungkapan lain yang lebih jelas, bahwa
rakyat ibarat posisi sebuah sawah yang selalu mendatangkan hasil buat
dipersembahkan kepada pemerintah yang memanfaatkannya sebagai sarana untuk
bersenang-senang, melampiaskan hawa nafsu, keinginan-keinginan, kelaliman
dan upaya memusuhi orang. Sementara rakyat itu sendiri tenggelam dalam
kebutaan, hidup tidak menentu, dan saat kelaliman menimpa mereka, tak
seorangpun diantara mereka yang mampu mengadu, bahkan mereka diam tak
bergerak dalam menghadapi kelaliman dan beraneka macam siksaan . Hukum kala
itu benar-benar bertangan besi, sedangkan hak-hak asasi hilang ternoda.
Adapun kabilah-kabilah yang berdampingan dengan kawasan ini, mengambil
posisi ragu dan oleng oleh hawa nafsu dan tujuan pribadi masing-masing ;
terkadang mereka terdaftar sebagai penduduk Iraq tapi terkadang juga
terdaftar sebagai penduduk Syam. Kondisi kabilah-kabilah dalam Jazirah Arab
tersebut benar-benar berantakan dan tercerai berai, masing-masing lebih
memilih untuk berselisih dalam masalah suku, ras dan agama. Seorang dari
mereka berdesah :
Aku tak lain dari seorang pelacak jalan, jika ia
tersesat
Maka tersesatlah aku, dan jika sampai ketujuan
maka sampai pulalah aku
Mereka tidak lagi memiliki seorang raja yang
dapat menyokong kemerdekaan mereka, atau seorang penengah tempat dimana
mereka merujuk dan mengadu dikala ditimpa kesusahan.
Sedangkan pemerintahan Hijaz sebaliknya, mata
seluruh orang-orang Arab tertuju kepadanya dan mendapatkan penghargaan dan
penghormatan dari mereka. Mereka menganggapnya sebagai pemimpin dan
pelaksana keagamaan. Realitasnya, memang pemerintahan tersebut merupakan
akumulasi antara kepemimpinan keduniawiaan, pemerintahan dalam arti yang
sebenarnya dan kepemimpinan keagamaan. Ketika mengadili persengketaan yang
terjadi antar orang-orang Arab, pemerintahan tersebut bertindak mewakili
kepemimpinan keagamaan dan ketika mengelola urusan masjid Haram dan hal-hal
yang berkaitan dengannya, maka ia lakukan sebagai pemerintah yang mengurusi
kemashlahatan orang-orang yang berkunjung ke Baitullah/Ka'bah, begitu juga
ia masih menjalankan syari'at Nabi Ibrahim. Pemerintahannya juga,
sebagaimana kami singgung sebelumnya, memiliki instansi-instansi dan bentuk-bentuk
yang menyerupai sistim parlemen, namun pemerintahan ini sangat lemah
sehingga tak mampu memikul tanggungjawabnya sebagaimana saat mereka
menyerang orang-orang Habasyah dulu.
|
AGAMA BANGSA ARAB
Mayoritas Bangsa Arab masih mengikuti dakwah
Nabi Ismail 'alaihissalam dan menganut agama yang dibawanya. Beliau
meneruskan dakwah ayahnya, Ibrahim 'alaihissalam, yaitu menyembah Allah dan
mentauhidkanNya. Untuk beberapa lama mereka akhirnya mulai lupa banyak hal
tentang apa yang pernah diajarkan kepada mereka. Sekalipun begitu, tauhid
dan beberapa syiar agama Ibrahim masih tersisa pada mereka, hingga
munculnya Amru bin Luhai, pemimpin Bani Khuza'ah. Dia tumbuh sebagai orang
yang dikenal suka berbuat kebajikan, bershadaqah dan respek terhadap
urusan-urusan agama, sehingga semua orang mencintainya dan hampir-hampir
mereka menganggapnya sebagai salah seorang ulama besar dan wali yang
disegani. Kemudian dia mengadakan perjalanan ke Syam. Disana dia melihat
penduduk Syam yang menyembah berhala dan menganggap hal itu sebagai sesuatu
yang baik serta benar. Sebab menurutnya, Syam adalah tempat para rasul dan
kitab. Maka dia pulang sambil membawa Hubal dan meletakkannya di dalam
ka'bah. Setelah itu dia mengajak penduduk Mekkah untuk menjadikan sekutu
bagi Allah. Orang-orang Hijaz pun banyak yang mengiktui penduduk Mekkah
karena mereka dianggap sebagai pengawas Ka'bah dan penduduk tanah suci.
Berhala yang paling dahulu mereka sembah adalah
Manat, yang ditempatkan di Musyallal di tepi laut Merah dekat Qudaid.
Kemudian mereka membuat Lata di Thaif dan Uzza di lembah kurma (wadi
nakhlah). Ketiga berhala tersebut merupakan yang paling besarnya. Setelah
itu kemusyrikan semakin merebak dan berhala-berhala yang lebih kecil
bertebaran di setiap tempat di Hijaz. Dikisahkan bahwa Amru bin Luhai
mempunyai pembantu dari jenis jin. Jin ini memberitahukan kepadanya bahwa
berhala-berhala kaum Nuh (Wud, Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr) terpendam di
Jeddah. Maka dia datang ke sana untuk mencari keberadaannya, lalu
membawanya ke Tihamah. Setelah tiba musim haji, dia menyerahkan
berhala-berhala itu kepada berbagai kabilah. Mereka membawa pulang
berhala-berhala itu ke tempat mereka masing-masing. Sehingga di setiap
kabilah dan di setiap rumah hampir pasti ada berhalanya. Mereka juga memajang
berbagai macam berhala dan patung di al-Masjidil Haram . Tatkala Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam menaklukkan Mekkah, di sekitar Ka'bah terdapat
tiga ratus enam puluh berhala. Beliau menghancurkan berhala-berhala itu
hingga runtuh semua, lalu memerintahkan agar berhala-berhala tersebut
dikeluarkan dari masjid dan dibakar.
Begitulah kisah kemusyrikan dan penyembahan
terhadap berhala, yang menjadi fenomena terbesar dari agama orang-orang
Jahiliyyah, yang menganggap dirinya masih menganut agama Ibrahim.
Mereka juga mempunyai beberapa tradisi dan
upacara penyembahan berhala, yang hampir semuanya dibuat oleh Amru bin
Luhai. Sementara orang-orang mengira apa yang dibuat Amru tersebut adalah
sesuatu yang baru dan baik serta tidak merubah agama Ibrahim. Diantara
upacara penyembahan berhala yang mereka lakukan adalah :
Mereka mengelilingi berhala dan mendatanginya,
berkomat-kamit di hadapannya, meminta pertolongan tatkala menghadapi
kesulitan, berdoa untuk memenuhi kebutuhan, dengan penuh keyakinan bahwa
berhala-berhala itu bisa memberikan syafa'at di sisi Allah dan mewujudkan
apa yang mereka kehendaki.
Mereka menunaikan haji dan thawaf di sekeliling
berhala, merunduk dan sujud di hadapannya.
Mereka bertaqarrub kepada berhala mereka dengan
berbagai bentuk taqarrub/ibadah; mereka menyembelih dan berkorban untuknya
dan dengan namanya.
Dua jenis penyembelihan ini telah disebutkan
Allah di dalam firmanNya :
"…Dan apa yang disembelih untuk
berhala…." (al-Maidah: 3)
"Dan jagnanlah kalian memakan binatang-binatang
yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya". (Al-An'am: 121).
Jenis taqarrub yang lain, mereka mengkhususkan
sebagian dari makanan dan minuman yang mereka pilih untuk disajikan kepada
berhala, dan juga mengkhususkan bagian tertentu dari hasil panen dan
binatang ternak mereka. Diantara hal yang amat aneh adalah perbuatan mereka
mengkhususkan bagian yang lain untuk Allah. Banyak sebab-sebab yang mereka
jadikan alasan kenapa mereka memindahkan sesembahan yang sebenarnya mereka
peruntukkan untuk Allah kepada berhala-berhala mereka, akan tetapi mereka
tidak memindahkan sama sekali sesembahan yang sudah diperuntukkan untuk
berhala mereka. Allah berfirman :
"Dan, mereka memperuntukkan bagi Allah satu
bagian dari tanaman yang diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai
dengan persangkaan mereka, ' Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala
kami'. Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka
tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah,
maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah
ketetapan mereka itu". (Al-An'am: 136).
Diantara jenis taqarrub yang mereka lakukan
ialah dengan bernazar menyajikan sebagian hasil tanaman dan ternak untuk
berhala-berhala. Allah berfirman :
" Dan, mereka mengatakan,'inilah binatang
ternak dan tanaman yang dilarang; tidak boleh memakannya, kecuali orang
yang kami kehendaki', menurut anggapan mereka, dan binatang ternak yang
mereka tidak menyebut nama Allah di waktu menyembelihnya, semata-mata
membuat-buat kedustaan terhadap Allah". (Al-An'am: 138).
Diantaranya lagi adalah ritual al-bahirah,
as-sa'ibah, al-washilah, al-hami . Ibnu Ishaq berkata: "al-bahirah
ialah anak as-sa'ibah yaitu onta betina yang telah beranak sepuluh betina
secara berturut-turut dan tidak diselingi sama sekali oleh yang jantan. Onta
semacam inilah yang dilakukan terhadapnya ritual sa'ibah; ia tidak boleh
ditunggangi, tidak boleh diambil bulunya, susunya tidak boleh diminum
kecuali oleh tamu. Jika kemudian melahirkan lagi anak betina, maka
telinganya harus dibelah. Setelah itu ia harus dilepaskan secara bebas
bersama induknya, dan juga harus mendapat perlakuan yang sama seperti
induknya. Al-Washilah adalah domba betina yang lahir dari lima perut; jika
kemudian lahir sepuluh betina secara berturut-turut dan tidak diantarai
lahirnya yang jantan, mereka mengadakan ritual washilah. Mereka berkata:
"aku telah melakukan washilah". Kemudian bila domba tersebut
beranak lagi, maka mereka persembahkan kepada kaum laki-laki saja kecuali
ada yang mati maka dalam hal ini kaum laki-laki dan wanita bersama-sama
melahapnya. Sedangkan Al-hami adalah onta jantan yang sudah membuahkan
sepuluh anak betina secara berturut-turut tanpa ada jantannya. Punggung
onta seperti ini dijaga, tidak boleh ditunggangi, tidak boleh diambil
bulunya, harus dibiarkan lepas dan tidak digunakan kecuali untuk
kepentingan ritual tersebut. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah
menurunkan ayat :
"Allah sekali-kali tidak pernah
mensyari'atkan adanya bahirah, sa'ibah, washilah dan hami. Akan tetapi
orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan
mereka tidak mengerti". (al-Maidah: 103).
Allah juga menurunkan ayat :
" Dan, mereka mengatakan :'apa yang di
dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria kami dan
diharamkan atas wanita kami', dan jika yang dalam perut itu dilahirkan
mati, maka pria dan wantia sama-sama boleh memakannya". (Al-An'am:
139).
Sa'id bin al-Musayyab telah menegaskan bahwa
binatang-binatang ternak diperuntukkan bagi taghut-taghut mereka. Di dalam
hadits yang shahih dan marfu', bahwa Amru bin Luhai adalah orang pertama
yang melakukan ritual saibah (mempersembahkan onta untuk berhala).
Bangsa Arab berbuat seperti itu terhadap
berhala-berhalanya, dengan disertai keyakinan bahwa hal itu bisa
mendekatkan mereka kepada Allah, menghubungkan mereka kepadaNya serta
meminta syafa'at kepadaNya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur'an :
"Kami tidak menyembah mereka melainkan
supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya".
(Az-Zumar:3).
"Dan, mereka menyembah selain daripada
Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan
tidak (pula) manfaat, dan mereka berkata: 'mereka itu adalah pemberi
syafa'at kepada kami disisi Allah". (Yunus: 18).
Orang-orang Arab juga mengundi nasib dengan
sesuatu yang disebut al-azlam atau anak panah yang tidak ada bulunya. Anak
panah itu ada tiga jenis: satu jenis ditulis dengan kata "ya",
satu lagi ditulis dengan kata "tidak" dan jenis ketiga dengan
kata "dibiarkan". Mereka mengundi nasib untuk menentukan apa yang
akan dilakukan, seperti bepergian, menikah atau lain-lainnya, dengan
menggunakan anak panah itu. Jika yang keluar tulisan "ya", mereka
melaksanakannya, dan jika yang keluar adalah tulisan "tidak" ,
mereka menangguhkannya pada tahun itu hingga mereka melakukannya lagi. Dan
jika yang mncul adalah tulisan "dibiarkan" mereka mengulangi
undiannya. Ada lagi jenis lain, yaitu tulisan "air" dan
"tebusan", begitu juga tulisan "dari kalian",
"bukan dari kalian" atau "disusul". Bila mereka ragu
terhadap nasab seseorang mereka membawanya ke hubal dan membawa serta juga
seratus hewan kurban lalu diserahkan kepada pengundi. Dalam hal ini, jika
yang keluar adalah tulisan "dari kalian", maka dia diangkat
sebagai penengah/pemutus perkara diantara mereka. Jika yang keluar tulisan
"bukan dari kalian" maka dia diangkat sebagai sekutu. Sedangkan
jika yang keluar adalah tulisan "disusul" maka kedudukannya di
tengah mereka adalah sebagai orang yang tidak bernasab dan tidak diangkat
sebagai sekutu.
Tak beda jauh dengan hal ini adalah perjudian
dan undian. Mereka membagi-bagikan daging unta yang mereka sembelih
berdasarkan undian tersebut.
Mereka juga percaya kepada perkataan peramal,
dukun (para normal) dan ahli nujum (astrolog). Peramal adalah orang yang
suka memberikan informasi tentang hal-hal yang akan terjadi di masa depan,
mengaku-aku dirinya mengetahui rahasia-rahasia. Diantara para peramal ini,
ada yang mendakwa dirinya memiliki pengikut dari bangsa jin yang memberikan
informasi kepadanya. Diantara mereka juga ada yang mendakwa mengetahui
hal-hal yang ghaib berdasarkan pemahaman yang diberikan kepadanya. Ada lagi
dari mereka yang mendakwa dirinya mengetahui banyak hal dengan mengemukan
premis-premis dan sebab-sebab yang dapat dijadikan bahan untuk mengetahui
posisinya berdasarkan kepada ucapan si penanya, perbuatannya atau
kondisinya; inilah yang disebut dengan 'arraf (dukun/para normal) seperti
orang yang mendakwa dirinya mengetahui barang yang dicuri, letak terjadinya
pencurian, juga orang yang tersesat, dan lain-lain. Sedangkan ahli nujum
(astrolog) adalah orang yang mengamati keadaan bintang dan planet, lalu dia
menghitung perjalanan dan waktu peredarannya, agar dengan begitu dia bisa
mengetahui berbagai keadaan di dunia dan peristiwa-peristiwa yang bakal
terjadi di kemudian hari. Membenarkan ramalan ahli nujum/astrolog ini pada
hakikatnya merupakan bentuk kepercayaan terhadap bintang-bintang. Diantara
keyakinan mereka terhadap bintang-bintang adalah keyakinan terhadap anwa'
(simbol tertentu yang dibaca sesuai dengan posisi bintang) ; oleh karenanya
mereka selalu mengatakan ; 'hujan yang turun ke atas kami ini lantaran
posisi bintang begini dan begitu'.
Di kalangan mereka juga beredar kepercayaan
ath-Thiyarah yaitu merasa nasib sial atau meramal nasib buruk (karena melihat
burung, binatang lainnya atau apa saja) . Pada mulanya mereka mendatangi
seekor burung atau kijang, lalu mengusirnya. Jika burung atau kijang itu
mengambil arah kanan, maka mereka jadi bepergian ke tempat yang hendak
dituju dan hal itu dianggap sebagai pertanda baik. Jika burung atau kijang
itu mengambil arah kisri, maka mereka tidak berani bepergian dan mereka
meramal hal itu sebagai tanda kesialan. Mereka juga meramal sial jika di
tengah jalan bertemu burung atau hewan tertentu.
Tak bebeda jauh dengan hal ini adalah kebiasaan
mereka yang menggantungkan ruas tulang kelinci (dengan kepercayaan bahwa
hal itu dapat menolak bala'-penj). Mereka juga menyandarkan kesialan kepada
hari-hari, bulan-bulan, hewan-hewan, rumah-rumah atau wanita-wanita. Begitu
juga keyakinan terhadap penularan penyakit dan binatang berbisa. Mereka
percaya bahwa orang yang mati terbunuh, jiwanya tidak tenteram jika
dendamnya tidak dilampiaskan. Ruhnya bisa menjadi binatang berbisa dan
burung hantu yang beterbangan di padang sahara/tanah lapang seraya
berteriak: 'Haus! haus! beri aku minum! beri aku minum!', dan bila telah
dilampiaskan dendamnya maka ruhnya merasa tenang dan tentram kembali.
Orang-orang Jahiliyah masih dalam kondisi
kehidupan demikian, tetapi ajaran Ibrahim masih tersisa pada mereka dan
belum ditinggalkan sama sekali, seperti pengagungan terhadap baitullah
(ka'bah), thawaf, haji, umrah, wukuf di 'Arafah dan Muzdalifah, serta
ritual mempersembahkan onta sembelihan untuk ka'bah. Memang, dalam hal ini
terjadi hal-hal yang mereka ada-adakan. Diantaranya; orang-orang Quraisy
berkata, 'kami anak keturunan Ibrahim dan penduduk tanah haram, penguasa
ka'bah dan penghuni Mekkah. Tak seorangpun dari Bangsa Arab yang mempunyai
hak dan kedudukan seperti kami- dalam hal ini, mereka menjuluki diri mereka
dengan alhums (kaum pemberani)- ; oleh karena itu tidak selayaknya kami
keluar dari tanah haram menuju tanah halal (di luar tanah haram). Mereka
tidak melaksanakan wuquf di Arafah, juga tidak ifadhah dari sana, tapi
melaukan ifadhah dari Muzdalifah. Mengenai hal ini,turun firman Allah:
"Kemudian bertolaklah kalian dari tempat
bertolaknya orang-orang banyak" . (al-Baqarah: 199).
Diantara hal-hal lain yang mereka katakana
adalah : "tidak selayaknya alhums mengkonsumsi keju, memasak dan menyaring
samin/mentega saat mereka sedang berihram, serta memasuki rumah-rumah
dengan pakaian dari bulu/wol. Juga tidak selayaknya berteduh ketika lagi
berteduh kecuali di rumah-rumah yang terbuat dari kulit selama mereka dalam
keadaan berihram".
Mereka juga berkata: "Penduduk di luar
tanah haram tidak boleh memakan makanan yang mereka bawa dari luar tanah
haram ke tanah haram, jika kedatangan mereka itu dimaksudkan untuk
melakukan haji atau umrah".
Hal-Hal lainya yang mereka buat-buat adalah
mereka melarang orang yang datang dari luar tanah haram bila mereka datang
dan berthawaf untuk pertama kalinya kecuali dengan mengenakan pakaian
kebesaran alhums dan jika mereka tidak mendapatkannya maka kaum laki-laki
harus thawaf dalam keadaan telanjang. Sementara wanita juga harus
menanggalkan seluruh pakaiannya kecuali pakaian rumah yang longgar,kemudian
baru berthawaf dan melantunkan :
"Hari ini tampak sebagian atau seluruhnya
apa yang nampak itu tiadalah ia perkenankan"
Dan berkaitan dengan itu, turun firman Allah :
"Hai anak Adam! Pakailah pakaian yang indah
di setiap (memasuki) masjid". (al-A'raf: 31).
Jika salah seorang dari laki-laki dan wanita
merasa lebih hormat untuk thawaf dengan pakaian yang dikenakannya dari luar
tanah haram maka sehabis thawaf dia harus membuangnya dan ketika itu tak
seorangpun yang boleh menggunakannya lagi; baik dari mereka maupun selain
mereka.
Hal lainya lagi adalah perlakuan mereka yang
tidak mau masuk rumah dari pintu depan bila sedang berihram, tetapi mereka
melubangi bagian tengah rumah untuk tempat masuk dan keluar, dan mereka
manganggap pikiran sempit semacam ini sebagai kebaktian (birr); maka hal
semacam ini kemudian dilarang oleh Al-Qur'an dalam firmanNya :
"Dan bukanlah kebaktian itu memasuki
rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaktian itu ialah kebaktian
orang yang bertakwa". (al-Baqarah: 189).
Kepercayaan semacam ini ; kepercayaan bernuansa
syirik, penyembahan terhadap berhala, keyakinan terhadap hipotesis-hipotesis
lemah dan khurafat-khurafat adalah merupakan kepercayaan/agama mayoritas
Bangsa Arab. Disamping itu juga, ada agama lain seperti; Yahudi, Nashrani,
Majusi dan Shabi'ah. Agama-agama ini juga mendapatkan jalan untuk memasuki
pemukiman Bangsa Arab.
Ada dua periode yang sempat mewakili keberadaan
orang-orang Yahudi di jazirah Arab:
Proses hijrah yang mereka lakukan pada periode
penaklukan Bangsa Babilonia dan Assyiria di Palestina; tekanan yang dialami
oleh orang-orang Yahudi, luluh lantaknya negeri dan hancurnya rumah ibadah
mereka oleh Bukhtanashshar pada tahun 587 SM serta ditawan dan dibawanya
sebagian besar mereka ke Babilonia menyebabkan sebagian mereka yang lain
meninggalkan negeri Palestina menuju Hijaz dan bermukim di sekitar belahan
utaranya.
Diawali dari sejak pendudukan yang dilakukan
oleh Bangsa Romawi terhadap Palestina dibawah komando Pettis pada tahun 70
M; adanya tekanan dari orang-orang Romawi terhadap bangsa Palestina, hancur
dan luluh lantaknya rumah ibadah mereka membuahkan berimigrasinya banyak
suku dari bangsa Yahudi ke Hijaz dan menetap di Yatsrib (Madinah
sekarang-penj), Khaibar dan Taima'. Disana mereka mendirikan perkampungan,
istana-istana dan benteng-benteng. Agama Yahudi tersebar di kalangan
sebagian bangsa Arab melalui kaum imigran Yahudi tersebut. Di kemudian
harinya mereka memiliki peran yang sangat signifikan dalam percaturan
politik pada periode tersebut sebelum munculnya Islam. Ketika Islam muncul,
suku-suku Yahudi yang sudah ada dan masyhur adalah Khaibar, an-Nadhir,
al-Mushthaliq, Quraizhah dan Qainuqa'. Sejarawan, as-Samhudi menyebutkan
dalam bukunya "wafâul wafa' " halaman 116 bahwa suku-suku Yahudi
yang mampir di Yatsrib dan datang ke sana dari waktu ke waktu berjumlah
lebih dari dua puluh suku.
Sementara itu, masuknya agama Yahudi di Yaman
adalah melalui penjual jerami, As'ad bin Abi Karb. Ketika itu, dia pergi
berperang ke Yatsrib dan disanalah dia memeluk agama Yahudi. Dia membawa
serta dua orang ulama Yahudi dari suku Bani Quraizhah ke Yaman. Agama
Yahudi tumbuh dan berkembang dengan pesat di sana, terlebih lagi ketika
anaknya, Yusuf yang bergelar Dzu Nuwas menjadi penguasa di Yaman; dia
menyerang penganut agama Nashrani dari Najran dan mengajak mereka untuk
menganut agama Yahudi, namun mereka menolak. Karena penolakan ini, dia
kemudian menggali parit dan mencampakkan mereka ke dalamnya lalu mereka
dibakar hidup-hidup. Dalam tindakannya ini, dia tidak membedakan antara
laki-laki dan perempuan, anak-anak kecil dan orang-orang berusia lanjut.
Sejarah mencatat, bahwa jumlah korban pembunuhan massal ini berkisar antara
20.000 hingga 40.000 jiwa. Peristiwa itu terjadi pada bulan Oktober tahun
523 M. Al-Qur'an menceritakan sebagian dari drama tragis tersebut dalam
surat al-Buruj (tentang Ashhabul Ukhdud).
Sedangkan agama Nasrani masuk ke jazirah Arab
melalui pendudukan orang-orang Habasyah dan Romawi. Pendudukan orang-orang
Habasyah yang pertama kali di Yaman terjadi pada tanun 340 M dan
berlangsung hingga tahun 378 M. Pada masa itu, gerakan kristenisasi mulai
merambah pemukiman di Yaman. Tak berapa jauh dari masa ini, seorang yang
yang dikenal sebagai orang yang zuhud, doanya mustajab dan juga dianggap
mempunyai kekeramatan. Orang ini dikenal dengan sebutan Fimiyun; dialah
yang datang ke Najran. Dia mengajak penduduk Najran untuk memeluk agama
Masehi. Mereka melihat tanda-tanda kejujuran pada dirinya dan kebenaran
agamanya. Oleh karena itu mereka menerima dakwahnya dan bersedia memeluk
agama Nasrani.
Tatkala orang-orang Habasyah menduduki Yaman
untuk kedua kalinya pada tahun 525 M; sebagai balasan atas perlakuan Dzu
Nuwas yang dulu pernah dilakukannya, dan tampuk pimpinan dipegang oleh
Abrahah, maka dia menyebarkan agama Nasrani dengan gencar dan target
sasaran yang luas hingga mencapai puncaknya yaitu tatkala dia membangun
sebuah gereja di Yaman, yang diberi nama "Ka'bah Yaman". Dia
menginginkan agar haji yang dilakukan oleh Bangsa Arab dialihkan ke gereja
ini. Disamping itu,dia juga berniat menghancurkan Baitullah di Mekkah,
namun Allah membinasakannya dan akan mengazabnya di dunia dan akhirat.
Agama Nashrani dianut oleh kaum Arab Ghassan,
suku-suku Taghlib dan Thayyi' dan selain kedua suku terakhir ini. Hal itu
disebabkan mereka bertetangga dengan orang-orang Romawi. Bukan itu saja,
bahkan sebagian raja-raja Hirah juga telah memeluknya.
Sedangkan agama Majusi lebih banyak berkembang
di kalangan orang-orang Arab yang bertetangga dengan orang-orang Persia
yaitu orang-orang Arab di Iraq, Bahrain (tepatnya di Ahsa'), Hajar dan
kawasan tepi pantai teluk Arab yang bertetangga dengannya. Elite-Elite
politik Yaman juga ada yang memeluk agama Majusi pada masa pendudukan
Bangsa Persia terhadap Yaman.
Adapun agama Shabi'ah; menurut penemuan yang
dilakukan melalui penggalian dan penelusuran peninggalan-peninggalan mereka
di negeri Iraq dan lain-lainnya menunjukkan bahwa agama tersebut dianut
oleh kaum Ibrahim Chaldeans. Begitu juga, agama tersebut dianut oleh
mayoritas penduduk Syam dan Yaman pada zaman purbakala. Setelah beruntunnya
kedatangan beberapa agama baru seperti agama Yahudi dan Nasrani, agama ini
mulai kehilangan identitasnya dan aktivutasnya mulai redup. Tetapi masih
ada sisa-sisa para pemeluknya yang membaur dengan para pemeluk Majusi atau
hidup berdampingan dengan mereka, yaitu di masyarakat Arab di Iraq dan di
kawasan tepi pantai teluk Arab.
Kondisi Kehidupan Agama
Agama-agama tersebut merupakan agama yang sempat
eksis sebelum kedatangan Islam. Namun dalam agama-agama tersebut, sudah
terjadi penyimpangan dan hal-hal yang merusak. Orang-orang Musyrik yang
mendakwa diri mereka adalah penganut agama Ibrahim, justeru keadaannya
teramat jauh dari perintah dan larangan syariat Ibrahim. Ajaran-ajaran
tentang akhlaq mulia mereka sudah abaikan sehingga maksiat tersebar
dimana-mana. Seiring dengan peralihan zaman secara bertahap terjadi
perkembang yang sama seperti ajpa yang dilakukan oleh para penyembah
berhala (paganis). Adat istiadat dan tradisi-tradisi yang berlaku telah
berubah menjadi khurafat-khurafat dalam agama dan ini memiliki dampak
negatif yang amat parah terhadap kehidupan sosio politik dan religi
masyarakat.
Lain lagi perubahan yang terjadi terhadap
orang-orang Yahudi; mereka telah menjadi manusia yang dijangkiti penyakit
riya' dan menghakimi sendiri. Para pemimpin mereka menjadi sesembahan selain
Allah; menghakimi masyarakat seenaknya dan bahkan menvonis mereka seakan
mereka mengetahui apa yang terbetik dihati dan dibibir mereka. Ambisi utama
mereka hanyalah bagaimana mendapatkan kekayaan dan kedudukan, sekalipun
berakibat lenyapnya agama dan menyebarnya kekufuran serta pengabaian
terhadap ajaran-ajaran yang telah diperintahkan oleh Allah dan yang harus
dijunjung tinggi oleh setiap orang.
Berbeda dengan agama Nashrani, ia berubah
menjadi agama berhala (paganisme) yang sulit dipahami dan mengalami
pencampuradukan yang amat janggal antara pemahaman terhadap Allah dan
manusia. Agama semacam ini tidak berpengaruh banyak dan secara signifikan terhadap
bangsa Arab karena ajaran-ajarannya jauh dari gaya hidup yang mereka kenal
dan lakoni. Karenanya, tidak mungkin pula mereka jauh dari gaya hidup
tersebut.
Sementara kondisi semua agama bangsa Arab, tak
ubahnya seperti kondisi orang-orang Musyrik; perasaan hati yang sama,
kepercayaan yang beragam, tradisi dan kebiasaan yang saling sinkron.
|
GAMBARAN MASYARAKAT ARAB JAHILIYAH
Setelah pada bagian yang lalu membahas kondisi
politik dan agama di jazirah Arab, kita masih menyisakan pembahasan tentang
kondisi sosial, politik dan moral. Berikut ulasan singkatnya:
Kondisi Sosial
Terdapat beragam klasifikasi dalam tatanan
masyarakat Arab dimana antar satu dengan lainnya, kondisinya berbeda-beda.
Hubungan seorang laki-laki dengan keluarganya di lapisan kaum bangsawan
mendapatkan kedudukan yang amat terpandang dan tinggi, kemerdekaan
berkehendak dan pendapat yang mesti didengar mendapatkan porsi terbesar.
Hubungan ini selalu dihormati dan dijaga sekalipun dengan pedang yang
terhunus dan darah yang tertumpah. Seorang laki-laki yang ingin dipuji
karena kemurahan hati dan keberaniannya di mata orang Arab, maka hendaklah
waktunya yang banyak hanya dipergunakan untuk berbicara dengan wanita. Jika
seorang wanita menghendaki, dia dapat mengumpulkan suku-suku untuk
kepentingan perdamaian, namun juga dapat menyulut api peperangan diantara
mereka. Meskipun demikian, tak dapat disangkal lagi bahwa seorang laki-laki
adalah kepala keluarga dan yang menentukan sikap didalamnya. Hubungan
antara laki-laki dan wanita yang berlangsung melalui akad nikah dan diawasi
oleh para walinya (wanita). Seorang wanita tidak memiliki hak untuk
menggurui mereka.
Sementara kondisi kaum bangsawan demikian,
kondisi yang dialami oleh lapisan masyarakat lainnya amat berbeda. Terdapat
beragam gaya hidup yang bercampur baur antara kaum laki-laki dan wanita.
Kami hanya bisa mengatakan bahwa semuanya adalah berupa pelacuran,
gila-gilaan, pertumpahan darah dan perbuatan keji. Imam Bukhari dan lainnya
meriwayatkan dari 'Aisyah radhiallâhu 'anha bahwa pernikahan pada masa
Jahiliyah terdiri dari empat macam:
Pertama , Pernikahan seperti pernikahan orang
sekarang; yaitu seorang laki-laki mendatangi laki-laki yang lain dan
melamar wanita yang dibawah perwaliannya atau anak perempuannya, kemudian
dia menentukan maharnya dan menikahkannya.
Kedua, seorang laki-laki berkata kepada
isterinya manakala ia sudah suci dari haidnya, "pergilah kepada si
fulan dan bersenggamalah dengannya", kemudian setelah itu, isterinya
ini ia tinggalkan dan tidak ia sentuh selamanya hingga tampak tanda
kehamilannya dari laki-laki tersebut. Dan bila tampak tanda kehamilannya,
bila si suaminya masih berselera kepadanya maka dia akan menggaulinya. Hal
tersebut dilakukan hanyalah lantaran ingin mendapatkan anak yang pintar.
Pernikahan semacam ini dinamakan dengan nikah al-Istibdha'.
Ketiga , sekelompok orang dalam jumlah yang
kurang dari sepuluh berkumpul, kemudian mendatangi seorang wanita dan
masing-masing menggaulinya. Jika wanita ini hamil dan melahirkan, kemudian
setelah berlalu beberapa malam dari melahirkan, dia mengutus kepada mereka
(sekelompok orang tadi), maka ketika itu tak seorang pun dari mereka yang
dapat mengelak hingga semuanya berkumpul kembali dengannya, lalu si wanita
ini berkata kepada mereka: "kalian telah mengetahui apa yang telah
kalian lakukan dan aku sekarang telah melahirkan, dan dia ini adalah anakmu
wahai si fulan!". Dia menyebutkan nama laki-laki yang dia senangi dari
mereka, maka anaknya dinasabkan kepadanya.
Keempat , Banyak laki-laki mendatangi seorang
wanita sedangkan si wanita ini tidak menolak sedikitpun siapa pun yang
mendatanginya. Mereka ini adalah para pelacur; di pintu-pintu rumah mereka
ditancapkan bendera yang menjadi simbol mereka dan siapa pun yang
menghendaki mereka maka dia bisa masuk. Jika dia hamil dan melahirkan,
laki-laki yang pernah mendatanginya tersebut berkumpul lalu mengundang ahli
pelacak (al-Qaafah) kemudian si ahli ini menentukan nasab si anak tersebut
kepada siapa yang mereka cocokkan ada kemiripannya dengan si anak lantas
dipanggillah si anak tersebut sebagai anaknya. Dalam hal ini, si laki-laki
yang ditunjuk ini tidak boleh menyangkal. Maka ketika Allah mengutus Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau hapuskan semua pernikahan
kaum Jahiliyah tersebut kecuali pernikahan yang ada saat ini.
Dalam tradisi mereka, antara laki-laki dan
wanita harus selalu berkumpul bersama dan diadakan dibawah kilauan
ketajaman mata pedang dan hulu-hulu tombak. Pemenang dalam perang antar
suku berhak menyandera wanita-wanita suku yang kalah dan menghalalkannya.
Anak-anak yang ibunya mendapatkan perlakuan semacam ini akan mendapatkan
kehinaan semasa hidupnya.
Kaum Jahiliyah terkenal dengan kehidupan dengan
banyak isteri (poligami) tanpa batasan tertentu. Mereka mengawini dua
bersaudara, mereka juga mengawini isteri bapak-bapak mereka bila telah
ditalak atau karena ditinggal mati oleh bapak mereka. Allah berfirman:
"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu
amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).(22)
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu
dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (Dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(23)". [Q.,s. 4/an-Nisa': 22-23].
Hak mentalak ada pada kaum laki-laki tetapi tidak memiliki batasan
tertentu.
Perbuatan zina merata pada setiap lapisan
masyarakat. Tidak dapat kita mengkhususkan hal itu kepada satu lapisan tanpa
menyentuh lapisan yang lainnya. Ada sekelompok laki-laki dan wanita yang
terkecuali dari hal tersebut. Mereka adalah orang-orang yang memiliki jiwa
besar dan menolak keterjerumusan dalam lumpur kehinaan. Wanita-wanita
merdeka kondisinya lebih bagus dari kondisi para budak wanita. Kondisi
mereka (budah wanita) amat parah sekali. Nampaknya, mayoritas kaum
Jahiliyah tidak merasakan keterjerumusan dalam perbuatan keji semacam itu
menjadi suatu aib bagi mereka. Imam Abu Daud meriwayatkan dari 'Amru bin
Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata: seorang laki-laki berdiri
sembari berkata: wahai Rasulullah! Sesungguhnya si fulan adalah anakku dari
hasil perzinaanku dengan seorang budak wanita pada masa Jahiliyah.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kemudian bersabda: "tidak ada
dakwaan dalam Islam (yang berkaitan dengan masa Jahiliyah). Urusan yang
terkait dengan masa Jahiliyah telah lenyap. Seorang anak adalah dari hasil
ranjang (dinasabkan kepada yang empunya ranjang,yaitu suami yang dengan
nikah yang shah-penj), sedangkan kehinaan adalah hanya bagi wanita
pezina". Begitu juga dalam hal ini, terdapat kisah yang amat terkenal
yang terjadi antara Sa'ad bin Abi Waqqash dan 'Abd bin Zam'ah dalam
mempersoalkan nasab anak dari budak wanita Zam'ah, yaitu 'Abdur Rahman bin
Zam'ah.
Sedangkan hubungan antara seorang bapak dengan
anak-anaknya, amat berbeda-beda; diantara mereka ada yang menguraikan
rangkaian bait:
Sungguh kehadiran anak-anak di tengah kami
Bagai buah hati, berjalan melenggang diatas bumi
Diantara mereka, ada yang mengubur hidup-hidup
anak- anak wanita mereka karena takut malu dan enggan menafkahinya. Anak
laki-laki dibunuh lantaran takut menjadi fakir dan melarat. Allah
berfirman: "…dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka..".
(Q.,s.6/al-An'am:151). Allah juga berfirman: "Dan apabila seseorang
dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah
padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.(58) Ia menyembunyikan dirinya dari
orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah
dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan
menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya
apa yang mereka tetapkan itu. (59)". (Q.,s. 16/an-Nahl: 58-59). Allah
berfirman lagi: "Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan. Kami lah Yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga
kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar".(Q.,s.
17/al-Isra': 31). Allah berfirman dalam ayat yang lain: "dan apabila
bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya". (Q.,s.
81/at-Takwir: 8). Akan tetapi kita tidak bisa menganggap bahwa apa yang
termaktub dalam ayat-ayat diatas telah mencerminkan moral yang berlaku umum
di masyarakat. Di sisi lain, mereka justru sangat mengharapkan anak
laki-laki untuk dapat membentengi diri mereka dari serangan musuh.
Sedangkan pergaulan antar seorang laki-laki
dengan saudaranya, anak-anak paman dan kerabatnya sangat kental dan kuat.
Mereka hidup dan mati demi fanatisme kesukuan. Semangat untuk bersatu
begitu membudaya antar sesama suku yang menambah rasa fanatisme tersebut.
Bahkan prinsip yang dipakai dalam sistem sosial adalah fanatisme rasial dan
hubungan tali rahim. Mereka hidup dibawah semboyan yang bertutur:
"Tolonglah saudaramu baik dia berbuat zhalim ataupun dizhalimi".
Mereka menerapkan semboyan ini sebagaimana adanya, tidak seperti arti yang
telah diralat oleh Islam yaitu menolong orang yang berbuat zhalim maksudnya
mencegahnya melakukan perbuatan itu. Meskipun begitu, perseteruan dan
persaingan dalam memperebutkan martabat dan kepemimpinan seringkali
mengakibatkan terjadinya perang antar suku yang masih memiliki hubungan
se-bapak. Kita dapat melihat fenomena tersebut pada apa yang terjadi antara
suku Aus dan Khazraj, 'Abs dan Dzubyan, Bakr dan Taghlib, dan lain-lain.
Di lain pihak, hubungan yang terjadi antar suku
yang berbeda-beda benar-benar berantakan. Kekuatan yang ada mereka gunakan
untuk berjibaku dalam peperangan. Hanya saja terkadang, rasa sungkan serta
rasa takut mereka terhadap sebagian tradisi dan kebiasan bersama yang sudah
ada dan berlaku antara ajaran agama dan khurafat sedikit mengurangi deras
dan kerasnya genderang perseteruan tersebut. Dan dalam kondisi tertentu,
loyalitas, persekutuan dan subordinasi yang terjalin menyebabkan antar suku
yang berbeda berangkul dan bersatu. Dan satu-satunya yang merupakan rahmat
dan penolong bagi mereka adalah adanya bulan-bulan yang diharamkan berperang
(al-Asyhurul Hurum) sehingga mereka dapat menghirup kehidupan dan mencari
rizki guna kebutuhan sehari-hari.
Singkat kata, bahwa kondisi sosial yang berlaku
di masyarakat Jahiliyah benar-benar rapuh dan dalam kebutaan. Kebodohan
mencapai puncaknya dan khurafat merajalela dimana-mana. Orang-Orang hidup
layaknya binatang ternak. Wanita diperjual belikan bahkan terkadang
diperlakukan bak benda mati. Hubungan antar umat sangat lemah, sementara
setiap ada pemerintahan maka ujug-ujugnya hanyalah untuk mengisi gudang
kekayaan mereka yang diambil dari rakyat atau menggiring mereka untuk
berperang melawan musuh-musuh yang mengancam kekuasaan mereka.
Kondisi Ekonomi
Kondisi sosial diatas berimbas kepada kondisi
ekonomi. Hal ini diperjelas dengan melihat cara dan gaya hidup bangsa Arab.
Berniaga merupakan sarana terbesar mereka dalam menggapai kebutuhan hidup,
namun begitu, roda perniagaan tidak akan stabil kecuali bila keamanan dan
perdamaian membarenginya. Akan tetapi kedua situasi tersebut lenyap dari Jazirah
Arab kecuali pada "al-Asyhurul Hurum" saja. Dalam bulan-bulan
inilah pasar-pasar Arab terkenal seperti 'Ukazh, Dzil Majaz, Majinnah dan
lainya beroperasi.
Sedangkan dalam kegiatan industri mereka
termasuk bangsa yang amat jauh jangkauannya dari hal itu. Sebagian besar
hasil perindustrian yang ada di kalangan bangsa Arab hanyalah berupa
tenunan, samak kulit binatang dan lainnya. Kegiatan ini ada pada masyarakat
Yaman, Hirah, dan pinggiran kota Syam. Benar, di kawasan domestik Jazirah
ada sedikit industri bercocok tanam, membajak sawah, dan beternak kambing,
sapi serta onta. Kaum wanita rata-rata menekuni seni memintal. Namun
barang-barang tersebut sewaktu-waktu dapat menjadi sasaran peperangan.
Kemiskinan, kelaparan serta kehidupan papa menyelimuti masyarakat.
Kondisi Moral
Kita tidak dapat memungkiri bahwa masyarakat
Jahiliyah identik dengan kehidupan nista, pelacuran dan hal-hal lain yang
tidak dapat diterima oleh akal sehat dan ditolak oleh perasaan. Namun
begitu, mereka juga mempunyai akhlak mulia dan terpuji yang amat menawan
siapa saja dan membuatnya terkesima dan takjub. Diantara akhlak tersebut
adalah:
Kemurahan hati
Mereka berlomba-lomba dalam sifat ini dan
membangga-banggakannya. Setengah dari bait-bait Sya'ir mereka penuh dengan
ungkapan tentang sifat ini antara pujian kepada diri sendiri dan kepada
orang lain yang memiliki sifat yang sama. Seseorang terkadang kedatangan
tamu di musim dingin yang membeku, kelaparan yang menggelayut serta dalam
kondisi tidak memiliki harta apa-apa selain onta betina yang merupakan
satu-satunya sumber hidupnya dan keluarganya, akan tetapi getaran kemurahan
hati yang menggema di dada membuat mereka tidak ragu-ragu untuk
mempersembahkan suguhan istimewa buat tamunya, lantas disembelihlah onta
satu-satunya tersebut. Diantara pengaruh sifat murah hati tersebut; mereka
sampai-sampai rela menanggung denda yang berlipat dan beban-beban berat
demi upaya mencegah pertumpahan darah dan lenyapnya jiwa. Mereka berbangga
dengan hal itu dan memuji-muji diri dihadapan para tokoh dan pemuka.
Pengaruh lain dari sifat tersebut, mereka
memuji-muji diri karena minum khamar/arak. Hal ini sebenarnya bukanlah
lantaran bangga dengan esensi minum-minum itu, tetapi lantaran hal itu
merupakan sarana menuju tertanamnya sifat murah hati tersebut, dan juga
sarana yang memudahkan tumbuhnya jiwa yang boros. Dan lantaran itu pula,
mereka menamakan pohon anggur dengan al-Karom (murah hati) sedangkan arak
yang terbuat dari anggur itu mereka namakan bintul Karom. Jika anda membuka
kembali Diwan (Buku-buku/lembaran-lembaran yang mengoleksi) sya'ir-sya'ir
Jahiliyah, anda akan menemukan satu bab yang bertema : al-Madih wal fakhr
(puji-pujian dan kebanggaan diri) . Dalam hal ini, 'Antarah bin Syaddad
al-'Absy mengurai bait-bait syairnya dalam Mu'allaqah-nya (Mu'allaqah
artinya yang digantungkan maksudnya bahwa kumpulan sya'ir-sya'ir tujuh
Penyair 'Arab terkenal pada masa itu yang dinamakan dengan al-Mu'allaqat
as-Sab', termasuk diantaranya 'Antarah ini, digantungkan secara bersama di
dinding ka'bah sehingga semua orang yang melakukan thawaf dapat mengetahui
sekaligus membacanya-penj):
"Sungguh aku telah menenggak arak di tempat
mulia sesudah wanita-wanita penghibur ditelantarkan dengan cangkir dari
kaca kuning diatas nampan nan terangkai bunga dalam genggaman tangan dingin
Saat aku menenggak, sungguh aku habiskan seluruh Hartaku,namun begitu,
kehormatanku masih sadarkan Kala aku tersadarkan, takkan lengah menyongsong
panggilan Sebagaimana hal itu melekat pada sifat dan tabi'atku"
Pengaruh lainnya dari sifat al-Karom adalah
mereka menyibukkan diri dalam bermain judi dimana mereka menganggap hal itu
sebagai sarana menuju sifat tersebut karena dari keuntungan yang diraih
dalam berjudi tersebut, mereka persembahkan buat memberi makan fakir
miskin. Atau bisa juga diambil dari sisa keuntungan yang diraih
masing-masing pemenang. Oleh karena itu, anda lihat Al-Qur'an tidak
mengingkari manfa'at dari khamar dan judi (maysir) itu, akan tetapi
menyatakan : "..Dan dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".
(Q,.s. 2/al-Baqarah: 219).
Menepati Janji
Janji dalam tradisi mereka adalah laksana agama
yang harus dipegang teguh meskipun untuk mendapatkannya mereka menganggap
enteng membunuhi anak-anak mereka dan menghancurkan tempat tinggal mereka
sendiri. Untuk mengetahui hal itu, cukup dengan membaca kisah Hani' bin
Mas'ud asy-Syaibany, as-Samaual bin 'Adiya dan Hajib bin Zurarah at-Tamimy.
Kebanggan pada diri sendiri dan sifat pantang
menerima pelecehan dan kezhaliman
Implikasi dari sifat ini, tumbuhnya pada diri
mereka keberanian yang amat berlebihan, cemburu buta dan cepatnya emosi
meluap. Mereka adalah orang-orang yang tidak akan pernah mau mendengar
ucapan yang mereka cium berbau penghinaan dan pelecehan. Dan apabila hal
itu terjadi, maka mereka tak segan-segan menghunus pedang dan mengacungkan
tombak, dan mengobarkan peperangan yang panjang. Mereka juga tidak peduli
bila nyawa mereka menjadi taruhannya demi mempertahankan sifat tersebut.
Tekad yang pantang surut
Bila mereka sudah bertekad untuk melakukan
sesuatu yang mereka anggap suatu kemuliaan dan kebanggaan maka tak ada
satupun yang dapat menyurutkan tekad mereka tersebut, bahkan mereka akan
nekad menerjang bahaya demi hal itu.
Lemah lembut, tenang dan waspada
Mereka menyanjung sifat-sifat semacam ini, hanya
saja keberadaannya seakan terhalangi oleh amat berlebihannya sifat
pemberani dan ketergesaan mereka dalam mengambil sikap untuk berperang.
Gaya hidup lugu dan polos ala Badui yang belum
terkontaminasi oleh kotoran peradaban dan tipu dayanya
Implikasi dari gaya hidup semacam ini, timbulnya
sifat jujur, amanah serta anti menipu dan mengibul.
Kita melihat bahwa tertanamnya akhlak yang amat
berharga ini, disamping letak geografis jazirah Arab di mata dunia adalah
sebagai sebab utama terpilihnya mereka untuk mengemban risalah yang
bersifat umum dan memimpin umat manusia dan masyarakat dunia. Sebab akhlak
ini meskipun sebagiannya dapat membawa kepada kejahatan dan menimbulkan
peristiwa yang tragis, namun sebenarnya ia adalah akhlak yang amat
berharga, dan akan menciptakan keuntungan bagi umat manusia secara umum
setelah adanya sedikit koreksi dan perbaikan atasnya. Dan hal inilah yang
dilakukan oleh Islam ketika datang.
Nampaknya, akhlak yang paling berharga dan amat
bermanfaat menurut mereka setelah sifat menepati janji adalah sifat
kebanggaan pada diri dan tekad pantang surut. Hal demikian, karena tidak
mungkin dapat mengikis kejahatan dan kerusakan yang ada serta menciptakan
sistem yang penuh dengan keadilan dan kebaikan kecuali dengan kekuatan yang
memiliki daya gempur dan tekad yang membaja.
Selain sifat-sifat diatas, mereka juga memiliki
sifat-sifat mulia lainnya namun bukanlah maksud kami menghadirkannya disini
untuk melacaknya secara tuntas.
|
Nasab Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
Nasab Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam terbagi
ke dalam tiga klasifikasi: Pertama, yang disepakati oleh ahlus Siyar wal
Ansaab (Para Sejarawan dan Ahli Nasab); yaitu urutan nasab beliau hingga
kepada Adnan. Kedua, yang masih diperselisihkan antara yang mengambil sikap
diam dan tidak berkomentar dengan yang mengatakan sesuatu tentangnya, yaitu
urutan nasab beliau dari atas Adnan hingga Ibrahim 'alaihissalam. Ketiga,
yang tidak diragukan lagi bahwa didalamnya terdapat riwayat yang tidak
shahih, yaitu urutan nasab beliau mulai dari atas Ibrahim hingga Nabi Adam
'alaihissalam. Kami sudah singgung sebagiannya, dan berikut ini penjelasan
detail tentang ketiga klasifikasi tersebut:
Klasifikasi Pertama: Muhammad bin 'Abdullah bin
'Abdul Muththalib (nama aslinya; Syaibah) bin Hasyim (nama aslinya: 'Amru)
bin 'Abdu Manaf (nama aslinya: al-Mughirah) bin Qushai (nama aslinya: Zaid)
bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luai bin Ghalib bin Fihr (julukannya:
Quraisy yang kemudian suku ini dinisbatkan kepadanya) bin Malik bin
an-Nadhar (nama aslinya: Qais) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah (nama
aslinya: 'Amir) bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'add bin Adnan.
Klasifikasi Kedua: (dari urutan nasab diatas
hingga ke atas Adnan) yaitu, Adnan bin Adad bin Humaisa' bin Salaaman bin
'Iwadh bin Buuz bin Qimwaal bin Abi 'Awwam bin Naasyid bin Hiza bin Buldaas
bin Yadlaaf bin Thaabikh bin Jaahim bin Naahisy bin Maakhi b in 'Iidh bin
'Abqar bin 'Ubaid bin ad-Di'aa bin Hamdaan bin Sunbur bin Yatsribi bin
Yahzan bin Yalhan bin Ar'awi bin 'Iidh bin Diisyaan bin 'Aishar bin Afnaad
bin Ayhaam bin Miqshar bin Naahits bin Zaarih bin Sumay bin Mizzi bin
'Uudhah bin 'Uraam bin Qaidaar bin Isma'il bin Ibrahim 'alaihimassalam.
Klasifikasi Ketiga: (dari urutan nasab kedua
klasifikasi diatas hingga keatas Nabi Ibrahim) yaitu, Ibrahim 'alaihissalam
bin Taarih (namanya: Aazar) bin Naahuur bin Saaruu' atau Saaruugh bin
Raa'uw bin Faalikh bin 'Aabir bin Syaalikh bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh
'alaihissalam bin Laamik bin Mutwisylakh bin Akhnukh (ada yang mengatakan
bahwa dia adalah Nabi Idris 'alaihissalam) bin Yarid bin Mahlaaiil bin
Qainaan bin Aanuusyah bin Syits bin Adam 'alaihissalam.
Keluarga besar Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
Al-Usrah an-Nabawiyyah (Keluarga Besar Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam) lebih dikenal dengan sebutan al-Usrah
al-Hasyimiyyah (dinisbatkan kepada kakek beliau, Hasyim bin 'Abdu Manaf),
oleh karenanya kita sedikit akan menyinggung tentang kondisi Hasyim ini dan
orang-orang setelahnya dari keluarga besar beliau Shallallahu 'alaihi
wasallam :
Hasyim : Sebagaimana telah kita singgung bahwa
Hasyim adalah orang yang bertindak sebagai penanggung jawab atas penanganan
air (as-Siqayah) dan penyediaan makanan (ar-Rifadah) terhadap Baitullah
dari keluarga Bani 'Abdi Manaf ketika terjadi perundingan antara Banu 'Abdi
Manaf dan Banu 'Abdid Daar dalam masalah pembagian kekuasaan antar kedua
belah fihak. Hasyim dikenal sebagai orang yang hidup dalam kondisi yang
baik dan memiliki martabat tinggi. Dia lah orang pertama yang menyediakan
makanan berbentuk ats-Tsarid (semacam roti yang diremuk dan direndam dalam
kuah) kepada jama'ah-jama'ah haji di Mekkah. Nama aslinya adalah 'Amru,
adapun kenapa dia dinamakan Hasyim, hal ini dikarenakan pekerjaannya yang
meremuk-remukan roti (sesuai dengan arti kata Hasyim dalam Bahasa
Arabnya-red). Dia juga lah orang pertama yang mencanangkan program dua kali
rihlah (bepergian) bagi kaum Quraisy, yaitu: Rihlatus Syitaa' ; bepergian
di musim dingin dan Rihlatush Shaif; bepergian di musim panas (sebagaimana
dalam surat Quraisy ayat 2 -red). Berkenaan dengan hal ini, seorang penyair
bersenandung:
'Amru lah orang yang menghidangkan at-Tsarid
kepada kaumnya
Kaum yang ditimpa kurang hujan dan paceklik
Dia lah yang mencanangkan bagi mereka dua rihlah
musiman
Rihlah/bepergian di musim dingin dan di musim
panas
Diantara kisah tentang dirinya; suatu hari dia
pergi ke kota Syam untuk berdagang, namun ketika sampai di Madinah dia
menikah dahulu dengan Salma binti 'Amru, salah seorang puteri 'Uday bin
an-Najjar. Dia tinggal bersama isterinya untuk beberapa waktu kemudian
berangkat ke kota Syam (ketika itu isterinya ditinggalkan bersama
keluarganya dan sedang mengandung bayinya yang kemudian dinamai dengan
'Abdul Muththalib). Hasyim akhirnya meninggal di kota Ghazzah (Ghaza) di
tanah Palestina. Isterinya, Salma melahirkan puteranya, 'Abdul Muththalib
pada tahun 497 M. Ibunya menamakannya dengan Syaibah karena tumbuhnya uban
(yang dalam Bahasa 'Arabnya adalah "syaibah"- red) di kepalanya.
Dia mendidik anaknya di rumah ayahnya (Hasyim-red) di Yatsrib sedangkan
keluarganya yang di Mekkah tidak seorang pun diantara mereka yang tahu
tentang dirinya. Hasyim mempunyai empat orang putera dan lima orang puteri.
Keempat puteranya tersebut adalah: Asad, Abu Shaifi, Nadhlah dan 'Abdul
Muththalib. Sedangkan kelima puterinya adalah: asy-Syifa', Khalidah,
Dha'ifah, Ruqayyah dan Jannah.
'Abdul Muththalib : dari pembahasan yang telah
lalu kita telah mengetahui bahwa tanggung jawab atas penanganan as-Siqayah
dan ar-Rifadah setelah Hasyim diserahkan kepada saudaranya, al-Muththalib
bin 'Abdu Manaf {Dia adalah orang yang ditokohkan, disegani dan memiliki
kharisma di kalangan kaumnya. Orang-orang Quraisy menjulukinya dengan al-Fayyadh
karena kedermawanannya (sebab al-Fayyadh artinya dalam Bahasa Arab adalah
yang murah hati-red)}. Ketika Syaibah ('Abdul Muththalib) menginjak remaja
sekitar usia 7 tahun atau 8 tahun lebih, al-Muththalib, kakeknya mendengar
berita tentang dirinya lantas dia pergi mencarinya. Ketika bertemu dan
melihatnya, berlinanglah air matanya, lalu direngkuhnya erat-erat dan
dinaikkannya ke atas tunggangannya dan memboncengnya namun cucunya ini
menolak hingga diizinkan dahulu oleh ibunya. Kakeknya, al- Muththalib
kemudian meminta persetujuan ibunya agar mengizinkannya membawa serta
cucunya tersebut tetapi dia (ibunya) menolak permintaan tersebut.
Al-Muththalib lantas bertutur: "sesungguhnya dia (cucunya, 'Abdul
Muththalib) akan ikut bersamanya menuju kekuasaan yang diwarisi oleh
ayahnya (Hasyim-red), menuju Tanah Haram Allah". Barulah kemudian
ibunya mengizinkan anaknya dibawa. Abdul Muththalib dibonceng oleh
kakeknya, al-Muththalib dengan menunggangi keledai miliknya. Orang-orang
berteriak: "inilah 'Abdul Muththalib!". Kakeknya, al-Muththalib
memotong teriakan tersebut sembari berkata: "celakalah kalian! Dia ini
adalah anak saudaraku (keponakanku), Hasyim". 'Abdul Muththalib
akhirnya tinggal bersamanya hingga tumbuh dan menginjak dewasa. Al-Muthtthalib
meninggal di Rodman, di tanah Yaman dan kekuasaannya kemudian digantikan
oleh cucunya, 'Abdul Muththalib. Dia menggariskan kebijakan terhadap
kaumnya persis seperti nenek-nenek moyang dulu akan tetapi dia berhasil
melampaui mereka; dia mendapatkan kedudukan dan martabat di hati kaumnya
yang belum pernah dicapai oleh nenek-nenek moyangnya terdahulu; dia
dicintai oleh mereka sehingga kharisma dan wibawanya di hati mereka semakin
besar.
Ketika al-Muththalib meninggal dunia, Naufal
(paman 'Abdul Muththalib) menyerobot kekuasaan keponakannya tersebut.
Tindakan ini menimbulkan amarahnya yang serta merta meminta pertolongan
para pemuka Quraisy untuk membantunya melawan sang paman. Namun mereka
menolak sembari berkata: "kami tidak akan mencampuri urusanmu dengan
pamanmu itu". Akhirnya dia menyurati paman-pamannya dari pihak ibunya,
Bani an-Najjar dengan rangkaian bait-bait sya'ir yang berisi ungkapan
memohon bantuan mereka. Pamannya, Abu Sa'd bin 'Uday bersama delapan puluh
orang kemudian berangkat menuju ke arahnya dengan menunggang kuda. Sesampai
mereka di al-Abthah, sebuah tempat di Mekkah dia disambut oleh 'Abdul
Muththalib yang langsung bertutur kepadanya: "silahkan mampir ke
rumah, wahai paman!". Pamannya menjawab: "demi Allah, aku tidak
akan ( mampir ke rumahmu-red) hingga bertemu dengan Naufal", lantas
dia mendatanginya dan mencegatnya yang ketika itu sedang duduk-duduk di
dekat al-Hijr (Hijr Isma'il) bersama para sesepuh Quraisy. Abu Sa'd
langsung mencabut pedangnya seraya mengancam: "Demi Pemilik rumah ini (Ka'bah)!
Jika tidak engkau kembalikan kekuasaan anak saudara perempuanku
(keponakanku) maka aku akan memenggalmu dengan pedang ini". Naufal
berkata: "sudah aku kembalikan kepadanya!". Ucapannya ini
disaksikan oleh para sesepuh Quraisy tersebut. Kemudian barulah dia mampir
ke rumah 'Abdul Muththalib dan tinggal di sana selama tiga hari. Selama
disana, dia melakukan umrah (ala kaum Quraisy dahulu sebelum kedatangan
Islam-red) kemudian pulang ke Madinah. Menyikapi kejadian yang dialaminya
tersebut, Naufal akhirnya bersekutu dengan Bani 'Abdi Syams bin 'Abdi Manaf
untuk menandingi Bani Hasyim. Suku Khuza'ah tergerak juga untuk menolong
'Abdul Muththalib setelah melihat pertolongan yang diberikan oleh Bani
an-Najjar terhadapnya. Mereka berkata (kepada Bani an-Najjar):"kami juga
melahirkannya ('Abdul Muththalib juga merupakan anak/turunan kami-red)
seperti kalian, namun kami justru lebih berhak untuk menolongnya". Hal
ini lantaran ibu dari 'Abdi Manaf adalah keturunan mereka. Mereka memasuki
Darun Nadwah dan bersekutu dengan Bani Hasyim untuk melawan Bani 'Abdi
Syams dan Naufal. Persekutuan inilah yang kemudian menjadi sebab penaklukan
Mekkah sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.
Ada dua momentum besar yang terjadi atas
Baitullah di masa 'Abdul Muththalib: Pertama, Penggalian sumur Zam-zam.
Kedua, datangnya pasukan gajah.
Ringkasan momentum pertama : 'Abdul Muththalib
bermimpi dirinya diperintahkan untuk menggali Zam-zam dan dijelaskan
kepadanya dimana letaknya, lantas dia melakukan penggalian (sesuai dengan
petunjuk mimpi tersebut-red) dan menemukan didalamnya benda-benda terpendam
yang dulu dikubur oleh suku Jurhum ketika mereka akan keluar meninggalkan
Mekkah; yaitu berupa pedang-pedang, tameng-tameng besi (baju besi) dan dua
pangkal pelana yang terbuat dari emas. Pedang-pedang kemudian dia jadikan
sebagai pintu Ka'bah, sedangkan dua pangkal pelana tersebut dia jadikan
sebagai lempengan-lempengan emas dan ditempelkan di pintu tersebut. Dia
juga menyediakan tempat untuk pelayanan air Zam-zam bagi para jama'ah haji.
Ketika sumur Zam-zam berhasil digali,
orang-orang Quraisy mempermasalahkannya. Mereka berkata kepadanya:
"ikutsertakan kami!". Dia menjawab: "aku tidak akan
melakukannya sebab ini merupakan proyek yang sudah aku tangani secara
khusus". Mereka tidak tinggal diam begitu saja tetapi menyeretnya ke
pengadilan seorang dukun wanita dari Bani Sa'd, di pinggiran kota Syam
namun dalam perjalanan mereka, bekal air pun habis lalu Allah turunkan
hujan ke atas 'Abdul Muththalib tetapi tidak setetespun tercurah ke atas
mereka. Mereka akhirnya tahu bahwa urusan Zam-zam telah dikhususkan kepada
'Abdul Muththalib dan pulang ke tempat mereka masing-masing. Saat itulah
'Abdul Muththalib bernazar bahwa jika dikaruniai sepuluh orang anak dan
mereka sudah mencapai usia baligh, meskipun mereka mencegahnya guna
mengurungkan niatnya untuk menyembelih salah seorang dari mereka disisi
Ka'bah maka dia tetap akan melakukannya.
Ringkasan momentum kedua: Abrahah ash-Shabbah
al-Habasyi, penguasa bawahan an-Najasyi di negeri Yaman ketika melihat orang-orang
Arab melakukan haji ke Ka'bah, dia juga membangun gereja yang amat megah di
kota Shan'a'. Tujuannya adalah agar orang-orang Arab mengalihkan haji
mereka ke sana. Niat jelek ini didengar oleh seorang yang berasal dari Bani
Kinanah. Dia secara diam-diam mengendap-endap menerobos malam memasuki
gereja tersebut, lalu dia lumuri kiblat mereka tersebut dengan kotoran.
Tatkala mengetahui perbuatan ini meledaklah amarah Abrahah dan sertamerta
dia mengerahkan pasukan besar yang kuat (berkekuatan 60.000 personil) ke
Ka'bah untuk meluluhlantakkannya. Dia juga memilih gajah paling besar
sebagai tunggangannya. Dalam pasukan tersebut terdapat sembilan ekor gajah
atau tiga ekor. Dia meneruskan perjalanannya hingga sampai di al-Maghmas
dan disini dia memobilisasi pasukannya, menyiagakan gajahnya dan
bersiap-siap melakukan invasi ke kota Mekkah. Akan tetapi baru saja mereka
sampai di Wadi Mahsar (Lembah Mahsar) yang terletak antara Muzdalifah dan
Mina, tiba-tiba gajahnya berhenti dan duduk. Gajah ini tidak mau lagi
berjalan menuju Ka'bah dan ogah dikendalikan oleh mereka baik ke arah
selatan, utara atau timur; setiap mereka perintahkan ke arah-arah tersebut,
gajah berdiri dan berlari dan bila mereka arahkan ke Ka'bah, gajah tersebut
duduk. Manakala mereka mengalami kondisi semacam itu, Allah mengirimkan ke
atas mereka burung-burung yang berbondong-bondong yang melempari mereka
dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar. Lalu Dia Ta'ala menjadikan
mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat). Burung tersebut semisal besi
yang berkeluk/pengait (khathaathiif) dan kacang adas (balsan). Setiap
burung melempar tiga buah batu; sebuah diparuhnya, dan dua buah di kedua
kakinya berbentuk seperti kerikil. Bila lemparan batu tersebut mengenai
seseorang maka anggota-anggota badan orang tersebut akan menjadi
berkeping-keping dan hancur. Tidak semua mereka terkena lemparan tersebut;
ada yang dapat keluar melarikan diri tetapi mereka saling berdesakan satu
sama lainnya sehingga banyak yang jatuh di jalan-jalan lantas mereka binasa
terkapar di setiap tempat. Sedangkan Abrahah sendiri, Allah kirimkan
kepadanya satu penyakit yang membuat sendi jari-jemari tangannya tanggal
dan berjatuhan satu per-satu. Sebelum dia mencapai Shan'a' maka dia tak
ubahnya seperti seekor anak burung yang dadanya terbelah dari hatinya,
untuk kemudian dia roboh tak bernyawa.
Adapun kondisi orang-orang Quraisy; mereka
berpencar-pencar ke lereng-lereng gunung dan bertahan di bukit-bukitnya
karena merasa ngeri dan takut kejadian tragis yang menimpa pasukan Abrahah
tersebut akan menimpa diri mereka juga. Manakala pasukan tersebut telah
mengalami kejadian tragis dan mematikan tersebut, mereka turun gunung dan
kembali ke rumah masing-masing dengan rasa penuh aman.
Peristiwa tragis tersebut terjadi pada bulan
Muharram, lima puluh hari atau lima puluh lima hari (menurut pendapat
mayoritas) sebelum kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam; yaitu
bertepatan dengan penghujung bulan Pebruari atau permulaan bulan Maret pada
tahun 571 M. Peristiwa tersebut ibarat prolog yang disajikan oleh Allah
untuk NabiNya dan BaitNya. Sebab ketika kita memandang ke Baitul Maqdis,
kita melihat bahwa kiblat ini (dulu, sebelum Ka'bah-red) telah dikuasai
oleh musuh-musuh Allah dari kalangan kaum Musyrikin dimana ketika itu
penduduknya beragama Islam, yakni sebagaimana yang terjadi dengan tindakan
Bukhtanashshar terhadapnya pada tahun 587 SM dan oleh bangsa Romawi pada
tahun 70 M. Sebaliknya Ka'bah tidak pernah dikuasai oleh orang-orang
Nasrani (mereka ketika itu disebut juga sebagai orang-orang Islam/Muslimun)
padahal penduduknya adalah kaum Musyrikin.
Peristiwa tragis tersebut juga terjadi dalam
kondisi yang dapat mengekspos beritanya ke seluruh penjuru dunia yang
ketika itu sudah maju; Diantaranya, Negeri Habasyah yang ketika itu
memiliki hubungan yang erat dengan orang-orang Romawi . Di sisi lain, orang-orang
Farsi masih mengintai mereka dan menunggu apa yang akan terjadi terhadap
orang-orang Romawi dan sekutu-sekutunya. Maka, ketika mendengar peristiwa
tragis tersebut, orang-orang Farsi segera berangkat menuju Yaman. Kedua
negeri inilah (Farsi dan Romawi) yang saat itu merupakan negara maju dan
berperadaban (superpower). Peristiwa tersebut juga mengundang perhatian
dunia dan memberikan isyarat kepada mereka akan kemuliaan Baitullah.
Baitullah inilah yang dipilih olehNya untuk dijadikan sebagai tempat suci.
Jadi, bila ada seseorang yang berasal dari tempat ini mengaku sebagai
pengemban risalah kenabian maka hal inilah sesungguhnya yang merupakan kata
kunci dari terjadinya peristiwa tersebut dan penjelasan atas hikmah
terselubung di balik pertolongan Allah terhadap Ahlul Iman (kaum Mukminin)
melawan kaum Musyrikin; suatu cara yang melebihi kejadian Alam yang
bernuasa kausalitas ini.
'Abdul Muththalib mempunyai sepuluh orang
putera, yaitu: al-Harits, az-Zubair, Abu Thalib, 'Abdullah, Hamzah, Abu
Lahab, al-Ghaidaaq, al-Muqawwim, Shaffar, al-'Abbas. Ada riwayat yang
menyebutkan bahwa mereka berjumlah sebelas orang, yaitu ditambah dengan
seorang putera lagi yang bernama Qutsam. Ada lagi versi riwayat yang
menyebutkan bahwa mereka berjumlah tiga belas orang ditambah (dari
nama-nama yang sudah ada pada dua versi diatas) dengan dua orang putera
lagi yang bernama 'Abdul Ka'bah dan Hajla. Namun ada riwayat yang
menyebutkan bahwa 'Abdul Ka'bah ini tak lain adalah al-Muqawwim diatas
sedangkan Hajla adalah al-Ghaidaaq dan tidak ada diantara putera-puteranya
tersebut yang bernama Qutsam. Adapun puteri-puterinya berjumlah enam orang,
yaitu: Ummul Hakim (yakni al-Baidha'/si putih), Barrah, 'Atikah, Arwa dan
Umaimah.
'Abdullah, ayahanda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam : Ibu 'Abdullah bernama Fathimah binti 'Amru bin 'Aaiz bin
'Imran bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah. 'Abdullah ini adalah anak yang
paling tampan diantara putera-putera 'Abdul Muththalib, yang paling bersih
jiwanya dan paling disayanginya. Dia lah yang sebenarnya calon kurban yang
dipersembahkan oleh 'Abdul Muththalib sesuai nazarnya diatas. Ceritanya;
ketika 'Abdul Muththalib sudah komplit mendapatkan sepuluh orang putera dan
mengetahui bahwa mereka mencegahnya untuk melakukan niatnya, dia kemudian memberitahu
mereka perihal nazar tersebut sehingga mereka pun menaatinya. Dia menulis
nama-nama mereka di anak panah yang akan diundikan diantara mereka dan
dipersembahkan kepada patung Hubal, kemudian undian tersebut dimulai maka
setelah itu keluarlah nama 'Abdullah. 'Abdul Muththalib membimbingnya
sembari membawa pedang dan mengarahkan wajahnya ke Ka'bah untuk segera
disembelih, namun orang-orang Quraisy mencegahnya, terutama paman-pamannya
(dari fihak ibu) dari Bani Makhzum dan saudaranya, Abu Thalib. Menghadapi
sikap tersebut, 'Abdul Muththalib berkata: "lantas, apa yang harus
kuperbuat dengan nazarku?". Mereka menyarankannya agar dia
menghadirkan dukun/peramal wanita dan meminta petunjuknya. Dia kemudian
datang kepadanya dan meminta petunjuknya. Dukun/peramal wanita ini
memerintahkannya untuk menjadikan anak panah undian tersebut diputar antara
nama 'Abdullah dan sepuluh ekor onta; jika yang keluar nama Abdullah maka
dia ('Abdul Muththalib) harus menambah tebusan sepuluh ekor onta lagi,
begitu seterusnya hingga Tuhannya ridha. Dan jika yang keluar atas nama
onta maka dia harus menyembelihnya sebagai kurban. 'Abdul Muththalib pun
kemudian pulang ke rumahnya dan melakukan undian (sebagaimana yang
diperintahkan dukun wanita tersebut) antara nama 'Abdullah dan sepuluh ekor
onta, lalu keluarlah yang nama 'Abdullah; bila yang terjadi seperti ini
maka dia terus menambah tebusan atasnya sepuluh ekor onta begitu
seterusnya, setiap diundi maka yang keluar adalah nama 'Abdullah dan diapun
terus menambahnya dengan sepuluh ekor onta hingga onta tersebut sudah
berjumlah seratus ekor berulah undian tersebut jatuh kepada onta-onta
tersebut, maka dia kemudian menyembelihnya dan meninggalkannya begitu saja
tanpa ada yang menyentuhnya baik oleh tangan manusia maupun binatang buas.
Dulu diyat (denda) di kalangan orang Quraisy dan Bangsa 'Arab secara
keseluruhan dihargai dengan sepuluh ekor onta, namun sejak peristiwa itu
maka dirubah menjadi seratus ekor onta yang kemudian dilegitimasi oleh
Islam. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya
beliau bersabda: "Aku lah anak (cucu) kedua orang yang dipersembahkan
sebagai sembelihan/kurban". Yakni, Nabi Isma'il 'alaihissalam dan ayah
beliau 'Abdullah (Ibnu Hisyam;I/151-155, Tarikh ath-Thabari; II/240-243).
'Abdul Muththalib memilihkan buat puteranya,
'Abdullah seorang gadis bernama Aminah binti Wahab bin 'Abdu Manaf bin
Zahrah bin Kilab. Aminah ketika itu termasuk wanita idola di kalangan
orang-orang Quraisy baik dari sisi nasab ataupun martabatnya. Ayahnya adalah
pemuka suku Bani Zahrah secara nasab dan kedudukannya. Akhirnya 'Abdullah
dikawinkan dengan Aminah dan tinggal bersamanya di Mekkah. Tak berapa lama
kemudian, dia dikirim oleh ayahnya, 'Abdul Muththalib ke Madinah. Ketika
sampai disana dia sedang dalam kondisi sakit, sehingga kemudian meninggal
disana dan dikuburkan di Daar an-Naabighah al-Ja'di. Ketika (meninggal) itu
dia baru berumur 25 tahun dan tahun meninggalnya tersebut adalah sebelum
kelahiran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana pendapat
mayoritas sejarawan. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa dia meninggal dua
bulan atau lebih setelah kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.
Ketika berita kematiannya sampai ke Mekkah, Aminah, sang isteri meratapi
kepergian sang suami dengan untaian ar-Ratsaa' (bait syair yang berisi
ungkapan kepedihan hati atas kematian seseorang dengan menyebut
kebaikan-kebaikannya-red) yang paling indah dan menyentuh:
Seorang putera Hasyim tiba (dengan kebaikan) di
tanah lapang berkerikil
Keluar menghampiri liang lahad tanpa
meninggalkan kata yang jelas
Rupanya kematian mengundangnya lantas
disambutnya
Tak pernah ia (maut) mendapatkan orang semisal
putera Hasyim
Di saat mereka tengah memikul keranda
kematiannya
Kerabat-kerabatnya saling berdesakan untuk melayat/mengantarnya
Bila lah pemandangan berlebihan itu diperlakukan
maut untuknya
Sungguh itu pantas karena dia adalah si banyak
memberi dan penuh kasih.
Keluruhan harta yang ditinggalkan oleh 'Abdullah
adalah: lima ekor onta, sekumpulan kambing, seorang budak wanita dari
Habasyah bernama Barakah dan Kun-yah (nama panggilannya) adalah Ummu Aiman
yang merupakan pengasuh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
|
MILAD DAN EMPAT PULUH TAHUN SEBELUM KENABIAN
Milad Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
Sayyidul Mursalin, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam di lahirkan di tengah kabilah besar, Bani Hasyim di Mekkah
pada pagi hari Senin, tanggal 9 Rabi'ul Awwal, tahun pertama tragedi
pasukan gajah atau empat puluh tahun dari berlalunya kekuasaan kisra Anusyirwan.
Juga bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April tahun 571 M sesuai dengan
analisis seorang 'Alim Besar, Muhammad Sulaiman al-Manshur Furi dan
Astrolog (Ahli Ilmu Falak), Mahmud Basya.
Ibnu Sa'ad meriwayatkan bahwa ibunda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "ketika aku melahirkannya, dari
farajku keluar cahaya yang menerangi istana-istana negeri Syam". Imam
Ahmad, ad-Darimi dan selain keduanya juga meriwayatkan versi yang hampir
mirip dengan riwayat tersebut.
Ada riwayat yang menyebutkan telah terjadi
irhashaat (tanda-tanda awal yang menunjukkan kenabian) ketika milad beliau
Shallallahu 'alaihi wasallam, diantaranya; runtuhnya empat belas balkon
istana kekaisaran, padamnya api yang sekian lama disembah oleh kaum Majusi,
hancurnya gereja-gereja disekitar danau Saawah setelah airnya menyusut.
Riwayat tersebut dilansir oleh ath-Thabari, al-Baihaqi dan selain keduanya
namun tidak memiliki sanad yang valid.
Setelah beliau Shallallahu 'alaihi wasallam
dilahirkan, beliau dikirim oleh ibundanya ke rumah kakeknya, 'Abdul
Muththalib dan menginformasikan kepadanya berita gembira perihal cucunya
tersebut. Kakeknya langsung datang dengan sukacita dan memboyong cucunya
tersebut masuk ke Ka'bah; berdoa kepada Allah dan bersyukur kepadaNya.
Kemudian memberinya nama Muhammad padahal nama seperti ini tidak populer
ketika itu di kalangan bangsa Arab, dan pada tujuh hari kelahirannya dia
mengkhitan beliau sebagaimana tradisi yang berlaku di kalangan bangsa Arab.
Wanita pertama yang menyusui beliau Shallallahu
'alaihi wasallam setelah ibundanya adalah Tsuaibah. Wanita ini merupakan
budak wanita Abu Lahab yang saat itu juga tengah menyusui bayinya yang
bernama Masruh . Sebelumnya, dia juga telah menyusui Hamzah bin 'Abdulul
Muththalib, kemudian menyusui Abu Salamah bin 'Abdul Asad al-Makhzumi
setelah beliau Shallallahu 'alaihi wasallam.
Hidup di tengah kabilah Bani Sa'ad
Tradisi yang berlaku di kalangan bangsa Arab
yang sudah berperadaban adalah mencari para wanita yang dapat menyusui
bayi-bayi mereka sebagai tindakan prefentif terhadap serangan
penyakit-penyakit yang biasa tersebar di alam peradaban. Hal itu mereka
lakukan agar tubuh bayi-bayi mereka tersebut kuat, otot-otot mereka kekar
serta menjaga agar lisan Arab mereka tetap orisinil sebagaimana lisan ibu
mereka dan tidak terkontaminasi. Oleh karena itu, 'Abdul Muththalib mencari
wanita-wanita yang dapat menyusui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam;
dia memilih seorang wanita dari kabilah Bani Sa'ad bin Bakr, yaitu Halimah
binti Abu Dzuaib sebagai wanita penyusu beliau. Suami dari wanita ini
bernama al-Harits bin 'Abdul 'Uzza yang berjuluk Abu Kabsyah, dari kabilah
yang sama.
Dengan begitu, di sana Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam memiliki banyak saudara sesusuan, yaitu; 'Abdullah bin al-Harits,
Anisah binti al-Harits, Hudzafah atau Judzamah binti al-Harits (dialah yang
berjuluk asy-Syaima' yang kemudian lebih populer menjadi namanya dan yang
juga merawat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam) serta Abu Sufyan bin
al-Harits bin 'Abdul Muththalib, saudara sepupu Rasulullah.
Paman beliau Shallallahu 'alaihi wasallam,
Hamzah bin 'Abdul Muththalib juga disusui di tengah kabilah Bani Sa'ad bin
Bakr. Ibunya juga menyusui beliau selama sehari, yaitu ketika beliau berada
disisi ibu susuannya, Halimah. Dengan demikian Hamzah merupakan saudara
sesusuan Rasulullah dari dua sisi: Tsuaibah dan (Halimah) as-Sa'diyyah.
Halimah merasakan adanya keberkahan serta
kisah-kisah yang aneh lainnya sejak kehadiran Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam di tengah keluarganya. Untuk itu, baiklah kita biarkan dia
mengisahkannya sendiri secara detail:
" Ibnu Ishaq berkata: 'Halimah pernah
berkisah: bahwasanya suatu ketika dia pergi keluar bersama suami dan
bayinya yang masih kecil dan menyusui. Dia juga membawa serta beberapa
wanita yang sama-sama tengah mencari bayi-bayi susuan. Ketika itu sedang
dilanda musim paceklik sedangkan kami sudah tidak memiliki apa-apa lagi,
lalu aku pergi dengan mengendarai seekor keledai betina berwarna putih
kehijauan milikku beserta seekor onta yang sudah tua. Demi Allah! Tidak
pernah hujan turun meski setetespun, kami juga tidak bisa melewati malam
dengan tidur pulas lantaran tangis bayi kami yang mengerang kelaparan
sedangkan ASI di payudaraku tidak mencukupi. Begitu juga dengan air susu
onta tua yang bersama kami tersebut sudah tidak berisi. Akan tetapi kami
selalu berharap pertolongan dan jalan keluar. Aku kembali pergi keluar
dengan mengendarai onta betina milikku yang sudah tidak kuat lagi untuk
meneruskan perjalanan sehingga hal ini membuat rombongan kami gelisah
akibat letih dan kondisi kekeringan yang melilit. Akhirnya kami sampai juga
ke Mekkah untuk mencari bayi-bayi susuan akan tetapi tidak seorang wanita
pun diantara kami ketika disodorkan untuk menyusui Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam melainkan menolaknya setelah mengetahui kondisi beliau
yang yatim. Sebab, tujuan kami (rombongan wanita penyusu bayi), hanya
mengharapkan imbalan materi dari orang tua si bayi sedangkan beliau
Shallallahu 'alaihi wasallam bayi yang yatim, lantas apa gerangan yang
dapat diberikan oleh ibu dan kakeknya buat kami?. Kami semua tidak
menyukainya karena hal itu; akhirnya, semua wanita penyusu yang bersamaku
mendapatkan bayi susuan kecuali aku. Tatkala kami semua sepakat akan
berangkat pulang, aku berkata kepada suamiku: 'demi Allah! Aku tidak sudi
pulang bersama teman-temanku tanpa membawa seorang bayi susuan. Demi Allah!
Aku akan pergi ke rumah bayi yatim tersebut dan akan mengambilnya menjadi
bayi susuanku. Lalu suamiku berkata: 'tidak ada salahnya bila kamu
melakukan hal itu, mudah-mudahan Allah menjadikan kehadirannya di tengah
kita suatu keberkahan. Akhirnya aku pergi ke rumah beliau Shallallahu
'alaihi wasallam dan membawanya serta. Sebenarnya, motivasiku membawanya
serta hanyalah karena belum mendapatkan bayi susuan yang lain selain
beliau. Setelah itu, aku pulang dengan membawanya serta dan mengendarai
tungganganku. Ketika dia kubaringkan di pangkuanku dan menyodorkan puting
susuku ke mulutnya supaya menetek ASI yang ada seberapa dia suka, diapun
meneteknya hingga kenyang, dilanjutkan kemudian oleh saudara sesusuannya
(bayiku) hingga kenyang pula. Kemudian keduanya tertidur dengan pulas
padahal sebelumnya kami tak bisa memicingkan mata untuk tidur karena tangis
bayi kami tersebut. Suamiku mengontrol onta tua milik kami dan ternyata
susunya sudah berisi, lalu dia memerasnya untuk diminum. Aku juga ikut
minum hingga perut kami kenyang, dan malam itu bagi kami adalah malam tidur
yang paling indah yang pernah kami rasakan. Pada pagi harinya, suamiku
berkata kepadaku:' demi Allah! Tahukah kamu wahai Halimah?; kamu telah
mengambil manusia yang diberkahi'. Aku berkata: 'demi Allah! Aku berharap
demikian'. Kemudian kami pergi keluar lagi dan aku menunggangi onta
betinaku dan membawa serta beliau Shallallahu 'alaihi wasallam diatasnya.
Demi Allah! Onta betinaku tersebut sanggup menempuh perjalanan yang tidak
sanggup dilakukan oleh onta-onta mereka, sehingga teman-teman wanitaku
dengan penuh keheranan berkata kepadaku:'wahai putri Abu Zuaib! Celaka!
Kasihanilah kami bukankah onta ini yang dulu pernah bersamamu?, aku
menjawab:'demi Allah! Inilah onta yang dulu itu!'. Mereka berkata:'demi
Allah! Sesungguhnya onta ini memiliki keistimewaan'. Kemudian kami
mendatangi tempat tinggal kami di perkampungan kabilah Bani Sa'ad.
Sepanjang pengetahuanku tidak ada bumi Allah yang lebih tandus darinya;
ketika kami datang, kambingku tampak dalam keadaan kenyang dan banyak air
susunya sehingga kami dapat memerasnya dan meminumnya padahal orang-orang
tidak mendapatkan setetes air susupun walaupun dari kambing yang gemuk.
Kejadian ini membuat orang-orang yang hadir dari kaumku berkata kepada para
pengembala mereka: celakalah kalian! Pergilah membuntuti kemana saja
pengembala kambing putri Abu Zuaib mengembalakannya. Meskipun demikian,
realitasnya, kambing-kambing mereka tetap kelaparan dan tidak mengeluarkan
air susu setetespun sedangkan kambingku selalu kenyang dan banyak air
susunya. Demikianlah, kami selalu mendapatkan tambahan nikmat dan kebaikan
dari Allah hingga tak terasa dua tahun pun berlalu dan tiba waktuku untuk
menyapihnya. Dia tumbuh besar namun tidak seperti kebanyakan anak-anak
sebayanya; sebab belum mencapai usia dua tahun dia sudah tumbuh dengan
postur yang bongsor. Akhirnya, kami mengunjungi ibunya dan dalam hati yang
paling dalam kami sangat berharap dia masih berada di tengah keluarga kami
dikarenakan keberkahan yang kami rasakan sejak keberadaannya dan itu semua
kami ceritakan kepada ibundanya. Aku berkata kepadanya: 'kiranya anda sudi
membiarkan anak ini bersamaku lagi hingga dia besar, sebab aku khawatir dia
terserang penyakit menular yang ada di Mekkah'. Kami terus mendesaknya
hingga dia bersedia mempercayakannya kepada kami lagi".
Begitulah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam akhirnya tetap tinggal di lingkungan kabilah Bani Sa'ad, hingga
terjadinya peristiwa dibelahnya dada beliau ketika berusia empat atau lima
tahun. Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bahwasanya Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam didatangi oleh Jibril 'alaihissalam saat beliau tengah
bermain bersama teman-teman sebayanya. Jibril memegang beliau sehingga
membuatnya pingsan lalu membelah bagian dari hatinya, kemudian
mengeluarkannya segumpal darah bersamanya. Jibril berkata: 'ini adalah
bagian syaithan yang ada pada dirimu! Kemudian meletakkannya di dalam
baskom yang terbuat dari emas dan mencucinya dengan air zam-zam, merapikan
dan mengembalikannya ke tempat semula. Teman-teman sebayanya tersebut
berlarian mencari ibu susuannya seraya berkata:'sesungguhnya Muhammad sudah
dibunuh!'. Mereka akhirnya beramai-ramai menghampirinya dan menemukannya
dalam kondisi rona muka yang sudah berubah. Anas berkata: 'sungguh aku
telah melihat bekas jahitan itu di dada beliau Shallallahu 'alaihi wasallam
'.
Kembali ke pangkuan ibunda nan amat mengasihinya
Setelah peristiwa tersebut, Halimah merasa cemas
atas diri beliau sehingga dikembalikan lagi kepada ibundanya. Beliau hidup
bersama ibundanya sampai berusia enam tahun.
Aminah memandang perlu untuk menziarahi kuburan
suaminya di Yatsrib sebagai bentuk kesetiaannya terhadapnya. Akhirnya, dia
keluar dari Mekkah dengan menempuh perjalanan yang mencapai 500 km bersama
anaknya yang masih yatim, Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam,
pembantunya, Ummu Aiman dan mertuanya, 'Abdul Muththalib. Setelah menginap
selama sebulan disana, dia kembali pulang ke Mekkah akan tetapi di tengah
perjalanan dia diserang sakit keras sehingga akhirnya meninggal dunia di
al-Abwa' , suatu tempat yang terletak antara Mekkah dan Madinah.
Di pangkuan sang kakek nan amat menyayanginya
Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam dibawa
kembali ke Mekkah oleh kakeknya. Perasaan kasih terhadap sang cucu yang
sudah yatim piatu semakin bertambah di sanubarinya, dan hal ini ditambah
lagi dengan adanya musibah baru yang seakan menimpali luka lama yang belum
sembuh betul. Maka ibalah ia terhadapnya; sebuah perasaan yang tak pernah
ia tumpahkan terhadap seorangpun dari anak-anaknya. Dia tidak lagi
membiarkan cucunya tersebut hanyut dengan kesendirian yang harus dialaminya
bahkan dia lebih mengedepankan kepentingannya daripada kepentingan
anak-anaknya. Ibnu Hisyam berkata: " Biasanya, 'Abdul Muththalib
menghamparkan permadaninya di naungan Ka'bah, lalu anak-anaknya duduk di
sekitar permadani tersebut hingga dia keluar, dan ketika itu, tak
seorangpun dari anak-anaknya tersebut yang berani duduk-duduk disitu untuk
menghormati kedudukannya. Namun tidak demikian halnya dengan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam ; tatkala beliau masih berusia di bawah dua
dengan postur tubuh yang bongsor datang dan langsung duduk-duduk diatas
permadani tersebut, paman-pamannya sertamerta mencegahnya agar tidak
mendekati tempat itu. Melihat tindakan anak-anaknya itu, dia berkata kepada
mereka: 'biarkan saja anakku ini melakukan apa saja! Demi Allah! Sesungguhnya
dia nanti akan menjadi orang yang besar!'. Kemudian dia duduk-duduk bersama
beliau di permadani itu, mengelus-elus punggungnya dengan tangan kasihnya.
Dia merasa senang dengan apa yang dilakukan oleh cucunya tersebut".
Kakek beliau Shallallahu 'alaihi wasallam
meninggal di Mekkah saat beliau berusia delapan tahun dua bulan sepuluh
hari. Sebelum meninggal, dia memandang bahwa selayaknya dia menyerahkan
tanggung jawab terhadap cucunya tersebut kepada paman beliau Shallallahu
'alaihi wasallam, Abu Thalib ; saudara kandung ayahanda beliau.
Di pangkuan sang paman nan penuh perhatian
terhadapnya
Abu Thalib menjalankan kewajiban yang diembankan
kepadanya untuk mengasuh keponakannya dengan penuh tanggung jawab
sepertihalnya dia mengasuh anak-anaknya sendiri. Dia bahkan mendahulukan
kepentingannya diatas kepentingan mereka. Dia juga, mengistimewakannya
dengan penghargaan yang begitu berlebihan. Perlakuan tersebut terus
berlanjut hingga beliau Shallallahu 'alaihi wasallam berusia diatas empat
puluh tahun; pamannya masih tetap memuliakan beliau, memberikan pengamanan
terhadapnya, menjalin persahabatan ataupun mengobar permusuhan dalam rangka
membelanya. Dan sekilas tentang hal itu, akan kami paparkan nanti pada
bagian pembahasan tersendiri.
Meminta turunnya hujan melalui "wajah"
beliau
Ibnu 'Asaakir mengeluarkan hadits dari Jalhamah
bin 'Arfathah, dia berkata: " ketika aku datang ke Mekkah, mereka
sedang mengalami musim paceklik (tidak turunnya hujan), lantas orang-orang
Quraisy berseru:'wahai Abu Thalib! Lembah telah mengering airnya dan
kemiskinan merajalela, untuk itu mari kita meminta turun hujan!'. Kemudian
Abu Thalib keluar dengan membawa seorang anak yang laksana matahari yang
diselimuti oleh awan tebal pertanda hujan lebat akan turun, dan disekitarnya
terdapat sumber mata air sumur; Abu Thalib memegang anak tersebut,
menempelkan punggungnya ke Ka'bah, serta menggandengnya dengan
jari-jemarinya. Ketika itu tidak ada sama sekali gumpalan awan, maka
tiba-tiba awan menggumpal kemudian turunlah hujan dengan lebatnya sehingga
lembah jebol dan lahan-lahan tanah menjadi subur. Mengenai peristiwa ini,
Abu Thalib menyinggungnya dalam rangkaian baitnya :
"…putih, seorang penolong anak-anak yatim
meminta turunnya hujan
melalui 'wajah'-nya demi menjaga kehormatan para
janda"
Bersama sang Rahib, Buhaira
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
berusia dua belas tahun - ada riwayat yang menyatakan; dua belas tahun dua
bulan sepuluh hari - pamannya, Abu Thalib membawanya serta berdagang ke
negeri Syam hingga mereka sampai di suatu tempat bernama Bushra yang masih
termasuk wilayah Syam dan merupakan ibukota Hauraan . Ketika itu juga, Syam
merupakan ibukota negeri-negeri Arab yang masih dibawah kekuasaan Romawi.
Di negeri inilah dikenal seorang Rahib yang bernama Buhaira (ada yang
mengatakan nama aslinya adalah Jirjis). Ketika rombongan tiba, dia langsung
menyongsong mereka padahal sebelumnya tidak pernah dia lakukan hal itu,
kemudian menyampiri mereka, satu-persatu hingga sampai kepada Rasulullah
lalu memegang tangannya sembari berkata: "inilah penghulu para
makhluk, inilah Rasul Rabb alam semesta, dia diutus oleh Allah sebagai
rahmat bagi alam semesta ini". Abu Thalib dan pemuka kaum Quraisy
bertanya kepadanya: "bagaimana anda tahu hal itu?". Dia menjawab:
"sesungguhnya ketika kalian menanjak bebukitan, tidak satupun dari
bebatuan ataupun pohon melainkan bersujud terhadapnya, dan kedua makhluk
itu tidak akan bersujud kecuali terhadap Nabi. Sesungguhnya aku dapat
mengetahuinya melalui cincin kenabian yang terletak pada bagian bawah
tulang rawan pundaknya yang bentuknya seperti apel. Sesungguhnya kami
mengetahui beritanya dari kitab suci kami. Kemudian barulah sang Rahib
mempersilahkan mereka dan menjamu mereka secara istimewa. Lalu dia meminta
kepada Abu Thalib agar memulangkan keponkannya tersebut ke Mekkah dan tidak
lagi membawanya serta ke Syam sebab khawatir bila tercium oleh orang-orang
Romawi dan Yahudi. Akhirnya, pamannya mengirimnya bersama sebagian
anak-anaknya ke Mekkah.
Perang "Fijar"
Perang Fijar yang terjadi antara kabilah Quraisy
dan sekutu mereka dari Bani Kinanah melawan kabilah Qais dan 'Ilan meletus
pada saat beliau berusia dua puluh tahun. Harb bin Umayyah terpilih menjadi
komandan perang membawahi kabilah Quraisy dan Kinanah secara umum karena
faktor usia dan kedudukan. Perang pun meletus, pada permulaan siang hari,
kemenangan berada di pihak kabilah Qais terhadap Kinanah namun pada
pertengahan hari keadaan terbalik; justeru kemenangan berpihak pada
Kinanah. Dinamakan "Perang Fijar" karena dinodainya kesucian
asy-Syahrul Haram pada bulan tersebut. Dalam perang ini, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam ikut serta dan membantu paman-pamannya
menyediakan anak panah buat mereka.
Hilful Fudhuul
Peperangan tersebut berdampak pada terjadinya
suatu perjanjian (kebulatan tekad/sumpah setia) yang disebut dengan
"Hilful Fudhuul" pada bulan Dzul Qaidah di bulan haram. Hampir
seluruh kabilah Quraisy berkumpul dan menghadirinya, mereka terdiri dari:
Bani Hasyim, Bani al-Muththalib, Asad bin 'Abdul 'Uzza, Zahrah bin Kilaab
dan Tiim bin Murrah. Mereka berkumpul di kediaman 'Abdullah bin Jud'an
at-Tiimy karena faktor usia dan kedudukannya. Isi dari perjanjian tersebut;
mereka bersepakat dan berjanji untuk tidak membiarkan ada orang yang dizhalimi
di Mekkah baik dia penduduk asli maupun pendatang, dan bila hal itu terjadi
mereka akan bergerak menolongnya hingga dia meraih haknya kembali.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menghadiri hilf tersebut. Setelah
beliau dimuliakan oleh Allah dengan ar-Risalah , beliau berkomentar
:"aku telah menghadiri suatu hilf (perjanjian) di kediaman 'Abdullah
bin Jud'an yang lebih aku sukai ketimbang aku memiliki Humrun Na'am (onta
merah yang merupakan harta yang paling termahal dan menjadi kebanggaan bangsa
Arab ketika itu-red). Andai di masa Islam aku diundang untuk menghadirinya,
niscaya aku akan memenuhinya".
Sebagai catatan, semangat perjanjian ini
bertentangan dengan fanatisme Jahiliyyah yang digembar-gemborkan ketika
itu. Diantara hal yang disebutkan sebagai sebab terjadinya perjanjian
tersebut adalah ada seorang dari kabilah Zabiid datang ke Mekkah membawa
barang dagangannya, kemudian barang tersebut dibeli oleh al-'Ash bin Waa-il
as-Sahmi akan tetapi dia tidak memperlakukannya sesuai dengan haknya. Orang
tersebut meminta bantuan kepada sukutu-sekutu al-'Ash namun mereka
mengacuhkannya. Akhirnya, dia menaiki gunung Abi Qubais dan menyenandungkan
sya'ir-sya'ir yang berisi kezhaliman yang tengah dialaminya seraya
mengeraskan suaranya. Rupanya, az-Zubair bin 'Abdul Muththalib mendengar
hal itu dan bergerak menujunya lalu bertanya-tanya:"kenapa orang ini
diacuhkan?". Tak berapa lama kemudian berkumpullah kabilah-kabilah
yang telah menyetujui perjanjian Hilful Fudhuul diatas, lantas mereka
mendatangi al-'Ash bin Waa-il dan mendesaknya agar mengembalikan hak orang
tersebut, mereka berhasil setelah membuat suatu perjanjian.
Menjalani kehidupan dengan kerja keras
Diawal masa mudanya, beliau Shallallahu 'alaihi
wasallam tidak memiliki pekerjaan tertentu, hanya saja riwayat-riwayat yang
ada menyebutkan bahwa beliau bekerja sebagai pengembala kambing dan
mengembalanya di perkampungan kabilah Bani Sa'ad disamping bekerja untuk
Ahli Mekkah dengan upah sebesar Qaraariith (jamak dari kata qiiraath ;
yaitu bagian dari uang dinar, ada lagi pendapat yang menyatakan bahwa itu
adalah nama suatu tempat di Mekkah akan tetapi pendapat ini tidak
kuat-[lihat; fathul Bari dalam syarahnya terhadap hadits tentang ini]-red).
Ketika berusia dua puluh lima tahun, beliau pergi berdagang ke negeri Syam
dengan modal yang diperoleh dari Khadijah radhiallâhu 'anha . Ibnu Ishaq
berkata: "Khadijah binti Khuwailid adalah salah seorang wanita
pedagang yang memiliki banyak harta dan bernasab baik. Dia menyewa banyak
kaum lelaki untuk memperdagangkan hartanya dengan sistem bagi hasil.
Kabilah Quraisy dikenal sebagai pedagang handal, maka tatkala sampai ke
telinganya perihal kejujuran bicara, amanah dan akhlaq Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam yang mulia, dia mengutus seseorang untuk
menemuinya dan menawarkannya untuk memperdagangkan harta miliknya ke negeri
Syam. Dia menyerahkan kepada beliau barang dagangan yang istimewa yang
tidak pernah dipercayakannya kepada pedagang-pedagang yang lainnya. Beliau
juga didampingi oleh seorang pembantunya bernama Maisarah. Beliau menerima
tawaran tersebut dan berangkat dengan barang-barang dagangannya bersama
pembantunya tersebut hingga sampai ke Syam.
Menikah dengan Khadijah
Ketika beliau pulang ke Mekkah dan Khadijah
melihat betapa amanahnya beliau terhadap harta yang diserahkan kepadanya
begitu juga dengan keberkahan dari hasil perdagangan yang belum pernah
didapatinya sebelum itu, ditambah lagi informasi dari Maisarah, pembantunya
tentang budi pekerti beliau, kejeniusan, kejujuran dan keamanahannya; maka
dia seakan menemukan apa yang dicarinya selama ini (calon pendamping
idaman-red) padahal banyak kaum laki-laki bangsawan dan pemuka yang sangat
berkeinginan untuk menikahinya namun semuanya dia tolak. Akhirnya dia
menceritakan keinginan hatinya kepada teman wanitanya, Nafisah binti
Munayyah yang kemudian bergegas menemui beliau Shallallahu 'alaihi wasallam
dan meminta kesediaan beliau untuk menikahi Khadijah. Beliau pun menyetujuinya
dan menceritakan hal tersebut kepada paman-pamannya. Kemudian mereka
mendatangi paman Khadijah untuk melamar keponakannya. Maka pernikahan pun
berlangsung setelah itu dan 'aqad tersebut dihadiri oleh Bani Hasyim dan
para pemimpin Mudhar. Pernikahan tersebut berlangsung dua bulan setelah
kepulangan beliau dari negeri Syam. Beliau memberikan mahar berupa dua
puluh ekor onta muda sedangkan Khadijah ketika itu sudah berusia empat
puluh tahun. Dia adalah wanita kabilahnya yang paling terhormat nasabnya,
paling banyak hartanya dan paling brilian otaknya. Dialah wanita pertama
yang dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dimana beliau
tidak menikah lagi dengan wanita selainnya hingga dia wafat.
Semua putra-putri beliau Shallallahu 'alaihi wasallam
lahir dari rahim Khadijah kecuali putranya, Ibrahim. Putra-putri beliau
tersebut adalah:1). al-Qasim (dimana beliau dijuluki dengannya). 2).
Zainab. 3). Ruqayyah. 4). Ummu Kultsum. 5). Fathimah. 6). 'Abdullah
(julukannya adalah ath-Thayyib dan ath-Thaahir). Semua putra beliau
meninggal ketika masih kecil sedangkan putri-putri beliau semuanya hidup
pada masa Islam, menganutnya dan juga ikut berhijrah namun semuanya
meninggal dunia semasa beliau Shallallahu 'alaihi wasallam masih hidup
kecuali Fathimah radhiallâhu 'anha yang meninggal enam bulan setelah beliau
wafat.
Membangun Ka'bah dan Penyelesaian pertikaian
Pada saat beliau Shallallahu 'alaihi wasallam
berusia tiga puluh lima tahun, kabilah Quraisy membangun Ka'bah karena
kondisinya sebelum itu hanyalah berupa tumpukan-tumpukan batu-batu
berukuran diatas tinggi badan manusia, yaitu setinggi sembilan hasta di
masa Ismail 'alaihissalam dan tidak memiliki atap. Karenanya, harta
terpendam yang ada didalamnya berhasil dicuri oleh segerombolan para pencuri.
Disamping itu, karena merupakan peninggalan sejarah, ka'bah sering diserang
oleh pasukan berkuda sehingga merapuhkan bangunannya dan merontokkan
sendi-sendinya. Lima tahun sebelum beliau diutus menjadi Rasulullah, Mekkah
dilanda banjir besar dan airnya meluap mencapai pelataran al-Baitul Haram
sehingga mengakibatkan bangunan ka'bah hampir ambruk. Orang-orang Quraisy
terpaksa merenovasi bangunannya untuk menjaga reputasinya dan bersepakat
untuk tidak membangunnya dari sembarang sumber dana selain dari sumber
usaha yang baik; mereka tidak mau memakai dana dari mahar hasil pelacuran,
transaksi ribawi dan hasil pemerasan terhadap orang-orang. Mereka merasa
segan untuk merobohkan bangunannya, sampai akhirnya dimulai oleh al-Walid
bin al-Mughirah al-Makhzumi baru kemudian diikuti oleh yang lainnya setelah
mereka melihat tidak terjadi apa-apa terhadapnya. Mereka terus melakukan
perobohan hingga sampai ke pondasi pertama yang dulu diletakkan oleh
Ibrahim 'alaihissalam . Setelah itu mereka memulai perenovasiannya;
pertama-pertama mereka membagi bagian bangunan ka'bah yang akan dikerjakan
beberapa bagian, yaitu masing-masing kabilah mendapat satu bagian dan
mengumpulkan sejumlah batu sesuai dengan jatah masing-masing lalu
dimulailah perenovasiannya. Sedangkan yang menjadi pimpinan proyeknya
adalah seorang arsitek asal Romawi yang bernama Baqum . Tatkala pengerjaan
tersebut sampai ke al-Hajar al-Aswadi, mereka bertikai tentang siapa yang
paling berhak untuk meletakkannya ke tempat semula dan pertikaian tersebut
berlangsung selama empat atau lima malam bahkan semakin meruncing sehingga
hampir terjadi peperangan yang maha dahsyat di tanah al-Haram . Untunglah,
Umayyah bin al-Mughirah al-Makhzumi menengahi dan menawarkan penyelesaian
pertikaian diantara mereka lewat perundingan damai, caranya; siapa yang
paling dahulu memasuki pintu masjid diantara mereka maka dialah yang berhak
meletakkannya. Tawaran ini dapat diterima oleh semua dan atas kehendak
Allah Ta'ala, Rasulullah lah yang menjadi orang pertama yang memasukinya. Tatkala
mereka melihatnya, dia disambut dengan teriakan: "inilah al-Amiin!
Kami rela! Inilah Muhammad! ". Dan ketika beliau mendekati mereka dan
diberitahu tentang hal tersebut, beliau meminta sehelai selendang dan
meletakkan al-Hajar al-Aswad ditengahnya, lalu pemimpin-pemimpin kabilah
yang bertikai tersebut diminta agar masing-masing memegang ujung selendang
dan memerintahkan mereka untuk mengangkatnya tinggi-tinggi hingga manakala
mereka telah menggelindingkannya dan sampai ke tempatnya, beliau Shallallahu
'alaihi wasallam mengambilnya dengan tangannya dan meletakkannya di
tempatnya semula. Ini merupakan solusi yang tepat dan jitu yang diridhai
oleh semua pihak.
Orang-orang Quraisy kekurangan dana dari sumber
usaha yang baik sehingga mereka harus membuang sebanyak enam hasta dari
bagian utara, yaitu yang dinamakan dengan al-Hijr (Hijr Isma'il-red) dan
al-Hathim, lalu mereka tinggikan pintunya dari permukaan bumi agar tidak
dapat dimasuki kecuali saat menginginkannya. Tatkala pembangunan sudah
mencapai lima belas hasta, mereka memasang atap yang disangga dengan enam
tiang.
Akhirnya Ka'bah yang baru diselesaikan tersebut
berubah menjadi hampir berbentuk kubus dengan ketinggian 15 m dan panjang
sisi yang berada di bagian al-Hajar al-Aswad dan bagian yang searah
dengannya adalah 10,10 m. al-Hajar al-Aswad sendiri dipasang diatas
ketinggian 1,50 m dari permukaan pelataran thawaf. Adapun panjang sisi yang
berada di bagian pintu dan bagian yang searah dengannya adalah 12 m
sedangkan tinggi pintunya adalah 2 m diatas permukaan bumi. Dan dari
sebelah luarnya dikelilingi oleh tumpukan batu bangunan, tepatnya di bagian
bawahnya, tinggi rata-ratanya adalah 0,25 m dan lebar rata-ratanya 0,30 m
dan bagian ini dikenal dengan nama asy-Syaadzirwan yang merupakan bagian
dari pondasi asal Ka'bah akan tetapi orang-orang Quraisy membuangnya.
Sirah Nabawiyyah secara global sebelum kenabian
Sesungguhnya telah terhimpun pada diri Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam sejak dari perkembangannya kelebihan-kelebihan
yang merupakan terbaik yang ada pada lapisan masyarakat kala itu. Beliau
adalah tipe manusia utama dari sisi kejernihan berpikir dan ketajaman
pandangan. Beliau memiliki porsi kecerdikan yang lebih, orisinilitas
pemikiran dan ketepatan sarana dan misi. Beliau biasa diam berlama-lama
untuk renungan yang panjang, pemusatan pikiran serta pencapaian kebenaran.
Dengan akalnya yang brilian dan fithrahnya yang suci beliau memonitor
lembaran kehidupan, urusan manusia dan kondisi banyak kelompok. Karenanya,
beliau acuh terhadap segala bentuk khurafat dan jauh sejauh-sejauhnya dari
hal itu. Beliau berinteraksi dengan manusia secara profesional baik
terhadap dirinya ataupun diri mereka; hal yang baik beliau ikut
berpartisipasi didalamnya dan jika tidak, maka beliau lebih memilih untuk mengasingkan
diri. Beliau tidak pernah minum khamar, tidak pernah makan daging yang
dipersembahkan kepada berhala, tidak pernah menghadiri perayaan untuk
berhala ataupun pesta-pestanya bahkan dari sejak pertumbuhannya sudah
menghindari dari sesembahan yang bathil. Lebih dari itu, beliau malah amat
membencinya dan tidak dapat menahan dirinya bila mendengar sumpah serapah
dengan nama laata dan 'uzza.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa berkat takdir
ilahi lah beliau dapat terjaga dari hal tersebut; manakala hawa nafsu
menggebu-gebu untuk mengintai sebagian kenikmatan duniawi dan rela
mengikuti sebagian tradisi tak terpuji, ketika itulah 'inaayah rabbaniyyah
menghalanginya dari hal-hal tersebut.
Ibnu al-Atsir meriwayatkan, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "aku hanya dua kali pernah
berkeinginan untuk melakukan apa yang pernah dilakukan oleh Ahli Jahiliyyah
namun semua itu dihalangi oleh Allah sehingga aku tidak melakukannya,
kemudian aku berkeinginan lagi untuk melakukannya hingga Dia Ta'ala memuliakanku
dengan risalahNya. (Pertama kalinya-red);Suatu malam aku pernah berkata
kepada seorang anak yang menggembala kambing bersamaku di puncak Mekkah;
'sudikah kamu mengawasi kambingku sementara aku akan memasuki Mekkah dan
bergadang ria seperti yang dilakukan oleh para pemuda tersebut?'. Dia
menjawab: 'ya, aku sudi! '. Lantas aku pergi keluar hingga saat berada di
sisi rumah yang posisinya paling pertama dari Mekkah, aku mendengar suara
alunan musik (tabuhan rebana), lalu aku bertanya: apa gerangan ini?, mereka
menjawab: 'prosesi pernikahan si fulan dengan si fulanah! '. Kemudian aku
duduk-duduk untuk mendengarkan, namun Allah melarangku untuk
mendengarkannya dan membuatku tertidur. Dan tidurku amat lelap sehingga
hampir tidak terjaga bila saja terik panas matahari tidak menyadarkanku.
Akhirnya, aku kembali menemui temanku yang langsung bertanya kepadaku
tentang apa yang aku alami dan akupun memberitahukannya. Kemudian (kedua
kalinya-red), aku berkata pada suatu malam yang lain seperti itu juga; aku
memasuki Mekkah namun aku mengalami hal yang sama seperti malam sebelumnya;
lantas aku bertekad, untuk tidak akan berkeinginan jelek sedikitpun".
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin
'Abdullah, dia berkata: "ketika Ka'bah direnovasi, Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam dan 'Abbas bekerja mengangkut bebatuan, lalu 'Abbas
berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam :'tarik kainmu hingga
sebatas lututmu agar kamu tidak terluka oleh bebatuan, namun beliau tetap
tersungkur ke tanah dalam posisi terlentang sedangkan kedua mata beliau
mengarah ke langit, tak berapa lama kemudian beliau baru tersadar, sembari
berkata: 'mana kainku! mana kainku!'. Lalu beliau mengikat kembali kain
tersebut dengan kencang. Dan dalam riwayat yang lain:'maka setelah itu,
tidak pernah lagi 'aurat beliau kelihatan'.
Di kalangan kaumnya, Nabi Shallallahu 'alaihi
wasalam memiliki keistimewaan dalam tabi'at yang manis, akhlak yang mulia
dan sifat-sifat yang terpuji. Beliau merupakan orang yang paling utama dari
sisi muruu-ah (penjagaan kesucian dan kehormatan diri), paling baik
akhlaknya, paling agung dalam bertetangga, paling besar tingkat
kelemahlembutannya, paling jujur bicaranya, paling lembut wataknya, paling
suci jiwanya, paling dermawan dalam kebajikan, paling baik dalam beramal, paling
menepati janji serta paling amanah sehingga beliau dijuluki oleh mereka
dengan al-Amiin. Hal itu semua lantaran bertemunya kepribadian yang shalih
dan pekerti yang disenangi. Maka pantaslah dikatakan terhadap beliau
sebagaimana yang dikatakan oleh Ummul Mukminin, Khadijah radhiallâhu 'anha
; "orang yang memikul beban si lemah, memberi nafkah terhadap si papa
(orang yang tidak memiliki/tanpa apa-apa), menjamu tetamu dan selalu
menolong dalam upaya penegakan segala bentuk kebenaran.
|
PERIODE MEKKAH
Kehidupan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam setelah beliau dimuliakan oleh Allah dengan nubuwwah dan risalah
terbagi menjadi dua periode yang masing-masing memiliki keistimewaan
tersendiri secara total, yaitu:
PERIODE MEKKAH : berlangsung selama lebih kurang
13 tahun
PERIODE MADINAH : berlangsung selama 10 tahun
penuh
Dan masing-masing periode mengalami beberapa
tahapan sedangkan masing-masing tahapan memiliki karakteristik tersendiri
yang menonjolkannya dari yang lainnya. Hal itu akan tampak jelas setelah
kita melakukan penelitian secara seksama dan detail terhadap kondisi yang
dilalui oleh dakwah dalam kedua periode tersebut.
Periode Mekkah dapat dibagi menjadi tiga
tahapan:
Tahapan Dakwah sirriyyah (sembunyi-sembunyi);
berlangsung selama tiga tahun.
Tahapan Dakwah secara terang-terangan kepada
penduduk Mekkah; dari permulaan tahun ke-empat kenabian hingga hijrah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ke Madinah.
Tahapan Dakwah di luar Mekkah dan penyebarannya
di kalangan penduduknya; dari penghujung tahun ke-sepuluh kenabian-dimana
juga mencakup Periode Madinah- dan berlangsung hingga akhir hayat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
Adapun mengenai tahapan-tahapan Periode Madinah
maka rincian pembahasannya akan diketengahkan pada tempatnya nanti.
DIBAWAH NAUNGAN KENABIAN DAN KERASULAN
Di Gua Hira'
Setelah melalui perenungan yang lama dan telah
terjadi jurang pemisah antara pemikiran Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam dan kaumnya, beliau nampak lebih menggandrungi untuk mengasingkan
diri. Hal ini terjadi tatkala beliau menginjak usia 40 tahun; beliau
membawa roti dari gandum dan bekal air ke gua Hira' yang terletak di jabal
an-Nur , yaitu sejauh hampir 2 mil dari Mekkah. Gua ini merupakan gua yang
indah, panjangnya 4 hasta, lebarnya 1,75 hasta dengan ukuran zira' al-Hadid
(hasta ukuran besi). Di dalam gua tersebut, beliau berpuasa bulan Ramadhan,
memberi makan orang-orang miskin yang mengunjunginya. Beliau menghabiskan
waktunya dalam beribadah dan berfikir mengenai pemandangan alam di
sekitarnya dan adanya kekuasaan dalam menciptakan dibalik itu. Kaumnya yang
masih menganut 'aqidah yang amburadul dan cara pandang yang rapuh membuatnya
tidak tenang akan tetapi beliau tidak memiliki jalan yang jelas, manhaj
yang terprogram serta cara yang terarah yang membuatnya tenang dan setuju
dengannya.
Pilihan mengasingkan diri ('uzlah) yang diambil
oleh beliau Shallallahu 'alaihi wasallam ini merupakan bagian dari tadbir
(aturan) Allah terhadapnya. Juga, agar terputusnya hubungannya dengan
kesibukan-kesibukan di muka bumi, gemerlap hidup dan nestapa-nestapa kecil
yang mengusik kehidupan manusia menjadi noktah perubahan dalam
mempersiapkan diri menghadapi urusan besar yang sudah menantinya sehingga
siap mengemban amanah kubro, merubah wajah bumi dan meluruskan garis
sejarah. 'Uzlah yang sudah ditadbir oleh Allah ini terjadi tiga tahun
sebelum beliau ditaklif dengan risalah. Beliau mengambil jalan 'uzlah ini
selama sebulan dengan semangat wujud yang bebas dan mentadabburi kehidupan
ghaib yang tersembunyi dibalik wujud tersebut hingga tiba waktunya untuk
berinteraksi dengan kehidupan ghaib ini saat Allah memperkenankannya.
Jibril 'alaihissalam turun membawa wahyu
Tatkala usia beliau mencapai genap empat puluh
tahun- yaitu usia yang melambangkan kematangan, dan ada riwayat yang
menyatakan bahwa diusia inilah para Rasul diutus – tanda-tanda nubuwwah
(kenabian) sudah tampak dan mengemuka, diantaranya; adanya sebuah batu di
Mekkah yang mengucapkan salam kepada beliau, terjadinya ar-Ru'ya
–ash-Shadiqah- (mimpi yang benar) yang datang berupa fajar subuh yang
menyingsing. Hal ini berlangsung hingga enam bulan –masa kenabian
berlangsung selama dua puluh tiga tahun- dan ar-Ru'ya ash-Shadiqah ini
merupakan bagian dari empat puluh enam tanda kenabian. Ketika memasuki
tahun ketiga dari pengasingan dirinya ('uzlah) di gua Hira', tepatnya di
bulan Ramadhan, Allah menghendaki rahmatNya dilimpahkan kepada penduduk
bumi dengan memberikan kemuliaan kepada beliau, berupa pengangkatan sebagai
Nabi dan menurunkan Jibril kepadanya dengan membawa beberapa ayat
al-Qur'an.
Setelah melalui pengamatan dan perenungan
terhadap beberapa bukti-bukti dan tanda-tanda akurat, kami dapat menentukan
persisnya pengangkatan tersebut, yaitu hari Senin, tanggal 21 malam bulan
Ramadhan dan bertepatan dengan tanggal 10 Agustus tahun 610 M. Tepatnya
usia beliau saat itu empat puluh tahun enam bulan dua belas hari menurut
penanggalan qamariyyah (berdasarkan peredaran bulan; hijriyyah) dan sekitar
tiga puluh sembilan tahun tiga bulan dua puluh hari; ini menurut
penanggalan syamsiyyah (berdasarkan peredaran matahari; masehi).
Mari kita dengar sendiri 'Aisyah ash-Shiddiqah
radhiallâhu 'anha menuturkan kisahnya kepada kita mengenai peristiwa yang
merupakan noktah permulaan nubuwwah tersebut dan yang mulai membuka
tabir-tabir gelapnya kekufuran dan kesesatan sehingga dapat mengubah alur
kehidupan dan meluruskan garis sejarah; 'Aisyah radhiallâhu 'anha berkata: "Wahyu
yang mula pertama dialami oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
adalah berupa ar-Ru'ya ash-Shalihah (mimpi yang benar) dalam tidur dan
ar-Ru'ya itu hanya berbentuk fajar shubuh yang menyingsing, kemudian beliau
lebih menyenangi penyendirian dan melakukannya di gua Hira'; beribadah di
dalamnya beberapa malam sebelum dia kembali ke rumah keluarganya. Dalam
melakukan itu, beliau mengambil bekal kemudian kembali ke Khadijah
mengambil perbekalan yang sama hingga datang kebenaran kepadanya; yaitu
saat beliau berada di gua Hira' tersebut, seorang malaikat datang
menghampiri sembari berkata: "bacalah!", lalu aku menjawab (ini
adalah jawaban Rasulullah sendiri yang sepertinya oleh pengarang buku ini
dinukil langsung dari naskah asli haditsnya-red): "aku tidak bisa
membaca!". Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bertutur lagi:
"kemudian dia memegang dan merengkuhku hingga aku kehabisan bertenaga,
lalu setelah itu melepaskanku sembari berkata: "bacalah!". Aku
tetap menjawab: "aku tidak bisa membaca!". Lalu dia untuk kedua
kalinya, memegang dan merengkuhku hingga aku kehabisan bertenaga kemudian
melepaskanku seraya berkata lagi: "bacalah!". Lalu aku tetap
menjawab: "aku tidak bisa membaca!". Kemudian dia melakukan hal
yang sama untuk ketiga kalinya, sembari berkata: "bacalah dengan
(menyebut) nama Rabb-mu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabb-mu lah Yang Paling Pemurah".
(Q.S. al-'Alaq: 1-3). Rasulullah pulang dengan merekam bacaan tersebut
dalam kondisi hati yang bergetar, dan menemui Khadijah binti Khuwailid
sembari berucap: "selimuti aku! Selimuti aku!". Beliau pun
diselimuti hingga rasa ketakutannya hilang. Beliau bertanya kepada
Khadijah: "apa yang terjadi terhadapku ini?". Lantas beliau menceritakan
pengalamannya, dan berkata: "aku amat khawatir terhadap diriku!".
Khadijah berkata: "sekali-kali tidak akan! Demi Allah! Dia Ta'ala
tidak akan menghinakanmu selamanya! Sungguh engkau adalah penyambung tali
rahim, pemikul beban orang lain yang mendapatkan kesusahan, pemberi orang
yang papa, penjamu tamu serta penolong setiap upaya menegakkan
kebenaran". Kemudian Khadijah berangkat bersama beliau untuk menemui
Waraqah bin Naufal bin Asad bin 'Abdul 'Uzza, anak paman Khadijah
(sepupunya). Dia (anak pamannya tersebut) adalah seorang yang menganut
agama Nashrani pada masa Jahiliyyah, dia bisa menulis dengan tulisan
'Ibrani dan sempat menulis dari injil beberapa tulisan yang mampu ia tulis
–sebanyak apa yang dikehendaki oleh Allah- dengan tulisan 'Ibrani. Dia
juga, seorang yang sudah tua renta dan buta; ketika itu Khadijah berkata
kepadanya: "wahai anak pamanku! Dengarkanlah (cerita) dari anak
saudaramu!". Waraqah berkata: "wahai anak laki-laki saudara
(laki-laki)-ku! Apa yang engkau lihat?". Lalu Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam membeberkan pengalaman yang sudah dilihatnya. Waraqah
berkata kepadanya: "sesungguhnya inilah sebagaimana ajaran yang
diturunkan kepada Nabi Musa! Andai saja aku masih bugar dan muda ketika itu
nanti! Andai saja aku masih hidup ketika engkau diusir oleh kaummu!".
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya: "benarkah
mereka akan mengusirku?". Dia menjawab: "ya! Tidak seorangpun
yang membawa seperti yang engkau bawa melainkan akan dimusuhi, dan jika aku
masih hidup pada saat itu niscaya aku akan membantumu dengan sekuat
tenaga". Kemudian tak berapa lama dari itu Waraqah meninggal dunia dan
wahyu pun terputus (mengalami masa stagnan).
Masa Stagnan Turunnya Wahyu
Mengenai hal ini, sebagaimana diriwayatkan oleh
Ibnu Sa'ad dari Ibnu Abbas yang intinya menyatakan bahwa masa stagnan itu
berlangsung selama beberapa hari ; pendapat inilah yang rajih/kuat bahkan
setelah melalui penelitian dari segala aspeknya secara terfokus harus
menjadi acuan. Adapun riwayat yang berkembang bahwa hal itu berlangsung
selama tiga tahun atau dua tahun setengah tidaklah shahih sama sekali,
namun disini bukan pada tempatnya untuk membantah hal itu secara detail.
Pada masa stagnan tersebut, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam dirundung kesedihan yang mendalam yang
diselimuti oleh rasa kebingungan dan panik.
Dalam kitab "at-Ta'bir" , Imam Bukhari
meriwayatkan naskah sebagai berikut:" menurut berita yang sampai
kepada kami, wahyupun mengalami stagnan hingga membuat Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam sedih dan berkali-kali berlarian agar dia dapat
terjerembab ke ujung jurang-jurang gunung, namun setiap beliau mencapai
puncak gunung untuk mencampakkan dirinya, malaikat Jibril menampakkan
wujudnya sembari berkata: "wahai Muhammad! Sesungguhnya engkau sebenar-benar
utusan Allah!". Spirit ini dapat menenangkan dan memantapkan kembali
jiwa beliau. Lalu pulanglah beliau ke rumah, namun manakala masa stagnan
itu masih terus berlanjut beliaupun mengulangi tindakan sebagaimana
sebelumnya; dan ketika dia mencapai puncak gunung, malaikat Jibril
menampakkan wujudnya dan berkata kepadanya seperti sebelumnya (memberi
spirit kepada beliau-red)".
Jibril 'alaihissalam Turun Kembali Membawa Wahyu
Ibnu Hajar berkata: "Masa stagnan itu
sungguh telah menghilangkan ketakutan yang telah dialami oleh beliau
Shallallahu 'alaihi wasallam dan membuatnya bersemangat untuk kembali
mengalaminya. Dan ketika hal ini benar terjadi dan beliau mulai menanti-nanti
datangnya wahyu, maka datanglah malaikat Jibril 'alaihissalam untuk kedua
kalinya. Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin 'Abdullah bahwasanya dia
mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menceritakan tentang masa
stagnan itu, beliau bercerita: "Ketika aku tengah berjalan-jalan,
tiba-tiba aku mendengar suara yang berasal dari langit, lalu aku
mendongakkan pandangan ke arah langit, ternyata malaikat yang dulu
mendatangiku ketika di gua Hira' duduk diatas kursi antara langit dan bumi.
Melihat hal itu aku terkejut hingga aku tersungkur ke bumi. Kemudian aku
mendatangi keluargaku sembari berkata: 'selimutilah aku! Selimutilah aku!'.
Lantas mereka menyelimutiku, baru kemudian Allah menurunkah surat
al-Muddatstsir;yaitu dari firmanNya; yaa ayyuhal muddatstsir….hingga
firmanNya: …fahjur'. (Q.S. al-Muddatstsir: 1-5). Setelah itu wahyu tetap
terjaga dan datang secara teratur". Dalam hadits yang shahih: "
Aku tinggal di dekat gua Hira' selama sebulan; tatkala aku sudah selesai
melakukan itu, maka aku turun gunung. Dan ketika aku sampai ke sebuah
lembah dan aku dipanggil oleh seseorang…". Kemudian (teks hadits
selanjutnya-red) beliau Shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan (cerita)
sebagaimana yang telah dikemukakan diatas yang intinya; bahwa ayat tersebut
turun setelah sempurnanya beliau menyertai bulan Ramadhan dan dengan
begitu, artinya masa stagnan antara dua wahyu tersebut berlangsung selama
sepuluh hari sebab beliau Shallallahu 'alaihi wasallam tidak sempat lagi
menyertai Ramadhan berikutnya setelah turunnya wahyu pertama.
Ayat-ayat tersebut merupakan permulaan dari masa
kerasulan (risalah) beliau Shallallahu 'alaihi wasallam alias datang
setelah masa kenabian (nubuwwah) yang berjarak selama masa stagnan turunnya
wahyu. Ayat-ayat tersebut mengandung dua jenis taklif (pembebanan syara')
beserta penjelasan konsekuensinya.
Jenis pertama adalah mentaklif beliau
Shallallahu 'alaihi wasallam dengan penyampaian (al-Balagh) dan peringatan
( at- Tahzir) saja. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"bangunlah! Lalu berilah peringatan" (Surat al-Muddatstsir:2);
makna ayat ini adalah agar beliau memperingatkan manusia akan azab Allah
atas mereka jika mereka tidak bertaubat dari dosa, kesesatan, beribadah
kepada selain Allah Yang Maha Tinggi serta berbuat syirik kepadaNya dalam
zat, sifat-sifat, hak-hak dan perbuatan-perbuatan.
Jenis kedua adalah mentaklif beliau Shallallahu
'alaihi wasallam dengan penerapan perintah-perintah Allah Ta'ala terhadap
zatNya dan komitmen terhadapnya dalam jiwa beliau agar mendapatkan keridhaan
Allah dan menjadi suri teladan yang baik bagi orang yang beriman kepada
Allah. Hal ini tercermin pada ayat-ayat berikutnya. FirmanNya Ta'ala:
"dan Rabb-mu agungkanlah!"(al-Muddatstsir: 3); maknanya adalah
khususkanlah Dia Ta'ala dengan pengagungan dan janganlah menyekutukanNya
dengan seseorangpun. Dan firmanNya: "dan pakaianmu bersihkanlah!"
(al-Muddatstsir:4); makna lahiriyahnya adalah menyucikan/membersihkan
pakaian dan jasad sebab tidaklah layak bagi orang yang mengagungkan Allah
dan menghadapNya dalam kondisi dilumuri oleh najis dan kotor. Jika saja
kesucian/kebersihan ini dituntut untuk dilakukan maka kesucian/kebersihan
diri dari virus-virus syirik, pekerjaan dan akhlak yang hina tentunya lebih
utama untuk dituntut. Dan firmanNya: "dan perbuatan dosa (menyembah
berhala) tinggalkanlah!" (al-Muddatstsir:5) ; maknanya adalah
jauhkanlah dari sebab-sebab turunnya kemurkaan Allah dan azabNya, dan hal
ini direalisasikan melalui komitmen untuk ta'at kepadaNya dan meninggalkan
maksiat. Sedangkan firmanNya: "dan janganlah kamu memberi (dengan
maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak!" (al-Muddatstsir: 6);
yakni janganlah kamu berbuat baik dengan menginginkan upah dari manusia
atasnya atau balasan yang lebih utama di dunia ini.
Adapun makna ayat terakhir (yang diturunkan saat
itu kepada beliau-red); didalamnya terdapat peringatan akan adanya gangguan
dari kaumnya ketika beliau Shallallahu 'alaihi wasallam berbeda agama
dengan mereka, mengajak mereka kepada Allah semata dan memperingatkan
mereka akan azab dan siksaanNya; yaitu dalam firmanNya: "dan untuk
memenuhi (perintah Rabb-mu) bersabarlah!" (al-Muddatstsir: 7).
Permulaan ayat-ayat tersebut (surat
al-Muddatstsir) berbicara tentang panggilan langit nan agung- terekam dalam
suara Yang Maha Besar dan Maha Tinggi- yang mengajurkan agar Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam melakukan urusan yang mulia ini dan
memerintahkannya agar mengenyahkan tidur, selimut dan berhangat-hangat guna
menyongsong panggilan jihad, berjuang dan menempuh jalan penuh ranjau; ini
tergambar dalam firmanNya: "Hai orang yang berselimut! bangunlah! Lalu
berilah peringatan" (Surat al-Muddatstsir:2) . Seakan-akan dikatakan
(kepada beliau Shallallahu 'alaihi wasallam ): sesungguhnya orang yang
hanya hidup untuk kepentingan dirinya saja, bisa saja hidup tenang dan
nyaman sedangkan engkau yang memikul beban yang besar ini; apa gunanya
tidur bagimu? Apa gunanya istirahat/refreshing bagimu? Apa gunanya
permadani yang hangat bagimu? Apa gunanya hidup yang tenang bagimu? Apa
gunanya kesenangan yang membuaikan bagimu? Bangunlah untuk melakukan urusan
maha penting yang menunggumu dan beban berat yang disediakan untukmu!
Bangunlah untuk berjuang, bergiat-giat, bekerja keras dan berletih-letih!
Bangunlah! Karena waktu tidur dan istirahat sudah berlalu, dan tidak akan
kembali lagi sejak hari ini; yang ada hanyalah mata yang meronda secara
kontinyu, jihad yang panjang dan melelahkan. Bangunlah! Persiapkan diri
menyambut urusan ini dan bersiagalah!.
Sungguh ini merupakan ucapan agung dan
kharismatik yang (seakan) melucuti beliau Shallallahu 'alaihi wasallam dari
kehangatan permadani di suatu rumah yang nyaman dan pelukan yang suam untuk
kemudian melemparkannya keluar menuju samudera luas yang diselimuti oleh
deru ombak dan hujan yang mengguyur, (dan samudera) dimana terjadi tarik
menarik yang membuat posisinya di hati manusia dan realitas hidup sama
saja.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam telah
bangun dan tetap bangun setelah perintah itu selama lebih dari dua puluh
tahun; tidak pernah beristirahat dan tidak pula hanya hidup untuk
kepentingan dirinya dan keluarganya. Bangun dan tetap bangun diatas pondasi
dakwah kepada Allah, mengembankan di pundaknya beban yang amat berat namun
beliau tidak menganggapnya berat; beban amanah kubro di muka bumi ini,
beban manusia secara keseluruhan, beban 'aqidah secara keseluruhan, beban
perjuangan dan jihad di medan-medan yang berbeda. Beliau hidup menghadapi
pertempuran yang kontinyu selama lebih dari dua puluh tahun. Selama
tenggang waktu ini, tidak satupun hal yang dapat membuatnya lengah, yaitu
sejak beliau mendengar panggilan langit nan agung yang menyerahkan taklif
yang begitu dahsyat untuk diembannya… semoga Allah membalas jasa beliau
terhadap manusia secara keseluruhan dengan sebaik-baik imbalan.
Sekilas ulasan tentang urutan kronologi turunnya
wahyu
Sebelum beranjak ke penjelasan detail mengenai
kehidupan di bawah naungan risalah dan nubuwwah, kami melihat perlu kita
mengetahui urutan kronologi turunnya wahyu yang merupakan sumber risalah
dan tinta dakwah. Ibnu al-Qayyim berkata, ketika menyinggung urutan
kronologi turunnya wahyu tersebut:
Pertama, berupa ar-Ru'ya ash-Shaadiqah (mimpi
yang benar); ini merupakan permulaan turunnya wahyu kepada beliau
Shallallahu 'alaihi wasallam.
Kedua, berupa sesuatu yang ditimbulkan oleh
malaikat terhadap rau' (hati yang ketakutan, akal) dan hatinya tanpa dapat
melihatnya; hal ini sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam :
"Sesungguhnya Ruhul Qudus (malaikat Jibril 'alaihissalam)
menghembuskan ke dalam hatiku (yang diliputi ketakutan) bahwasanya jiwa
tidak akan mati hingga disempurnakan rizki baginya. Oleh karena itu,
bertakwalah kalian kepada Allah, berindah-indahlah dalam meminta serta
janganlah keterlambatan rizki atas kalian mendorong kalian untuk memintanya
dengan cara melakukan perbuatan maksiat kepadaNya, karena sesungguhnya apa
yang ada disisi Allah tidak akan didapat kecuali dengan berbuat ta'at
kepadaNya".
Ketiga, berupa malaikat yang berwujud seorang
laki-laki; lantas dia mengajak beliau berbicara hingga mengingat dengan
jelas apa yang dikatakan kepadanya. Dalam urutan ini, terkadang para
shahabat melihat malaikat tersebut.
Keempat, berupa bunyi gemerincing lonceng yang
datang kepada beliau; peristiwa ini merupakan pengalaman yang paling berat
bagi beliau dimana malaikat memakai cara ini hingga membuat keningnya
mengerut bersimbah peluh. Ini terjadi di hari yang amat dingin. Demikian
pula, mengakibatkan onta beliau duduk bersimpuh ke bumi bila beliau
menungganginya. Dan pernah juga wahyu datang seperti kondisi tersebut dan
saat itu paha beliau ditaruh diatas paha Zaid bin Tsabit yang seketika
dirasakan olehnya (Zaid) demikian berat sehingga hampir saja remuk.
Kelima, berupa malaikat dalam bentuk aslinya
yang dilihat langsung oleh beliau, lalu diwahyukan kepada beliau beberapa
wahyu yang dikehendaki oleh Allah; peristiwa seperti ini dialami oleh
beliau sebanyak dua kali sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam surat
an-Najm.
Keenam, berupa wahyu yang diwahyukan kepada
beliau; yaitu saat beliau berada diatas lelangit pada malam mi'raj ,
diantaranya ketika diwajibkannya shalat dan lainnya.
Ketujuh, berupa Kalamullah kepada beliau
(dariNya kepadanya) tanpa perantaraan malaikat sebagaimana Allah berbicara
kepada Musa bin 'Imran; peristiwa seperti ini terjadi dan diabadikan secara
qath'i berdasarkan nash al-Qur'an. Sedangkan terhadap Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam terjadi dalam hadits yang berbicara tentang Isra' .
Sebagian para ulama menambah urutannya menjadi
delapan, yaitu; Allah berbicara kepada beliau Shallallahu 'alaihi wasallam
secara langsung tanpa hijab; ini merupakan permasalahan yang diperdebatkan
oleh ulama Salaf dan Khalaf. Demikian, sebagaimana yang dituturkan oleh
Ibnu al-Qayyim dengan sedikit diringkas dalam penjelasan tentang urutan
pertama dan kedelapan. Pendapat yang benar, bahwa urutan terakhir ini
(kedelapan) tidak tsabit (valid dan dipercaya keabsahan riwayatnya-red).
|
TAHAPAN PERTAMA BERJIHAD MELALUI DAKWAH KEPADA
ALLAH
Tahapan Dakwah Sirriyyah selama tiga tahun
Seperti yang sudah diketahui bahwa kota Mekkah
merupakan pusat agama bagi bangsa Arab. Disana terdapat para pengabdi
ka'bah dan tiang sandaran bagi berhala dan patung-patung yang dianggap suci
oleh seluruh bangsa Arab. Untuk mencapai sasaran perbaikan yang memadai
terhadap kondisi yang ada nampaknya akan bertambah sulit dan keras jika
jauh dari jangkauan kondisionalnya. Karenanya, kondisi tersebut membutuhkan
tekad baja yang tak mudah tergoyahkan oleh beruntunnya musibah dan bencana
yang menimpa; maka adalah bijaksana dalam menghadapi hal itu, memulai
dakwah secara sirri (sembunyi-sembunyi) agar penduduk Mekkah tidak
dikagetkan dengan hal yang (bisa saja) memancing emosi mereka.
Gelombang Pertama
Sudah merupakan sesuatu yang lumrah bila yang
pertama-tama dilakukan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam adalah
menawarkan Islam kepada orang-orang yang dekat hubungannya dengan beliau,
keluarga besar serta shahabat-shahabat karib beliau; mereka semua didakwahi
oleh beliau untuk memeluk Islam. Beliau juga tak lupa mendakwahi orang yang
sudah saling mengenal dengan beliau dan memiliki sifat baik dan suka
berbuat baik, mereka yang beliau kenal sebagai orang-orang yang mencintai
Allah al-Haq dan kebaikan atau mereka yang mengenal beliau Shallallâhu
'alaihi wasallam sebagai sosok yang selalu menjunjung tinggi nilai
kejujuran dan keshalihan. Hasilnya, banyak diantara mereka – yang tidak
sedikitpun digerayangi oleh keraguan terhadap keagungan, kebesaran jiwa
Rasulullah serta kebenaran berita yang dibawanya- merespons dengan baik
dakwah beliau. Mereka ini dalam sejarah Islam dikenal sebagai as-Saabiquun
al-Awwalluun (orang-orang yang paling dahulu dan pertama masuk Islam). Di
barisan depan mereka terdaftar isteri Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam,
Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid, maula (budak) beliau, Zaid bin
Haritsah bin Syarahil al-Kalbi, keponakan beliau; 'Ali bin Abi Thalib –
yang ketika itu masih anak-anak dan hidup dibawah tanggungan beliau – serta
shahabat paling dekat beliau, Abu Bakr ash-Shiddiq. Mereka semua memeluk
Islam pada permulaan dakwah.
Kemudian, Abu Bakr bergiat dalam mendakwahi
Islam. Dia adalah sosok laki-laki yang lembut, disenangi, fleksibel dan
berbudi baik. Para tokoh kaumnya selalu mengunjunginya dan sudah tidak
asing dengan kepribadiannya karena keintelekan, kesuksesan dalam berbisnis
dan pergaulannya yang luwes. Dia terus berdakwah kepada orang-orang dari
kaumnya yang dia percayai dan selalu berinteraksi dan bermajlis dengannya.
Berkat hal itu, maka masuk Islam lah 'Utsman bin 'Affana al-Umawi,
az-Zubair bin al-'Awam al-Asadi, 'Abdurrahman bin 'Auf, Sa'd bin Abi
Waqqash az-Zuhriyan dan Thalhah bin 'Ubaidillah at-Timi. Kedelapan orang
inilah yang terlebih dahulu masuk Islam dan merupakan gelombang pertama dan
palang pintu Islam.
Diantara orang-orang pertama lainnya yang masuk
Islam adalah Bilal bin Rabah al-Habasyi, kemudian diikuti oleh Amin
(Kepercayaan) umat ini, Abu 'Ubaidah; 'Amir bin al-Jarrah yang berasal dari
suku Bani al-Harits bin Fihr, Abu Salamah bin 'Abdul Asad, al-Arqam bin
Abil Arqam (keduanya berasal dari suku Makhzum), 'Utsman bin Mazh'un - dan
kedua saudaranya; Qudamah dan 'Abdullah -, 'Ubaidah bin al-Harits bin
al-Muththalib bin 'Abdu Manaf, Sa'id bin Zaid al-'Adawy dan isterinya;
Fathimah binti al-Khaththab al-'Adawiyyah - saudara perempuan dari 'Umar
bin al-Khaththab -, Khabbab bin al-Arts, 'Abdullah bin Mas'ud al-Hazaly
serta banyak lagi selain mereka. Mereka itulah yang dinamakan
as-Saabiquunal Awwaluun. Mereka terdiri dari semua suku Quraisy yang ada
bahkan Ibnu Hisyam menjumlahkannya lebih dari 40 orang. Namun, dalam
penyebutan sebagian dari nama-nama tersebut masih perlu diberikan catatan.
Ibnu Ishaq berkata: "…kemudian banyak orang
yang masuk Islam secara berbondong-bondong baik laki-laki maupun wanita
sampai akhirnya tersiarlah gaung "Islam" di seantero Mekkah dan
mulai banyak menjadi bahan perbincangan orang.
Mereka semua masuk Islam secara
sembunyi-sembunyi. Maka cara yang sama pun dilaklukan oleh Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam dalam pertemuan beliau dengan pengarahan agama
yang diberikan karena dakwah ketika itu masih bersifat individu dan
sembunyi-sembunyi. Wahyu turun secara berkesinambungan dan memuncak setelah
turunnya permulaan surat al-Muddatstsir. Ayat-ayat dan penggalan-penggalan
surat yang turun pada masa ini merupakan ayat-ayat pendek; memiliki
pemisah-pemisah yang indah dan valid, senandung yang menyejukkan dan
memikat seiring dengan suasana suhu domestik yang begitu lembut dan halus.
Ayat-ayat tersebut membicarakan solusi memperbaiki penyucian diri (
tazkiyatun nufuus), mencela pengotorannya dengan gemerlap duniawi dan
menyifati surga dan neraka yang seakan-akan terlihat oleh mata kepala
sendiri. Juga, menggiring kaum Mukminin ke dalam suasana yang lain dari
kondisi komunitas sosial kala itu.
Perintah Shalat
Termasuk wahyu pertama yang turun adalah
perintah mendirikan shalat. Ibnu Hajar berkata: "sebelum terjadinya
Isra', beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam secara qath'i pernah melakukan
shalat, demikian pula dengan para shahabat akan tetapi yang diperselisihkan
apakah ada shalat lain yang telah diwajibkan sebelum (diwajibkannya) shalat
lima waktu ataukah tidak?. Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang telah
diwajibkan itu adalah shalat sebelum terbit dan terbenamnya matahari".
Demikian penuturan Ibnu Hajar.
Al-Harits bin Usamah meriwayatkan dari jalur
Ibnu Lahi'ah secara maushul ( disambungkan setelah sanad-sanadnya mu'allaq
[terputus di bagian tertentu]) dari Zaid bin Haritsah bahwasanya pada awal
datangnya wahyu, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam didatangi oleh
malaikat Jibril; dia mengajarkan beliau tata cara berwudhu. Maka tatkala
selesai melakukannya, beliau mengambil seciduk air lantas memercikkannya ke
faraj beliau. Ibnu Majah juga telah meriwayatkan hadits yang semakna dengan
itu, demikian pula riwayat semisalnya dari al-Bara' bin 'Azib dan Ibnu
'Abbas serta hadits Ibnu 'Abbas sendiri. Hal tersebut merupakan kewajiban
pertama.
Ibnu Hisyam menyebutkan bahwa bila waktu shalat
telah masuk, Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam dan para shahabat pergi ke
perbukitan dan menjalankan shalat disana secara sembunyi-sembunyi jauh dari
kaum mereka. Abu Thalib pernah sekali waktu melihat Nabi Shallallâhu
'alaihi wasallam dan 'Ali melakukan shalat, lantas menegur keduanya namun
manakala dia mengetahui bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang serius, dia
memerintahkan keduanya untuk berketetapan hati (tsabat).
Kaum Quraisy mendengar perihal dakwah secara
global
Meskipun dakwah pada tahapan ini dilakukan
secara sembunyi-sembunyi dan bersifat individu, namun perihal beritanya
sampai juga ke telinga kaum Quraisy. Hanya saja, mereka belum
mempermasalahkannya karena Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam tidak
pernah menyinggung agama mereka ataupun tuhan-tuhan mereka.
Tiga tahunpun berlalu sementara dakwah masih
berjalan secara sembunyi-sembunyi dan individu; dalam tempo waktu ini
terbentuklah suatu jamaah Mukminin yang dibangun atas pondasi ukhuwwah
(persaudaraan) dan ta'awun (solidaritas) serta penyampaian risalah dan
proses reposisinya. Kemudian turunlah wahyu yang membebankan Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam agar menyampaikan dakwah kepada kaumnya secara
terang-terangan; menentang kebatilan mereka serta menyerang berhala-berhala
mereka.
|
TAHAPAN KEDUA
BERDAKWAH SECARA TERANG-TERANGAN (DAKWAH
JAHRIYYAH)
Perintah Pertama untuk menampakkan Dakwah
Sehubungan dengan hal ini, ayat pertama yang
turun adalah firmanNya: "dan berilah peringatan kepada keluargamu yang
terdekat" (Q.S.26/asy-Syu'ara' : 214). Terdapat jalur cerita
sebelumnya yang menyinggung kisah Musa 'alaihissalaam dari permulaan
kenabiannya hingga hijrahnya bersama Bani Israil, lolosnya mereka dari
kejaran Fir'aun dan kaumnya serta tenggelamnya fir'aun bersama kaumnya.
Kisah ini mengandung beberapa tahapan yang dilalui oleh Musa 'alaihissalaam
dalam dakwahnya terhadap Fir'aun dan kaumnya agar menyembah Allah.
Seakan-akan rincian ini hanya dipaparkan seiring
dengan perintah kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam agar
berdakwah kepada Allah secara terang-terangan sehingga dihadapan beliau dan
para shahabatnya terdapat contoh dan gambaran yang akan dialami oleh mereka
nantinya;yaitu berupa pendustaan dan penindasan manakala mereka melakukan
dakwah tersebut secara terang-terangan. Demikian pula, agar mereka mawas
diri dalam melakukan hal itu dan berdasarkan ilmu semenjak awal memulai dakwah
mereka tersebut.
Disamping itu, surat tersebut (asy-Syu'ara')
juga berbicara mengenai nasib yang akan dialami oleh pendusta-pendusta para
Rasul, diantaranya sebagaimana yang dialami oleh kaum nabi Nuh, kaum 'Ad
dan Tsamud, kaum Nabi Ibrahim, kaum Nabi Luth serta Ashhabul Aykah (selain
yang berkaitan dengan perihal Fir'aun dan kaumnya). Hal itu semua
dimaksudkan agar mereka yang melakukan pendustaan mengetahui bahwa mereka
akan mengalami nasib yang sama seperti nasib kaum-kaum tersebut dan
mendapatkan pembalasan dari Allah bila melakukan hal yang sama. Demikian
pula, agar kaum Mukminin tahu bahwa kesudahan yang baik dari itu semua akan
berpihak kepada mereka bukan kepada para pendusta tersebut.
Berdakwah di kalangan Kaum Kerabat
Setelah menerima perintah dalam ayat tersebut,
Rasululullah Shallallâhu 'alaihi wasallam mengundang keluarga terdekatnya,
Bani Hasyim. Mereka datang memenuhi undangan itu disertai oleh beberapa
orang dari Bani al-Muththalib bin 'Abdi Manaf. Mereka semua berjumlah
sekitar 45 orang laki-laki. Namun tatkala Rasulullah ingin berbicara,
tiba-tiba Abu Lahab memotongnya sembari berkata: "mereka itu (yang
hadir) adalah paman-pamanmu, anak-anak mereka; bicaralah dan tinggalkanlah
masa kekanak-kanakan! Ketahuilah! Bahwa kaummu tidak memiliki cukup
kekuatan untuk melawan seluruh bangsa Arab. Akulah orang yang berhak
membimbingmu. Cukuplah bagimu suku-suku dari pihak bapakmu. Bagi mereka,
jika engkau ngotot melakukan sebagaimana yang engkau lakukan sekarang,
adalah lebih mudah ketimbang bila seluruh suku Quraisy bersama-sama bangsa
Arab bergerak memusuhimu. Aku tidak pernah melihat seseorang yang datang
kepada suku-suku dari pihak bapaknya dengan membawa suatu yang lebih jelek
dari apa yang telah engkau bawa ini". Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam hanya diam dan tidak berbicara pada majlis itu.
Kemudian beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam
mengundang mereka lagi, dan berbicara: "alhamdulillah, aku memujiNya,
meminta pertolongan, beriman serta bertawakkal kepadaNya. Aku bersaksi
bahwa tiada Tuhan melainkan Allah semata Yang tiada sekutu bagiNya".
Selanjutnya beliau berkata: "sesungguhnya seorang pemimpin tidak
mungkin membohongi keluarganya sendiri. Demi Allah yang tiada Tuhan
selainNya! Sesungguhnya aku adalah Rasulullah yang datang kepada kalian
secara khusus, dan kepada manusia secara umum. Demi Allah! sungguh kalian
akan mati sebagaimana kalian tidur dan kalian akan dibangkitkan sebagaimana
kalian bangun dari tidur. Sungguh kalian akan dihisab (diminta
pertanggungjawabannya) terhadap apa yang kalian lakukan. Sesungguhnya yang
ada hanya surga yang abadi atau neraka yang abadi". Kamudian Abu
Thalib berkomentar: "alangkah senangnya kami membantumu, menerima
nasehatmu, dan sangat membenarkan kata-katamu. Mereka, yang merupakan
suku-suku dari pihak bapakmu telah berkumpul. Sesungguhnya aku hanyalah
salah seorang dari mereka namun aku adalah orang yang paling cepat merespek
apa yang engkau inginkan; oleh karena itu teruskan apa yang telah
diperintahkan kepadamu. Demi Allah! aku masih akan melindungi dan membelamu
akan tetapi diriku tidak memberikan cukup keberanian kepadaku untuk
berpisah dengan agama Abdul Muththalib ". Ketika itu, berkata Abu
Lahab: "demi Allah! ini benar-benar merupakan aib besar. Ayo cegahlah
dia sebelum dia berhasil menyeret orang lain selain kalian!. Abu Thalib
menjawab: "demi Allah! sungguh selama kami masih hidup, kami akan
membelanya".
Di atas Bukit Shafa
Setelah yakin tugasnya menyampaikan wahyu
Rabbnya telah mendapatkan perlindungan dari pamannya, Abu Thalib, beliau
Shallallâhu 'alaihi wasallam suatu hari berdiri tegak diatas bukit Shafa
sembari berteriak: " Ya shabaahah! (seruan untuk menarik perhatian orang
agar berkumpul di waktu pagi)". Lalu berkumpullah suku-suku Quraisy.
Kemudian beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam mengajak mereka kepada tauhid,
beriman kepada risalah yang dibawanya dan Hari Akhir.
Imam Bukhari telah meriwayatkan satu sisi dari
kisah ini, yaitu hadits yang diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, dia berkata:
"tatkala turun ayat {firmanNya: 'dan berilah peringatan kepada
keluargamu yang terdekat' [Q.S. asy-Syu'ara' : 214] } Nabi Shallallâhu
'alaihi wasallam naik ke atas bukit Shafa lalu memanggil-manggil : 'wahai
Bani Fihr! Wahai Bani 'Adiy! Seruan ini diarahkan kepada suku-suku Quraisy.
Kemudian tak berapa lama, merekapun berkumpul. Karena maha pentingnya
panggilan itu, seseorang yang tidak bisa keluar memenuhinya, mengirimkan
utusan untuk melihat apa gerangan yang terjadi?. Maka, tak terkecuali Abu
Lahab dan kaum Quraisypun berkumpul juga. Kemudian beliau Shallallâhu
'alaihi wasallam berbicara: 'bagaimana menurut pendapat kalian kalau aku
beritahukan kepada kalian bahwa ada segerombolan pasukan kuda di lembah
sana yang ingin menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?. Mereka
menjawab: 'ya! Kami tidak pernah tahu dari dirimu selain kejujuran'. Beliau
Shallallâhu 'alaihi wasallam berkata: 'Sesungguhnya aku adalah sebagai
pemberi peringatan kepada kalian terhadap azab yang amat pedih'. Abu Lahab
menanggapi: 'celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini
engkau kumpulkan kami?. Maka ketika itu turunlah ayat {firmanNya:
"binasalah kedua tangan Abu Lahab…"} [Q.S. al-Masad: 1] ".
Sedangkan Imam Muslim meriwayatkan satu sisi
yang lain dari kisah tersebut, yaitu riwayat dari Abu Hurairah radhiallaahu
'anhu, dia berkata: "Tatkala ayat ini turun {firmanNya: 'dan berilah
peringatan kepada keluargamu yang terdekat' [Q.S. asy-Syu'ara' : 214] }
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam mendakwahi mereka baik dalam skala
umum ataupun khusus. Beliau berkata: 'wahai kaum Quraisy! Selamatkanlah
diri kalian dari api neraka. Wahai Bani Ka'b! Selamatkanlah diri kalian
dari api neraka. Wahai Fathimah binti Muhammad! Selamatkanlah dirimu dari
api neraka. Demi Allah! sesungguhnya aku tidak memiliki sesuatupun (untuk
menyelamatkan kalian) dari azab Allah selain kalian memiliki ikatan rahim
yang akan aku sambung karenanya".
Teriakan yang keras ini merupakan bentuk dari
esensi penyampaian dakwah yang optimal dimana Rasulullah telah menjelaskan
kepada orang-orang yang memiliki hubungan terdekat dengannya bahwa
membenarkan risalah yang dibawanya tersebut adalah bentuk dari efektifitas
hubungan antara dirinya dan mereka. Demikian pula, bahwa fanatisme
kekerabatan yang dibudayakan oleh orang-orang Arab akan lumer di bawah
terik panasnya peringatan yang datang dari Allah tersebut.
Menyampaikan al-Haq secara terang-terangan dan
sikap kaum Musyrikin terhadapnya
Teriakan lantang yang dipekikkan oleh Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam tersebut masih terasa gaungnya di seluruh
penjuru Mekkah. Puncaknya saat turun firmanNya Ta'ala: "Maka
sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan
(kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik" (Q.S.
al-Hijr: 94). Lalu Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam melakukan dakwah
kepada Islam secara terang-terangan (dakwah jahriyyah) di tempat-tempat
berkumpulnya kaum musyrikin dan di club-club mereka. Beliau membacakan
Kitabullah kepada mereka dan menyampaikan ajakan yang selalu disampaikan
oleh para Rasul terdahulu kepada kaum mereka: 'wahai kaumku! Sembahlah
Allah. kalian tidak memiliki Tuhan selainNya'. Beliau juga, mulai
memamerkan cara beribadahnya kepada Allah di depan mata kepala mereka
sendiri; beliau melakukan shalat di halaman ka'bah pada siang hari secara
terang-terangan dan dihadapan khalayak ramai.
Dakwah yang beliau lakukan tersebut semakin
mendapatkan sambutan sehingga banyak orang yang masuk ke dalam Dienullah
satu per-satu. Namun kemudian antara mereka (yang sudah memeluk Islam) dan
keluarga mereka yang belum memeluk Islam terjadi gap; saling membenci,
menjauhi dan berkeraskepala. Melihat hal ini, kaum Quraisy merasa gerah dan
pemandangan semacam ini amat menyakitkan mereka.
Sidang Majlis membahas upaya menghalangi Jemaah
Haji agar tidak mendengarkan Dakwah Muhammad
Sepanjang hari-hari tersebut, ada hal lain yang
membuat kaum Quraisy gundah gulana; yaitu bahwa belum beberapa hari atau
bulan saja dakwah jahriyyah tersebut berlangsung hingga (tak terasa)
mendekati musim haji. Dalam hal ini, kaum Quraisy mengetahui bahwa delegasi
Arab akan datang ke negeri mereka. Oleh karena itu, mereka melihat perlunya
merangkai satu pernyataan yang nantinya (secara sepakat) mereka sampaikan
kepada delegasi tersebut perihal Muhammad agar dakwah yang disiarkannya
tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jiwa-jiwa mereka (delegasi
Arab tersebut). Maka berkumpullah mereka di rumah al-Walid bin al-Mughirah
untuk membicarakan satu pernyataan yang tepat dan disepakati bersama
tersebut. Lalu al-Walid berkata:" Bersepakatlah mengenai perihalnya
(Muhammad) dalam satu pendapat dan janganlah berselisih sehingga membuat
sebagian kalian mendustakan pendapat sebagian yang lain dan sebagian lagi
menolak pendapat sebagian yang lain".
Mereka berkata kepadanya: "Katakan kepada
kami pendapatmu yang akan kami jadikan acuan!".
Lalu dia berkata: "justru kalian yang harus
mengemukakan pendapat kalian biar aku dengar dulu".
Mereka berkata: "(kita katakan) dia
(Muhammad) adalah seorang dukun".
Dia menjawab: "Tidak! Demi Allah dia
bukanlah seorang dukun. Kita telah melihat bagaimana kondisi para dukun
sedangkan yang dikatakannya bukan seperti komat-kamit ataupun sajak
(mantera-mantera) para dukun".
Mereka berkata lagi: "kita katakan saja;
dia seorang yang gila".
Dia menjawab: "Tidak! Demi Allah! dia bukan
seorang yang gila. Kita telah mengetahui esensi gila dan telah mengenalnya
sedangkan yang dikatakannya bukan dalam kategori ketercekikan, kerasukan
ataupun was-was sebagaimana kondisi kegilaan tersebut".
Mereka berkata lagi: "kalau begitu kita
katakan saja; dia adalah seorang Penya'ir' ".
Dia menjawab: "Dia bukan seorang Penya'ir.
Kita telah mengenal semua bentuk sya'ir; rajaz, hazaj, qaridh, maqbudh dan
mabsuth-nya sedangkan yang dikatakannya bukanlah sya'ir".
Mereka berkata lagi: "Kalau begitu; dia
adalah Tukang sihir".
Dia menjawab: "Dia bukanlah seorang Tukang
sihir. Kita telah melihat para tukang sihir dan jenis-jenis sihir mereka
sedangkan yang dikatakannya bukanlah jenis nafts (hembusan) ataupun 'uqad
(buhul-buhul) mereka".
Mereka kemudian berkata: "kalau begitu, apa
yang harus kita katakan?".
Dia menjawab: "Demi Allah! sesungguhnya
ucapan yang dikatakannya itu amatlah manis dan mengandung sihir (saking
indahnya). Akarnya ibarat tandan anggur dan cabangnya ibarat pohon yang
rindang. Tidaklah kalian merangkai sesuatupun sepertinya melainkan akan
diketahui kebathilannya. Sesungguhnya, pendapat yang lebih dekat mengenai
dirinya adalah dengan mengatakan bahwa dia seorang Tukang sihir yang
mengarang suatu ucapan berupa sihir yang mampu memisahkan antara seseorang
dengan bapaknya, saudaranya dan isterinya. Mereka semua menjadi terpisah
lantaran hal itu".
Sebagian riwayat menyebutkan bahwa tatkala
al-Walid menolak semua pendapat yang mereka kemukakan kepadanya; mereka
berkata kepadanya: "kemukakan kepada kami pendapatmu yang tidak ada
celanya!". Lalu dia berkata kepada mereka: "beri aku kesempatan
barang sejenak untuk memikirkan hal itu!". Lantas al-Walid berfikir
dan menguras fikirannya hingga dia dapat menyampaikan kepada mereka
pendapatnya tersebut sebagaimana yang disinggung diatas.
Dan mengenai al-Walid ini, Allah Ta'ala
menurunkan enam belas ayat dari surat al-Muddatstsir, yaitu dari ayat 11
hingga ayat 26; dipertengahan ayat-ayat tersebut terdapat gambaran
bagaimana dia berfikir keras, Dia Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya dia
telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya) [18]. maka
celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan,[19]. kemudian celakalah dia!
Bagaimanakah dia menetapkan, [20]. kemudian dia memikirkan, [21]. sesudah
itu dia bermasam muka dan merengut, [22]. kemudian dia berpaling (dari
kebenaran) dan menyombongkan diri, [23]. lalu dia berkata:"(al-Qur'an)
ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu), [24].
ini tidak lain hanyalah perkataan manusia". [25].
Setelah majlis menyepakati keputusan tersebut,
mereka mulai melaksanakannya; duduk-duduk di jalan-jalan yang dilalui orang
hingga delegasi Arab datang pada musim haji. Setiap ada orang yang lewat,
mereka peringatkan dan singgung kepadanya perihal Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam .
Sedangkan yang dilakukan oleh Rasululllah
Shallallâhu 'alaihi wasallam manakala sudah datang musimnya adalah
mengikuti dan membuntuti orang-orang sampai ke rumah-rumah mereka, di pasar
'Ukazh, Majinnah dan Dzul Majaz. Beliau mengajak mereka ke jalan Allah
namun Abu Lahab yang selalu membuntuti di belakang beliau memotong setiap
ajakan beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan berbalik mengatakan
kepada mereka: "jangan kalian ta'ati dia karena sesungguhnya dia
adalah seorang Shabi' (orang yang mengikuti syari'at nabi-nabi zaman dahulu
atau orang yang menyembah bintang atau menyembah dewa-dewa) lagi
Pendusta".
Akhir yang terjadi, justru dari musim itu
delegasi Arab banyak mengetahui perihal Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam sehingga namanya menjadi buah bibir orang di seantero negeri Arab.
Metode-Metode yang digunakan dalam menghadapi
Dakwah Islamiyyah
Manakala kaum Quraisy menyelesaikan rituil haji,
mereka segera memikirkan metode-metode yang bakal digunakan dalam
menghadapi dakwah Islamiyyah di tempat bertolaknya, lalu mereka memilih
beberapa metode berikut:
Mengejek, menghina, merendahkan, mendustai dan
menertawakan :
Target mereka adalah menghinakan kaum Muslimin
dan melemahkan semangat juang mereka. Mereka menuduh nabi Shallallâhu
'alaihi wasallam dengan tuduhan-tuduhan yang kerdil dan celaan-celaan yang
nista; menjuluki beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam sebagai orang gila ,
dalam firmanNya: "dan mereka berkata: "Hai orang yang diturunkan
kepadanya adz-Dzikr (al-Qur'an), sesungguhnya engkau adalah orang yang
benar-benar gila". (Q.S.15/ al-Hijr: 6). Mereka juga menuduh beliau
sebagai tukang sihir dan pendusta, dalam firmanNya: "Dan mereka heran
karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan
mereka; dan orang-orang kafir berkata :"ini adalah seorang ahli sihir
yang banyak berdusta". (Q.S. 38/Shaad: 4). Mereka mengunjungi dan
menyambut beliau dengan penuh rasa dendam dan gemuruh kemarahan, {Allah
berfirman} :" Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar
hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka
mendengar al-Qur'an dan mereka berkata:"Sesungguhnya ia (Muhammad)
benar-benar orang yang gila". (QS. 68/al-Qalam:51).
Bila beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam sedang
duduk-duduk dan disekitarnya shabat-shahabat beliau yang terdiri dari al-
Mustadh'afun (kaum-kaum lemah), mereka mengejek sembari berkata:
"(semacam) mereka itulah teman-teman duduk (ngobrol) nya, {Allah
berfirman}: "orang-orang semacam itukah diantara kita yang diberi
anugerah oleh Allah kepada mereka?". (Q.S. 6/al-An'am: 53), lalu Allah
membantah ucapan mereka tersebut: "Tidakkah Allah mengetahui tentang
orang-orang yang bersyukur (kepadaNya)?". (Q.S. 6/al-An'am: 53).
Kondisi mereka sebenarnya persis sebagaimana yang dikisahkan oleh Allah
kepada kita, dalam firmanNya: "Sesungguhnya orang-orang yang berdusta,
adalah mereka yang dahulunya (di dunia) mentertawakan orang-orang yang
beriman (29). Dan apabila orangp-orang beriman lalu di hadapan mereka,
mereka saling mengedipkan matanya (30). Dan apabila ornag-orang berdosa itu
kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira (31). Dan apabila
mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan: 'sesungguhnya mereka
itu benar-benar orang-orang yang sesat (32). Padahal orang-orang yang
berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mukmin (33)".
[Q.S. 83/al-Muththaffifiin: 29-33].
Memperburuk citra ajaran-ajaran yang dibawanya,
menyebarkan syubhat-syubhat, mempublikasikan dakwaan-dakwaan dusta,
menyiarkan statement-statement yang keliru seputar ajaran-ajaran, diri dan
pribadi beliau serta membesar-besarkan tentang hal itu:
Tindakan tersebut mereka maksudkan untuk tidak
memberi kesempatan kepada orang-orang awam merenungi dakwahnya: Mereka
selalu berkata tentang al-Qur'an: {Allah berfirman}:
"dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan,
maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang"
(Q.S.25/al-Furqan: 5). {Dan firmanNya}: " al-Qur'an ini tidak lain
hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh
kaum yang lain…". (Q.S. 25/al-Furqan: 4). Mereka sering berkata: {dalam
firmanNya}: "sesungguhnya al-Qur'an itu diajarkan oleh seorang manusia
kepadanya (Muhammad)". (Q.S. 16/an-Nahl: 103). Mereka juga sering
mengatakan tentang Rasululullah : {dalam firmanNya}: "mengapa Rasul
ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?". (Q.S.25/al-Furqan:
7). Di dalam al-Qur'an terdapat banyak contoh bantahan terhadap
statement-statement mereka setelah menukilnya ataupun tanpa menukilnya.
Menghalangi orang-orang agar tidak dapat
mendengarkan al-Qur'an dan mengimbanginya dengan dongengan-dongengan
orang-orang dahulu serta membuat sibuk mereka dengan hal itu:
Mereka menyebutkan bahwa an-Nadhar bin al-Harits
pergi ke Hirah. Disana dia belajar cerita-cerita tentang raja-raja Persia,
cerita-cerita tentang Rustum dan Asvandiar. Jika Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam sedang duduk-duduk di suatu majlis dalam rangka berwasiat
kepada Allah dan mengingatkan manusia akan pembalasan-Nya, maka seusai
beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam melakukan hal itu; an-Nadhar berbicara
kepada orang-orang sembari berkata: "Demi Allah! ucapan Muhammad
tersebut tidaklah lebih baik dari ucapanku ini". Kemudian dia
mengisahkan kepada mereka tentang cerita raja-raja Persia, Rustum dan
Asvandiar. Setelah itu, dia berceloteh: "Kalau begitu, bagaimana bisa
ucapan Muhammad lebih bagus dari ucapanku ini?".
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas
disebutkan bahwa an-Nadhar membeli seorang budak perempuan. Maka, setiap
dia mendengarkan ada seseorang yang tertarik terhadap Islam, dia segera
menggandengnya menuju budak perempuannya tersebut, lalu berkata (kepada
budak perempuannya): "beri dia makan, minum dan penuhi kebutuhannya.
Ini adalah lebih baik dari apa yang diajak oleh Muhammad kepadamu".
Maka turunlah ayat mengenai dirinya, Allah berfirman: "Dan diantara manusia
(ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk
menyesatkan (manusia) dari jalan Allah…". (Q.S.31/Luqman: 6).
|
TAHAPAN KEDUA
BERDAKWAH SECARA TERANG-TERANGAN (DAKWAH
JAHRIYYAH)
Beragam Penindasan
Kaum Musyrikun menjalankan metode-metode
terdahulu sedikit-demi sedikit untuk mengekang perkembangan dakwah
Islamiyyah setelah kemunculannya pada permulaan tahun IV kenabian. Mereka
baru sebatas melakukan metode-metode tersebut selama beberapa minggu dan bulan,
tidak bergeser ke metode yang baru. Akan tetapi, manakala mereka melihat
bahwa metode-metode tersebut tidak membuahkan hasil sama sekali dalam upaya
menggagalkan dakwah Islamiyyah; mereka mengadakan pertemuan sekali lagi
untuk memusyawarahkan hal tersebut antar sesama mereka. Akhirnya, mereka
memutuskan untuk melakukan penyiksaan terhadap kaum Muslimin dan menguji
dien mereka. Tindakan yang diambil pertama kali adalah bergeraknya
masing-masing kepala suku untuk menginterogasi siapa saja yang masuk Islam
dari kabilah mereka, kemudian ditindaklanjuti oleh bawahan dan kroco-kroco
mereka. Maka mulailah mereka mendera kaum Muslimin dengan berbagai siksaan
yang membuat bulu kuduk merinding dan hati tersayat-sayat mendengarnya:
Adalah Abu Jahal, bila mendengar seorang
laki-laki masuk Islam, berketurunan bangsawan serta memiliki perlindungan
(suaka), maka dia mencaci, menghina serta mengancamnya dengan mengatakan
bahwa dia akan membuatnya mengalami kerugian materil dan psikologis.
Sedangkan bila orang tersebut lemah maka dia menggebuk dan menghasutnya.
'Utsman bin 'Affan digulung oleh pamannya ke
dalam tikar yang terbuat dari daun-daun kurma, kemudian diasapi dari
bawahnya.
Mush'ab bin 'Umair, manakala ibundanya
mengetahui keislamannya, membiarkan dirinya kelaparan dan mengusirnya dari
rumah padahal sebelumnya dia termasuk orang yang hidup berkecukupan.
Lantaran tindakan ibundanya tersebut, kulitnya menjadi bersisik layaknya
kulit ular.
Shuhaib bin Sinan ar-Rumy disiksa hingga
kehilangan ingatan dan tidak memahami apa yang dibicarakannya sendiri.
Bilal, maula Umayyah bin Khalaf al-Jumahi
mengalami perlakuan yang sangat kejam dari majikannya. Pundaknya diikat
dengan tali lantas tali tersebut diserahkan kepada anak-anak kecil untuk
diseret dan dibawa keliling sepanjang pegunungan Mekkah. Akibatnya, bekas
tali tersebut masih nampak di pundaknya. Umayyah, sang majikan selalu
mengikatnya kemudian menderanya dengan tongkat. Kadang ia dipaksa duduk di
bawah teriknya sengatan matahari. Ia juga pernah dipaksa lapar. Puncak dari
itu semua adalah saat dia dibawa keluar pada hari yang suhunya sangat
panas, kemudian dibuang ke Bathha' (tanah lapang berkerikil) Mekkah.
Setelah itu, ia ditindih dengan batu besar dan ditaruh ke atas dadanya.
Ketika itu, berkata Umayyah kepadanya:"Tidak, demi Allah! engkau akan
tetap mengalami seperti ini sampai engkau mati atau engkau kafir terhadap
(ajaran) Muhammad dan menyembah al-Laata dan al-'Uzza". Meskipun dalam
kondisi demikian, ia tetap berteriak: "Ahad, Ahad". Mereka terus
menyiksanya hingga suatu hari Abu Bakar melewatinya, lalu membelinya dan
menukarkannya dengan seorang anak berkulit hitam. Ada riwayat yang
mengatakan: dengan tujuh uqiyyah (satu uqiyyah= 12 dirham atau 28 gram-red)
atau lima uqiyyah dari perak, kemudian beliau memerdekakannya.
'Ammar bin Yasir maula Bani Makhzum sekeluarga
radhiallaahu 'anhum ; dia, ayahnya dan ibunya yang masuk Islam tak luput
dari penganiayaan. mereka diseret keluar menuju al-Abthah (suatu tempat di
Mekkah) oleh kaum Musyrikin yang dipimpin oleh Abu Jahal. Saat itu suhu
udara sangat panas dan menyengat. Maka dalam kondisi seperti itulah mereka
menyiksa keluarga tersebut. Ketika mereka sedang menjalani siksaan, Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam melintas di hadapan mereka sembari bersabda:
"Bersabarlah wahai Ali Yasir (keluarga besar Yasir)! Sesungguhnya
tempat yang dijanjikan untuk kalian adalah surga". Yasir, ayahnya
meninggal dunia dalam siksaan tersebut sedangkan ibunya, Sumayyah ditusuk
oleh Abu Jahal dari arah qubulnya dengan tombak dan meninggal dunia
seketika. Dialah syahidah (wanita yang mati syahid) pertama dalam Islam.
Setelah itu, kaum Musyrikin tersebut meningkatkan frekuensi siksaan mereka
terhadap 'Ammar; terkadang dengan menjemurnya saja, terkadang dengan
meletakkan batu besar yang memerah (saking panasnya) diatas dadanya dan
terkadang dengan menenggelamkannya alias membenamkan mukanya ke dalam air.
Kala itu, mereka berkata kepadanya: "kami tidak akan terus menyiksamu
hingga engkau mencaci Muhammad atau mengatakan sesuatu yang baik terhadap
al-Laata dan al-'Uzza. Maka, dia pun secara terpaksa menyetujui hal itu.
Setelah itu dia mendatangi Nabi sambil menangis dan meminta ma'af atas
kejadian tersebut kepada beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam. Ketika itu,
turunlah ayat: "Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman
(dia mendapat kemurkaan dari Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir
padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)…".
(Q.S. 16/an-Nahl: 106).
Abu Fakihah – namanya Aflah – seorang maula Bani
'Abdi ad-Daar mukanya dijerembabkan oleh kaum Musyrikin ke tanah yang
melepuh oleh terik matahari, kemudian diletakkan diatas punggungnya sebuah
batu besar hingga dia tak dapat bergerak lagi. Dia dibiarkan dalam keadaan
demikian hingga hilang ingatan. Suatu kali, mereka mengikat kakinya dengan
tali, lalu menyeretnya dan melemparkannya ke tanah yang melepuh oleh terik
matahari seperti yang dilakukan terhadapnya sebelumnya, kemudian
mencekiknya hingga mereka mengira dia telah mati. Saat itu, Abu Bakar
melewatinya lalu membeli dan memerdekakannya karena Allah Ta'ala.
Khabbab bin al-Aratt, maula Ummi Anmaar binti
Siba' al-Khuza'iyyah disiksa oleh kaum Musyrikin dengan aneka siksaan;
rambutnya mereka jambak dengan keras sekali, lehernya mereka betot dengan
kasar lalu melemparkannya ke dalam api yang membara kemudian –dalam kondisi
demikian- jasadnya mereka tarik sehingga api itu terpadamkan oleh lemak
yang meleleh dari punggungnya.
Dari kalangan budak Muslimah, terdapat riwayat
Zunairah, an-Nahdiyyah dan Ummu 'Ubais. Tatkala mereka masuk Islam, kaum
Musyrikinpun melakukan penyiksaan terhadap mereka sama seperti yang telah
dilakukan terhadap para shahabat sebelumnya diatas.
Seorang budak perempuan Bani Muammal – mereka
adalah dari suku Bani 'Adiy – dipukul oleh 'Umar bin al-Khaththab, kala ia
masih Musyrik, dan manakala merasa jenuh, dia berkata: "sesungguhnya
yang membuatku membiarkanmu hanyalah karena kejenuhan".
Semua budak-budak wanita tersebut dibeli oleh
Abu Bakar kemudian dimerdekakannya sebagaimana yang telah dilakukannya
terhadap Bilal dan 'Amir bin Fuhairah.
Kaum Musyrikin juga pernah membungkus sebagian
shahabat dalam buntalan yang terbuat dari kulit onta dan sapi, kemudian
dilempar ke bumi yang sudah melepuh oleh terik matahari. Sedangkan sebagian
yang lain, pernah mereka kenakan baju besi lantas dilemparkan ke atas batu
besar yang memanas.
Deretan para korban yang disiksa karena membela
dienullah demikian panjang dan amat histeris. Pokoknya, siapa saja yang
mereka ketahui telah memeluk Islam maka tak ayal akan dihadang geraknya dan
disakiti.
Sikap Kaum Musyrikin terhadap Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam
Adapun Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
(kala itu) tidaklah mengalami siksaan yang sedemikian. Beliau adalah
seorang ksatria, terhormat dan sosok yang langka. Baik kawan maupun lawan
sama-sama segan dan mengagungkannya; setiap orang yang berjumpa dengannya,
pasti akan menyambutnya dengan rasa hormat dan pengagungan. Tidak
seorangpun yang berani melakukan perbuatan tak senonoh dan hinadina
terhadap beliau selain manusia-manusia kerdil dan picik. Disamping itu,
beliau juga mendapatkan perlindungan (suaka) dari pamannya, Abu Thalib yang
merupakan tokoh terpandang di Mekkah. Dia memang terpandang nasabnya dan
disegani orang. Oleh karena itu, amatlah sulit bagi seseorang untuk melecehkan
orang yang sudah berada dalam perlindungannya. Kondisi ini tentu amat
mencemaskan kaum Quraisy dan membuat mereka terjepit sehingga tidak dapat
berbuat banyak. Hal ini, memaksa mereka untuk memikirkan secara jernih
jalan keluarnya tanpa harus berurusan dengan wilayah larangan yang bila
tersentuh tentu akibatnya tidak diharapkan. Akhirnya, mereka mendapatkan
ide penyelesaiannya, yaitu dengan memilih jalan berunding dengan sang
penanggung jawab terbesar; Abu Thalib. Akan tetapi tentunya dengan lebih
banyak melakukan pendekatan secara hikmah dan ekstra serius, disisipi
dengan trik menantang dan ultimatum terselubung sampai dia mau tunduk dan
mendengarkan apa yang mereka katakan.
Utusan Quraisy menghadap Abu Thalib
Ibnu Ishaq berkata: "sekelompok tokoh bangsawan
kaum Quraisy menghadap Abu Thalib, lalu berkata kepadanya: 'wahai Abu
Thalib! Sesungguhnya keponakanmu telah mencaci tuhan-tuhan kita, mencela
agama kita, membuyarkan impian kita dan menganggap sesat nenek-nenek moyang
kita. Karenanya, engkau hanya punya dua alternatif: mencegahnya atau
membiarkan kami dan dia menyelesaikan urusan ini. Sesungguhnya kondisimu
adalah sama seperti kami, tidak sependapat dengannya, oleh karena itu kami
berharap dapat mengandalkanmu dalam menjinakkannya'. Abu Thalib berkata
kepada mereka dengan tutur kata yang lembut dan membalasnya dengan cara
yang halus dan baik. Setelah itu mereka pun akhirnya undur diri. Sementara
itu, Rasulullah tetap melakukan aktivitas seperti biasanya; mengkampanyekan
dienullah dan mengajak kepadanya". Akan tetapi, orang-orang Quraisy
tidak dapat berlama-lama sabar manakala melihat beliau Shallallâhu 'alaihi
wasallam terus melakukan aktivitasnya tersebut dan berdakwah kepada Allah
bahkan hal itu semakin membuat mereka mempersoalkannya dan mengumpatinya.
Lantaran itu pula, mereka kemudian memutuskan untuk menghadap Abu Thalib
sekali lagi namun dengan cara yang lebih kasar dan keras daripada
sebelumnya.
Kaum Quraisy mengultimatum Abu Thalib
Para tokoh kaum Quraisy kembali mendatangi Abu
Thalib seraya berkata kepadanya: "wahai Abu Thalib! Sesungguhnya kami
menghargai usia, kebangsawanan dan kedudukanmu. Dan sesungguhnya pula, kami
telah memintamu menghentikan gelagat keponakanmu itu, namun engkau tidak
melakukannya. Sesungguhnya kami, demi Allah! tidak akan mampu bersabar atas
perbuatan mencela nenek moyang kami, membuyarkan impian kami dan mencemooh
tuhan-tuhan kami hingga engkau mencegahnya sendiri atau kami yang akan
membuat perhitungan dengannya dan denganmu sekaligus. Setelah itu, kita
lihat siapa diantara dua kelompok ini yang akan binasa".
Ancaman dan ultimatum yang keras tersebut sempat
membuat nyali Abu Thalib bergetar juga, karenanya dia menyongsong
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sembari berkata kepadanya:
"wahai keponakanku! Sesungguhnya kaummu telah mendatangiku dan mengatakan
begini dan begitu kepadaku. Oleh karena itu berdiamlah demi kemaslahatanku
dan dirimu sendiri. Janganlah engkau membebaniku dengan sesuatu yang tak
mampu aku lakukan!". Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam mengira
bahwa dengan ini pamannya telah mengucilkannya dan tak mampu lagi
melindungi dirinya, maka beliaupun menjawab: "wahai pamanku! Demi
Allah! andaikata mereka letakkan matahari di tangan kananku dan bulan di
tangan kiriku agar aku meninggalkan agama ini -hingga Allah memenangkannya
atau aku binasa karenanya- niscaya aku tidak akan meninggalkannya".
Beliau mengungkapkannya dengan berlinang air mata dan tersedu, lalu berdiri
untuk berpaling namun ketika itu, pamannya memanggilnya dan menghampirinya
sembari berkata: "Pergilah wahai keponakanku! Katakanlah apa yang
engkau suka, demi Allah! aku tidak akan pernah selamanya menyerahkanmu
kepada siapapun!". Lalu dia merangkai beberapa untai bait (artinya):
Demi Allah! mereka semua tidak akan dapat
menjamahmu
Hingga aku terkubur berbantalkan tanah
Berterang-teranganlah dengan urusanmu, tiada
cela bagimu
Bergembira dan bersuka citalah dengan hal itu
Kaum Quraisy kembali menghadap Abu Thalib
Tatkala kaum Quraisy melihat Rasulullah masih
terus melakukan aktivitasnya, tahulah mereka bahwa Abu Thalib tak berkeinginan
untuk mengucilkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dan telah bulat
hatinya untuk memisahkan diri dan memusuhi mereka. Maka sebagai upaya
membujuk, mereka membawa 'Imarah bin al-Walid bin al-Mughirah ke hadapannya
seraya berujar:"wahai Abu Thalib! Sesungguhnya ini ada seorang pemuda
yang paling rupawan dan tampan di kalangan kaum Quraisy! Ambillah dia, maka
dengan begitu, engkau dapat berbuat sesukamu; mengikatnya atau
membebaskannya (membelanya). Jadikanlah dia sebagai anakmu, maka dia jadi milikmu.
Lalu serahkan kepada kami keponakanmu yang telah menyelisihi agamamu dan
agama nenek-nenek moyangmu itu, menceraiberaikan persatuan kaummu,
membuyarkan impian mereka untuk kami bunuh. Ini adalah barter diantara kita
dan menjadi impas; seorang dengan seorang". Abu Thalib menjawab:
"Demi Allah! sungguh tawaran kalian tersebut sesuatu yang murahan!
Apakah kalian ingin memberikan kepadaku anak kalian ini agar aku beri makan
untuk kepentingan kalian sementara aku memberikan anakku agar kalian
bunuh?. Demi Allah! ini tidak akan pernah terjadi!". Al-Muth'im bin
'Adiy bin Naufal bin 'Abdu Manaf berkata:"Demi Allah, wahai Abu
Thalib! Kaummu telah berbuat adil terhadapmu dan berupaya untuk
membebaskanmu dari hal yang tidak engkau sukai. Jadi, apa sebabnya aku lihat
engkau tidak mau menerima sesuatupun dari tawaran mereka?". Dia
menjawab: "Demi Allah! kalian bukannya berbuat adil terhadapku, akan
tetapi kalian telah bersepakat menghinakanku dan mengkonfrontasikanku
dengan kaum Quraisy. Oleh sebab itu, lakukanlah apa yang ingin kalian
lakukan!".
Ketika kaum Quraisy gagal dalam perundingan
tersebut dan tidak berhasil membujuk Abu Thalib untuk mencegah Rasululullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam dan mengekang laju dakwahnya kepada Allah;
maka mereka pun memutuskan untuk memilih langkah yang sebelumnya telah
berupaya mereka hindari dan tidak menyerempetnya karena khawatir akan
akibat serta implikasinya, yaitu langkah memusuhi pribadi Rasululullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam.
Bentuk-Bentuk Pelecehan mereka terhadap Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam
Kaum Quraisy membatalkan sikap pengagungan dan
penghormatan yang dulu pernah mereka tampakkan terhadap Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam semenjak munculnya dakwah Islamiyyah di
lapangan. Memang, sungguh sulit merubah sikap yang terbiasa dengan
kebengisan dan kesombongan untuk berlama-lama sabar, maka dari itu, mereka
mulai mengulurkan tangan permusuhan terhadap Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam. Sebagai implementasinya, mereka melakukan berbagai bentuk ejekan,
hinaan, pencemaran nama baik, pengaburan, keusilan dan lain sebagainya.
Tentunya, sudah lumrah bila yang pertama-tama menjadi ujung tombaknya
adalah Abu Lahab sebab dia adalah seorang kepala suku Bani Hasyim. Dia
tidak pernah memikirkan pertimbangan apapun sebagaimana yang selalu
dipertimbangkan oleh tokoh-tokoh Quraisy lainnya. Dia adalah musuh
bebuyutan Islam dan para pemeluknya. Sejak pertama, dia sudah menghadang
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sebelum kaum Quraisy berkeinginan
melakukan hal itu. Kita telah membahas bagaimana prilaku mereka terhadap
Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam di majlis Bani Hasyim dan di bukit Shafa.
Sebelum beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam diutus, Abu Lahab telah
mengawinkan kedua anaknya; 'Utbah dan 'Utaibah dengan kedua putri
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam; Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Namun
tatkala beliau diutus menjadi Rasul, dia memerintahkan kedua anaknya
tersebut agar menceraikan kedua putri beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam
dengan cara yang kasar dan keras, hingga akhirnya terjadilah perceraian
itu.
Ketika 'Abdullah, putra kedua Rasulullah wafat,
Abu Lahab amat gembira dan menyampiri semua kaum Musyrikin untuk
memberitakan perihal Muhammad yang sudah menjadi Abtar (orang yang
terputus/buntung) *.
*Terhadapnya Allah Ta'ala menurunkan ayat 3,
surat al-Kautsar –red.
Sebagaimana dalam bahasan terdahulu, bahwa Abu
Lahab selalu menguntit di belakang Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
saat musim haji dan di pasar-pasar sebagai upaya mendustakannya. Dalam hal
ini, Thariq bin 'Abdullah al-Muhariby meriwayatkan suatu berita yang
intinya bahwa yang dilakukannya tidak sekedar mendustakan Rasulullah, akan
tetapi lebih dari itu, dia juga memukul beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam
dengan batu hingga kedua tumit beliau berdarah.
Isteri Abu Lahab, Ummu Jamil binti Harb bin
Umayyah saudara perempuan Abu Sufyan, tidak kalah frekuensi permusuhannya
terhadap Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam dibanding sang suami. Dia pernah
membawa dedurian dan menebarkannya di jalan yang dilalui oleh Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam bahkan juga, di depan pintu rumah beliau pada
malam harinya. Dia adalah sosok perempuan yang judes. Lisannya selalu
dijulurkan untuk mencaci beliau, mengarang berita dusta dan berbagai isu,
menyulutkan api fitnah serta mengobarkan perang membabibuta terhadap Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam. Oleh karena itulah, al-Qur'an menyifatinya
dengan Hammaalatal Hathab (wanita pembawa kayu bakar).
Ketika dia mendengar ayat al-Qur'an yang turun
mengenainya dan suaminya, dia langsung mendatangi Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam yang sedang duduk-duduk bersama Abu Bakar ash-Shiddiq. Dia
telah membawa segenggam batu ditangannya, namun ketika dia berdiri di
hadapan keduanya, Allah membutakan pandangannya dari beliau sehingga dia
tidak melihat selain Abu Bakar, lantas dia berkata: "wahai Abu Bakar!
Mana shahabatmu itu? Aku mendapat berita bahwa dia telah mengejekku. Demi
Allah! andai aku menemuinya niscaya akan aku tampar mulutnya dengan
segenggam batu ini. Demi Allah! Bukankah sesungguhnya aku ini seorang
Penyair?. Kemudian dia menguntai bait berikut (artinya):
Si tercela yang kami tentang, Urusannya yang
kami tolak, Diennya yang kami benci
Kemudian dia berlalu. Setelah kepergiannya, Abu
Bakar lantas berkata: "wahai Rasulullah! Adakah engkau melihatnya
dapat melihatmu?". Beliau menjawab: "Dia tidak dapat melihatku.
Sungguh! Allah telah membutakan pandangannya dariku".
Abu Bakar al-Bazzar meriwayatkan kisah diatas.
Di dalamnya disebutkan bahwa ketika dia berdiri di hadapan Abu Bakar, dia
berkata: "wahai Abu Bakar! Shahabatmu itu telah mengejek kami".
Abu Bakar menjawab: "Tidak, demi Rabb bangunan ini (Ka'bah)! Dia tidak
pernah berbicara dengan memakai sya'ir ataupun melantunkannya". Dia
menjawab: "Sungguh! apa yang engkau ucapkan memang benar".
Demikianlah yang dilakukan oleh Abu Lahab
padahal beliau adalah paman beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam sekaligus
tetangganya, rumahnya menempel dengan rumah beliau. Sama seperti
tetangga-tetangga beliau yang lain yang selalu mengganggu beliau padahal
beliau tengah berada di dalam rumah.
Ibnu Ishaq berkata: "Mereka yang selalu
mengganggu Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam saat beliau berada di rumah
tersebut adalah Abu Lahab, al-Hakam bin Abi al-'Ash bin Umayyah, 'Uqbah bin
Abi Mu'ith, 'Adiy bin Hamra' ats-Tsaqafy dan Ibnu al-Ashda' al-Hazaly.
Semuanya adalah tetangga-tetangga beliau namun tak seorangpun diantara
mereka yang masuk Islam kecuali al-Hakam bin Abi al-'Ash. Salah seorang
diantara mereka ada yang melempari beliau dengan rahim kambing saat beliau
tengah melakukan shalat. Yang lain lagi, bila priuk milik beliau -yang
terbuat dari batu- tengah dipanaskan, pernah memasukkan bangkai tersebut ke
dalamnya. Hal ini, membuat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam mamasang
tabir agar dapat terlindungi dari mereka manakala beliau tengah melakukan
shalat. Bila usai mereka melakukan hal itu, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam membawanya keluar dan meletakkannya diatas sebatang ranting,
kemudian berdiri di depan pintu rumahnya lalu berseru: "wahai Bani
'Abdi Manaf! Tetangga-tetangga model apa yang begini kelakuannya?".
Kemudian barang tersebut beliau lempar ke jalan.
'Uqbah bin Abi Mu'ith malah melakukan hal yang
lebih buruk dan busuk dari itu lagi. Imam Bukhari meriwayatkan dari
'Abdullah bin Mas'ud radhiallaahu 'anhu bahwa pernah suatu hari Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam melakukan shalat di sisi Baitullah sedangkan
Abu Jahal dan rekan-rekannya tengah duduk-duduk. Lalu sebagian mereka
berkata kepada sebagian yang lain: "Siapa diantara kalian yang akan
membawa kotoran onta Bani Fulan lalu menumpahkannya ke punggung Muhammad
saat dia sedang sujud?". Maka bangkitlah 'Uqbah bin Abi Mu'ith, sosok yang
paling sangar diantara mereka, membawa kotoran tersebut sembari
memperhatikan gerak-gerik Nabi Muhammad Shallallâhu 'alaihi wasallam.
Tatkala beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam beranjak sujud kepada Allah,
dia menumpahkan kotoran tersebut ke arah punggungnya diantara dua bahunya.
Aku (Ibnu Mas'ud-red) memandangi hal itu dan ingin sekali melakukan sesuatu
andai aku memiliki perlindungan (suaka). Lalu mereka tertawa sambil
masing-masing saling mencolek dan memiringkan badan satu sama lainnya
dengan penuh kesombongan dan keangkuhan sedangkan Rasulullah masih sujud.
Beliau tidak dapat mengangkat kepalanya hingga Fathimah datang dan membuang
kotoran tersebut dari punggung beliau, barulah beliau mengangkat kepala,
kemudian berdoa: 'Ya Allah! berilah balasan (setimpal) kepada kaum Quraisy
tersebut'. Beliau mengucapkannya tiga kali. Doa beliau ini menyesakkan hati
mereka. Dia (Ibnu Mas'ud-red) bertutur lagi: 'mereka menganggap bahwa
berdoa di negeri itu (Mekkah) adalah mustajabah. Kemudian dalam doanya
tersebut, beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam menyebutkan nama mereka satu
per-satu: ' Ya Allah! binasakanlah Abu Jahal, 'Utbah bin Rabi'ah, Syaibah
bin Rabi'ah, al-Walid bin 'Utbah, Umayyah bin Khalaf, 'Uqbah bin Abi Mu'ith
– Ibnu Mas'ud menyebutkan yang ke tujuh namun tidak mengingat namanya - .
Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya! Sungguh aku telah melihat orang-orang
yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam tewas
mengenaskan di al-Qalib , yaitu kuburan di Badar, Madinah". Adapun
nama orang yang ke tujuh tersebut adalah 'Imarah bin al-Walid.
Lain lagi yang dilakukan oleh Ummayyah bin
Khalaf; bila melihat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam, dia langsung
mengumpat dan mencelanya. Karenanya, turunlah terhadapnya
ayat:"Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat (al-Humazah) lagi
pencela". (Q.S. 104/al-Humazah: 1). Ibnu Hisyam berkata:"kata
al-Humazah maknanya adalah orang yang mencemooh seseorang secara
terang-terangan dan tanpa tedeng aling-aling, memain-mainkan kedua matanya
sambil mengerdipkannya, sedangkan kata al-Lumazah maknanya adalah orang
yang mencela manusia secara sembunyi dan menyakiti hati mereka".
Sama halnya dengan saudara laki-lakinya, Ubay
bin Khalaf; mereka berdua seiring dan sejalan. Suatu ketika, 'Uqbah duduk
di majlis Nabi sembari mendengarkan dakwahnya, namun manakala berita
tersebut sampai ke telinga Ubay; dia langsung mencaci dan mencemooh
saudaranya tersebut serta memintanya agar meludah ke wajah Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam , maka diapun melakukannya. Sementara Ubay
sendiri juga tidak mau kalah, dia menumbuk tulang belulang yang ada hingga
remuk redam lalu meniupkannya ke angin yang berhembus ke arah Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam.
Bentuk pelecehan lainnya adalah apa yang
diperbuat oleh al-Akhnas bin Syuraiq at-Tsaqafy yang selalu mengerjai
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Untuk itu, al-Qur'an menyifatinya
dengan sembilan sifat yang menyingkap perangainya, yaitu firman Allah
Ta'ala: " Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah
lagi hina (10). Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah
(11). Yang enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa (12).
Yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya (13)".
(Q.S. 68/al-Qalam: 10-13).
Demikian pula dengan Abu Jahal, terkadang dia
datang kepada Rasulullah dan mendengarkan al-Qur'an, kemudian berlalu namun
hal itu tidak membuatnya beriman, tunduk, sopan apalagi takut. Bahkan dia
menyakiti Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan perkataannya, menghadang
jalan Allah, berlalu lalang dengan angkuh memproklamirkan apa yang
diperbuatnya dan bangga dengan kejahatan yang dilakukannya tersebut seakan
sesuatu yang enteng saja. Terhadapnya turunlah ayat: "Dan ia tidak mau
membenarkan (Rasul dan al-Qur'an) dan tidak mau mengerjakan shalat…
dst". (QS. 75/al-Qiyaamah: 31- dst). Dia selalu mencegah Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam untuk melakukan shalat sejak pertama kali
melihat beliau melakukannya di Masjid al-Haram. Suatu kali, dia melewati
beliau yang sedang melakukan shalat di sisi Maqam (nabi Ibrahim
'alaihissalaam-red), lalu berkata: "wahai Muhammad! Bukankah sudah aku
larang engkau melakukan ini?". Dia mengancam beliau, mengasari serta
membentaknya. Dia berkata kepada beliau:"wahai Muhammad! Dengan apa
engkau akan mengancamku?Demi Allah! bukankah sesungguhnya aku adalah orang
yang paling banyak memanggil (berdoa) di lembah ini (Mekkah)". Maka
turunlah ayat: "Maka biarkanlah dia memanggil golongannya (untuk
menolongnya),[17]. kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah,[18]
". (Q.S.96/al-'Alaq: 17-18).
Dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam mencengkeram lehernya dan
menggoyang-goyangkannya sembari membacakan firman Allah:
"Kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu,[34].
kemudian kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah
bagimu.[35]". (Q.S. 75/al-Qiyaamah: 34-35). Lantas musuh Allah itu
berkata: "Engkau hendak mengancamku, wahai Muhammad? Demi Allah!
engkau dan TuhanMu tidak akan sanggup melakukan apapun. Sesungguhnya
aku-lah seperkasa orang yang berjalan diantara dua gunung di Mekkah
ini!".
Sekalipun sudah membentak-bentak tersebut, Abu
Jahal tidak pernah kapok dari kedunguannya bahkan semakin blingsatan saja.
Berkaitan dengan ini, Imam Muslim mengeluarkan dari Abu Hurairah, dia
berkata: "Abu Jahal berkata:'Apakah Muhammad sujud dan menempelkan
jidatnya di tanah (shalat) di depan batang hidung kalian?". Salah
seorang menjawab: "ya, benar!". Dia berkata lagi:"demi
al-Laata dan al-'Uzza! Sungguh aku akan menginjak-injak lehernya dan
membenamkan mukanya ke tanah!". Tak berapa lama, datanglah Rasulullah
lalu melakukan shalat. Abu Jahal sebelumnya mendakwa akan menginjak-injak
lehernya, namun sebaliknya, yang terjadi sungguh mengagetkan mereka; dia
tidak jadi bergerak maju dan malah menutupi kedua tangannya untuk
berlindung. Mereka lalu bertanya: "wahai Abu Jahal! Ada apa gerangan
denganmu?". Dia menjawab: "Sesungguhnya ada parit dari api,
sesuatu yang menakutkan dan sayap-sayap yang mengantarai aku dan dia".
Kemudian Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam berkata: "andai dia
sedikit lagi mendekat kepadaku, niscaya tubuhnya akan disambar malaikat dan
terkoyak satu per-satu".
Demikianlah gambaran yang amat mini sehubungan
dengan bentuk-bentuk pelecehan dan penganiayaan yang dialami oleh
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dan kaum Muslimin dari para Thaghut
kaum Musyrikin yang mendakwa bahwa mereka adalah Ahlullah (Kekasih Allah)
dan penduduk tanah haramNya.
Aktivitas di Darul Arqam
Diantara hikmah kenapa Rasulullah dalam
menghadapi penindasan-penindasan tersebut, melarang kaum Muslimin
memproklamirkan keislaman mereka baik dalam bentuk perkataan maupun
perbuatan serta tidak mengizinkan mereka bertemu dengan beliau kecuali
secara rahasia adalah karena bila mereka bertemu dengan beliau secara
terbuka maka tidak diragukan lagi kaum Musyrikin akan membatasi gerak
beliau sehingga keinginan beliau untuk mentazkiyah (menyucikan diri) kaum
Muslimin dan mengajarkan mereka al-Kitab dan as-Sunnah akan terhalangi. Dan
barangkali, bisa menyebabkan berbenturnya antara kedua belah pihak bahkan
(realitasnya) hal itu benar-benar terjadi pada tahun ke empat dari
kenabian, yaitu manakala shahabat-shahabat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam berkumpul di lereng-lereng perbukitan tempat mereka melakukan
shalat secara rahasia. Tiba-tiba, hal itu terlihat oleh beberapa orang
kafir Quraisy. mereka ini lalu mencaci maki dan memerangi mereka.
Menghadapi hal itu, Sa'ad bin Abi Waqqash yang merupakan salah seorang dari
para shahabat tersebut memukul seorang dari kaum Musyrikin tersebut
sehingga tertumpahlah darah ketika itu. Inilah, darah pertama yang
tertumpah dalam Islam.
Sebagaimana yang sudah diketahui bahwa bila
perbenturan ini terus terulang dan berkepanjangan maka tentunya akan
berdampak kepada musnah dan binasanya kaum Muslimin. Oleh karena itu,
adalah bijak untuk melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Nyatanya, para
shahabat secara umum menyembunyikan keislaman, peribadatan, dakwah dan
pertemuan mereka. Sedangkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
melakukannya secara terbuka dalam berdakwah dan beribadah di depan mata
kaum Musyrikin. Tidak ada sesuatupun yang dapat menghalang-halanginya.
Namun begitu, beliau tetap melakukan pertemuan dengan kaum Muslimin secara
rahasia demi kepentingan mereka dan agama Islam. Maka adalah Daar
(kediaman) al-Arqam bin Abi al-Arqam berada diatas bukit shafa dan
terpencil sehingga luput dari intaian para Thaghut dan bahan pembicaraan
persidangan-persidangan mereka. Tempat itulah yang dijadikan oleh beliau
Shallallâhu 'alaihi wasallam sebagai pusat dakwah dan berkumpulnya kaum
Muslimin. Disana, beliau membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah,
menyucikan hati mereka serta mengajarkan mereka al-Kitab dan al-Hikmah
(as-Sunnah).
|
TAHAPAN KEDUA
BERDAKWAH SECARA TERANG-TERANGAN (DAKWAH
JAHRIYYAH)
Hijrah Pertama menuju negeri Habasyah
Penindasan yang terjadi, pada permulaannya -
yakni pada pertengahan atau akhir tahun ke-4 dari kenabian - adalah tidak
seberapa, namun kemudian dari hari demi hari bahkan bulan demi bulan
berubah menjadi lebih sadis dan mengkhawatirkan, terutama pada pertengahan
tahun ke-5 sehingga tiada tempat lagi bagi mereka di Mekkah dan memaksa
mereka untuk memikirkan siasat lolos dari siksaan-siksaan tersebut. Dalam
kondisi yang seperti inilah, turun surat az-Zumar yang mengisyaratkan
perlunya berhijrah dan mengumumkan bahwa bumi Allah tidaklah sempit, dalam
firmanNya: "…orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh
kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang
yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas".
(Q.S.39/az-Zumar: 10). Rasulullah telah mengetahui bahwa Ash-himah
an-Najasyi, raja Habasyah adalah seorang yang adil, tidak seorangpun yang
berada disisinya terzhalimi; oleh karena itu, beliau memerintahkan kaum
Muslimin agar berhijrah ke sana guna menyelamatkan agama mereka dari
fitnah.
Rombongan pertama yang membawa para shahabat
bergerak pada bulan Rajab tahun ke-5 dari kenabian. Rombongan ini terdiri dari
12 orang laki-laki dan 4 orang wanita, dikepalai oleh 'Utsman bin 'Affan
yang ditemani oleh Ruqayyah binti Rasulillah Shallallâhu 'alaihi wasallam.
Rasulullah menyifati keduanya sebagai "keluarga pertama yang berhijrah
di jalan Allah setelah Nabi Ibrahim dan Luth 'alaihimassalaam".
Kepergian mereka dilakukan dengan
mengendap-endap pada malam yang gelap-gulita –agar tidak diketahui oleh
kaum Quraisy- menuju laut kemudian mengarah ke pelabuhan rakyat. Ternyata,
takdir mereka sejalan dan seiring dengan itu dimana ketika itu ada dua buah
kapal dagang yang akan berlayar menuju Habasyah dan merekapun ikut serta
bersamanya. Kaum Quraisy akhirnya mengetahui hal itu, lalu menelusuri jejak
perjalanan kaum muslimin akan tetapi tatkala mereka baru sampai di tepi pantai,
kaum muslimin telah bergerak dengan aman. Akhirnya, kaum muslimin menetap
di Habasyah dan mendapatkan sebaik-baik pelayanan.
Kisah sujudnya kaum Musyrikin dan kembalinya
kaum muslimin yang berhijrah
Pada bulan Ramadhan di tahun yang sama, Rasulullah
pergi ke mesjid al-Haram. Ketika itu, sekumpulan besar kaum Quraisy tengah
berada disana; terdapat para pemuka dan tokoh-tokoh mereka. Beliau
Shallallâhu 'alaihi wasallam kemudian berdiri di tengah mereka sembari
melantunkan surat an-Najm tanpa sepengetahuan mereka alias secara
tiba-tiba. Orang-orang kafir tersebut sebelumnya, tidak pernah mendengarkan
secara langsung Kalamullah, karena program yang mereka lancarkan secara
kontinyu adalah melakukan apa yang telah saling diingatkan oleh sebagian mereka
terhadap sebagian yang lain yang bunyinya sebagaimana dalam firmanNya:
"…janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan al-Qur'an ini
dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya supaya kamu dapat mengalahkan
(mereka)". (Q.S.41/Fushshilat: 26). Maka, manakala lantunan surat
tersebut menyergap mereka secara tiba-tiba dan Kalam Ilahi yang demikian
indah menawan – yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata akan
keagungan dan keindah-menawanannya- mengetuk telinga mereka; mereka seakan
mengesampingkan semua apa yang tengah dilakukan dan masing-masing
terkonsentrasi untuk mendengarkannya sehingga tidak ada yang terlintas di
hatinya selain lantunan itu. Lalu sampailah beliau pada akhir surat ini;
ketukan yang membawa hati seakan terbang melayang, beliau membaca firmanNya
:"…maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah Dia".
(Q.S.53/an-Najm: 62), kemudian beliau sujud. Melihat pemandangan itu, tak
seorangpun dari mereka yang dapat menahan dirinya untuk tidak sujud,
sehingga merekapun sujud bersama beliau. Sebenarnya, keindah-menawanan
al-Haq telah meluluhlantakkan kebatuan yang meliputi jiwa-jiwa kaum yang
takabbur dan suka mengejek; mereka semua tak sanggup menahannya bahkan
jatuh bersujud kepada Allah.
Mereka linglung dan tak tahu harus berbuat apa,
manakala keagungan Kalamullah telah mempelintir kendali yang selama ini
mereka pegang sehingga membuat mereka melakukan sesuatu yang selama ini
justru dengan susah payah berusaha mereka hapus dan lenyapkan. Kejadian
tersebut mendapatkan kecaman dari teman-teman mereka yang tidak sempat
hadir ketika itu. Dengan begitu, mereka merasa inilah pula momen bagi
mereka untuk mendustakan Rasulullah dan mencemarkan nama baik beliau dengan
membalikkan fakta yang sebenarnya; yaitu, bahwa yang terjadi sebenarnya,
justru beliau-lah yang berbuat demikian terhadap berhala mereka. Mereka
mengatakan bahwa kisah itu hanyalah " itulah al-Gharaniiq yang Mulia,
yang syafa'atnya selalu diminta ". Isu bohong ini mereka
gembar-gemborkan agar dapat menjadi alasan sujud mereka bersama Nabi Shallallâhu
'alaihi wasallam ketika itu. Tentunya, respons semacam ini tidak begitu
mengherankan sekali sebab sumbernya adalah dari orang yang selama ini
pekerjaannya suka mengarang-ngarang dusta serta menghembuskan isu.
Berita tersebut (tentang sujudnya kaum
Quraisy-red) sampai ke telinga kaum muslimin yang berhijrah di Habasyah
akan tetapi versi beritanya sangat kontras dengan realitas yang sebenarnya;
yang sampai kepada mereka bahwa kaum Quraisy telah masuk Islam. Oleh karena
itu, merekapun kembali ke Mekkah pada bulan Syawwal di tahun yang sama,
namun ketika mereka berada di tempat yang tidak berapa jauh dari Mekkah,
yaitu sesaat di waktu siang lalu mereka akhirnya mengetahui duduk
persoalannya; sebagian mereka ada yang kembali lagi ke Habasyah sedangkan sebagian
yang lain ada yang memasuki Mekkah secara diam-diam atau berlindung di
bawah suaka seseorang dari suku Quraisy.
Hijrah Kedua ke negeri Habasyah
Setelah peristiwa tersebut, kaum Quraisy
meningkatkan frekuensi penindasan dan penyiksaan terhadap mereka dan kaum
muslimin secara umum, tak luput suku mereka sendiri memperlakukan hal yang
hampir sama. Meskipun demikian, kaum Quraisy merasa gerah dengan berita
yang mereka dapatkan bahwa an-Najasyi adalah seorang raja yang
memperlakukan tamunya dengan baik. Disamping itu, Rasulullah juga telah
memberikan isyarat bolehnya para shahabat berhijrah kembali ke negeri
Habasyah. Perjalanan hijrah kali ini dirasakan amat sulit dari perjalanan
sebelumnya mengingat kaum Quraisy sudah mengantisipasinya dan bertekad untuk
menggagalkannya. Akan tetapi, Allah memudahkan perjalanan kaum muslimin
sehingga mereka bergerak lebih cepat dan menuju kepada suaka an-Najasyi,
raja Habasyah sebelum kaum Quraisy menciumnya.
Hijrah kali ini membawa rombongan yang terdiri
dari 83 orang laki-laki - dalam hal ini, riwayat yang menyatakan
keikutsertaan 'Ammar bin Yasir dalam rombongan ini masih diragukan
kevalidannya - dan 18 atau 19 orang wanita.
Trik kaum Quraisy untuk memperdaya kaum muslimin
yang berhijrah ke Habasyah
Kaum musyrikin tidak pernah merasa senang bila
kaum muhajirin tersebut mendapatkan keamanan bagi diri dan dien mereka.
Untuk itulah, mereka mengutus dua orang pilihan yang dikenal sebagai orang
telah yang teruji lagi cerdik, yaitu 'Amru bin al-'Ash dan 'Abdulullah bin Abi
Rabi'ah – sebelum keduanya masuk Islam -. Keduanya membawa titipan hadiah
yang menggiurkan dari pemuka Quraisy untuk an-Najasyi dan para uskupnya.
Kedua orang ini mempersembahkan hadiah kepada para uskup terlebih dahulu
sambil membekali mereka beberapa alasan yang dengannya kaum muslimin dapat
diusir dari negerinya. Setelah para uskup menyetujui untuk mengangkat
permintaan keduanya tersebut kepada an-Najasyi agar mengusir kaum muslimin,
keduanya langsung berhadapan dengan sang raja, menyerahkan beberapa buah
hadiah kepadanya lalu berbicara dengannya. Keduanya berkata: "wahai
tuan raja! Sesungguhnya beberapa orang yang masih bau kencur memasuki
negeri anda sebagai orang asing; mereka meninggalkan agama kaum mereka
namun tidak juga menganut agamamu bahkan mereka membawa agama baru yang
tidak kami ketahui, demikian juga dengan tuan. Kami disini, adalah sebagai
utusan kepadamu. Diantara orang yang mengutus kami tersebut ada yang
merupakan pemuka kaum mereka dari nenek moyang, paman-paman serta suku
mereka agar tuan mengembalikan para pendatang ini kepada mereka. Tentunya,
mereka lebih banyak memantau tindak tanduk para pendatang tersebut dan
polah mereka mencela dan mencaci-maki mereka".
Para uskup serta merta menimpali: "benar
apa yang dikatakan oleh keduanya wahai tuan raja! Serahkanlah mereka kepada
keduanya agar keduanya membawa mereka pulang ke kaum dan negeri
mereka".
Akan tetapi an-Najasyi berpandangan bahwa
masalah ini perlu ada kejelasan dan mendengarkan dari kedua belah pihak
sekaligus. Lalu dia mengutus orang untuk menemui kaum muslimin dan
mengundang mereka untuk hadir. Merekapun menghadirinya dan telah bersepakat
akan mengatakan sejujur-jujurnya apa yang telah terjadi. An-Najasyi berkata
kepada mereka:"apa gerangan agama yang bisa memisahkan kalian dari
kaum kalian dan tidak membuat kalian masuk ke dalam agamaku atau
agama-agama yang lain?".
Ja'far bin Abi Thalib sebagai juru bicara kaum
muslimin bertutur:"wahai tuan raja! Kami dahulunya adalah ahli
Jahiliyyah; menyembah berhala, memakan bangkai binatang, melakukan
perbuatan keji, memutus tali rahim, suka mengusik tetangga. Kaum yang kuat
diantara kami menindas kaum yang lemah. Demikianlah kondisi kami ketika
itu, hingga Allah mengutus kepada kami seorang Rasul dari bangsa kami
sendiri yang kami tahu persis nasab, kejujuran, amanat serta kesucian
dirinya. Lalu dia mengajak kami kepada Allah guna mentauhidkan dan
menyembahNya serta agar kami tidak lagi menyembah batu dan berhala yang
dulu disembah oleh nenek moyang kami. Beliau memerintahkan kami agar
berlaku jujur dalam bicara, melaksanakan amanat, menyambung tali rahim,
berbuat baik kepada tetangga dan menghindari pertumpahan darah. Dia
melarang kami melakukan perbuatan yang keji, berbicara ngibul, memakan
harta anak yatim serta menuduh wanita yang suci melakukan zina tanpa bukti.
Beliau memerintahkan kami agar menyembah Allah semata, tidak
menyekutukanNya dengan sesuatupun, memerintahkan kami agar melakukan
shalat, membayar zakat, berpuasa, (….selanjutnya Ja'far menyebutkan hal-hal
lainnya) … lalu kami membenarkan hal itu semua dan beriman kepadanya. Kami
ikuti ajaran yang dibawanya dari Allah ; kami sembah Allah semata dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, apa yang diharamkannya atas kami adalah
haram menurut kami dan dan apa yang dihalalkannya adalah halal menurut
kami. Lantaran itu, kaum kami malah memusuhi kami, menyiksa, merayu agar
keluar dari agama yang memerintahkan kami beribadah kepada Allah, dan
mengajak kami kembali menyembah berhala-berhala, menghalalkan kami
melakukan perbuatan-perbuatan keji yang dahulu pernah kami lakukan. Nah,
manakala mereka memaksa kami, menganiaya, mempersempit ruang gerak serta
menghalangi agar kami tidak dapat melakukan ritual agama, kami akhirnya
menempuh jalan melarikan diri menuju negeri tuan. Kami lebih memilih tuan
daripada selain tuan dan lebih suka berada dibawah suaka tuan. Ini semua
dengan harapan agar kami tidak terzhalimi disisimu, wahai tuan raja!".
An-Najasyi bertanya: "apakah ada sesuatu
yang dibawanya dari Allah bersama kalian?". Ja'far menjawab: "ya!
Ada". An-Najasyi bertanya lagi: "tolong bacakan kepadaku!".
Lalu dia membacakan permulaan surat Maryam, firmanNya:
"Kâf-hâ-yâ-'aîn-shâd". Manakala mendengar lantunan ayat tersebut,
demi Allah! (ucapan ini sebenarnya berasal dari penutur kisah ini, yaitu
Ummu Salamah yang menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri peristiwa
ini-red) sang rajapun menangis hingga air matanya membasahi jenggotnya.
Demikian pula dengan para uskupnya hingga air mata mereka membasahi
mushhaf-mushhaf (lembaran-lembaran-red) yang berada di tangan mereka.
Kemudian an-Najasyi berkata kepada mereka:"sesungguhnya ini dan apa
yang dibawa oleh 'Isa adalah bersumber dari satu lentera". Lalu kepada
kedua utusan Quraisy dia berkata:"pergilah kalian berdua, demi Allah,
sekali-kali tidak akan aku serahkan mereka kepada kalian dan tidak akan hal
itu terjadi". Keduanya pun keluar namun 'Amru bin al-'Ash sempat
berkata kepada 'Abdullah bin Rabi'ah: "demi Allah! sungguh akan aku
datangi lagi dia besok pagi untuk membicarakan perihal mereka dan akan aku
habisi mereka (argumentasi kaum muslimin-red) sebagaimana aku menghabisi
ladang mereka". 'Abdullah bin Rabi'ah berkata: "jangan kamu
lakukan itu! Sesungguhnya mereka itu masih memiliki hubungan tali rahim
dengan kita sekalipun mereka menentang kita". Akan tetapi 'Amru tetap
ngotot dengan tekadnya.
Benar saja, keesokan harinya dia mendatangi
an-Najasyi dan berkata kepadanya:"wahai tuan raja! Sesungguhnya mereka
itu mengatakan suatu perkataan yang sangat serius terhadap 'Isa bin
Maryam". An-Najasyi pun mengirim utusan kepada kaum muslimin untuk
mempertanyakan perihal perkataan terhadap 'Isa al-Masih tersebut. Mereka
sempat kaget menyikapi hal itu, namun akhirnya tetap bersepakat untuk
berkata dengan sejujur-jujurnya apapun yang terjadi. Ketika mereka datang
di hadapan sang raja dan dia bertanya kepada mereka tentang hal itu, Ja'far
berkata kepadanya:"kami mengatakan tentangnya sebagaimana yang dibawa
oleh Nabi kami Shallallâhu 'alaihi wasallam : 'dia adalah hamba Allah,
Rasul-Nya, ruh-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, si
perawan yang ahli ibadah".
An-Najasyi kemudian memungut sebatang ranting
pohon dari tanah seraya berujar:"demi Allah! apa yang kamu ungkapkan
itu tidak melangkahi 'Isa bin Maryam meski seukuran ranting ini".
Mendengar itu, para uskup mendengus, dan dengusan itu angsung
ditimpalinya:'demi Allah! sekalipun kalian mendengus".
Dia kemudian berkata kepada kaum
muslimin:"pergilah! Kalian akan aman di negeriku. Siapa saja yang
mencela kalian, maka dia akan celaka. Siapa saja yang mencela kalian, maka
dia akan celaka. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan celaka. Aku
tidak akan menyakiti siapapun diantara kalian, meski aku memiliki gunung
emas" (perkataan itu diungkapkan dalam bahasa Habasyah).
Kemudian an-Najasyi berkata kepada para pejabat
istana: "Kembalikan hadiah-hadiah tersebut kepada keduanya, karena aku
tidak memerlukannya. Demi Allah! Dia Ta'ala tidak pernah mengambil sogokan
dariku tatkala kerajaan ini Dia kembalikan kepadaku, sehingga dengan itu,
aku patut mengambilnya pula, dan Dia juga tidak membuat manusia patuh
kepadaku sehingga aku harus patuh pula kepada mereka karena itu".
Ummu Salamah yang meriwayatkan kisah ini
berkata: "kemudian keduanya keluar dari hadapannya dengan raut muka
yang kusam karena alasan yang dikemukakan mental sama sekali. Setelah itu,
kami menetap disisinya dengan penuh kenyamanan bersama tetangga yang paling
baik".
Riwayat ini adalah versi Ibnu Ishaq, sedangkan
riwayat lainnya menyebutkan bahwa perutusan 'Amru bin al-'Ash kepada
an-Najasyi terjadi setelah perang Badr. Sebagian ahli sejarah menyinkronkan
kedua versi riwayat tersebut dengan menyatakan bahwa perutusan itu terjadi
dua kali akan tetapi tanya jawab-tanya jawab yang disebutkan terjadi antara
an-Najasyi dan Ja'far dalam perutusan yang kedua kalinya itu adalah hampir
sama dengan apa yang diriwayatkan dalam versi Ibnu Ishaq. Selain itu,
materi yang termuat dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan
terjadinya proses murâfa'at (pembelaan, pendengaran di muka hakim dalam
istilah hukum-red) pertama yang diadukan kepada an-Najasyi.
|
TAHAPAN KEDUA
BERDAKWAH SECARA TERANG-TERANGAN (DAKWAH
JAHRIYYAH)
Meningkatnya frekuensi siksaan dan upaya
menghabisi Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
Manakala kaum musyrikun gagal dalam tipu
muslihat mereka untuk memulangkan kaum Muhajirin; mereka semakin bertambah
geram. Kedongkolan mereka bervariasi antara satu dan yang lainnya. Semakin
lama semakin memuncak dan mereka timpakan juga kepada kaum muslimin yang
lainnya, bahkan mereka sudah menjangkaukan tangan mereka kepada Rasulullah
untuk menyakiti beliau. Tampak dari gerak-gerik mereka hal yang menunjukkan
adanya keinginan untuk menghabisi Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
sehingga mereka dapat menumpas habis fitnah hingga ke akar-akarnya yang
selama ini menggetarkan tempat tidur mereka, sebagaimana yang mereka kira.
Sedangkan kaum Muslimin sendiri, sebagian mereka
masih tinggal di Mekkah meskipun dalam jumlah yang sedikit. Mereka dapat
melakukan hal itu baik lantaran ada diantara mereka yang memang termasuk
orang-orang terpandang dan memiliki gigi atau mendapatkan suaka dari
seseorang. Meskipun demikian, mereka tetap menyembunyikan keislaman mereka
dan menjauh dari pandangan para Thughat sedapat mungkin. Akan tetapi,
sekalipun kehati-hatian dan kewaspadaan itu dilakukan, mereka sama sekali
tidak dapat lolos begitu saja dari gangguan, penghinaan serta penganiayaan.
Dalam pada itu, Rasulullah tetap melakukan
shalat dan beribadah kepada Allah didepan mata kepala para Thughat
tersebut; beliau leluasa berdoa baik secara pelan atau terang-terangan.
Tidak ada seorangpun yang bisa menghalangi dan memalingkannya dari hal itu
sebab semua itu dilakukan dalam rangka menyampaikan risalah Allah semenjak
beliau diperintahkan olehNya, dalam firmanNya: "Maka sampaikanlah
olehmu segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari
orang-orang yang musyrik". (QS. 15/Al-Hijr: 94).
Dengan demikian, sebenarnya sewaktu-waktu, bisa
saja kaum Musyrikun menyakiti beliau bila mereka mau sebab secara zhahirnya
tidak ada yang menghalangi antara mereka dan diri beliau selain rasa malu
dan segan serta adanya jaminan Abu Thalib dan rasa hormat terhadapnya.
Sebab lainhnya, karena kekhawatiran mereka terhadap akibat yang fatal dari
tindakan tersebut sehingga akan membuat suku Bani Hasyim berhimpun melawan
mereka. Namun, lambat laun perasaan tersebut pupus dan tidak berpengaruh
banyak terhadap physikologis mereka; karenanya mereka mulai menganggap
remeh akan hal itu semenjak mereka merasa eksistensi berhala dan kepimpinan
sprituil yang selama ini mereka pegang sudah semakin memudar, kalah saing
oleh dakwah Muhammad Shallallâhu 'alaihi wasallam.
Diantara peristiwa-peristiwa yang dikisahkan
oleh kitab-kitab as-Sunnah dan Sirah kepada kita serta didukung oleh
bukti-bukti otentik bahwa memang terjadi pada masa tersebut adalah kisah
'Utaibah bin Abi Lahab yang mendatangi Rasululullah pada suatu hari sembari
berkata:"aku mengingkari firman Allah: [wan najmi idzâ hawâ: Demi
bintang ketika terbenam, (QS. 53:1)] dan yang (disebutkan sebagai) [danâ fa
tadallâ : Kemudian dia (Jibril) mendekat, lalu bertambah dekat lagi, (QS.
53:8)] ". Selepas itu, dia menyakiti beliau, merobek bajunya serta
meludah ke arah wajahnya namun untung saja tidak mengenainya. Ketika itu
Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mendoakan (kebinasaan) atasnya: "Ya
Allah, kirimkanlah kepadanya seekor anjing dari anjing-anjing (ciptaanMu)
untuk (menerkam)-nya". Doa beliau ini telah diijabah oleh Allah, yaitu
manakala suatu hari 'Utaibah keluar bersama beberapa orang Quraisy dan
singgah di suatu tempat di Syam yang bernama az-Zarqâ'. Pada malam itu, ada
banyak singa yang berkeliaran disitu. Melihat hal itu, 'Utaibah serta merta
berseloroh: "wahai saudaraku, sungguh celaka! Inilah, demi Allah,
pemangsaku sebagaimana yang didoakan oleh Muhammad atasku. Dia membunuhku
padahal sedang berada di Mekkah sedangkan aku di Syam". Lalu singa itu
menerkamnya di tengah kerumunan kaum tersebut, mencengkram kepalanya dan
membunuhnya.
Kisah lainnya; disebutkan bahwa 'Uqbah bin Abi
Mu'ith menginjak pundak beliau yang mulia saat beliau sedang sujud sehingga
hampir-hampir kedua biji matanya keluar.
Diantara bukti lain yang menunjukkan bahwa para
Thughat tersebut ingin membunuh beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam adalah
kisah yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Abdullah bin 'Amru bin
al-'Âsh, dia berkata:
"Aku datang saat mereka berkumpul-kumpul di
hijr (yakni, Hijr Isma'il di Ka'bah-red), mereka menyebut-nyebut perihal
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Mereka berkata: 'Kita tidak pernah
sampai menahan kesabaran seperti halnya kita sabar terhadap orang ini
(Rasulullah-red), padahal, kita telah menahan sabar terhadapnya dalam
masalah yang serius'. Manakala mereka dalam kondisi demikian, muncullah
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam menuju ke sana dengan berjalan,
lalu beliau menyalami ar-Rukn (al-Yamaniy, salah satu sudut Ka'bah-red),
kemudian beliau melewati mereka dan mengelilingi Baitullah. Mereka menghina
beliau dengan beberapa ucapan, maka aku mengetahui hal itu dari raut wajah
Rasulullah. Ketika beliau melewati mereka untuk kedua kalinya, mereka tetap
melakukan hal yang sama terhadapnya dan aku mengetahuinya juga dari raut
wajah beliau, kemudian beliau melewati mereka untuk ketiga kalinya dan
mereka masih melakukan hal yang sama terhadapnya, lalu beliau berhenti dan
berkata kepada mereka:'maukah kalian mendengarkan (ini) wahai kaum Quraisy!
Demi Yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh aku datang membawakan sembelihan
untuk kalian". Ucapan beliau ini berhasil mengalihkan konsentrasi
mereka sehingga tidak seorangpun dari mereka melainkan seakan-akan ada
burung yang bertengger diatas kepalanya. Bahkan orang yang paling kasar
diantara mereka, memberikan ucapan selamat kepada beliau dengan sebaik-baik
ucapan yang pernah beliau dapatkan. Orang itu berkata: 'pergilah wahai Abu
al-Qâsim ! Demi Allah! engkau bukanlah orang yang bodoh'.
Pada keesokan harinya, mereka berkumpul kembali
dan memperbincangkan perihal beliau, ketika beliau muncul, mereka secara
serentak merubung dan mengitari beliau. Aku melihat salah seorang diantara
mereka memegang jubah beliau, lantas Abu Bakar dengan segera membela,
sembari menangis, dia berkata: 'apakah kalian akan membunuh seseorang
lantaran dia berucap:'Rabb-ku adalah Allah?'. Kemudian mereka berlalu. Ibnu
'Amru berkata: 'sungguh pemandangan itu merupakan perlakuan paling kasar
yang pernah kulihat dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap beliau' ".
Demikian ringkasan kisahnya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dari 'Urwah bin az-Zubair, dia berkata:"aku bertanya kepada Ibnu 'Amru
bin al-'Âsh: 'beritahukanlah kepadaku tentang perlakuan yang paling keras
yang dilakukan oleh kaum Musyrikun terhadap Nabi Shallallâhu 'alaihi
wasallam !'. Dia menjawab: ' saat Nabi sedang shalat di hijr Ka'bah,
datanglah 'Uqbah bin Abi Mu'ith, lalu dia melilitkan pakaiannya ke leher
beliau dan menariknya dengan kencang. Kemudian, Abu Bakar datang dan
mencangkram pundaknya lalu mengenyahkannya dari sisi Nabi Shallallâhu
'alaihi wasallam sembari berkata: 'apakah kalian akan membunuh seseorang
lantaran dia mengatakan: 'Rabb-ku adalah Allah?' ".
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Asma'
disebutkan: "lantas ada orang yang berteriak datang kepada Abu Bakar
seraya berkata: 'temuilah shahabatmu! (yakni, Rasulullah-red)'. Lalu dia
keluar dari sisi kami dengan membawa empat buah jalinan rambut wanita. Saat
keluar, dia berkata: 'apakah kalian akan membunuh seseorang lantaran dia
mengatakan: 'Rabb-ku adalah Allah?, lalu mereka membiarkannya dan
mendatangi Abu Bakar. Lalu dia pulang, dan saat itu kami tidak berani
menyentuh jalinan rambut tersebut hingga dia mengembalikannya kepada
kami".
Masuk Islamnya Hamzah bin Abdul Muththalib
radhiallaahu 'anhu
Di tengah suhu yang diliputi awan kezhaliman dan
penindasan, tiba-tiba muncul seberkas cahaya yang menyinari jalan, yaitu
masuk islamnya Hamzah bin Abdul Muththalib radhiallaahu 'anhu . Dia masuk
Islam pada penghujung tahun ke-6 dari kenabian, lebih tepatnya pada bulan
Dzulhijjah.
Mengenai sebab keislamannya adalah bahwa suatu
hari, Abu Jahal melewati Rasulullah di bukit Shafa, lalu dia menyakiti dan
menganiaya beliau. Rasulullah diam saja, tidak berbicara sedikitpun
kepadanya. Kemudian dia memukuli tubuh beliau dengan batu dibagian kepala
sehingga memar dan darah mengalir. Selepas itu, dia pulang menuju tempat
pertemuan kaum Quraisy di sisi Ka'bah dan berbincang dengan mereka. Kala
itu, budak wanita Abdullah bin Jud'an berada di kediamannya diatas bukit
Shafa dan menyaksikan pemandangan yang belum lama terjadi. Kebetulan,
Hamzah datang dari berburu dengan menenteng busur panah. Maka serta merta
dia memberitahukan kepadanya perihal perlakuan Abu Jahal tersebut.
Menyikapi hal itu, sebagai seorang pemuda yang gagah lagi punya harga diri
yang tinggi di kalangan suku Quraisy, Hamzah marah berat dan langsung
bergegas pergi dan tidak peduli dengan orang yang menegurnya. Dia
berkonsentrasi mempersiapkan segalanya bila berjumpa dengan Abu Jahal dan
akan memberikan pelajaran yang paling pahit kepadanya. Maka, manakala dia
masuk Masjid (al-Haram-red), dia langsung tegak persis di arah kepala Abu
Jahal sembari berkata: "hai si hina dina! Engkau berani mencaci maki
keponakanku padahal aku sudah memeluk agamanya?". Kemudian dia
memukulinya dengan gagang busur panah dan membuatnya terluka dan babak
belur. Melihat hal itu, sebagian orang-orang dari Bani Makhzum –yakni, dari
suku Abu Jahal- terpancing emosinya, demikian pula dengan orang-orang dari
Bani Hasyim –dari suku Hamzah-. Abu Jahal melerai dan berkata:
"Biarkan Abu 'Imarah (kun-yah/julukan Hamzah-red)! Sebab aku memang
telah mencaci maki keponakannya dengan cacian yang amat jelek".
Keislaman Hamzah pada mulanya adalah sebagai
pelampiasan rasa percaya diri seseorang yang tidak sudi dihina oleh tuannya,
namun kemudian Allah melapangkan dadanya. Dia kemudian menjadi orang yang
berpegang teguh dengan al-'Urwatul Wutsqa dan menjadi kebanggaan kaum
muslimin.
Masuk Islamnya 'Umar bin al-Khaththab
radhiallaahu 'anhu
Di tengah suhu yang sama pula, seberkas cahaya
yang lebih benderang dari yang pertama kembali menyinari jalan. Itulah,
keislaman 'Umar bin al-Khaththab. Dia masuk Islam pada bulan Dzulhijjah,
tahun ke-6 dari kenabian, yaitu tiga hari setelah keislaman Hamzah
radhiallaahu 'anhu. Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam memang telah berdoa
untuk keislamannya sebagaimana hadits yang dikeluarkan oleh at-Turmuziy
(dan dia menshahihkannya) dari Ibnu 'Umar dan hadits yang dikeluarkan oleh
ath-Thabraniy dari Ibnu Mas'ud dan Anas bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi
wasallam bersabda: "Ya Allah! muliakanlah/kokohkanlah Islam ini dengan
salah seorang dari dua orang yang paling Engkau cintai: 'Umar bin
al-Khaththab atau Abu Jahal bin Hisyam". Ternyata, yang paling
dicintai oleh Allah adalah 'Umar radhiallaahu 'anhu.
Setelah meneliti secara cermat seluruh
periwayatan yang mengisahkan keislamannya, nampak bahwa campaknya Islam ke
dalam hatinya berlangsung secara perlahan, akan tetapi sebelum kita
membicarakan ringkasannya, perlu kami singgung terlebih dahulu karakter dan
watak dari kepribadiannya.
Beliau radhiallaahu 'anhu dikenal sebagai
seorang yang temperamental dan memiliki harga diri yang tinggi. Sangat
banyak kaum muslimin merasakan beragam penganiayaan yang dilakukannya
terhadap mereka. Sebenarnya, secara lahiriyah apa yang menghinggapi
perasaannya amatlah kontras; antara keharusan menghormati tatanan adat yang
telah dibuat oleh nenek moyangnya, kekaguman terhadap mental baja kaum
muslimin dalam menghadapi berbagai cobaan demi menjaga 'aqidah mereka serta
timbulnya berbagai keraguan dalam dirinya sementara sebagai seorang
cendikiawan dia beranggapan bahwa apa yang diseru oleh Islam bisa saja
lebih agung dan suci dari selainnya; oleh karena itu begitu memberontak
langsung saja dia berteriak lantang.
Mengenai ringkasan kisah tersebut -yang sudah
disinkronkan- berkaitan dengan keislamannya; bermula dari tindakannya pada
suatu malam bermalam di luar rumahnya, lalu dia pergi menuju al-Haram dan
masuk ke dalam tirai Ka'bah. Saat itu, Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam
tengah berdiri melakukan shalat dan membaca surat al- Hâqqah . Pemandangan
itu dimanfaatkan oleh 'Umar untuk mendengarkannya dengan khusyu' sehingga
membuatnya terkesan dengan susunannya. Dia berkata: "aku berkata pada
diriku: 'Demi Allah! ini (benar) adalah (ucapan) tukang sya'ir sebagaimana
yang dikatakan oleh orang-orang Quraisy!'. Lalu beliau Shallallâhu 'alaihi
wasallam membaca : "Innahû laqaulu rasûlin karîm. Wa mâ huwa biqauli
syâ'ir. Qalîlan mâ tu'minûn (artinya: 'sesungguhnya al-Qur'an itu adalah
benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada kepada) Rasul yang mulia,
dan al-Qur'an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kalian
beriman kepadanya')" . (Q.S. al-Hâqqah: 40, 41). Lantas aku berkata
pada diriku: "ini adalah (ucapan) tukang tenung". Lalu beliau
meneruskan bacaannya: "wa lâ biqauli kâhin. Qalîlan mâ tadzakkarûn.
Tanzîlun min rabbil 'âlamîn (artinya: 'Dan, bukan pula perkataan tukang
tenung. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya. Ia adalah wahyu
yang diturunkan dari Rabb semesta alam')" hingga akhir surat tersebut.
Maka, ketika itulah Islam memasuki relung hatiku' ".
Inilah awal benih-benih Islam merangsak ke dalam
relung hati 'Umar bin al-Khaththab. Tetapi kulit luar sentimentil
Jahiliyyah dan fanatisme terhadap tradisi serta kebanggaan akan agama nenek
moyang justru mengalahkan inti hakikat yang dibisikkan oleh hatinya.
Akhirnya, dia tetap bergiat dalam upayanya melawan Islam, tanpa
menghiraukan perasaan yang bersemayam dibalik kulit luar tersebut.
Diantara bukti nyata kekerasan wataknya dan rasa
permusuhan yang sudah di luar batas terhadap Rasulullah adalah saat suatu
hari dia keluar sambil menghunus pedang hendak membunuh beliau Shallallâhu
'alaihi wasallam. Ketika itu, dia bertemu dengan Nu'aim bin 'Abdullah
an-Nahham al-'Adawiy. (dalam riwayat yang lain disebutkan: "seseorang
dari suku Bani Zahrah" atau "seseorang dari suku Bani
Makhzum"). Orang tersebut berkata: "hendak kemana engkau, wahai
'Umar?".
Dia menjawab:"aku ingin membunuh
Muhammad".
Orang tersebut berkata lagi:"kalau Muhammad
engkau bunuh, bagaimana engkau akan merasa aman dari kejaran Bani Hasyim
dan Bani Zahrah?".
'Umar menjawab: "menurutku, sekarang ini
engkau sudah menjadi penganut ash-Shâbiah (maksudnya: Islam-red) dan keluar
dari agamamu".
Orang itu berkata kepadanya:"maukah aku
tunjukkan kepadamu yang lebih mengagetkanmu lagi, wahai 'Umar? Sesungguhnya
saudara (perempuan) dan iparmu juga telah menjadi penganut ash-Shâbiah dan
meninggalkan agama mereka berdua yang sekarang ini!".
Mendengar hal itu, 'Umar dengan segera berangkat
mencari keduanya dan saat dia sampai di tengah-tengah mereka, disana dia
menjumpai Khabbab bin al-Aratt yang membawa shahîfah (lembaran al-Qur'an)
bertuliskan: "Thâha" dan membacakannya untuk keduanya –sebab dia
secara rutin mendatangi keduanya dan membacakan al-Qur'an terhadap
keduanya-. Tatkala Khabbab mendengar gerak-gerik 'Umar, dia menyelinap ke
bagian belakang rumah sedangkan saudara perempuan 'Umar menutupi shahifah
tersebut. Ketika mendekati rumah, 'Umar telah mendengar bacaan Khabbab
terhadap mereka berdua, karenanya saat dia masuk langsung
bertanya:"Apa gerangan suara bisik-bisik yang aku dengar dari
kalian?".
Keduanya menjawab: "tidak, hanya sekedar
perbincangan diantara kami".
Dia berkata lagi: "nampaknya, kalian berdua
sudah menjadi penganut ash-Shâbiah".
Iparnya berkata: "wahai 'Umar! Bagaimana
pendapatmu jika kebenaran itu berada pada selain agamamu?".
Mendengar itu, 'Umar langsung melompak ke arah
iparnya tersebut lalu menginjak-injaknya dengan keras. Lantas saudara
perempuannya datang dan mengangkat suaminya menjauh darinya namun dia
justru ditampar oleh Umar sehingga darah mengalir dari wajahnya -dalam
riwayat Ibnu Ishaq disebutkan bahwa dia memukulnya sehingga memar terluka-.
Saudaranya berkata dalam keadaan marah:"wahai 'Umar! Jika kebenaran
ada pada selain agamamu, maka bersaksilah bahwa tiada Tuhan (Yang berhak
disembah) selain Allah dan bersaksilah bahwa Muhammad adalah
Rasulullah".
Manakala 'Umar merasa putus asa dan menyaksikan
kondisi saudaranya yang berdarah, dia menyesal dan merasa malu, lalu
berkata:"berikan kitab yang ada ditangan kalian ini kepadaku dan
bacakan untukku!".
Saudaranya itu berkata:"sesungguhnya engkau
itu najis, dan tidak ada yang boleh menyentuhnya melainkan orang-orang yang
suci; oleh karena itu, berdiri dan mandilah!". Kemudian dia berdiri
dan mandi, lalu mengambil kitab tersebut dan membaca:
Bismillâhirrahmânirrahîm. Dia berseloroh: "sungguh nama-nama yang baik
dan suci". Kemudian dia melanjutkan dan membaca (artinya):
"Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah (yang hak) selain
Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku".
(QS. 20/thâha: 14). Dia berseloroh lagi: "alangkah indah dan mulianya
kalam ini! Kalau begitu, tolong bawa aku ke hadapan Muhammad!".
Saat Khabbab mendengar ucapan 'Umar, dia segera
keluar dari persembunyiannya sembari berkata:"wahai 'umar,
bergembiralah karena sesungguhnya aku berharap engkaulah yang dimaksud
dalam doa Rasulullah pada malam Kamis "Ya Allah!
muliakanlah/kokohkanlah Islam ini dengan salah seorang dari dua orang yang
paling Engkau cintai: 'Umar bin al-Khaththab atau Abu Jahal bin
Hisyam". Sementara Rasulullah (saat ini) ada di rumah yang terletak di
kaki bukit shafa.
'Umar mengambil pedangnya sembari menghunusnya,
lalu berangkat hingga tiba di rumah tempat beliau Shallallâhu 'alaihi
wasallam berada tersebut. Dia mengetuk pintu, lalu seorang penjaga pintu
mengintip dari celah-celah pintu tersebut dan melihatnya menghunus pedang.
Penjaga tersebut kemudian melaporkan hal itu kepada Rasulullah. Para
shahabat yang berjaga bersiaga penuh mengantisipasinya. Gelagat mereka
tersebut mengundang tanda tanya Hamzah:
"ada apa gerangan dengan kalian?".
Mereka menjawab: " 'Umar!".
Dia berkata: "oh, 'Umar! Bukakan pintu
untuknya! Jika dia datang dengan niat baik, kita akan membantunya akan
tetapi jika dia datang dengan niat jahat, kita akan membunuhnya dengan
pedangnya sendiri".
Saat itu, Rasulullah masih di dalam rumah dan
diberitahu perihal 'Umar, maka beliau pun keluar menyongsongnya dan
menjumpainya di bilik. Beliau memegang baju dan gagang pedangnya, lalu
menariknya dengan keras, seraya bersabda:"tidakkah engkau akan
berhenti dari tindakanmu, wahai 'Umar hingga Allah menghinakanmu dan
menimpakan bencana sebagaimana yang terjadi terhadap al-Walid bin
al-Mughirah? Ya Allah! inilah 'Umar bin al-Khaththab! Ya Allah!
muliakanlah/kokohkanlah Islam dengan 'Umar bin al-Khaththab!". Umar
berkata:"Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan (Yang berhak disembah) selain
Allah dan engkau adalah Rasulullah". Dan dia pun masuk Islam yang
disambut dengan pekikan takbir oleh penghuni rumah sehingga terdengar oleh
orang yang berada didalam al-Masjid (al-Haram-red).
'Umar radhiallaahu 'anhu merupakan sosok yang
memiliki rasa harga diri yang tinggi dan keinginan yang tidak boleh
dihalang-halangi; oleh karena itulah, keislamannya menimbulkan goncangan
luar biasa di kalangan kaum Musyrikun dan membuat mereka semakin terhina
dan patah arang sementara bagi kaum Muslimin, hal itu menambah 'izzah,
kemuliaan dan kegembiraan.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dengan sanadnya dari
'Umar, dia berkata:"tatkala aku sudah masuk Islam, aku
mengingat-ingat, sesiapa penduduk Mekkah yang paling keras terhadap Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam. Aku berkata: ' pasti Abu Jahal lah
orangnya". Lalu aku datangi dia dan aku ketuk pintu rumahnya. Dia pun
keluar menyambutku sembari berkata:
"selamat datang! Ada apa denganmu?".
"aku datang untuk memberitahumu bahwa aku
telah beriman kepada Allah dan RasulNya, Muhammad, serta membenarkan apa
yang telah dibawanya". Lalu dia menggebrak pintu di hadapan wajahku
sembari berkata:
"Mudah-mudahan Allah menjelekkanmu dan apa
yang engkau bawa".
Dalam versi Ibnu al-Jauziy disebutkan bahwa
'Umar radhiallaahu 'anhu berkata:"Dulu, jika seseorang masuk Islam,
maka orang-orang menggelayutinya lantas memukulinya dan dia juga memukuli
mereka, namun tatkala aku telah masuk Islam, aku mendatangi pamanku,
al-'Âshiy bin Hâsyim, dan memberitahukan kepadanya hal itu, dia malah masuk
rumah. Lalu aku pergi ke salah seorang pembesar Quraisy -sepertinya Abu
Jahal- dan memberitahukannya perihal keislamanku, tetapi dia juga malah
masuk rumah".
Ibnu Hisyam juga menyebutkan -demikian pula Ibnu
al-Jauziy secara ringkas- bahwa ketika dia ('Umar) masuk Islam, dia
mendatangi Jamil bin Ma'mar al-Jumahiy – yang merupakan penyambung lidah
Quraisy yang paling getol - dan memberitahukan kepadanya tentang
keislamannya, orang ini langsung berteriak dengan sekeras-kerasnya bahwa
Ibnu al-Khaththab telah menjadi penganut ash-Shâbiah. Umar pun menimpali
–dibelakangnya- : "dia bohong, akan tetapi aku telah masuk
Islam". Merekapun menyergapnya sehingga akhirnya terjadilah
pertarungan antara 'Umar seorang diri melawan mereka. Pertarungan itu baru
selesai saat matahari sudah berada tepat diatas kepala mereka, tetapi 'Umar
sudah nampak kepayahan. Dia hanya bisa duduk sementara mereka berdiri dekat
kepalanya. Dia berkata kepada mereka:"lakukanlah apa yang kalian suka.
Sungguh aku bersumpah atas nama Allah, bahwa andai kami berjumlah tiga
ratus orang, niscaya telah kami biarkan mereka untuk kalian atau kalian
biarkan mereka untuk kami".
Setelah kejadian itu, kaum Musyrikun berangkat
dalam jumlah besar menuju rumahnya dengan tujuan akan membunuhnya. Imam
al-Bukhariy meriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Umar, dia berkata:"Saat
'Umar berada di rumahnya dalam kondisi cemas, datanglah al-'Âsh bin Wâil
as-Sahmiy, Abu 'Amru, sembari membawa mantel dan baju yang dilipat dan
terbuat dari sutera. Dia berasal dari suku Bani Sahm yang merupakan sekutu
kami di masa Jahiliyyah. 'Umar berkata kepadanya: "ada apa
denganmu?".
"kaummu mengaku akan membunuhku bila aku
masuk Islam", katanya.
'Umar berkata – setelah mengatakan kepadanya:
'kamu aman'-: "kalau begitu, tidak akan ada yang bisa melakukan hal
itu terhadapmu".
Asl-Âsh kemudian keluar dan mendapatkan banyak
orang yang sudah memadati lembah tersebut, lantas dia berkata kepada
mereka:" hendak kemana kalian?"
Mereka menjawab:"menemui si Ibnu
al-Khaththab yang sudah menjadi penganut ash-Shâbiah ini!".
Dia menjawab: "kalian tidak akan bisa
melakukan hal itu terhadapnya". Orang-orang itupun pergi secara
bergerilya.
Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan :"demi
Allah! seolah-olah mereka itu bagaikan pakaian yang tersingkap".
Demikianlah dampak keislamannya terhadap kaum
Musyrikun, sedangkan terhadap kaum muslimin adalah sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Imam Mujâhid dari Ibnu 'Abbas, dia berkata:"aku
bertanya kepada 'Umar: 'kenapa kamu dijuluki al-Fârûq? '.
Dia berkata: 'Hamzah masuk Islam tiga hari lebih
dahulu dariku -selanjutnya dia menceritakan kisah keislamannya, dan
diakhirnya dia berkata- lalu aku berkata (saat aku sudah masuk Islam):
"Wahai Rasulullah! Bukankah kita berada
diatas kebenaran; mati ataupun hidup?".
Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam menjawab:
"tentu saja! Demi Yang jiwaku berada ditanganNya, sesungguhnya kalian
berada diatas kebenaran; mati ataupun hidup".
Lalu aku berkata: "lantas untuk apa
bersembunyi-sembunyi? Demi Yang telah mengutusmu dengan kebenaran, sungguh
kita harus keluar (menampakkan diri). Lalu beliau Shallallâhu 'alaihi
wasallam membagi kami dalam dua barisan; salah satunya dipimpin oleh Hamzah
dan yang lainnya, dipimpin olehku. deru debu dan pasir tersebut yang
ditinggalkannya ibarat ceceran gandum yang dihaluskan. Akhirnya kami
memasuki al-Masjid al-Haram. Kemudian aku menoleh ke arah Quraisy dan
Hamzah; mereka tampak diliputi oleh kesedihan yang tidak pernah mereka
rasakan seperti itu sebelumnya. Sejak saat itulah, Rasulullah menamaiku
"al-Fârûq ".
Ibnu Mas'ud sering berkata:"sebelumnya,
kami tak berani melakukan shalat di sisi Ka'bah hingga 'Umar masuk
Islam".
Dari Shuhaib bin Sinan ar-Rûmiy radhiallaahu
'anhu, dia berkata:"ketika 'Umar masuk Islam, barulah Islam
menampakkan diri dan dakwah kepadanya dilakukan secara terang-terangan.
Kami juga berani duduk-duduk secara melingkar di sekitar Baitullah,
melakukan thawaf, mengimbangi perlakuan orang yang kasar kepada kami serta
membalas sebagian yang diperbuatnya".
Dari 'Abdullah bin Mas'ud, dia
berkata:"kami senantiasa merasakan 'izzah sejak 'Umar masuk
Islam".
|
TAHAPAN KEDUA
BERDAKWAH SECARA TERANG-TERANGAN (DAKWAH
JAHRIYYAH)
Utusan Quraisy menemui Rasulullah
Setelah masuk islamnya dua orang pahlawan yang
agung, Hamzah bin ‘Abdul Muththalib dan ‘Umar bin al-Khaththab radhiallaahu
'anhuma, awan kelabu mulai menyelimuti kaum Musyrikun dan barulah tersadar
dari mabuk mereka yang selama ini digunakan untuk menyiksa kaum Muslimin.
Kali ini, mereka berupaya untuk mencari jalan lain, yaitu mengajukan
negosiasi dimana mereka akan memenuhi semua tuntutan yang diinginkan oleh
beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam asalkan mau menghentikan dakwahnya.
Mereka yang perlu dikasihani itu, tidak mengetahui bahwa setiap apa saja
yang dapat disinari oleh matahari tidak memiliki nilai sama sekali walau
sebesar nyamuk sekalipun dibandingkan dakwah yang beliau emban. Akhirnya,
mereka mengalami kegagalan lagi.
Ibnu Ishâq berkata: “Yazîd bin Ziyâd berkata
kepadaku, dari Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhiy, dia berkata: ‘suatu hari
‘Utbah bin Rabî’ah -yang merupakan seorang kepala suku- berbicara di
perkumpulan Quraisy saat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
duduk-duduk seorang diri di masjid:
‘wahai kaum Quraisy! Bagaimana pendapat kamu
bila aku menyongsong Muhammad dan berbicara dengannya lalu menawarkan
kepadanya beberapa hal yang aku berharap semoga saja sebagiannya dia terima
lalu setelah itu kita berikan kepadanya apa yang dia mau sehingga dia tidak
lagi mengganggu kita?.
Hal itu dikatakannya ketika Hamzah radhiallaahu
'anhu masuk Islam dan melihat bahwa para shahabat Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam semakin hari semakin banyak dan bertambah, lalu mereka
berkata kepadanya:
“Tentu saja bagus, wahai Abu al-Walid! Pergilah
menyongsongnya dan berbicaralah dengannya!”.
‘Utbah segera menyongsong beliau Shallallâhu
'alaihi wasallam dan duduk disampingnya seraya berkata:
“wahai anak saudaraku! Sesungguhnya engkau telah
datang kepada orang-orang dengan sesuatu hal yang amat besar sehingga
membuat mereka bercerai berai, angan-angan mereka engkau kerdilkan,
tuhan-tuhan serta agama mereka engkau cela dan nenek-nenek moyang mereka
engkau kafirkan. Dengarlah! Aku ingin menawarkan beberapa hal kepadamu
lantas bagaimana pendapatmu tentangnya?. Semoga saja sebagiannya dapat
engkau terima”.
“wahai Abu al-Walîd! katakanlah, aku akan
mendengarkannya!”, jawab Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam .
“wahai anak saudaraku! Jika apa yang engkau bawa
itu semata hanya menginginkan harta, kami akan mengumpulkan harta-harta
kami untukmu sehingga engkau menjadi orang yang paling banyak hartanya
diantara kami; jika apa yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan
kedudukan, maka kami akan mengangkatmu menjadi tuan kami hingga kami tidak
akan melakukan sesuatupun sebelum engkau perintahkan; jika apa yang engkau
bawa itu semata hanya menginginkan kerajaan, maka kami akan mengangkatmu
menjadi raja; dan jika apa yang datang kepadamu adalah jin yang engkau
lihat dan tidak dapat engkau mengusirnya dari dirimu, kami akan
memanggilkan tabib untukmu serta akan kami infakkan harta kami demi
kesembuhanmu, sebab orang terkadang terkena oleh jin sehingga perlu
diobati”, katanya - atau sebagaimana yang dia katakan- hingga akhirnya
‘Utbah selesai dan Rasulullah mendengarkannya.
Lalu beliau berkata: “wahai ‘Utbah! Sudah
selesaikah engkau?”.
Dia menjawab: “ya”.
Beliau berkata: “ Nah, sekarang dengarkanlah
dariku!”.
Dia menjawab: “ya, akan aku dengar”.
Beliau membacakan firmanNya (surat Fushshilat
dari ayat 1-5) artinya :” Hâ mîm [1]. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang [2]. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni
bacaan dalam Bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui [3]. Yang membawa
berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka
berpaling (daripadanya); maka mereka tidak (mau) mendengarkan [4]. Mereka
berkata: ‘hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru
kami kepadanya..[5]”.
Kemudian Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
melanjutkan bacaannya.
Tatkala ‘Utbah mendengarnya, dia malah diam
serta khusyu’ mendengarkan sambil bertumpu diatas kedua tangannya yang
diletakkan dibelakang punggungnya hingga beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam
selesai dan ketika melewati ayat sajadah, beliau bersujud. Setelah itu,
beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: “wahai Abu al-Walîd, engkau
telah mendengarkan apa yang telah engkau dengar tadi. Sekarang terserah
padamu”.
‘Utbah bangkit dan menemui para shahabatnya.
Melihat kedatangannya, sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain:
“kami bersumpah atas nama Allah! sungguh Abu
al-Walid telah datang kepada kalian dengan raut muka yang berbeda dengan
sewaktu dia pergi tadi”.
Dia pun datang dan duduk bersama mereka. Mereka
berkata kepadanya:
“apa yang engkau bawa wahai Abu al-Walîd?”.
“yang aku bawa, bahwa aku telah mendengar suatu
perkataan yang -demi Allah- belum pernah sama sekali aku dengar semisalnya.
Demi Allah! ia bukanlah syair, bukan sihir dan bukan pula tenung! wahai
kaum Quraisy! Patuhilah aku, serahkan urusan itu kepadaku serta biarkanlah
orang ini melakukan apa yang dia lakukan. Menjauhlah dari urusannya! Demi
Allah! sungguh ucapannya yang telah aku dengar itu akan menjadi berita
besar; jika orang-orang Arab dapat mengalahkannya maka kalian telah
terlebih dahulu membereskannya tanpa campur tangan orang lain; dan jika dia
mengalahkan mereka maka kerajaannya adalah kerajaan kalian juga,
keagungannya adalah keagungan kalian juga; maka dengan begitu kalian akan
menjadi orang yang paling bahagia”.
Mereka berkata: “demi Allah! dia telah
menyihirmu dengan lisannya, wahai Abu al-Walîd”.
“inilah pendapatku terhadapnya, terserah apa
yang ingin kalian lakukan”, jawabnya.
Dalam versi riwayat yang lain bahwa ‘Utbah
mendengar dengan khusyu’ hingga bacaan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam sampai kepada firmanNya (surat Fushshilat, ayat 13): “jika mereka
berpaling maka katakanlah: ‘aku telah memperingatkan kamu dengan petir,
seperti petir yang menimpa kaum ‘Âd dan kaum Tsamûd”. ketika itu, dia
berdiri karena terperanjat dan cepat-cepat menutup mulut Rasulullah dengan
tangannya sembari berkata:
“aku minta kepadamu atas nama Allah agar
mengingat rahim (hubungan kekeluargaan) diantara kita”.
Hal ini dilakukannya karena takut peringatan
tersebut menimpanya. Setelah itu, dia bangkit menemui para shahabatnya dan
mengatakan apa yang dia telah katakan (seperti diatas-red).
Para Petinggi Quraisy ingin berunding dengan
Rasulullah sementara Abu Jahal ingin menghabisinya
Harapan Quraisy untuk berunding tidak terhenti
dengan jawaban dari beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam karena jawaban
tersebut tidak secara terus terang menolak atau menerima. Untuk itu, mereka
berurun rembug lalu berkumpul di depan ka’bah setelah terbenamnya matahari.
Mereka mengirim utusan untuk menemui Rasulullah dan mengajaknya bertemu
disana. Tatkala beliau datang ke sana, mereka kembali mengajukan tuntutan
yang sama seperti yang diajukan oleh ‘Utbah. Disini beliau Shallallâhu
'alaihi wasallam menjelaskan bahwa dirinya tidak bisa melakukan hal itu
sebab beliau sebagai Rasul, hanyalah menyampaikan risalah Rabbnya; jika
mereka menerima maka mereka akan beruntung dunia dan akhirat dan jika
tidak, beliau akan bersabar hingga Allah Yang akan memutuskannya.
Mereka meminta beliau untuk membuktikan dengan
beberapa tanda, diantaranya; agar beliau memohon kepada Rabbnya membuat
gunung-gunung bergeser dari mereka, membentangkan negeri-negeri buat
mereka, mengalirkan sungai-sungai serta menghidupkan orang-orang yang telah
mati hingga mereka mau mempercayainya. Namun beliau Shallallâhu 'alaihi
wasallam menjawabnya seperti jawaban sebelumnya.
Mereka juga meminta beliau agar memohon kepada
Rabbnya untuk mengutus seorang raja yang mereka percayai dan menyediakan
taman-taman, harta terpendam serta istana yang terbuat dari emas dan perak
untuknya namun beliau tetap menjawab seperti jawaban sebelumnya.
Bahkan mereka meminta beliau agar Rabb
mendatangkan azab, yaitu menjatuhkan langit atas mereka menjadi
berkeping-keping. Beliau menjawab:
“hal itu semua merupakan kehendak Allah; jika
Dia berkehendak maka Dia akan menjatuhkannya”.
Menanggapi jawaban itu mereka malah menantang
dan mengancam beliau. Akhirnya beliau pulang dengan hati yang teriris
sedih.
Tatkala Rasulullah berlalu, Abu Jahal dengan
sombongnya berkata kepada kaum Quraisy:
“wahai kaum Quraisy! Sesungguhnya Muhammad
sebagaimana yang telah kalian saksikan, hanya ingin mencela agama dan nenek
moyang kita, membuyarkan angan-angan serta mencaci tuhan-tuhan kita.
Sungguh aku berjanji atas nama Allah untuk duduk didekatnya dengan membawa
batu besar yang mampu aku angkat dan akan aku hempaskan ke kepalanya saat
dia sedang sujud dalam shalatnya. Maka saat itu, kalian hanya memiliki dua
pilihan; membiarkanku atau mencegahku. Dan setelah hal itu terjadi, maka
Banu ‘Abdi Muththalib bisa berbuat apa saja yang mereka mau”.
Mereka menjawab: “demi Allah! kami tidak akan
pernah membiarkanmu untuk melakukan sesuatupun. Pergilah kemana yang engkau
mau”.
Ketika paginya, Abu Jahal rupanya benar-benar
mengambil batu besar sebagaimana yang dia katakan, kemudian duduk sambil
menunggu kedatangan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Rasulullah pun
datang dan melakukan seperti yang biasa beliau lakukan. Beliau berdiri lalu
melakukan shalat sedangkan kaum Quraisy juga sudah datang dan duduk di
perkumpulan mereka sembari menunggu apa yang akan dilakukan oleh Abu Jahal.
Manakala Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sedang sujud, Abu Jahal
pun mengangkat batu tersebut kemudian berjalan menuju ke arah beliau hingga
jaraknya sangat dekat sekali akan tetapi anehnya dia justru berbalik
mundur, merasa ciut, wajahnya pasi dan dirundung ketakutan. Kedua tangannya
sudah tidak mampu lagi menahan beratnya batu hingga dia melemparnya.
Menyaksikan kejadian itu, para pemuka Quraisy segera menyongsongnya sembari
bertanya:
“ada apa denganmu wahai Abu al-Hakam?”.
“aku sudah berdiri menuju ke arahnya untuk
melakukan apa yang telah kukatakan semalam, namun ketika aku mendekatinya
seakan ada onta jantan yang menghalangiku. Demi Allah! aku tidak pernah
sama sekali melihat sesuatu yang menakutkan seperti rupanya, juga seperti
punuk ataupun taringnya. Binatang itu ingin memangsaku”, Katanya.
Ibnu Ishaq berkata: “disebutkan kepadaku bahwa
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: ‘itu adalah Jibril
'alaihissalaam ; andai dia (Abu Jahal-red) mendekat pasti akan
disambarnya”.
Negosiasi dan Kompromi
Manakala kaum Quraisy gagal berunding dengan
cara merayu, mengiming-iming serta mengultimatum, demikian juga, Abu Jahal
gagal melampiaskan kedunguan dan niat jahatnya untuk menghabisi beliau;
mereka seakan tersadar untuk merealisasikan keinginan lainnya dengan cara
mencapai jalan tengah yang kiranya dapat menyelamatkan mereka. Mereka
sebenarnya, tidak menyatakan secara tegas bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi
wasallam berjalan diatas kebathilan akan tetapi kondisi mereka hanyalah
–sebagaimana disifatkan dalam firmanNya- “sesungguhnya mereka (orang-orang
kafir) dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap al-Qur’an” (Q.S.11/Hûd:
110). Karenanya mereka melihat perlunya mengupayakan negosiasi dengan
beliau dalam masalah agama. Di pertengahan jalan, mereka bertemu dengan
beliau dengan menyatakan bahwa mereka akan meninggalkan sebagian urusan
agama yang pernah mereka lakukan, lalu mereka juga menuntut Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam melakukan hal yang sama. Mereka mengira bahwa
dengan cara kali ini mereka akan melakukan hal yang benar, jika memang apa
yang diajak oleh Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam itu adalah benar.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dengan sanadnya, dia
berkata: “al-Aswad bin al-Muththalib bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza, al-Walîd
bin al-Mughîrah, Umayyah bin Khalaf serta al-‘Âsh bin Wâil as-Sahmiy
(mereka ini merupakan orang-orang berpengaruh di tengah kaum mereka)
menghadang Rasulullah yang tengah melakukan thawaf di Ka’bah sembari
berkata:
“wahai Muhammad! mari kami menyembah apa yang
engkau sembah dan engkau juga menyembah apa yang kami sembah sehingga kami
dan engkau dapat berkongsi dalam menjalankan urusan ini; jika yang engkau
sembah itu lebih baik dari apa yang kami sembah, maka berarti kami telah
mengambil bagian kami darinya, demikian pula jika apa yang kami sembah
lebih baik dari apa yang engkau sembah, maka berarti engkau telah
mendapatkan bagianmu darinya”. Lalu Allah menurunkan tentang mereka surat
al-Kâfirûn semuanya.
‘Abd bin Humaid dan selainnya dari Ibnu ‘Abbâs
bahwasanya orang-orang Quraisy berkata:”andaikata engkau usap tuhan-tuhan
kami, niscaya kami akan menyembah tuhanmu”. Lalu turunlah surat al-Kâfirûn
semuanya.
Ibnu Jarîr dan selainnya mengeluarkan darinya
juga (Ibnu ‘Abbâs-red) bahwasanya orang-orang Quraisy berkata kepada
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam : “engkau menyembah tuhan kami
selama setahun dan kami menyembah tuhanmu selama setahun juga”. Lalu Allah
Ta’ala menurunkan firmanNya: “Katakanlah: ‘maka apakah kamu menyuruh aku
menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?’ “.
(Q.S.39/az-Zumar: 64)
Manakala Allah Ta’ala telah memberikan putusan
final terhadap perundingan yang menggelikan tersebut dengan pembandingan
yang tegas, orang-orang Quraisy tidak berputus asa dan berhenti hingga
disitu bahkan semakin mengendurkan daya kompromi mereka asalkan Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam mau mengadakan beberapa evaluasi terhadap
petunjuk-petunjuk yang dibawanya dari Allah, mereka berkata (dalam
firmanNya) : “datangkanlah al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia”.
(Q.S.10/Yunus: 15). Lantas Allah Ta’ala juga memotong cara seperti ini
dengan menurunkan ayat berikutnya sebagai bantahan Nabi terhadap mereka,
beliau berkata (dalam firmanNya):”katakanlah: ‘tidaklah tidak patut bagiku
menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali yang
diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada
siksa hari yang besar (kiamat)”. (Q.S.10/Yunus: 15).
Allah Ta’ala juga mengingatkan akan besarnya
bahaya melakukan hal tersebut, dengan firmanNya: “Dan sesungguhnya mereka
hampir mamalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar
kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu
tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia.[73]. Dan kalau Kami
tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit
kepada mereka.[74]. kalau terjadi demikian, benar-benarlah, Kami akan
rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula
siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang
penolongpun terhadap Kami[75]”. (Q.S. 17/al-Isra’: 73-75).
Kaum Quraisy bingung dan berpikir keras serta
upaya mereka menghubungi orang-orang Yahudi
Setelah semua perundingan, negosiasi dan
kompromi yang diajukan oleh kaum Musyrikun mengalami kegagalan, jalan-jalan
yang ada dihadapan mereka seakan gelap gulita. Mereka bingung apa yang
harus dilakukan hingga salah seorang dari syaithan mereka berdiri tegak,
yaitu an-Nadlar bin al-Hârits sembari menasehati mereka: “wahai kaum
Quraisy! Demi Allah! sungguh urusan yang kalian hadapi saat ini tidak ada
lagi jalan keluarnya. Ketika masih kecilnya, Muhammad adalah orang yang
paling kalian ridlai, paling kalian benarkan ucapannya, paling kalian
agungkan amanatnya hingga akhirnya sekarang kalian melihat uban tumbuh di
kedua alisnya dan membawa apa yang dibawanya kepada kalian. Kalian pernah
mengatakan bahwa dia adalah tukang sihir. Demi Allah! “Dia bukanlah seorang
Tukang sihir. Kita telah melihat para tukang sihir dan jenis-jenis sihir
mereka sedangkan yang dikatakannya bukanlah jenis nafts (hembusan) ataupun
‘uqad (buhul-buhul) mereka. Lalu kalian katakan dia adalah seorang dukun.
Demi Allah! dia bukanlah seorang dukun. Kita telah melihat bagaimana
kondisi para dukun sedangkan yang dikatakannya bukan seperti komat-kamit
ataupun sajak (mantera-mantera) para dukun. Lalu kalian katakan lagi bahwa
dia adalah seorang penyair. Demi Allah! “Dia bukan seorang Penya’ir. Kita
telah mengenal semua bentuk sya’ir; rajaz, hazaj, qaridh, maqbudh dan
mabsuth-nya sedangkan yang dikatakannya bukanlah sya’ir. Lalu kalian
katakan bahwa dia adalah seorang yang gila. Demi Allah! dia bukan seorang
yang gila. Kita telah mengetahui esensi gila dan telah mengenalnya
sedangkan yang dikatakannya bukan dalam kategori ketercekikan, kerasukan
ataupun was-was sebagaimana kondisi kegilaan tersebut. wahai kaum Quraisy!
Perhatikanlah urusan kalian, demi Allah! sesungguhnya kalian telah
menghadapi masalah yang besar”.
Ketika itulah kaum Quraisy memutuskan untuk
menghubungi orang-orang Yahudi sambil memastikan kelanjutan dari perihal
Muhammad Shallallâhu 'alaihi wasallam. Maka mereka tunjuklah an-Nadlar bin
al-Hârits untuk pergi menemui orang-orang Yahudi di Madinah bersama dua
orang lainnya. Ketika mereka tiba di tempat mereka, para pemuka agama
Yahudi (Ahbâr) berkata kepada mereka:
“Tanyakan kepadanya (Muhammad-red) tiga hal,
jika dia memberitahukannya maka dialah Nabi yang diutus itu, dan jika tidak
maka dia hanyalah orang yang ngelantur bicaranya. Yaitu, tanyakan kepadanya
tentang sekolompok pemuda yang sudah meninggal pada masa lampau pertama,
bagaimana kisah mereka? Karena sesungguhnya cerita tentang mereka amatlah
mengagumkan. Juga tanyakan kepadanya tentang seorang laki-laki pengelana
yang menjelajahi dunia hingga ke belahan timur bumi dan belahan baratnya,
bagaimana kisahnya?. Terakhir, tanyakan kepadanya tentang apa itu ruh?”.
Setibanya di Mekkah, an-Nadlar bin al-Hârits
berkata: “kami datang kepada kalian berkat apa yang terjadi antara kami dan
Muhammad”. Lalu dia memberitahukan mereka perihal apa yang dikatakan oleh
orang-orang Yahudi. Setelah itu, orang-orang Quraisy bertanya kepada
Rasulullah tentang tiga hal tersebut, maka setelah beberapa hari turunlah
surat al-Kahfi yang didalamnya terdapat kisah sekelompok pemuda tersebut,
yakni Ashhâbul Kahfi dan kisah seorang laki-laki pengelana, yakni Dzul
Qarnain. Demikian pula, turunlah jawaban tentang ruh dalam surat al-Isra’.
Ketika itu, jelaslah bagi kaum Quraisy bahwa beliau Shallallâhu 'alaihi
wasallam berada dalam kebenaran namun orang-orang yang zhalim tidak
berkenan selain terhadap kekufuran.
Sikap Abu Thalib dan Keluarganya
Demikianlah tindakan kaum Musyrikun secara umum,
sedangkan Abu Thalib secara khusus menghadapi tuntutan kaum Quraisy agar
menyerahkan Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam kepada mereka untuk dibunuh.
Abu Thalib mengamati gerak-gerik dan ` kasak-kusuk mereka dan mencium
keinginan kuat mereka untuk benar-benar menghabisi beliau Shallallâhu
'alaihi wasallam sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Uqbah bin Abi Mu’ith,
‘Umar bin al-Khaththab (sebelum Islam-red) dan Abu Jahal. Akhirnya, dia
mengumpulkan seluruh keluarga Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib dan
menghimbau mereka agar menjaga Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam . Mereka
semua memenuhi imbauan itu, baik yang sudah masuk Islam maupun yang masih
kafir sebagai bentuk fanatisme Arab. Mereka berikrar dan mengikat janji di
Ka’bah selain saudaranya, Abu Lahab yang memilih untuk menentang mereka dan
berada di pihak kaum Quraisy.
|
PEMBOIKOTAN MENYELURUH
Perjanjian yang zhalim dan melampaui batas
Setelah segala cara sudah ditempuh dan tidak
membuahkan hasil juga, kepanikan kaum musyrikin mencapai puncaknya,
ditambah lagi mereka mengetahui bahwa Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul
Muththalib berkeras akan menjaga Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam dan
membelanya mati-matian apapun resikonya.
Karena itu, mereka berkumpul di kediaman Bani
Kinanah yang terletak di lembah al-Mahshib dan bersumpah untuk tidak
menikahi Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib, tidak berjual beli dengan
mereka, tidak berkumpul, berbaur, memasuki rumah ataupun berbicara dengan
mereka hingga mereka menyerahkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
untuk dibunuh. Mereka mendokumentasikan hal tersebut, diatas sebuah
shahifah (lembaran) yang berisi perjanjian dan sumpah “bahwa mereka
selamanya tidak akan menerima perdamaian dari Bani Hasyim dan tidak akan
berbelas kasihan terhadap mereka kecuali bila mereka menyerahkan beliau
Shallallâhu 'alaihi wasallam untuk dibunuh”.
Ibnu al-Qayyim berkata: “Ada yang mengatakan
bahwa pernyataan itu ditulis oleh Manshûr bin ‘Ikrimah bin ‘Âmir bin
Hâsyim. Ada lagi yang mengatakan bahwa pernyataan itu ditulis oleh Nadlr
bin al-Hârits. Yang benar, bahwa yang menulisnya adalah Baghîdl bin ‘Âmir
bin Hâsyim, lalu Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam berdoa atasnya
(dengan doa yang buruk) dan dia pun mengalami kelumpuhan ditangannya
sebagaimana doa beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam .
Perjanjian itu pun dilaksanakan dan digantungkan
di rongga Ka’bah namun Bani Hâsyim dan Bani al-Muththalib semuanya, baik
yang masih kafir maupun yang sudah beriman selain Abu Lahab tetap berpihak
untuk membela Rasulullah. Mereka akhirnya tertahan di kediaman Abu Thalib
pada malam bulan Muharram tahun ke-7 dari bi’tsah (diutusnya beliau sebagai
Rasul) sedangkan riwayat yang lain menyebutkan selain tanggal tersebut.
Tiga Tahun di Kediaman Abu Thalib
Pemboikotan semakin diperketat sehingga makanan
dan stock pun habis, sementara kaum musyrikin tidak membiarkan makanan
apapun yang masuk ke Mekkah atau dijual kecuali mereka segera memborongnya.
Tindakan ini membuat kondisi Bani Hâsyim dan Bani al-Muththalib semakin
kepayahan dan memprihatinkan sehingga mereka terpaksa memakan dedaunan dan
kulit-kulit. Selain itu, jeritan kaum wanita dan tangis bayi-bayi yang
mengerang kelaparan pun terdengar di balik kediaman tersebut.
Tidak ada yang sampai ke tangan mereka kecuali
secara sembunyi-sembunyi, dan merekapun tidak keluar rumah untuk membeli
keperluan keseharian kecuali pada al-Asyhur al-Hurum (bulan-bulan yang
diharamkan berperang). Mereka membelinya dari rombongan yang datang dari
luar Mekkah akan tetapi penduduk Mekkah menaikkan harga barang-barang
kepada mereka beberapa kali lipat agar mereka tidak mampu membelinya.
Hakîm bin Hizâm pernah membawa gandum untuk
diberikan kepada bibinya, Khadîjah radhiallaahu 'anha namun suatu ketika
dia dihadang oleh Abu Jahal dan diinterogasi olehnya guna mencegah
upayanya. Untung saja, ada Abu al-Bukhturiy yang menengahi dan
membiarkannya lolos membawa gandum tersebut kepada bibinya.
Dilain pihak, Abu Thalib merasa khawatir atas
keselamatan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Untuk itu, dia
biasanya memerintahkan beliau untuk baring di tempat tidurnya bila
orang-orang beranjak ke tempat tidur mereka. Hal ini agar memudahkannya
untuk mengetahui siapa yang hendak membunuh beliau. Dan manakala
orang-orang sudah benar-benar tidur, dia memerintahkan salah satu dari
putera-putera, saudara-saudara atau keponakan-keponakannya untuk tidur di
tempat tidur Rasulullah sementara beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam
diperintahkan untuk tidur di tempat tidur mereka.
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dan kaum
muslimin keluar pada musim haji, menjumpai manusia dan mengajak mereka
kepada Islam sebagaimana yang telah kami singgung dalam pembahasan lalu
tentang perlakuan Abu Lahab terhadap mereka.
Pembatalan Terhadap Shahifah Perjanjian
Pemboikotan tersebut berlangsung selama dua atau
tiga tahun penuh. Barulah pada bulan Muharram tahun ke-10 dari kenabian
terjadi pembatalan terhadap shahifah dan perobekan perjanjian tersebut. Hal
ini dilakukan karena tidak semua kaum Quraisy menyetujui perjanjian
tersebut, diantara mereka ada yang pro dan ada yang kontra, maka pihak yang
kontra ini akhirnya berusaha untuk membatalkan shahifah tersebut.
Diantara tokoh yang melakukan itu adalah Hisyâm
bin ‘Amru dari suku Bani ‘Âmir bin Lu-ay – yang secara tersembunyi pada
malam hari mengadakan kontak dengan Bani Hâsyim dan menyuplai bahan makanan
-. Tokoh ini pergi menghadap Zuhair bin Abi Umayyah al-Makhzûmiy (ibunya
bernama ‘Âtikah binti ‘Abdul Muththalib), dia berkata kepadanya:
“Wahai Zuhair! Apakah engkau tega dapat
menikmati makan dan minum sementara saudara-saudara dari pihak ibumu
kondisi mereka seperti yang engkau ketahui saat ini?”
“celakalah engkau! Apa yang dapat aku perbuat
bila hanya seorang diri?. Sungguh, demi Allah! andaikata bersamaku seorang
lagi niscaya aku robek shahifah perjanjian tersebut”, jawabnya
“engkau sudah mendapatkannya!”, kata
Hisyâm“siapa dia?”, tanyanya
“aku”, kata Hisyâm
“kalau begitu, carikan bagi kita orang ketiga”,
jawabnya.
Lalu Hisyâm pergi menuju kediaman al-Muth’im bin
‘Adiy. Dia menyinggung tali rahim yang terjadi antara Bani Hâsyim dan Bani
al-Muththalib, dua orang putra ‘Abdi Manaf dan mencela persetujuannya atas
tindakan zhalim kaum Quraisy.
Al-Muth’im berkata: “celakalah engkau! Apa yang
bisa aku lakukan padahal aku hanya seorang diri?”.
Dia berkata: “engkau sudah mendapatkan orang
keduanya”.
Dia bertanya: “siapa dia?”
“aku”, jawabnya
“kalau begitu, carikan bagi kita orang ketiga”,
pintanya lagi
“sudah aku dapatkan orangnya”, jawabnya
“siapa dia?”, tanyanya
“Zuhair bin Abi Umayyah”, jawabnya
“kalau begitu, carikan bagi kita orang keempat”,
pintanya lagi
Lalu dia pergi lagi menuju kediaman Abu
al-Bukhturiy bin Hisyâm dan mengatakan kepadanya persis seperti apa yang
telah dikatakannya kepada al-Muth’im. Dia bertanya kepada Hisyâm: “apakah
ada orang yang membantu kita dalam hal ini?”
“Ya”, jawabnya
“siapa dia?”, tanyanya
“Zuhair bin Abi Umayyah, al-Muth’im bin ‘Adiy.
Aku juga akan bersamamu”, jawabnya
“kalau begitu, carikan lagi bagi kita orang
kelima”, pintanya.
Kemudian dia pergi lagi menuju kediaman Zam’ah
bin al-Aswad bin al-Muththalib bin Asad. Dia berbincang dengannya lalu
menyinggung perihal kekerabatan yang ada diantara mereka dan hak-hak
mereka. Zam’ah bertanya kepadanya: “apakah ada orang yang ikut serta dalam
urusan yang engkau ajak diriku ini?”
“ya”, jawabnya. Kemudian dia menyebutkan
nama-nama orang yang ikut serta tersebut. Akhirnya mereka berkumpul di
pintu Hujûn dan berjanji akan melakukan pembatalan terhadap shahifah.
Zuhair berkata: “Akulah yang akan memulai dan orang pertama yang akan
berbicara”.
Ketika paginya, mereka pergi ke tempat
perkumpulan. Zuhair datang dengan mengenakan pakaian kebesaran lalu
mengelilingi ka’bah tujuh kali kemudian menghadap ke khalayak seraya
berkata:
“Wahai penduduk Mekkah! Apakah kita tega bisa
menikmati makanan dan memakai pakaian sementara Bani Hasyim binasa; tidak
ada yang sudi menjual kepada mereka dan tidak ada yang membeli dari mereka?
Demi Allah! aku tidak akan duduk hingga shahifah yang telah memutuskan
rahim dan zhalim ini dirobek!”.
Abu Jahal yang berada di pojok masjid menyahut:
“Demi Allah! engkau telah berbohong! Jangan lakukan itu!”.
Lalu Zam’ah bin al-Aswad memotongnya:”demi
Allah! justru engkaulah yang paling pembohong! Kami tidak pernah rela
menulisnya ketika ditulis waktu itu”.
Setelah itu, Abu al-Bukhturiy menimpali: “Benar
apa yang dikatakan Zam’ah ini, kami tidak pernah rela terhadap apa yang
telah ditulis dan tidak pernah menyetujuinya”.
Berikutnya, giliran al-Muth’im yang menambahkan:
“mereka berdua ini memang benar dan sungguh orang yang mengatakan selain
itulah yang berbohong. Kami berlepas diri kepada Allah dari shahifah
tersebut dan apa yang ditulis didalamnya”.
Hal ini juga diikuti oleh Hisyam bin ‘Amru yang
menimpali seperti itu pula.
Abu Jahal kemudian berkata dengan kesal:”urusan
ini telah diputuskan di tempat selain ini pada malam dimusyawarahkannya
saat itu!”.
Saat itu Abu Thalib tengah duduk di sudut
al-Masjid al-Haram. Dia datang atas pemberitahuan keponakannya, Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam yang telah diberitahu oleh Allah perihal
shahifah tersebut bahwa Dia Ta’ala telah mengirim rayap-rayap untuk memakan
semua tulisan yang berisi pemutusan rahim dan kezhaliman tersebut kecuali
tulisan yang ada nama Allah Ta’ala di dalamnya.
Abu Thâlib datang kepada kaum Quraisy dan
memberitahukan kepada mereka tentang apa yang telah diberitahukan oleh
keponakanya kepadanya. Dia menyatakan: “ini untuk membuktikan apakah dia
berbohong sehingga kami akan membiarkan kalian untuk menyelesaikan urusan
dengannya, demikian pula sebaliknya, jika dia benar maka kalian harus
membatalkan pemutusan rahim dan kezhaliman terhadap kami”.
Mereka berkata kepadanya: “kalau begitu, engkau
telah berlaku adil”.
Setelah terjadi pembicaraan panjang antara
mereka dan Abu Jahal, berdirilah al-Muth’im menuju shahifah untuk
merobeknya. Ternyata dia menemukan rayap-rayap telah memakannya kecuali
tulisan “bismikallâh” (dengan namaMu ya Allah) dan tulisan yang ada nama
Allah di dalamnya dimana rayap-rayap tersebut tidak memakannya.
Lalu dia membatalkan shahifah tersebut sehingga
Rasulullah bersama orang-orang yang ada di kediaman Abu Thalib dapat
leluasa keluar. Sungguh, kaum musyrikun telah melihat tanda yang agung
sebagai bagian dari tanda-tanda kenabian beliau Shallallâhu 'alaihi
wasallam, akan tetapi mereka tetaplah sebagai yang difirmankan oleh Allah:
“Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat sesuatu tanda (mu'jizat),
mereka berpaling dan berkata:"(Ini adalah) sihir yang terus
menerus". (Q.S. 54/al-Qamar:2). Mereka telah berpaling dari tanda ini
dan bertambahlah mereka dari kekufuran ke kekufuran yang lebih lagi.
|
DELEGASI TERAKHIR QURAISY YANG MENGUNJUNGI ABU
THALIB
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam keluar
dari Syi’b (kediaman pamannya, Abu Thâlib) dan melakukan aktivitasnya
seperti biasa, sementara kaum Quraisy masih tetap melakukan intimidasi
terhadap kaum muslimin dan menghadang jalan Allah meskipun sudah tidak lagi
melakukan pemboikotan.
Di sisi yang lain, Abu Thâlib masih tetap
melindungi keponakannya, akan tetapi usianya sudah melebihi 80 tahun.
Penderitaan-penderitaan dan peristiwa-peristiwa yang begitu besar dan silih
berganti sejak beberapa tahun, khususnya pada saat terjadinya pengepungan
dan pemboikotan terhadap kediamannya, telah membuat persendiannya lemah dan
tulang rusuknyapun patah.
Baru beberapa bulan setelah keluar dari
syi’bnya, Abu Thâlib dirundung sakit yang agak payah dan kondisi ini
membuat kaum musyrikun cemas kalau-kalau nama besar mereka cacat di mata
bangsa Arab andai mereka hanya datang saat kematiannya karena tidak
menyukai keponakannya. Untuk itulah mereka sekali lagi mengadakan
perundingan dengan Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam di sisi Abu Thâlib dan
berani memberikan sebagian dari hal yang sebelumnya tidak sudi mereka
berikan. Mereka melakukan wifâdah (kunjungan) kepada Abu Thâlib, yang
merupakan untuk terakhir kalinya.
Menurut Ibnu Ishaq dan dan sejarawan lainnya,
“manakala Abu Thâlib sakit parah dan hal itu sampai kepada kaum Quraisy,
sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lainnya: ‘sesungguhnya Hamzah
dan ‘Umar telah masuk Islam sedangkan perihal Muhammad ini telah tersiar di
kalangan seluruh kabilah-kabilah ‘Arab, oleh karena itu lebih baik kalian
pergi menjenguk Abu Thâlib agar dia mencegah keponakannya dan menitipkan
pemberian kita kepadanya. Demi Allah! kita tidak akan merasa aman bila
kelak dia mengalahkan kita”.
Dalam lafazh riwayat yang lain disebutkan (kaum
Quraisy berkata): “sesungguhnya kita khawatir bilamana orang tua ini (Abu
Thâlib-red) meninggal nantinya, lalu ada sesuatu yang diserahkannya kepada
Muhammad sehingga lantaran hal itu, bangsa Arab mencerca kita dengan
mengatakan:’mereka telah menelantarkannya, tapi ketika pamannya meninggal
barulah mereka memperebutkannya’.
Mereka, yang terdiri dari para pemuka kaumnya,
akhirnya menemui Abu Thâlib dan berbicara dengannya. Diantara sosok-sosok
tersebut adalah: ‘Utbah bin Rabî’ah, Syaibah bin Rabî’ah, Abu Jahl bin
Hisyam, Umayyah bin Khalaf, Abu Sufyan bin Harb. Pertemuan ini dilakukan
dihadapan para tokoh selain mereka yang berjumlah sekitar 25 orang. Mereka
berkata:
“wahai Abu Thâlib! Sesungguhnya engkau, seperti
yang engkau ketahui, adalah bagian dari kami dan saat ini, sebagaimana yang
engkau saksikan sendiri, telah terjadi sesuatu pada dirimu. Kami cemas
terhadap dirimu padahal engkau juga sudah tahu apa yang terjadi antara kami
dan keponakanmu. Untuk itu, desaklah dia agar mau menerima (sesuatu) dari
kami dan kami juga akan menerima (sesuatu) darinya. Hal ini bertujuan agar
tidak terjadi saling mencampuri urusan masing-masing; dia tidak mencampuri
urusan kami, demikian juga dengan kami. Desaklah dia agar membiarkan kami
menjalankan agama kami sepertihalnya kami juga akan membiarkannya
menjalankan agamanya”.
Abu Thâlib mengirimkan utusan untuk meminta
beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam datang. Beliaupun datang, lalu pamannya
tersebut berkata: “wahai keponakanku! Mereka itu adalah pemuka-pemuka
kaummu. Mereka berkumpul karenamu untuk memberimu sesuatu dan mengambil
sesuatu pula darimu”.
Kemudian Abu Thâlib memberitahukan kepadanya apa
yang telah diucapkan dan disodorkan oleh mereka kepadanya, yakni bahwa
masing-masing pihak tidak boleh saling mencampuri urusan.
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam berkata
kepada mereka:
“bagaimana pendapat kalian bila aku katakan
kepada kalian satu kalimat yang bila kalian ucapkan niscaya kalian akan
dapat menguasai bangsa Arab dan orang-orang asing akan tunduk kepada
kalian?”.
Dalam lafazh riwayat yang lain disebutkan bahwa
beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam berbicara kepada Abu Thâlib: “aku
menginginkan mereka untuk mengucapkan satu kalimat yang dapat membuat
bangsa Arab tunduk dan orang-orang asing akan mempersembahkan upeti kepada
mereka”.
Dalam lafazh riwayat yang lainnya lagi
disebutkan bahwa beliau berkata:
“wahai pamanku! Kenapa tidak engkau ajak saja
mereka kepada hal yang lebih baik buat mereka?”.
Dia bertanya:”mengajak kepada apa?”.
“ajak mereka agar mengucapkan satu kalimat yang
dapat membuat bangsa Arab tunduk kepada dan orang-orang asing takluk”.
Sedangkan dalam lafazh yang diriwayat Ibnu Ishaq
menyebutkan: “satu kalimat saja yang kalian berikan niscaya kalian akan
bisa menguasai bangsa Arab dan orang-orang asing akan tunduk kepada
kalian”.
Tatkala beliau mengucapkan kalimat tersebut, mereka
berdiri tertegun, linglung dan tidak tahu bagaimana dapat menolak satu
kalimat yang penuh manfa’at sampai sedemikian ini?. Kemudian Abu Jahal
menanggapi: ”apa itu? (Bila kamu sebutkan) sungguh aku akan memberikanmu
sepuluh kali lipatnya”.
Beliau berkata: “kalian katakan: ‘Lâ ilâha
illallâh’ dan kalian cabut sesembahan selainNya’ “.
Mendengar kalimat tersebut, mereka kebingungan
lantas berseru: ”wahai Muhammad! apakah kamu ingin menjadikan ilâh-ilâh
(tuhan-tuhan) yang banyak menjadi satu saja? Sungguh aneh polahmu ini “.
Kemudian, masing-masing berkata kepada yang
lainnya: “demi Allah! sesungguhnya orang ini tidak memberikan apa yang
kalian inginkan, pergilah dan teruslah dalam agama nenek moyang kalian
hingga Allah memutuskan antara kalian dan dirinya”. Setelah itu, merekapun
bubar.
Allah Ta’ala menurunkan ayat berkenaan dengan
itu, yaitu firmanNya: “Shaad, demi al-Qur'an yang mempunyai keagungan.[1].
Sebenarnya orang-orang kafir itu (berada) dalam kesombongan dan permusuhan
yang sengit.[2]. Betapa banyaknya ummat sebelum mereka yang telah kami
binasakan, lau mereka meminta tolong padahal (waktu itu) bukanlah saat
untuk lari melepaskan diri.[3]. Dan mereka heran karena mereka kedatangan
seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang
kafir berkata :"ini adalah seorang ahli sihir yang banyak
berdusta".[4]. Mengapa ia menjadikan ilah-ilah itu Ilah Yang Satu
sajaSesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.[5].
Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata):"Pergilah kamu
dan tetaplah (menyembah) ilah-ilahmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu
hal yang dikehendaki.[6]. Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama
yang terakhir; ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah(dusta) yang
diada-adakan”.[7] . (Q.S. Shâd: 1-7).
|
KEMATIAN ABU THALIB
Sakit Abu Thalib semakin bertambah parah,
tinggal menunggu saat-saat kematiannya, dan akhirnya dia meninggal pada
bulan Rajab tahun kesepuluh dari nubuwah, selang enam bulan setelah keluar
dari pemboikotan. Ada yang berpendapat dia meninggal dunia pada bulan
Ramadhan, tiga bulan sebelum wafatnya Khadijah Radhiallahu anha.
Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Al-Musayyab,
bahwa tatkala ajal hampir menghampiri Abu Thalib, Nabi SAW menemuinya, yang
saat itu di sisinya ada Abu Jahal.
"Wahai paman, ucapkanlah la ilaha illallah,
satu kalimat yang dapat engkau jadikan hujjah di sisi Allah," Sabda
beliau.
Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah menyela,
"Wahai Abu Thalib, apakah engkau tidak menyukai agama Abdul Muththalib
?" Keduanya tak pernah berhenti mengucapkan kata-kata ini, hingga
pernyataan terakhir yang diucapkan Abu Thalib adalah, "Tetap berada
pada agama Abdul Muththalib."
Beliau bersabda, "Aku benar-benar akan
memohon ampunan bagimu wahai paman selagi aku tidak dilarang
melakukannya."
Lalu turun ayat, "Tiadalah sepatutnnya bagi
Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi
orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu
adalah penghuni neraka Jahannam." (At-Taubah : 113).
Allah juga menurunkan ayat,
"Sesungguhnya kamu tidak dapat memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk
kepada orang yang dikehendaki-Nya." (Al-Qashash : 56)
Tidak bisa dibayangkan apa saja perlindungan
yang diberikan Abu Thalib terhadap Rasulullah Saw. Dia benar-benar menjadi
benteng yang ikut menjaga dakwah Islam dari serangan orang yang sombong dan
dungu. Namun sayang, dia tetap berada pada agama leluhurnya, sehingga sama
sekali tidak mendapat keberuntungan.
Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Al Abbas bin
Abdul Muththalib, dia berkata kepada Nabi Saw, "Engkau sangat
mebutuhkan paman engkau, karena dia telah melindungi engkau, sekalipun dia
sangat membuat engkau marah."
Beliau bersabda, "Dia berada di neraka yang
dangkal. Kalau tidak karena aku, tentu dia berada di tingkatan neraka yang
paling bawah."
Dari Abu Sa'id Al-Khudry, bahwa dia pernah
mendengar Nabi Saw bersabda, "Semoga syafaatku bermanfaat baginya pada
hari kiamat nanti, sehingga dia diletakkan di neraka yang dangkal, hanya
sebatas tumitnya saja."
KHADIJAH MENYUSUL KE RAHMATULLAH
Kira-kira dua atau tiga bulan setelah Abu Thalib
meninggal dunia, Ummul Mukminin Khadijah Al Kubra meninggal dunia pula,
tepatnya pada bulan Ramadhan pada tahun kesepuluh dari nubuwah, pada usia
enam puluh lima tahun, sementara usia beliau saat itu lima puluh tahun.
Khadijah termasuk salah satu nikmat yang
dianugerahkan Allah kepada Rasulullah Saw. Dia mendampingi beliau selama
seperempat abad, menyayangi beliau di kala resah, melindungi beliau di
saat-saat kritis, menolong beliau dalam menyebarkan risalah, mendampingi
beliau dalam menjalankan jihad yang berat, rela menyerahkan diri dan hartanya
kepada beliau. Rasulullah Saw bersabda tentang dirinya, "Dia beriman
kepadaku saat semua orasng mengingkariku, membenarkan aku sselagi semua
orang mendustakanku, menyerahkan hartanya kepadaku selagi semua orang tidak
mau memberikannya, Allah menganugerahiku anak darinya selagi wanita
selainnya tidak memberikannya kepadaku." (Riwayat Ahmad di dalam
Musnad-nya, 6/118).
Di dalam Shahihul- Bukhary, dari Abu Hurairah
ra, dia berkata, "Jibril mendatangi Nabi Saw, seraya berkata,
"Wahai Rasulullah, inilah Khadijah yang datang sambil membawa bejana
yang di dalamnya ada lauk atau makanan atau minuman. Jika dia datang,
sampaikan salam kepadanya dari Rabb-nya, dan sampaikan kabar kepadanya
tentang sebuah rumah di surga, yang di dalamnya tidak ada suara hiruk pikuk
dan keletihan."
DUKA YANG BERTUMPUK-TUMPUK
Dua peristiwa ini terjadi dalam jangka waktu
yang tidak terpaut lama, sehingga menorehkan perasaan duka dan lara di hati
Rasulullah Saw, belum lagi cobaan yang dilancarkan kaumnya, karena dengan
kematian keduanya mereka semakin berani menyakiti dan mengganggu beliau.
Mendung menjadi bertumpuk-tumpuk, sehingga beliau hampir putus asa
menghadapi mereka. Untuk itu beliau pergi ke Tha'if, dengan setitik harapan
mereka berkenan menerima dakwah atau minimal mau melindungi dan mengulurkan
pertolongan dalam menghadapi kaum beliau. Sebab beliau tidak lagi melihat
seorang yang bisa memberi perlindungan dan pertolongan. Tetapi mereka
menyakiti beliau secara kejam, yang justru tidak pernah beliau alami
sebelum itu dari kaumnya.
Apa yang beliau alami di Makkah juga dialami
para shahabat. Hingga shahabat karib beliau, Abu Bakar Ash-Shiddiq berniat
hijrah dari Makkah. Maka dia pergi hingga tiba di Barkil-Ghamad. Tempat
yang ditujunya adalah Habasyah. Namun akhirnya dia kembali lagi setelah
mendapat jaminan perlindungan Ibnud-Dughumah.
Menurut Ibnu Ishaq, setelah Abu Thalib meninggal
dunia, orang-orang Quraisy semakin bersemangat untuk menyakiti Rasulullah
Saw daripada saat dia masih hidup. Sehingga ada diantara mereka yang tiba-tiba
mendekati beliau lalu menaburkan debu di atas kepada beliau. Beliau masuk
ke rumah dan debu-debu itu masih memenuhi kepala. Lalu salah seorang putri
beliau bangkit untuk membersihkan debu-debu itu sambil menangis. Beliau
bersabda kepadanya, "Tak perlu menanggis wahai putriku, karena Alllah
akan melindungi bapakmu."
Pada saat-saat seperti itu beliau juga bersabda,
"Aku tidak pernah menerima gangguan yang paling kubenci dari Quraisy,
hingga Abu Thalib meninggal dunia."
Karena penderitaan yang bertumpuk-tumnpuk pada
tahun itu, maka beliau menyebutnya sebagai "Annul-huzni" (tahun
duka cita), sehingga julukan ini pun terkenal dalam sejarah.
MENIKAH DENGAN SAUDAH
Pada bulan Syawal tahun kesepuluh dari nubuwah,
Rasulullah Saw menikahi Saudah binti Zam'ah. Dia termasuk orang-orang yang
lebih dahulu masuk Islam, ikut hijrah ke Habasyah yang kedua. Suaminya
adalah Ash-Sakran bin Amr, yang juga masuk Islam dan hijrah bersamanya
pula. Dia meninggal dunia di Habasyah atau menurut pendapat lain dia
meninggal dunia di Makkah sepulang dari Habasyah. Beliau melamar Saudah
lalu menikahinya. Dia adalah wanita pertama yang dinikahi beliau
sepeninggal Khadijah. Setelah beberapa tahun kemudian, dia memberikan
bagian gilirannya kepada Aisyah.
|
FAKTOR KESABARAN DAN KETEGARAN KAUM MUSLIMIN
Seorang yang berhati lembut akan berdiri
tercenung dan para cendikiawan akan saling bertanya diantara mereka: “apa
sebenarnya sebab-sebab dan faktor-faktor yang telah membawa kaum Muslimin
mencapai puncak dan batas tak tertandingi dalam ketegarannya?”, “bagaimana
mungkin mereka bisa bersabar menghadapi penindasan demi penindasan yang
membuat bulu roma merinding dan hati gemetar begitu mendengarnya?”.
Melihat fenomena yang menggoncangkan jiwa ini,
kami menganggap perlunya menyinggung sebagian dari faktor-faktor dan
sebab-sebab tersebut secara ringkas dan singkat:
1. Keimanan kepada Allah
Sebab dan faktor paling utama adalah keimanan
kepada Allah Ta’ala semata dan ma’rifah kepada-Nya dengan sebenar-benar
ma’rifah. Keimanan yang tegas bila telah menyelinap ke sanubari dapat
menimbang gunung dan tidak akan goyang. Orang yang memiliki keimanan dan
keyakinan seperti ini akan memandang kesulitan duniawi sebesar, sebanyak
dan serumit apapun seperti lumut-lumut yang diapungkan oleh air bah lantas
menghancurkan bendungan kuat dan benteng perkasa. Orang yang kondisinya
seperti ini, tidak mempedulikan rintangan apapun lagi karena telah
mengenyam manisnya iman, segarnya keta’atan serta cerianya keyakinan. Allah
berfirman:
“Adapun buih itu akan hilang sebagia sesuatu yang
tak ada harganya. Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap
di bumi”. (Q,.s.ar-Ra’d: 17)
Dari sebab utama ini, kemudian berkembang dan
beralih kepada sebab-sebab lain yang semuanya tidak lain menguatkan
ketegaran dan kesabaran tersebut seperti yang akan disebutkan selanjutnya.
2. Kepimpinan yang digandrungi oleh setiap hati
Sosok Rasulullah adalah sosok seorang pemimpin
umat Islam tertinggi. Tidak saja bagi Umat Islam tetapi bagi seluruh
manusia. Beliau memiliki postur badan yang ideal, jiwa yang sempurna,
akhlak luhur, sifat-sifat yang terhormat dan ciri fisik yang agung. Hal ini
dapat menyebabkan hati tertawan dan membuat jiwa rela berjuang untuknya
sampai tetas darah terakhir. Kesempurnaan yang dianugerahkan kepadanya
tersebut tidak pernah dianugerahkan kepada siapapun. Beliau menempati
posisi puncak dalam derajat sosial, keluhuran budi, kebaikan dan keutamaan.
Demikian pula dari sisi kesucian diri, amanah, kejujuran dan semua
jalan-jalan kebaikan tidak ada yang menandinginya. Jangankan oleh para
pencinta dan shahabat karib beliau, musuh-musuhnya pun tidak meragukan lagi
hal itu. Ungkapan yang pernah terlontarkan dari mulut beliau pastilah
membuat mereka langsung meyakini kejujurannya dan kebenarnya.
Suatu ketika, tiga orang tokoh Quraisy
berkumpul. Masing-masing dari mereka ternyata telah mendengarkan al-Qur’an
secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh dua temannya yang lain, namun
kemudian rahasia itu tersingkap. Salah seorang dari mereka bertanya kepada
Abu Jahal –yang merupakan salah seorang dari ketiga orang tersebut- :
“bagaimana pendapatmu mengenai apa yang engkau
dengar dari Muhammad tersebut?”
“apa yang telah aku dengar? Memang kami telah
berselisih dengan Bani ‘Abdi Manaf dalam persoalan derajat sosial; manakala
mereka makan, kamipun makan; mereka menanggung sesuatu, kamipun ikut
menanggungnya; mereka memberi, kamipun memberi hingga akhirnya kami sejajar
diatas tunggangan yang sama (setara derajatnya-red). Kami ibarat dua kuda
perang yang sedang bertaruh. Lalu tiba-tiba mereka berkata: ‘kami memiliki
nabi yang membawa wahyu dari langit!’. Kapan kami mengetahui hal ini? Demi
Allah! kami tidak akan beriman sama sekali kepadanya dan tidak akan
membenarkannya”.
Abu Jahal pernah berkata: “wahai Muhammad!
sesungguhnya kami tidak pernah memdustakanmu akan tetapi kami mendustakan
apa yang engkau bawa”. Lalu turunlah ayat: “Sebenarnya mereka bukan
mendustakanmu, tetapi orang-orang yang zhalim itu mengingkari ayat-ayat
Allah”. (Q,.s.al-An’âm: 33).
Suatu ketika kaum Kafir mempermainkan beliau
dengan saling mengerling diantara mereka. Mereka melakukan itu hingga tiga
kali. Pada kali ketiga ini, barulah beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam
menjawab: “wahai kaum Quraisy! sungguh aku datang membawakan sembelihan
untuk kalian”. Ucapan beliau ini berhasil mengalihkan konsentrasi mereka
Bahkan orang yang paling kasar diantara mereka, memberikan ucapan selamat
kepada beliau dengan sebaik-baik ucapan yang pernah beliau dapatkan.
Ketika mereka melemparkan kotoran onta ke arah
kepala beliau saat sedang sujud, beliau mendoakan kebinasaan atas mereka.
Tawa yang tadinya menyeringai di bibir mereka berubah menjadi kegundahan
dan kecemasan karena mereka yakin akan binasa.
Beliau mendoakan kebinasaan atas ‘Utbah bin Abi
Lahab. Orang ini masih yakin akan terjadinya apa yang didoakan oleh beliau
Shallallâhu 'alaihi wasallam terhadapnya. Maka, ketika dia melihat
segerombolan singa, serta merta dia bergumam: “Demi Allah! dia (Muhammad)
telah membunuhku padahal dia berada di Mekkah”.
Ubay bin Khalaf pernah mengancam akan membunuh
beliau, namun beliau menantangnya: “akulah yang akan membunuhmu, insya
Allah”. Maka, pada perang Uhud, tatkala beliau berhasil mencederai Ubay di
bagian lehernya, yakni goresan yang tidak terlalu melebar, Ubay berkomentar:
“Sesungguhnya apa yang diucapkannya di Mekkah di hadapanku dulu : ‘akulah
yang akan membunuhmu’ telah terjadi. Demi Allah! andai dia meludah saja ke
arahku niscaya itu akan dapat membunuhku”. Pembahasan tentang ini akan
disajikan pada bahasan mendatang.
Sa’d bin Mu’adz –saat berada di Mekkah- pernah
berkata kepada Umayyah bin Khalaf: “Sungguh, aku telah mendengar Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: ‘ sesungguhnya mereka –kaum
Muslimin- telah memerangimu’ “. Mendengar ini, dia tampak sangat takut
sekali dan berjanji untuk tidak akan keluar dari Mekkah.
Ketika dipaksa oleh Abu Jahal untuk berperang di
Badar, dia membeli keledai yang paling bagus di Mekkah untuk digunakannya
bila suatu ketika dapat kabur. Saat itu, isterinya berkata kepadanya: “Wahai
Abu Shafwan! Apakah engkau lupa apa yang dikatakan saudaramu dari Yatsrib
tersebut?”.
Dia menjawab: “Demi Allah! bukan demikian tetapi
aku tidak akan mau berhadapan langsung dengan mereka kecuali memang sudah
dekat benar jaraknya”.
Demikianlah kondisi musuh-musuh Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam .
Adapun kondisi para shahabat dan rekan-rekan
beliau lain lagi; kedudukan beliau di sisi mereka ibarat ruh dan jiwa dan
semua urusan beliau menempati hati dan mata mereka. Cinta yang tulus
terhadap diri beliau mengalir terhadap beliau bak aliran air ke dataran
rendah. Keterpikatan hati mereka terhadap beliau laksana tarikan magnet
terhadap besi.
Oleh karena itu, sebagai implikasi dari rasa
cinta dan siap mati ini membuat mereka tidak gentar bila leher harus
terpenggal, kuku terkupas atau ditusuk oleh duri.
Suatu hari ketika di Mekkah, Abu Bakar bin Abi
Quhâfah pernah diinjak dan dipukul dengan keras. Di tengah kondisi seperti
itu, ‘Utbah bin Rabi’ah mendekatinya sembari memukulinya lagi dengan kedua
terompahnya yang tebal dan melayangkannya ke arah wajahnya. Tidak cukup
disitu, dia kemudian melompat diatas badannya dan jatuh tepat di atas perut
Abu Bakar hingga wajahnya bonyok, tidak bisa diketahui lagi mana letak
hidung dari wajahnya.
Setelah itu, dia diangkut dengan menggunakan
bajunya oleh suku Bani Tamim kemudian dicampakkan ke rumahnya. Mereka sama
sekali tidak menyangsikan bahwa dia pasti sudah tidak bernyawa. Saat hari
beranjak sore, dia tersadar dan berbicara: “apa yang terjadi terhadap diri
Rasulullah?”.
Mereka mencibirnya dengan lisan mereka dan
mengumpatinya, lalu berdiri dan berkata kepada ibunya, Ummul Khair :
“Terserah, apa yang akan engkau lakukan; memberinya makan atau minum”.
Ketika sang ibu hanya tinggal berdua saja dengan
anaknya, dia membujuknya agar mau makan atau minum. Tetapi, justeru sang
anak malah berkata: “apa yang terjadi terhadap diri Rasulullah?”.
Ibunya menjawab: “demi Allah! aku tidak tahu
sama sekali tentang shahabatmu itu”.
Dia berkata: “kalau begitu, pergilah menjumpai
Ummu Jamil binti al-Khaththab lalu tanyakanlah kepadanya”.
Sang ibu pergi keluar hingga sampai ke rumah
Ummu Jamil, lantas berkata: “sesungguhnya Abu Bakar bertanya kepadamu
tentang Muhammad bin ‘Abdullah”.
Dia menjawab: “aku tidak kenal siapa Abu Bakar
dan juga Muhammad bin ‘Abdullah. Jika engkau ingin aku menyertaimu menemui
anakmu, akan aku lakukan”.
Dia menjawab: “ya”.
Akhirnya keduanya berlalu hingga akhirnya
mendapati Abu Bakar dalam keadaan terkapar tak berdaya. Ummu Jamil
mendekatinya seraya berteriak mengumumkan kepada orang banyak: “demi Allah!
sesungguhnya kaum yang melakukan tindakan ini terhadapmu adalah orang yang
fasiq dan kafir. Sungguh, aku berharap semoga Allah membalaskan untukmu
terhadap mereka”.
Abu Bakar malah berkata lagi: “apa yang terjadi
terhadap diri Rasulullah?”.
Ummu Jamil berkata: “Ini ibumu ikut
mendengarkan”.
Dia berkata: “Tidak usah khawatir terhadapnya”
Dia menjawab: “beliau Shallallâhu 'alaihi
wasallam dalam kondisi sehat dan bugar”.
Dia berkata lagi:”dimana beliau sekarang?”
“ada di Dar Ibnu al-Arqam”, jawabnya.
Dia berkata lagi:”aku bersumpah kepada Allah
untuk tidak mencicipi makanan dan meminum minuman hingga aku mendatangi
Rasulullah”.
Keduanya mengulur-ulur waktu sejenak, hingga
bilamana kondisi Abu Bakar sudah tenang dan orang-orang mulai sepi,
keduanya berangkat keluar membawanya dengan dipapah. Lalu dipertemukanlah
dirinya dengan Rasulullah”.
Bentuk kecintaan yang demikian langka serta
pengorbanan hidup seperti ini akan kami bahas pada beberapa bagian dari
buku ini, terutama yang terjadi pada waktu perang Uhud dan yang terjadi
terhadap Khubaib dan semisalnya.
3. Rasa tanggung jawab
Para shahabat menyadari secara penuh akan
besarnya tanggung jawab yang dipikulkan ke pundak manusia. Tanggung jawab ini
tidak dapat dielakkan dan diselewengkan betapapun kondisinya sebab
keteledoran dan lari dari rasa tanggung jawab ini memiliki implikasi yang
sangat besar dan berbahaya daripada penindasan yang dirasakan oleh mereka.
Kerugian yang diderita oleh umat manusia secara keseluruhan bila lari
darinya, tidak dapat diukur dengan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi
akibat dari beban yang ditanggung tersebut.
4. Iman kepada Akhirat
Ini merupakan salah satu faktor yang menguatkan
tumbuhnya rasa tanggung jawab tersebut. Mereka memiliki keyakinan yang kuat
bahwa mereka akan dibangkitkan kelak menghadap Rabb semesta alam, amal
mereka dihisab dengan sedetail-detailnya; besar dan kecilnya. Jadi, hanya
ada dua pilihan; ke surga yang penuh dengan kesenangan atau ke neraka Jahim
yang penuh dengan azab yang abadi.
Mereka menjalani kehidupan mereka antara rasa
takut dan pengharapan; mengharapkan rahmat Rabb mereka dan takut akan
siksa-Nya.
Mereka adalah sebagaimana yang difirmankan oleh
Allah Ta’ala:
”Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah
mereka berikan, dengan hati yang takut”. (Q,.s. al-Mukminûn: 60).
Mereka mengetahui bahwa dunia dengan
kesengsaraan dan kesenangan yang ada di dalamnya tidak akan bisa menyamai
sepasang sayap nyamuk (tidak ada apa-apanya-red) bila dibandingkan dengan
kehidupan di Akhirat.
Pengetahuan mereka yang kuat tentang hal inilah
yang meringankan mereka di dalam menghadapi kepayahan, kesulitan dan
kepahitan yang ada di dunia sehingga mereka tidak menyibukkan diri untuk
mengoleksinya sebanyak mungkin bahkan terbetik di hati merekapun tidak.
|
FAKTOR KESABARAN DAN KETEGARAN KAUM MUSLIMIN
Pada bagian yang lalu (13-a) telah disebutkan
empat faktor dan sebab dari ketabahan dan ketegaran kaum Muslimin. Pada
bagian kali ini kita akan melanjutkan faktor dan sebab selanjutnya:
5. al-Qur’an
Pada rentang waktu yang amat kritis dan sulit
ini, turunlah surat-surat dan ayat-ayat Allah guna memberikan hujjah dan
bukti atas kebenaran risalah Islam dan prinsip-prinsipnya dimana dakwah
berada pada porosnya. Al-Qur’an tampil dengan gaya bahasa yang valid dan
indah, mengarahkan kaum Muslimin kepada pondasi-pondasi yang kelak atas
qadar Allah terbentuk komunitas manusia yang paling agung dan mempesona di
muka bumi ini, yaitu masyarakat Islam. Surat-surat dan ayat-ayat tersebut
juga amat membangkitkan sensitifitas dan ego kaum Muslimin untuk bersabar
dan pantang menyerah, menguraikan sikap tersebut dengan bahasa permisalan
dan menjelaskan kepada mereka apa hikmah di balik itu. Allah berfirman
(artinya) : “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan:’Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?,[2]. Dan
sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta”. [3]. (Q,.s.al-‘Ankabût/29: 2-3).
Ayat-ayat tersebut juga mementahkan
argumentasi-argumentasi kaum Kafir dan para pembangkang dengan bantahan
yang membuat mereka mati kutu sehingga tidak memiliki trik lain untuk
mengelak. Ayat-ayat tersebut sekali waktu juga memperingatkan mereka akan
akibat yang fatal dari kengototan mereka di dalam pembangkangan dan
kesesatan dengan pemaparan yang jelas dan transparan, berpedoman kepada
Hari-Hari Allah dan peristiwa historis yang menunjukkan adanya sunnatullah
terhadap para wali dan musuh-Nya. Sekali waktu pula, menyapa mereka secara
ramah, memfungsikan gaya bahasa dengan pertanyaan, petunjuk dan pengarahan
sehingga dengan itu mereka mau berpaling dari kesesatan nyata yang tengah
mereka lakukan.
Al-Qur’an juga membimbing kaum Muslimin menuju
alam lain, memperlihatkan mereka hal yang membuat hati mereka bergetar;
pemandangan alam semesta, keindahan rububiyah, kesempurnaan uluhiyyah,
jejak-jejak rahmat dan kasih sayang serta keridlaan-Nya.
Di balik lipatan ayat-ayat tersebut terdapat
pesan-pesan untuk kaum Muslimin. Disana, Rabb memberitakan kabar gembira
buat mereka berupa rahmat dan keridlaan-Nya serta surga yang telah
disiapkan buat mereka, di dalamnya mereka mendapatkan kenikmatan abadi.
Ayat-ayat tersebut juga memberikan gambaran kepada mereka tentang bagaimana
musuh-musuh mereka; kaum kafir dan para Thaghut yang zhalim dihukumi dan
diinterogasi lalu wajah mereka dijerembabkan ke api neraka sehingga mereka
merasakan betapa pedihnya neraka Saqar.
6. Berita-Berita Gembira tentang Kemenangan
Meskipun kaum Muslimin mengetahui akan
berita-berita gembira ini, namun mereka juga mengetahui sejak pertama kali
mengalami perlakukan kasar dan penindasan –bahkan sebelum itu- bahwa masuk
Islam bukan berarti tersingkirnya semua musibah dan kematian tersebut
tetapi sejak awal lahirnya, dakwah Islamiyah bertujuan untuk mengakhiri
dunia Jahiliyyah dan sistemnya yang zhalim. Mereka juga mengetahui bahwa
buah dari hal itu di dunia ini adalah terbentangnya kekuasaan diatas muka
bumi dan penguasaan terhadap kondisi politis di seluruh alam yang dapat
menggiring umat manusia dan komunitas manusia secara keseluruhan ke dalam
keridlaan Allah dan mengeluarkan mereka dari penyembahan terhadap hamba
kepada penyembahan terhadap Allah semata.
Sesekali al-Qur’an turun dengan berita-berita
gembira ini secara lantang dan terkadang berupa kinayah (sindiran). Maka,
di dalam rentang waktu yang amat kritis seperti ini dimana bumi dirasakan
sempit oleh kaum Muslimin, mencekik mereka bahkan seakan ingin mengakhiri
kehidupan mereka; turunlah ayat-ayat tersebut sebagaimana yang dulu terjadi
diantara para Nabi dan kaum mereka berupa pendustaan dan pengingkaran.
Ayat-ayat tersebut berisi hal yang menyinggung kondisi-kondisi yang persis
sama dengan kondisi-kondisi kaum Muslimin di Mekkah dan orang-orang kafir
disana. Ayat-ayat tersebut kemudian menyinggung peralihan kondisi berupa
kebinasaan kaum kafir dan orang-orang yang zhalim dan kesuksesan
hamba-hamba Allah di dalam mewarisi kekuasaan di muka bumi dan seluruh
negeri. Di dalam kisah-kisah ini terdapat isyarat yang jelas akan kegagalan
penduduk Mekkah nantinya dan kesuksesan kaum Muslimin dan dakwah islamiyah
yang mereka bawa.
Di dalam tenggang waktu tersebut, turunlah
beberapa ayat yang secara terang-terangan memberitakan kabar gembira,
berupa kemenangan kaum Mukminin sebagaimana di dalam beberapa firman-Nya
berikut:
1. Firman-Nya (artinya):
“Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada
hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, [171]. (yaitu) sesungguhnya mereka
itulah yang pasti mendapat pertolongan,[172]. Dan sesungguhnya tentara Kami
itulah yang pasti menang,[173]. Maka berpalinglah kamu (Muhammad) dari
mereka sampai suatu ketika,[174]. Dan lihatlah mereka, maka kelak mereka
akan melihat (azab itu),[175]. Maka apakah mereka meminta supaya siksa Kami
disegerakan,[176]. Maka apabila siksaan itu turun di halaman mereka, maka
amat buruklah pagi hari yang dialami oleh orang-orang yang diperingatkan
itu”.[177] (Q,.s.ash-Shaffât/37: 171-177)
2. Firman-Nya (artinya):
Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka
akan mundur ke belakang. (Q,.s.al-Qamar/54:45)
3. Firman-Nya: (artinya):
Suatu tentara yang besar yang berada di sana
dari golongan-golongan yang berserikat, pasti akan dikalahkan.
(Q,.s.Shâd/38:11)
4. Firman-Nya yang turun terhadap orang-orang
yang berhijrah ke Habasyah (artinya):
Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah
sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada
mereka di dunia.Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar,
kalau mereka mengetahui, (Q,.s.an-Nahl/16:41)
5. Firman-Nya tatkala mereka bertanya kepada
beliau tentang kisah Nabi Yusuf 'alaihissalâm (artinya):
Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan
Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang
bertanya. (Q,.s.Yûsûf/12:7)
Yakni penduduk Mekkah yang bertanya tersebut
akan mengalami kegagalan sebagaimana yang pernah dialami oleh
saudara-saudara Yusuf dan mereka akan menyerah sebagaimana mereka menyerah.
6. Firman-Nya tatkala mengingatkan para Rasul
(artinya):
Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul
mereka: "Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau
kamu kembali kepada agama kami".Maka Rabb mewahyukan kepada
mereka:"Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zalim itu,[13].
dan Kami pasti akan menempatkan kamu dinegeri-negeri itu sesudah
mereka.Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan
menghadap) kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku, [14]".
(Q,.s.Ibrâhim/14:14)
Ketika perang berkecamuk antara bangsa Persia
dan Romawi; kaum Kafir lebih senang bila bangsa Persia yang menang karena
mereka memiliki kesamaan sifat, yaitu perbuatan syirik, sedangkan kaum
Muslimin lebih cenderung bila kemenangan berada di pihak bangsa Romawi
karena memiliki kesamaan sifat, yaitu beriman kepada Allah, para Rasul,
wahyu, kitab-kitab dan Hari Akhir.
Kemenangan memang berada di pihak bangsa Persia,
lalu Allah menurunkan ayat yang memberitakan kabar gembira bahwa bangsa
Romawi akan mengalami kemenangan dalam beberapa tahun kemudian (dan hal ini
memang terjadi-red). Tidak sebatas itu saja, ayat tersebut menyebutkan
kabar gembira yang lain secara terang-terangan, yaitu Allah akan menolong
kaum Mukminin di dalam firman-Nya (artinya): “dan pada hari itu, kaum
Mukminin bergembira dengan pertolongan Allah”. (Q,.s.ar-Rûm/30: 4-5)
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sendiri
sering menyampaikan kabar gembira seperti ini di sela waktu-waktu tertentu
; di saat datang musim haji dan berada di tengah orang-orang di pasar
‘Ukâzh, Majinnah dan Dzi al-Majâz untuk menyampaikan risalah dakwah, beliau
tidak hanya memberitakan kabar gembira tentang surga saja, tetapi secara
lantang berkata kepada mereka: “wahai manusia! Ucapkanlah ‘Lâ ilâha
illallâh’ niscaya kalian akan beruntung, menguasai bangsa Arab dan
menundukkan orang-orang asing;jika kalian mati, maka kalian akan menjadi
raja di surga”. (Hadits ini disebutkan oleh Ibnu Sa’d: I/216)
Kami telah memaparkan sebelumnya jawaban Nabi
Shallallâhu 'alaihi wasallam kepada ‘Utbah bin Rabî’ah berupa keinginannya
untuk menegosiasi beliau dengan gemerlap duniawi, serta apa yang dipahami
dan diharapankan olehnya terkait dengan kemenangan yang akan dicapai oleh
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.
Demikian pula, tentang jawaban Nabi Shallallâhu
'alaihi wasallam terhadap delegasi terakhir yang mendatangi Abu Thalib.
Ketika itu beliau secara terus terang meminta kepada mereka satu rangkaian
kata saja yang apabila mereka memberikannya, maka semua bangsa Arab akan
tunduk kepada mereka dan mereka dapat menguasai orang-orang asing.
Khabbab bin al-Aratt berkata: “Aku mendatangi
Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam saat beliau tidur dengan berbaring di
atas burdahnya dan berteduh di bawah naungan Ka’bah. Kami juga saat itu
telah mengalami penyiksaan berat dari kaum Musyrikun. Lantas aku berkata:
‘tidakkah engkau berdoa kepada Allah!’ (agar menolong para shahabat-red).
mendengar ucapan ini, beliau langsung duduk sedangkan raut wajahnya tampak
memerah sembari berkata: ‘sungguh, orang-orang sebelum kalian pernah
diseset dengan sesetan besi panas yang menusuk daging hingga mengenai
tulang belulang dan urat. Akan tetapi hal itu semua tidak membuat mereka
bergeming sedikitpun dari dien mereka. Sungguh Allah akan menyempurnakan
urusan agama ini hingga seorang pejalan kaki berjalan dari Shan’â ke
Hadlramaut tidak ada yang ditakutkannya selain Allah Ta’ala. Dalam
penjelasan periwayat hadits disebutkan : “…dan tidak juga dia mengkhawatirkan
kambingnya diterkam srigala”. Dan dalam riwayat yang lain disebutkan
tambahan: “…akan tetapi kalian terburu-buru (ingin cepat memetik
hasil-red)”.
Kabar-kabar gembira tersebut tidak
ditutup-tutupi dan terselubung akan tetapi dipublikasikan secara terbuka
dan diketahui baik oleh orang-orang kafir maupun kaum Muslimin.
Indikasinya, al-Aswad bin al-Muththalib dan rekan-rekan mengobrolnya saling
mengedip-ngedipkan mata diantara sesama mereka bila melihat para shahabat
Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam melintasi mereka, sembari berkata:
“Raja-raja bumi yang akan mewarisi kekisraan Persia dan kekaisaran Romawi
sudah datang kepada kalian”, kemudian mereka bersiul-siul dan bertepuk
tangan.
Dengan adanya kabar-kabar gembira tentang masa
depan yang akan cemerlang di dunia diselai oleh pengharapan yang tulus dan
sungguh-sungguh akan kemenangan menggapai surga sebagai hasil akhirnya
kelak, para shahabat memandang bahwa penindasan yang beraneka ragam dan
silih berganti dari semua lini tersebut serta musibah-musibah yang
mengepung mereka dari segala penjuru hanyalah sebagai ‘gumpalan awan musim
panas yang dalam sekejap akan sirna’.
Demikianlah, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam senantiasa menyuguhkan santapan rohani kepada mereka dengan
rangsangan keimanan; menyucikan jiwa mereka dengan mengajarkan al-Hikmah
(hadits) dan al-Qur’an; mendidik mereka dengan pendidikan yang detail dan
mendalam; mendorong jiwa mereka agar menduduki keluhuran ruh, kemurnian
hati, kebersihan budi pekerti, keterbebasan dari pengaruh materilistik,
pembendungan terhadap hawa nafsu serta kembali kepada Rabb bumi dan langit;
mengasah bara di hati mereka; mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju
nur; mengajak mereka bersabar terhadap semua gangguan, memiliki sifat
pema’af serta menundukkan jiwa. Dengan gamblengan semacam itu, mereka
menjadi bertambah kokoh di dalam agama, menjauhkan diri dari hawa nafsu,
siap mengorbankan jiwa di jalan yang diridlai oleh-Nya, merindukan surga,
berkemauan kuat untuk menuntut ilmu dan memahami agama, mengintrospeksi
jiwa dan menundukkan sentimen-sentimen yang tumbuh, mengalahkan
perasaan-perasaan dan gejolak-gejolak jiwa serta selalu mengikat diri
dengan kesabaran, kedamaian dan ketenangan.
|
|