Syaikh Fariduddin Attar
Penyair Sufi Yang Melegenda
Bait demi bait puisi sufistik yang dirangkainya
begitu melegenda. Sosok dan karya sastra yang ditorehkannya telah menjadi
inspirasi bagi para pujangga di tanah Persia, salah satunya penyair
termashur sekelas Mawlana Jalaluddin Rumi. Penyair sufi legendaris yang
masih berpengaruh hingga abad ke-21 itu dikenal dengan nama pena Fariduddin
Attar, si penyebar wangi yang dalam bahasa Persia disebut Attar.
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Abu Bakar
Ibrahim. Jejak hidupnya tak terlalu banyak terungkap. Syahdan, Attar
terlahir di Nishapur, sebelah barat laut Persia. Ia dijuluki dengan nama
Attar lantaran profesinya sebagai seorang ahli farmasi. Attar adalah
seorang anak ahli farmasi di kota Nishapur yang terbilang cukup kaya.
Attar muda menimba ilmu kedokteran, bahasa Arab
dan teosofi di sebuah madrasah (perguruan tinggi) yang terletak di sekitar
tempat suci Imam Reza di Mashhad. Menurut catatan yang tertera pada buku
yang ditulisnya Mosibat Nameh (Buku Penderitaan), pada saat remaja dia
bekerja di toko obat atau apotek milik sang ayah. Attar bertugas untuk
meracik obat dan mengurus pasien.
Ia lalu mewarisi toko obat itu, setelah sang
ayah wafat. Setiap hari Attar harus berhadapan dan melayani pasien yang
berasal dari kaum tak berpunya. Suatu hari seorang fakir berpakaian jubah
singgah ke apoteknya. Konon, si fakir itu lalu menangis begitu menghirup
aroma wewangian yang menebar di apotek milik Attar.
Menduga si fakir akan meminta-minta, Attar pun
mencoba mengusirnya. Namun, si fakir berkukuh tak mau pergi dari tempat
usaha Attar. Lalu si fakir berkata pada Attar, ''Tak sulit bagiku untuk
meninggalkan apotekmu ini dan mengucapkan selamat tinggal kepada dunia yang
bobrok ini. Yang melekat di badanku hanyalah jubah yang lusuh ini. Aku
justru merasa kasihan kepadamu, bagaimana kamu meninggalkan dunia ini
dengan harta yang kamu miliki.''
Sesaat setelah melontarkan kata-kata yang
menghunjam di hati Attar, si fakir itu lalu meninggal dunia di depan kios
obat. Pertemuannya dengan si fakir kemudian mengubah garis kehidupannya. Ia
memutuskan menutup kios obatnya dan memilih berkelana mencari guru sufi.
Yang dicarinya hanya satu, yakni hakikat kehidupan.
Layaknya si fakir yang singgah di toko obatnya,
Attar berkelana dari satu negeri ke negeri lainnya untuk bertemu dengan
syaikh - pemimpin tarekat sufi. Beberapa negeri yang disinggahinya antara
lain, Ray, Kufah, Makkah, Damaskus, Turkistan, hingga India. Di setiap
syaikh yang ditemuinya, Attar mempelajari tarekat dan menjalani kehidupan
di khaniqah (tempat berkumpul untuk latihan dan praktek spiritual).
Setelah menemukan hakikat hidup yang dicarinya
melalui sebuah perjalanan panjang, Attar memutuskan kembali ke kota
kelahirannya Nishapur dan membuka kembali toko obat yang sempat ditutupnya.
Pengalaman pencarian makna dan hakikat hidup yang dilakoninya itu
dituangkan dalam Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung). Sebuah karya yang
fenomenal.
Di kota kelahirannya, Attar berupaya untuk
menyebarkan ajaran sufi. Ia pun memberi sumbangan yang amat besar pada
dunia sufi dengan menuliskan kumpulan kisah para sufi sebelumnya dalam
kitab Tadzkiratul Awliya. Karya yang ditulisnya itu sedikit banyak telah
mempengaruhi pemikiran Attar. Ia pun getol menulis puisi-puisi sufi. Begitu
banyak puisi yang berhasil dituliskan sang penyair sufi legendaris itu.
Namun, ada beragam versi mengenai jumlah pasti puisi yang dibuat sang
penyair. Reza Gholikan Hedayat, misalnya, menyebutkan jumlah buku puisi
yang dihasilkan Attar mencapai 190 dan berisi 100 ribu sajak dua baris
(distich). Sedangkan Firdowsi Shahname menyebutkan jumlah puisi yang
ditulis Attar mencapai 60 ribu bait.
Ada pula sumber yang menyebutkan jumlah buku
puisi yang ditulis Attar mencapai 114 atau sama dengan jumlah surat dalam
Al Qur'an. Namun, studi yang lebih realistis memperkirakan puisi yang
ditulis Attar mencapai sembilan sampai 12 volume. Secara umum, karya-karya
Attar dapat dibagi ke dalam tiga kategori.
Pertama, puisi yang ditulisnya lebih bernuansa tasawuf
atau sufistik yang menggambarkan keseimbangan yang sempurna. Kategori
pertama ini dikemas dengan seni cerita bertutur. Kedua, puisi-puisi yang
ditulisnya bertujuan untuk menyangkal kegiatan pantheisme. Ketiga,
puisi-puisi yang berisi sanjungan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib kw.
Salah satu karya yang utama dari Attar berjudul
Asrar Nameh (Kitab Rahasia). Karya lainnya yang terkenal dari Attar adalah
Elahi Nameh tentang zuhud dan pertapaan. Kitab Asrar Nameh itu konon
dihadiahkan kepada Mawlana Jalaluddin Rumi ketika keluarganya tinggal di
Nishapur dalam sebuah perjalanan menuju Konya.
Dalam pertemuan dengan Rumi yang saat itu masih
kecil, Attar meramalkan bahwa Rumi akan menjadi seorang tokoh besar dan
terkenal. Ramalan itu ternyata benar-benar terbukti. Attar meninggal dunia
di usianya yang ke-70 tahun. Ia ditawan dan kemudian di eksekusi oleh
pasukan Tentara Mongol yang melakukan invasi ke wilayah Nishapur pada 1221
M. Kisah kematian seorang Attar bercampur antara legenda dan spekulasi.
Menurut sebuah cerita, Attar dipenjara oleh
tentara Mongol. Lalu seseorang datang dan mencoba menebusnya dengan ribuan
batang perak. Namun, Attar menyarankan agar Mongol tak melepaskannya.
Tentara Mongol mengira penolakan itu dilakukan agar tebusan yang diberikan
lebih besar. Setelah itu datang lagi orang lain yang membawa sekarung
jerami untuk menebus Attar. Kali ini Attar meminta agar Mongol
melepaskannya. Tentara Mongol pun marah besar dan lalu memotong kepala
Attar.
Attar dimakamkan di Shadyakh. Makamnya yang
megah dibangun Ali-Shir Nava'i pada abad ke-16. Sosok Attar hingga kini
masih tenar dan populer di Iran. Tak heran, bila makamnya banyak dikunjungi
para peziarah.
|
Syaikh Abu Abbas al-Mursi
Khalifah Besar Syadziliyah
Wali Qutb kita ini adalah al-Imam Syihabuddin
Abu al-Abbas, Ahmad bin Umar al-Anshori, al-Mursi ra. sebagian ahli sejarah
ada yang mengatakan bahwa nasab beliau sampai pada sahabat Sa'ad bin Ubadah
ra, pemimpin suku Khazraj. Al-Mursi dilahirkan tahun 616 H (1219 M) di kota
Marsiyyah, salah satu kota di Andalus Spanyol. Al-Mursi melewatkan masa
kecilnya yang penuh berkah di tanah kelahirannya itu. Lazimnya seorang alim
dan pendidik, ayahnya mengirim al-Mursi kecil kepada salah satu waliyullah
untuk membimbing menghafal Al Qur'an dan mengajarinya ilmu-ilmu agama.
Secepat kilat terlihat kehebatan dan kecerdasannya.
Lebih dari itu ia yang masih sekecil itu telah
memperoleh anugrah Allah berupa cahaya ilahi yang merasuk dalam kalbunya.
Suatu ketika al-Mursi bercerita: "Ketika aku masih usia kanak-kanak
aku mengaji pada seorang guru. Aku menorehkan coretan pada papan. Lalu guru
tadi mengatakan: "Seorang Sufi tidak pantas menghitamkan yang
putih." Seketika aku menjawab: "permasalahannya bukan seperti
yang Tuan sangka. Tapi yang benar adalah seorang Sufi tidak pantas
menghitamkan putihnya lembaran hidup dengan noda dan dosa."
Al-Mursi kecil juga mengatakan: "Ketika aku
masih kanak-kanak, di sebelah rumahku ada tukang penguak rahasia (peramal)
lalu aku mendekatinya. Besoknya aku datang ke guruku yang termasuk
waliyullah. Maka guruku itu mengatakan padaku satu syair: "Wahai orang
yang melihat peramal sembari terkesima. Dia sendiri sebetulnya peramal,
kalau dia merasa.
Al-Mursi meneruskan hidupnya pada jalan cahaya
ilahi sampai menginjak dewasa. Semakin hari semakin tambah ketakwaan dan
keimanannya. Ayahnya melihatnya sebagai kebanggaan tersendiri. Maka dia
dipercaya oleh ayahnya untuk mengelola perdagangannya bersama saudaranya
Muhammad Jalaluddin. Dengan begitu, ia telah mengikuti jejak orang-orang
saleh dalam hal menggabungkan antara ibadah dan mencari rizqi. Demi menjaga
amanat ini ia rela berpindah-pindah tempat dari kota Marsiyah ke kota
lainnya untuk berniaga, sambil hatinya berdetak mengingat Allah SWT.
Pada tahun 640 H kedua orang tuanya bersama
seluruh keluarga berkeinginan menunaikan ibadah haji. Tapi sayang, takdir
berbicara lain. Sesampainya di pesisir Barnih, kapal mereka terkena
gelombang. Banyak penumpang kapal yang meninggal termasuk kedua orang
tuanya. Singkat cerita al-Mursi muda dan saudaranya melanjutkan
perjalanannya ke Tunis untuk berdagang, meneruskan usaha ayahnya.
Al-Mursi menceritakan perjumpaannya dengan
Syaikh Abu Hasan as-Syadzili sebagai berikut: "Ketika aku tiba di
Tunis, waktu itu aku masih muda, aku mendengar akan kebesaran Syaikh Abu
Hasan. Lalu ada seseorang yang mengajakku menghadap beliau. Maka aku jawab:
"Aku mau beristikharah dulu!" Setelah itu aku tertidur dan
bermimpi melihat seorang lelaki yang mengenakan jubah (Burnus) hijau sambil
duduk bersila. Di samping kanannya ada seorang laki-laki begitu juga di
samping kirinya. Aku memandangi lelaki nan berwibawa itu. Sejurus kemudian
lelaki itu berkata: "Aku telah menemukan penggantiku sekarang"!
Di saat itulah aku terbangun.
Selesai menunaikan sholat subuh, seseorang yang
mengajakku mengunjungi Syaikh Abu Hasan datang lagi. Maka kami berdua pergi
ke kediaman Syaikh Abu Hasan as-Syadzili. Aku heran begitu melihatnya.
Syaikh yang ada di hadapanku inilah yang aku lihat dalam mimpi. Dan keherananku
semakin menjadi ketika Syaikh Abu Hasan berkata padaku: "Telah aku
temukan penggantiku sekarang." Persis seperti dalam mimpiku.
Selanjutnya beliau bilang: "Siapa namamu?" Lalu aku sebutkan
namaku. Dengan tenang dan penuh kewibawaan beliau berujar: "Engkau
telah ditunjukkan padaku semenjak 20 tahun yang lalu!".
Semenjak kejadian itu al-Mursi terus mendapatkan
wejangan-wejangan dari gurunya Syaikh Abu Hasan ini. Mereka berdua
membangun pondok (zawiyah) Zaghwan di daerah Tunis, di mana as-Syadzili menyebarkan
ilmu kepada murid-muridnya yang beraneka ragam latar belakang dan
profesinya. Ada dari kalangan ulama', pedagang juga orang awam.
Syaikh as-Syadzili sebetulnya sudah lama
meninggalkan Tunis. Ia pergi ke Iskandariyah kemudian ke Mekkah. Kembalinya
ke Tunis lagi ini membuat orang bertanya-tanya. Dalam hal ini dia menjawab:
"Yang membuatku kembali lagi ke Tunis tidak lain adalah laki-laki muda
ini (maksudnya Abu 'Abbas al-Mursi)". Setelah itu Syaikh as-Syadzili
kembali lagi ke Iskandariyah, karena ada perintah dari Nabi Muhammad Saw
dalam mimpinya.
Ada cerita dari al-Mursi tentang perjalanan ke
Iskandariyah ini: "Ketika aku menemani Syaikh dalam perjalanan menuju
ke Iskandariyah, aku merasa sangat susah sehingga aku tidak mampu
menanggungnya. Lalu aku menghadap Syaikh. Ketika beliau melihat
penderitaanku ini, beliau berkata: "Hai Ahmad...!", aku menjawab:
"Iya Tuanku", Beliau berkata: "Allah telah menciptakan Adam
as dengan tangan-Nya, dan memerintahkan malaikat-Nya untuk bersujud
padanya. Allah kemudian menempatkannya di dalam surga, lalu menurunkannya
ke bumi. Demi Allah... Allah tidak menurunkannya ke bumi untuk mengurangi
derajatnya, tapi justru untuk menyempurnakannya. Allah telah menggariskan
penurunannya ke bumi sebelum Dia menciptakannya, sebagaimana firmannya:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi".. (QS. 2:30). Allah tidak mengatakan di langit atau di surga.
Maka turunnya Adam ke bumi adalah untuk memuliakannya bukan untuk
merendahkannya, karena Adam menyembah Allah di surga dengan di beri tahu
(Ta'rif) lalu diturunkan ke bumi supaya beribadah pada Allah dengan
kewajiban (Taklif), ketika dia telah mendapatkan kedua ibadah tadi, maka
pantaslah dia menyandang gelar pengganti (Khalifah). Engkau ini juga punya
kemiripan dengan Adam. Mula-mula kamu ada di langit ruh, di surga
pemberitahuan (Ta'rif) lalu engkau diturunkan ke bumi nafsu supaya engkau
menyembah dengan kewajiban (Taklif). Ketika engkau telah sempurna dalam
kedua ibadah itu pantaslah engkau menyandang gelar pengganti
(Khalifah)".
Begitulah Syaikh As-Syadzili mengantarkan
Al-Mursi menuju ke jalan Allah demi memenuhi hatinya dengan rahasia
ilahiyah supaya kelak bisa menggantikannya, bahkan bisa dikatakan supaya
dia jadi Syaikh Abu Hasan itu sendiri. Sebagaimana Syaikh as-Syadzili
sendiri pernah mengatakan: "Wahai Abu Abbas... demi Allah, aku tidak
mengangkatmu sebagai teman kecuali supaya kamu itu adalah aku, dan aku
adalah kamu. Wahai Abu Abbas.. demi Allah, apa yang ada dalam diri para
wali itu ada dalam dirimu, tapi yang ada pada dirimu itu tidak ada dalam
diri para wali lainnya."
Persatuan antara keduanya ini di jelaskan oleh
Syaikh Ibnu Atha'illah as-Sakandari: "Suatu ketika Syaikh as-Syadzili
ada di rumah Zaki as-Sarroj, sedang mengajar kitab al-Mawaqif karangan
al-Nafari, lalu beliau bertanya: "Kemana Abu Abbas?" Ketika
Syaikh al-Mursi datang, beliau berkata: "Wahai anakku... bicaralah!
Semoga Allah memberkahimu... bicaralah! jangan diam", maka Syaikh Abu
Abbas mengatakan: "Lalu aku di beri lidah Syaikh mulai saat itu."
Pada banyak kesempatan Syaikh as-Syadzili memuji
ketinggian kedudukan Syaikh al-Mursi, beliau mengatakan: "Inilah Abu
Abbas, semenjak dia sampai pada makrifatullah tidak ada halangan antara
dirinya dan Allah SWT. Kalau saja dia meminta untuk ditutupi, pasti
permintaan itu tidak akan dikabulkan.
Ketika ada perselisihan antara Syaikh al-Mursi
dengan Syaikh Zakiyyuddin al-Aswani, Syaikh as-Syadzili bekata: "Wahai
Zaki... berpeganglah pada Abu Abbas, karena demi Allah, semua wali telah
ditunjukkan oleh Allah akan diri Abu Abbas ini. Hai Zaki... Abu Abbas itu
seorang laki-laki yang sempurna."
Hal yang sama juga terjadi ketika ada
perselisihan antara Syaikh al-Mursi dengan Nadli bin Sulton. Syaikh
as-Syadzili mengatakan: "Wahai Nadli... tetaplah bersopan santun pada
Abu Abbas! Demi Allah, dia itu lebih tahu lorong-lorong langit, dibanding
pengetahuanmu akan lorong-lorong kota Iskandariyah!" Syaikh
as-Syadzili juga mengatakan: "Kalau aku mati, maka ambillah al-Mursi,
karena dia adalah penggantiku, dia akan mempunyai kedudukan tinggi di
hadapan kalian, dan dia adalah salah satu pintu Allah."
Imam Sya'rani menceritakan bahwa suatu ketika
ada seseorang yang mengingkari keilmuan Syaikh al-Mursi. Orang tersebut
mengatakan: "Berbicara tentang ilmu yang ada itu hanya ilmu lahir,
tetapi mereka, orang-orang sufi itu mengaku mengetahui hal-hal yang
diingkari oleh syara'". Di kesempatan yang lain orang ini menghadiri
majlis Syaikh al-Mursi. Tiba-tiba dia jadi bingung hilang kepintarannya.
Seketika itu juga ia tidak mengingkari adanya ilmu batin. Dengan sadar dan
penuh sesal ia berkata: "Laki-laki ini sungguh telah mengambil lautan
ilmu Tuhan dan tangan Tuhan." Akhirnya dia menjadi salah satu murid
dekat al-Mursi. Syaikh Abu Abbas mengatakan : "Kami orang-orang sufi
mengkaji dan mendalami bersama ulama' fiqih bidang spesialisasi mereka,
tapi mereka tidak pernah masuk dalam bidang spesialisasi kami."
Rupanya kealiman al-Mursi tidak terbatas pada
ilmu fiqih dan tasawuf. Syaikh Ibnu Atha'illah menceritakan dari Syaikh
Najmuddin al-Asfahani: "Syaikh Abu Abbas berkata padaku: "Apa
namanya ini dan itu dalam bahasa asing?" Tersirat dalam hatiku bahwa
Syaikh ingin mengetahui bahasa ajam maka aku ambilkan kamus terjemah.
Beliau bertanya: " Kitab apa ini?", Aku jawab: "Ini kitab
kamusnya." Lalu Syaikh tersenyum dan berkata: "Tanyakan padaku
apa saja, terserah kamu, nanti aku jawab dengan bahasa arab, atau
sebaliknya." Lalu aku bertanya dengan bahasa asing dan beliau menjawab
dengan memakai bahasa Arab. Kemudian aku bertanya dengan bahasa Arab,
beliau menjawab dengan bahasa asing. Beliau berkata: " Wahai
Abdullah... ketika aku bertanya seperti itu tidak lain adalah sekedar
basa-basi bukan bertanya sesungguhnya. Bagi wali tidak ada yang sulit,
bahasa apapun itu."
Dalam penafsiran ayat "Hanya Engkaulah yang
kami sembah dan hanya kepada-Mu lah kami mohon pertolongan." (QS.
1:5), al-Mursi menafsiri sebagai berikut, "Hanya Engkaulah yang kami
sembah maksudnya adalah Syari'ah, dan hanya kepada-Mulah kami memohon adalah
Haqiqah. Hanya Engkaulah yang kami sembah adalah Islam, dan hanya kepada-Mu
lah kami mohon pertolongan adalah Ihsan. Hanya Engkaulah yang kami sembah
adalah Ibadah, dan hanya kepada-Mu lah kami mohon pertolongan adalah
Ubudiyyah. Hanya Engkaulah yang kami sembah adalah Farq, dan hanya
kepada-Mu lah kami mohon pertolongan adalah Jam'.
Kedekatannya dengan Allah menyebabkan ia banyak
mempunyai karomah, di antaranya:
Al-Mursi telah mengabarkan siapa penggantinya
setelah ia meninggal. Orang itu adalah Syaikh Yaqut al-Arsyi yang lahir di
negeri Habasyah. Suatu ketika ia meminta murid-muridnya agar membuat
A'sidah (sejenis makanan). Iskandariyah pada saat itu tengah musim panas.
Karena heran ada seseorang yang bertanya: "Bukankah A'sidah itu untuk
musim dingin?". Dengan tenang al-Mursi menjawab: "A'sidah ini
untuk saudara kalian Yaqut orang Habasyah. Dia akan datang kesini."
Ada seseorang yang datang menghadap al-Mursi
dengan membawa makanan syubhah (tidak jelas halal-haramnya) untuk
mengujinya. Begitu melihat makanan itu al-Mursi langsung mengembalikannya
pada orang tersebut sambil berkata: "Kalau al-Muhasibi hendak
mengambil makanan syubhah, otot tangannya bergetar, maka 60 otot tanganku
akan bergetar."
Pada suatu masa perang, penduduk Iskandariyah
semua mengangkat senjata untuk berjaga-jaga menghadapi serangan musuh. Demi
melihat hal ini, Syaikh al-Mursi mengatakan: " Selama aku ada di
tengah-tengah kalian, maka musuh tidak akan masuk." Dan memang musuh
tidak masuk ke Iskandariyah sampai Syaikh Abu Abbas al-Mursi meninggal
dunia.
|
Mawlana Jalaluddin ar-Rumi
Guru Kaum Darwis
Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi juga
seorang tokoh sufi yang berpengaruh di zamannya. Rumi adalah guru nomor
satu Tarekat Maulawiyah, sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan
berkembang di daerah sekitarnya. Tarekat Maulawiyah pernah berpengaruh
besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman sekitar
tahun l648.
Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang
pendewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Di zamannya, ummat
Islam memang sedang dilanda penyakit itu. Bagi mereka, kebenaran baru
dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang
tidak dapat diraba oleh indera dan akal, dengan cepat mereka ingkari dan
tidak diakui.
Padahal menurut Rumi, justru pemikiran semacam
itulah yang dapat melemahkan Iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan karena
pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakekat yang
tidak kasat mata, yang diajarkan berbagai syari'at dan beragam agama
samawi, bisa menjadi goyah. Rumi mengatakan, “Orientasi kepada indera dalam
menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan yang dipelopori kelompok
Mu’tazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca
indera. Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal,
sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada indera-indera,
dan tidak mau pula memanjakannya.”
Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya
karena tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah meraba
dengan indera. Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang
lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat. “Padahal,
yang lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang
tersembunyi di balik dirinya. Bukankah Anda mengenal obat yang bermanfaat?
Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?” tegas Rumi.
PENGARUH SYAIKH TABRIZ
Syaikh Fariduddin Attar, salah seorang ulama dan
tokoh sufi, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah
meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah
kemudian mencatat, ramalan Syaikh Fariduddin Attar itu tidak meleset. Rumi,
Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207. Mawlana Rumi
menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi
al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan
di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).
Ayahnya, Baha'uddin Walad Muhammad bin Husein,
adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan
tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama. Namun
rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan mereka
pun melancarkan fitnah dan mengadukan Baha'uddin ke penguasa. Celakanya,
sang penguasa terpengaruh hingga Baha'uddin harus meninggalkan Balkh,
termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru berusia lima tahun.
Sejak itu Baha'uddin bersama keluarganya hidup
berpindah-pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di
Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya
(Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja
Konya - Ala'uddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan
juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan
di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia
24 tahun.
Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru
kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya
memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran
gurunya itu. Beliau baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar di
perguruan tersebut. Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai
guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai
guru, beliau juga menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu banyak
tokoh ulama yang berkumpul di Konya. Tak heran jika Konya kemudian menjadi
pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia.
Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika
beliau sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang
ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang.
Sebagaimana seorang ulama, beliau juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya
untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh
derajat ketika beliau berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin
alias Syamsi dari kota Tabriz. Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar
di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya.
Tiba-tiba seorang lelaki asing - yakni Syaikh
Syamsi Tabriz - ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan
ilmu?” Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan
itu jitu dan tepat pada sasarannya. Beliau tidak mampu menjawab. Akhirnya
Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, beliau mulai
kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Sultan Salad, putera Rumi,
mengomentari perilaku ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru besar
tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus
menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi
itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan
ilmu yang tiada taranya.”
Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya
dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi
dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga
beliau menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung
gurunya itu, beliau tulis syair-syair, yang himpunannya kemudian dikenal
dengan nama Divan Syams Tabriz. Beliau bukukan pula wejangan-wejangan
gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat Syams Tabriz. Rumi
kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syaikh Hisamuddin
Hasan bin Muhammad.
Atas dorongan sahabatnya itu, selama 15 tahun
terakhir masa hidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair yang
besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi. Buku ini terdiri dari enam
jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat
ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi,
fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain.
Bahkan Masnavi sering disebut Qur’an Persia.
Karya tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat baris dengan jumlah
1600 bait), Fiihi Maa Fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan
ceramahnya tentang metafisika), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya
kepada sahabat atau pengikutnya). Bersama Syaikh Hisamuddin pula, Rumi
mengembangkan Tarekat Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat
dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para Darwis yang berputar).
Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian
berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka
untuk mencapai ekstase.
WAFATNYA MAWLANA RUMI
Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya.
Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda
kecemasan, karena mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, tengah
menderita sakit keras. Meskipun demikian, pikiran Rumi masih menampakkan
kejernihannya. Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo’akan, “Semoga
Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan.” Rumi sempat
menyahut, “Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan
bermakna baik. Tapi kematian ada juga yang kafir dan pahit.”
Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17
Desember 1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke Rahmatullah. Tatkala
jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desakan ingin
mengantarkan kepulangannya. Malam wafatnya beliau dikenal sebagai Sebul
Arus (Malam Penyatuan). Sampai sekarang para pengikut Tarekat Maulawiyah
masih memperingati tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau.
|
Dzun Nun al-Mishri
Beliau adalah seorang sufi agung yang memberikan
kontribusi besar terhadap dunia pemahaman dan pengamalan hidup dan
kehidupan secara mendalam antara makhluk dengan Sang Pencipta, makhluk dan
sesama ini mempunyai nama lengkap al-Imam al-A'rif al-Sufy al-Wasil Abu
al-Faidl Tsauban bin Ibrahim, dan terkenal dengan Dzun Nun al-Mishri.
Kendati demikian, besar nama yang disandangnya namun tidak ada catatan
sejarah tentang kapan kelahirannya.
Waliyullah yang dibanggakan oleh Mesir ini
berasal dari Nubay (satu suku di selatan Mesir) kemudian menetap di kota
Akhmin (sebuah kota di propinsi Suhaj). Kota Akhmin ini rupanya bukan
tempat tinggal terakhirnya. Sebagaimana lazimnya para sufi, ia selalu
menjelajahi bumi mensyi'arkan agama Allah mencari jati diri, menggapai
cinta dan ma'rifatullah yang hakiki.
Suatu ketika dalam perjalanan yang dilalui
kekasih Allah ini, ia mendengar suara genderang berima rancak di iringi
nyanyi-nyanyian dan siulan khas acara pesta. Karena ingin tahu apa yang
terjadi ia bertanya pada orang di sampingnya: "Ada apa ini?"
Orang tersebut menjawab: "Itu sebuah pesta perkawinan. Mereka
merayakannya dengan nyanyi-nyanyian dan tari-tarian yang diiringi
musik." Tidak jauh dari situ terdengar suara memilu seperti ratapan
dan jeritan orang yang sedang dirundung duka. "Fenomena apa lagi ini?"
begitu pikir sang wali. Ia pun bertanya pada orang tadi. Dengan santai
orang tersebut menjawab: "Oh ya, itu jeritan orang yang salah satu
anggota keluarganya meninggal. Mereka biasa meratapinya dengan jeritan yang
memekakkan telinga." Di sana ada suka yang dimeriahkan dengan warna
yang tiada tara. Di sini ada duka yang diratapi habis tak bersisa. Dengan
suara lirih, ia mengadu: "Ya Allah.. aku tidak mampu mengatasi ini.
Aku tidak sanggup berlama-lama tinggal di sini. Mereka diberi anugerah
tidak pandai bersyukur. Di sisi lain mereka diberi cobaan tapi tidak
bersabar." Dan dengan hati yang pedih ia tinggalkan kota itu menuju ke
Mesir (sekarang Kairo).
Banyak cara kalau Allah berkehendak menjadikan
hambanya menjadi kekasih-Nya. Kadang berliku penuh onak dan duri. Kadang
lurus bak jalan bebas hambatan. Kadang melewati genangan lumpur dan limbah
dosa. Tak dikecualikan apa yang terjadi pada Dzun Nun al-Mishri. Bukan wali
yang mengajaknya ke dunia tasawuf. Bukan pula seorang alim yang mewejangnya
mencebur ke alam hakikat. Tapi seekor burung lemah tiada daya. Pengarang
kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah bercerita bahwa Salim al-Maghribi
menghadap Dzun Nun al-Mishri dan bertanya: "Wahai Abu al-Faidl!"
begitu ia memanggil demi menghormatinya. "Apa yang menyebabkan Tuan
bertaubat dan menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah SWT?".
"Sesuatu yang menakjubkan, dan aku kira kamu tidak akan mampu."
Begitu jawab Dzun Nun al-Mishri seperti sedang berteka-teki. Al-Maghribi
semakin penasaran: "Demi Dzat yang engkau sembah, ceritakan
padaku." Lalu Dzun Nun al-Mishri berkata: "Suatu ketika aku
hendak keluar dari Mesir menuju salah satu desa lalu aku tertidur di padang
pasir. Ketika aku membuka mata, aku melihat ada seekor anak burung yang
buta jatuh dari sangkarnya. Coba bayangkan, apa yang bisa dilakukan burung
itu. Dia terpisah dari induk dan saudaranya. Dia buta tidak mungkin terbang
apalagi mencari sebutir biji. Tiba-tiba bumi terbelah. Perlahan-lahan dari
dalam muncul dua mangkuk, yang satu dari emas satunya lagi dari perak. Satu
mangkuk berisi biji-bijian simsim, dan yang satunya lagi berisi air. Dari
situ dia bisa makan dan minum dengan puas. Tiba-tiba ada kekuatan besar
yang mendorongku untuk bertekad: "Cukup... aku sekarang bertaubat dan
total menyerahkan diri pada Allah SWT. Aku pun terus bersimpuh di depan
pintu taubat-Nya, sampai Dia Yang Maha Asih berkenan menerimaku."
Ketika si kaya tak juga kenyang dengan
bertumpuknya harta. Ketika politisi tak jua puas dengan indahnya kursi.
Maka kaum sufi pun selalu haus dengan kedekatan lebih dekat dengan Sang
Kekasih sejati. Selalu ada kenyamanan yang berbeda. Selalu ada kebahagiaan
yang tak sama. Maka demikianlah, Dzun Nun al-Mishri tidak puas dengan
hikmah yang ia dapatkan dari burung kecil tak berdaya itu. Baginya semuanya
adalah media hikmah. Batu, tumbuhan, wejangan para wali, hardikan pendosa,
jeritan kemiskinan, rintihan orang hina semua adalah hikmah. Suatu malam,
tatkala Dzun Nun bersiap-siap menuju tempat untuk bermunajat ia berpapasan
dengan seorang laki-laki yang nampaknya baru saja mengarungi samudera
kegundahan menuju ke tepi pantai kesesatan. Dalam senyap laki-laki itu
berdoa: "Ya Allah.. Engkau mengetahui bahwa aku tahu ber-istighfar
dari dosa tapi tetap melakukannya adalah dicerca. Sungguh aku telah
meninggalkan istighfar, sementara aku tahu kelapangan rahmat-Mu. Tuhanku...
Engkaulah yang memberi keistimewaan pada hamba-hamba pilihan-Mu dengan
kesucian ikhlas. Engkaulah Dzat yang menjaga dan menyelamatkan hati para
auliya' dari datangnya kebimbangan. Engkaulah yang menentramkan para wali,
Engkau berikan kepada mereka kecukupan dengan adanya seseorang yang
bertawakkal. Engkau jaga mereka dalam pembaringan mereka, Engkau mengetahui
rahasia hati mereka. Rahasiaku telah terkuak di hadapan-Mu. Aku di
hadapan-Mu adalah orang lara tiada asa."
Dengan khusyu' Dzun Nun menyimak kata demi kata
rintihan orang tersebut. Ketika dia kembali memasang telinga untuk
mengambil hikmah di balik ratapan lelaki itu, suara itu perlahan menghilang
sampai akhirnya hilang sama sekali di telan gulitanya malam namun
menyisakan goresan yang mendalam di hati sang wali ini. Di saat yang lain
ia bercerita pernah mendengar seorang ahli hikmah di lereng gunung
Muqottom. "Aku harus menemuinya." begitu ia bertekad kemudian.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan ia pun bisa menemukan
kediaman lelaki misterius itu. Selama 40 hari mereka bersama, merenungi
hidup dan kehidupan, memaknai ibadah yang berkualitas dan saling tukar
pengetahuan. Suatu ketika Dzun Nun bertanya: "Apakah keselamatan itu?"
Orang tersebut menjawab: "Keselamatan ada dalam ketakwaan dan
Muraqabah (mengevaluasi diri)." "Selain itu ?" pinta Dzun
Nun seperti kurang puas. "Menyingkirlah dari makhluk dan jangan merasa
tentram bersama mereka!" "Selain itu?" pinta Dzun Nun lagi.
"Ketahuilah Allah mempunyai hamba-hamba yang mencintai-Nya. Maka Allah
memberikan segelas minuman kecintaan. Mereka itu adalah orang-orang yang
merasa dahaga ketika minum, dan merasa segar ketika sedang haus." Lalu
orang tersebut meninggalkan Dzun Nun al-Mishri dalam kedahagaan yang selalu
mencari kesegaran cinta Ilahi.
Betapa indahnya ketika ilmu berhiaskan tasawuf.
Betapa mahalnya ketika tasawuf berlandaskan ilmu. Dan betapa agungnya Dzun
Nun al-Mishri yang dalam dirinya tertata apik kedalaman ilmu dan keindahan tasawuf.
Nalar siapa yang mampu membantah hujjahnya. Hati mana yang mampu berpaling
dari untaian mutiara hikmahnya. Dialah orang Mesir pertama yang berbicara
tentang urutan-urutan Ahwal dan Maqamat para wali Allah. Maslamah bin Qasim
mengatakan: "Dzun Nun al-Mishri adalah seorang yang alim, zuhud wara',
mampu memberikan fatwa dalam berbagai disiplin ilmu. Beliau termasuk perawi
Hadits." Hal senada diungkapkan Al-Hafidz Abu Nu'aim dalam Hilyah-nya
dan al-Dzahabi dalam Tarikh-nya bahwasannya Dzun Nun telah meriwayatkan
hadits dari Imam Malik, Imam Laits, Ibnu Luha'iah, Fudail ibnu Iyadl, Ibnu
Uyainah, Muslim al-Khawwas dan lain-lain. Adapun orang yang meriwayatkan
hadits dari beliau adalah Hasan bin Mus'ab an-Nakha'i, Ahmad bin Sobah
al-Fayyumy, at-Tha'i dan lain-lain. Imam Abu Abdurrahman as-Sulami
menyebutkan dalam Tobaqoh-nya bahwa Dzun Nun telah meriwayatkan hadits
Rasulullah Saw dari Ibnu Umar yang berbunyi: "Dunia adalah penjara
orang mu'min dan surga bagi orang kafir."
Di samping mahir dalam ilmu-ilmu Syara', sufi
Mesir ini terkenal dengan ilmu lain yang tidak digoreskan dalam lembaran
kertas, dan datangnya tanpa sebab. Ilmu itu adalah ilmu Ladunni yang oleh
Allah hanya khusus diberikan pada kekasih-kekasih-Nya saja. Karena demikian
tinggi dan luasnya ilmu sang wali ini, suatu ketika ia memaparkan suatu
masalah pada orang di sekitarnya dengan bahasa Isyarat dan Ahwal yang
menawan. Seketika itu para ahli ilmu fiqih dan ilmu 'dzahir' timbul rasa
iri dan dan tidak senang karena Dzun Nun telah berani masuk dalam wilayah
(ilmu fiqih) mereka. Lebih-lebih ternyata Dzun Nun mempunyai kelebihan ilmu
Rabbani yang tidak mereka punyai. Tanpa pikir panjang mereka mengadukannya
pada Khalifah al-Mutawakkil di Baghdad dengan tuduhan sebagai orang zindiq
yang memporak-porandakan syari'at. Dengan tangan dirantai sufi besar ini
dipanggil oleh Khalifah bersama murid-muridnya. "Benarkah engkau ini
zahidnya negeri Mesir?" Tanya khalifah kemudian. "Begitulah
mereka mengatakan." ujar beliau. Salah satu pegawai raja menyela:
"Amir al-Mu'minin senang mendengarkan perkataan orang yang zuhud,
kalau engkau memang zuhud.. ayo bicaralah."
Dzun Nun menundukkan muka sebentar lalu berkata:
"Wahai amiirul mukminin.... Sungguh Allah mempunyai hamba-hamba yang
menyembah-Nya dengan cara yang rahasia, tulus hanya karena-Nya. Kemudian
Allah memuliakan mereka dengan balasan rasa syukur yang tulus pula. Mereka
adalah orang-orang yang buku catatan amal baiknya kosong tanpa diisi oleh
malaikat. Ketika buku tadi sampai ke hadirat Allah SWT, Allah akan mengisinya
dengan rahasia yang diberikan langsung pada mereka. Badan mereka adalah
duniawi, tapi hati mereka adalah samawi......." Dzun Nun meneruskan
mauidzoh-nya sementara air mata Khalifah terus mengalir. Setelah selesai
berceramah, hati Khalifah telah dipenuhi oleh rasa hormat yang mendalam
terhadap Dzun Nun. Dengan wibawa Khalifah berkata pada orang-orang yang
datang menghadiri mahkamah ini : "Kalau mereka ini orang-orang Zindiq,
maka tidak ada seorang muslim pun di muka bumi ini." Sejak saat itu
Khalifah al-Mutawakkil ketika disebutkan padanya orang yang Wara' maka dia
akan menangis dan berkata "Ketika disebut orang yang Wara' maka
marilah kita menyebut Dzun Nun."
Imam Qusyairi dalam kitab Risalah-nya
mengatakan: "Dzun Nun adalah orang yang tinggi dalam ilmu ini
(Tasawuf) dan tidak ada bandingannya. Ia sempurna dalam Wara', Hal, dan
adab." Tak kurang Abu Abdillah Ahmad bin Yahya al-Jalak mengatakan:
"Saya telah menemui 600 guru dan aku tidak menemukan seperti keempat
orang ini : Dzun Nun al-Mishri, ayahku, Abu Turob, dan Abu Abid
al-Basri." Seperti berlomba memujinya, sufi terbesar dan ternama
Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi dalam hal ini mengatakan: "Dzun
Nun telah menjadi Imam, bahkan Imam kita." Pujian dan penghormatan
pada Dzun Nun bukan hanya diungkapkan dengan kata-kata. Imam al-Munawi
dalam Tobaqoh-nya bercerita: "Sahl at-Tustari (salah satu Imam tasawuf
yang besar) dalam beberapa tahun tidak duduk maupun berdiri bersandar pada
mihrab. Ia juga seperti tidak berani berbicara. Suatu ketika ia menangis,
bersandar dan bicara tentang makna-makna yang tinggi dan isyarat yang
menakjubkan. Ketika ditanya tentang ini, ia menjawab: "Dulu waktu Dzun
Nun al-Mishri masih hidup, aku tidak berani berbicara, tidak berani
bersandar pada mihrab karena menghormati beliau. Sekarang beliau telah
wafat, dan seseorang berkata padaku: Berbicaralah!! Engkau telah diberi
izin."
Suatu ketika Dzun Nun ditanya seseorang:
"Dengan apa Tuan mengetahui Tuhan?" "Aku mengetahui Tuhanku
dengan Tuhanku", jawab Dzun Nun. "Kalau tidak ada Tuhanku maka
aku tidak akan tahu Tuhanku." Lebih jauh tentang ma'rifat ia
memaparkan: "Orang yang paling tahu akan Allah adalah yang paling
bingung tentang-Nya." "Ma'rifat bisa didapat dengan tiga cara:
dengan melihat pada sesuatu bagaimana Dia mengaturnya, dengan melihat
keputusan-keputusan-Nya, bagaimana Allah telah memastikannya. Dengan
merenungkan makhluk, bagaimana Allah menjadikannya." Tentang cinta ia
berkata: "Katakan pada orang yang memperlihatkan kecintaannya pada
Allah, katakan supaya ia berhati-hati, jangan sampai merendah pada selain
Allah!. Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah dia tidak punya
kebutuhan pada selain Allah." "Salah satu tanda orang yang cinta
pada Allah adalah mengikuti kekasih Allah, Nabi Muhammad Saw dalam akhlak,
perbuatan, perintah dan sunnah-sunnahnya." "Pangkal dari jalan
(Islam) ini ada pada empat perkara: "cinta pada Yang Agung, benci
kepada yang Fana, mengikuti pada Al Qur'an yang diturunkan, dan takut akan
tergelincir (dalam kesesatan)."
Imam an-Nabhani dalam kitabnya "Jami'
al-Karamat" mengatakan: "Diceritakan dari Ahmad bin Muhammad
as-Sulami: "Suatu ketika aku menghadap pada Dzun Nun, lalu aku melihat
di depan beliau ada mangkuk dari emas dan di sekitarnya ada kayu menyan dan
minyak ambar. Lalu beliau berkata padaku: "Engkau adalah orang yang
biasa datang ke hadapan para raja ketika dalam keadaan bergembira."
Menjelang aku pamit beliau memberiku satu dirham. Dengan izin Allah uang
yang hanya satu dirham itu bisa aku jadikan bekal sampai kota Balkh (kota
di Iran).
Suatu hari Abu Ja'far ada di samping Dzun Nun.
Lalu mereka berbicara tentang ketundukan benda-benda pada wali-wali Allah.
Dzun Nun mengatakan: "Termasuk ketundukan adalah ketika aku mengatakan
pada ranjang tidur ini supaya berjalan di penjuru empat rumah lalu kembali
pada tempat asalnya." Maka ranjang itu berputar pada penjuru rumah dan
kembali ke tempat asalnya.
Imam Abdul Wahhab as-Sya'roni mengatakan:
"Suatu hari ada perempuan yang datang pada Dzun Nun lalu berkata:
"Anakku telah dimangsa buaya." Ketika melihat duka yang mendalam
dari perempuan tadi, Dzun Nun datang ke sungai Nil sambil berkata: "Ya
Allah... keluarkan buaya itu." Lalu keluarlah buaya tersebut, Dzun Nun
membedah perutnya dan mengeluarkan bayi perempuan tadi, dalam keadaan hidup
dan sehat. Kemudian perempuan tadi mengambilnya dan berkata:
"Maafkanlah aku, karena dulu ketika aku melihatmu, aku selalu
merendahkanmu. Sekarang aku bertaubat kepada Allah SWT."
Demikianlah sekelumit kisah perjalanan hidup
waliyullah, sufi besar Dzun Nun al-Mishri yang wafat pada tahun 245 H.
semoga Allah meridlainya.
Syaikh Ibnu Atha'illah as-Sakandari
Pengarang Al-Hikam
Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di
negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim
bin Atho' al-Sakandari al-Judzami al-Maliki as-Syadzili. Ia berasal dari
bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah
Kahlan yang berujung pada Bani Ya'rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal
dengan Arab al-Aa'ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi
besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar.
Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini
dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya
DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai
679 H.
Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu Hasan
as-Syadzili - pendiri Tarekat Syadziliyyah - sebagaimana diceritakan Ibnu
Atho' dalam kitabnya "Lathoiful Minan": "Ayahku bercerita
kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu Hasan as-Syadzili, lalu aku
mendengar beliau mengatakan: "Demi Allah... kalian telah menanyai aku
tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan
jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding." Keluarga Ibnu Atho'
adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur
nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja
sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariyah, seperti al-Faqih
Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariyah pada masa Ibnu Atho'
memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariyah
banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan
ilmu-ilmu bahasa arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawuf
dan para Auliya' Sholihin.
Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu
Atho'illah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya.
Namun kefaqihannya terus berlanjut sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana
membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya. Ibnu Atho'
menceritakan dalam kitabnya "Latho'iful Minan": "Bahwa
kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawuf, tapi mereka sabar
akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho' yaitu Syaikh Abul
Abbas al-Mursi mengatakan: "Kalau anak dari seorang alim fiqih
Iskandariyah (Ibnu Atho'illah) datang ke sini, tolong beritahu aku",
dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: "Malaikat Jibril telah
datang kepada Nabi Saw bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang
quraisy tidak percaya pada Nabi Saw. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami
Nabi Saw dan mengatakan: "Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku
akan timpakan dua gunung pada mereka." Dengan bijak Nabi Saw
mengatakan: "Tidak... aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang
yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka." Begitu juga, kita harus
sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho'illah) demi orang
yang alim fiqih ini."
Pada akhirnya Ibnu Atho' memang lebih terkenal
sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari
didikan yang murni fiqih sampai bisa memadukan fiqih dan tasawuf. Oleh
karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Ibnu Atho'illah
menjadi tiga masa :
Masa pertama
Masa ini dimulai ketika ia tinggal di
Iskandariyah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih,
ushul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariyah. Pada
periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang
mengingkari para ahli tasawuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam
hal ini Ibnu Atho'illah bercerita: "Dulu aku adalah termasuk orang
yang mengingkari Abu Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid
beliau." Pendapat saya waktu itu bahwa yang ada hanya ulama ahli
dzahir, tapi mereka (ahli tasawuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar,
sementara dzahir syari'at menentangnya."
Masa kedua
Masa ini merupakan masa paling penting dalam
kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak
ia bertemu dengan gurunya, Syaikh Abu Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan
berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah
keingkarannya terhadap ulama' tasawuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia
jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil tarekat langsung dari
gurunya ini. Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf
ini. Suatu ketika Ibn Atho' mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan.
Dia bertanya-tanya dalam hatinya : "Apakah semestinya aku membenci
tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abu Abbas
al-Mursi? Setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku
untuk mendekatinya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia
ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan
kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku
yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf. Lalu aku datang ke majelisnya. Aku
mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara'.
Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa
ternyata al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu
langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan
rasa bimbang yang ada dalam hatiku."
Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi
manisnya tasawuf, hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih
dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang
sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan
seluruh waktunya untuk sang guru dan meninggalkan aktivitas lain. Namun
demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah
mendapatkan izin dari sang guru. Dalam hal ini Ibnu Atho'illah
menceritakan: "Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada
keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa
yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan: "Di kota
Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi'. Dulu dia adalah pengajar di
Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tarekat
kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : "Tuanku... apakah
sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada
tuan?" Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : "Tidak
demikian itu tarekat kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan
Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu
juga."
Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya
adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: "Beginilah keadaan
orang-orang Shiddiqin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan
yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan
mereka." Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan
tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah
menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja
melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh
Allah."
Masa ketiga
Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho'
dari Iskandariyah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan
Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan
kesempurnaan Ibnu Atho'illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawuf. Ia
membedakan antara uzlah dan khalwat. Uzlah menurutnya adalah pemutusan
(hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si
Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari
perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman
dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwat. Dan khalwat dipahami
dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, khalwat adalah perendahan diri
dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT. Menurut
Ibnu Atho'illah, ruangan yang bagus untuk berkhalwat adalah yang tingginya,
setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud.
Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya
cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam
rumah yang banyak penghuninya.
Ibnu Atho'illah sepeninggal gurunya Syaikh Abu
Abbas al-Mursi tahun 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan
Tarekat Syadziliyah. Tugas ini ia emban di samping tugas mengajar di kota
Iskandariyah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah
di Masjid al-Azhar.
Ibnu Hajar berkata: "Ibnu Atho'illah
berceramah di al-Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan
perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salafus
shalih, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya
berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan." Hal senada diucapkan
oleh Ibnu Tagri Baradi : "Ibnu Atho'illah adalah orang yang shalih,
berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali.
Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam
akan perkataan ahli hakikat dan orang-orang ahli tarekat." Termasuk
tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriyah di Hay al-Shoghoh.
Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan
tasawuf, seperti Imam Taqiyyuddin as-Subki, ayah Tajuddin al-Subki,
pengarang kitab "Tobaqoh al-Syafi'iyyah al-Kubro". Sebagai
seorang sufi yang alim, Ibn Atho' meninggalkan banyak karangan sebanyak 22
kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqih, nahwu, mantiq, falsafah
sampai khitobah.
Karomah Ibnu Atho'illah
Al-Munawi dalam kitabnya "Al-Kawakib
ad-Durriyyah mengatakan: "Syaikh Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke
makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya:
"Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia..." Tiba-tiba
terdengar suara dari dalam liang kubur Ibnu Atho'illah dengan keras:
"Wahai Kamal... tidak ada diantara kita yang celaka." Demi
menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya
dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho'illah ketika meninggal kelak.
Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam
adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si
murid itu melihat Ibnu Atho'illah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru
ada di belakang maqam Ibrahim as, di Mas'aa dan Arafah. Ketika pulang, dia
bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si
murid langsung terperanjat ketika mendengar teman-temannya menjawab
"Tidak". Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang
guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya: "Siapa saja yang
kamu temui?" lalu si murid menjawab: "Tuanku... saya melihat
tuanku di sana." Dengan tersenyum al-Arif Billah ini menerangkan:
"Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di
panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya."
Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya
ini. Karena tahun tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya
ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun
demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad
mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan
sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman
al-Qorrofah al-Kubro.
|
Syaikh Muhammad Ali as-Sanusi
Pada awal abad ke-20 M muncul gerakan revolusi
di Libya, yang dimotori oleh Tarekat Sanusiyah. Tarekat itu didirikan oleh
Syaikh Muhammad bin Ali al-Sanusi (1787-1859 M). Ia belajar ilmu agama,
termasuk ilmu tasawuf di Fas.
Syaikh Ali As-Sanusi dilahirkan di Mostaganem,
Aljazair, pada tahun 1787. Syaikh Muhammad Ali as-Sanusi adalah seorang
ulama yang ikhlas dan suka merendahkan dirinya. Beliau menyeru kepada
ijtihad dan memerangi taqlid. Oleh karena itu, beliau telah mencapai
kemajuan yang pesat di atas jalan keruhanian. Tarekatnya bebas dari syirik
dan khurafat. Tersebar luas hingga ke Selatan Afrika, Sudan, Somalia dan
sebahagian negara Arab. Gerakan ini terpengaruh oleh al-Imam Ahmad bin
Hanbal, dan Abu Hamid al-Ghazali. Dalam berdakwah kepada Allah, gerakan ini
menggunakan cara lembut dan berhikmah. Mereka menekankan dalam kerja-kerja
tangan dan senantiasa berjihad Fi Sabilillah menentang penjajah, Salibi dan
sebagainya.
Penulis Thabaqat al-Malikiyah wa al-Kittani menuturkan
: “Muhammad bin Ali as-Sanusi adalah seorang imam yang telah mencapai
ma’rifat (‘Arif billah), selalu mengajak untuk kembali kepada sunnah Nabi,
karena ia adalah seorang ahli hadits, Hujjah Allah bagi generasi belakangan
dan wali Allah. Bermukim di Mekkah dan dimakamkan di Jaghbub (Libya). Ia
mempelajari Tarekat Syadziliyah di Maroko dari Mawlaya al-’Arabi
al-Darqawi, kemudian pergi ke masyriq untuk mempelajari tarekat mereka.”
Selanjutnya ia kembali ke Libya dan tinggal di
daerah Jaghbub. Ia hidup wara’, zuhud dan selalu berkhalwat. Dalam kitabnya
al-Salsabil al-Mu’in fi al-tara'iq al-Arba’in beliau bercerita :
“Segala puji bagi Allah yang telah mempertemukan
kami dengan para ulama besar dan orang yang telah mencapai “mukasyafah”.
Kami juga telah mempelajari tarekat mereka dan mengambil ijazah sebagian
besar dari tarekat itu. Kemudian aku mencoba untuk mengikuti salah satu
dari tarekat yang berjumlah 40 itu dan akhirnya aku mendapatkan satu
tarekat yang memiliki sanad yang tinggi : Tarekat Sanusiyah”
Syaikh Muhammad bin Ali as-Sanusi memiliki
beberapa kelebihan : kecerdasan tinggi, kepribadian mulia dan dicintai oleh
murid-muridnya. Di Libya ia berperan cukup besar dalam kemiliteran. Ia
membangun pertahanan dan kekuatan bukan hanya dengan berceramah dan nasihat
saja, melainkan terjun langsung melatih kaum muslimin dalam menggunakan
senjata, panah dan strategi perang untuk menghadapi pasukan Italia di
Libya.
Sufi Pejuang Penghadang Penjajah Italia di Libya
Syaikh Ahmad Syarif As-Sanusi (Sufi Pejuang Penghadang Penjajah Italia di
Libya)
Syaikh Ahmad Syarif as-Sanusi menguasai berbagai
bidang ilmu. Ahli hadits, Sufi, dan termasuk salah seorang mujahid besar
pengikut Tarekat Sanusiyah dalam menghadapi pasukan Italia di Libya.
Diantara karya beliau: Anwar al-Qudsiyah dan Fayudhat al-Rabbaniyah
(Tasawuf), dan kitab Baghiyah al-Musa’id fi Ahkaam al-Mujaahid (kitab jihad
yang mengatakan bahwa selalu siap berjihad menjadi kewajiban setiap
pengikut Tarekat)
Sayyid Ahmad Syarif memiliki postur tubuh yang
sedang, mukanya panjang dan tebal, dan andaikata matanya tidak cekung ke
dalam maka dia tampak seperti orang Cina. Matanya sayu dan hampir-hampir
tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, dan dia jarang sekali tersenyum. Dia
berpakaian jubah putih dan memakai serban lebar berwarna putih juga.
Syaikh Ahmad Syarif dilahirkan pada tahun 1873
di Jaghbub, di mana dia mendapat bimbingan pamannya, Sayyid al-Mahdi,
ayahnya (Muhammad Syarif), ar-Rifi dan al-Biskiri. Selain itu dia
diperkenalkan dengan semua masalah yang dihadapi oleh Tarekat Sanusiyah
pada saat itu karena pamannya memberitahukan hal-hal ini kepadanya, dan
sering mengeluarkan perintah melalui dirinya. Ketika Sayyid al-Mahdi pindah
ke Qiru di Sudan, Sayyid Ahmad as-Syarif menemaninya, dan di sanalah dia dinyatakan
sebagai calon penggantinya, pada saat pamannya meninggal.
Syaikh Ahmad Syarif mengarang sebuah kitab yang
bernama Al-Anwarul Qudsiyyah fi Ma’alimith Thariqis Sanusiyyah. Di dalam
kitab tersebut Beliau bertanya kepada kakak dari ayahnya Syaikh Muhammad
al-Mahdi, kepada siapakah Tarekat Sanusiyah disandarkan sehingga disebut
sebagai Thariqah As-Sanusiyyah Al-Idrisiyyah Al-Qadiriyyah An-Nasiriyyah
As-Sadziliyyah. Maka dijawab, bahwa semuanya kembali kepada nama
‘Al-Muhammadiyyah’, yang berarti mengikuti Sunnah baik sedikit maupun
banyak. Pada awalnya Tarekat ini merupakan salah satu cabang dari Tarekat
Syadziliyah. Menurut Syaikh Ahmad Syarif As-Sanusi, Tarekat ini dibangun
atas dasar mengikuti Sunnah dalam perkataan, perbuatan, keadaan, serta membiasakan
menyebut Shalawat Nabi di berbagai waktu.
Dalam kitab itu pula diterangkan sumber
pengambilan amalan-amalan utama Tarekat Sanusiyah. Seperti Shalawat
Ummiyyah, memiliki sanad dari Syaikh Muhammad bin Ali as-Sanusi yang
menerima dari Syaikh Ahmad bin Idris, beliau dari Syaikh Abul Mawahib
at-Taziy, beliau dari Syaikh Muhammad bin Zayyan, beliau dari Syaikh
Muhammad bin Nashir ad-Dar’i. Selain itu Syaikh Muhammad bin Ali as-Sanusi
mendapatkan pula dari Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Abdus Salam al-Banani,
beliau dari Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Nashir ad-Dar’i, dan beliau dari
Syaikh Muhammad bin Nashir ad-Dar’i.
Sesungguhnya amal Sufi itu diukur dengan
timbangan syari’ah. As-Sanusiyyah mengumpulkan 2 jalan, Burhaniyyah dan
Isyraqiyyah, semacam metode dalam mencapai kematangan spiritual (jalan
menuju kepada Allah).
Syaikh Ahmad Syarif berkata bahwa seseungguhnya
Isyraqiyyah adalah kebiasaan seorang murid dalam membersihkan jiwa dari
kekotoran sehingga mencapai kebenaran dalam meraih pengetahuan (makrifat)
dan rahasia-rahasia tanpa dengan belajar. Dan tiadalah proses
pembelajarannya melainkan dengan melalui pintu ‘Wattaqullaah
wayu’allimukumullaah’ (Bertaqwalah, dan [niscaya] Allah akan mengajarkan
kalian akan pengetahuan). Adapun Burhaniyyah merupakan kebiasaan seorang
murid mengikuti apa-apa yang diperintahkan dan menjauhi larangan agama,
serta mempelajari ilmu yang 4, yaitu: ilmu Zat dan Sifat, Fiqh, Hadits dan
Dalil-dalil. Maka Tarekat Sanusiyah menggabungkan keduanya (Isyraqiyyah dan
Burhaniyyah). Barang siapa menginginkan Isyraqiyyah maka ikutilah jalannya,
dan barang siapa menginginkan Burhaniyyah maka tempuhlah jalannya pula.
Dan jalan Burhaniyyah adalah mendiami lahir
dengan adab mengikuti perkataan Nabi, dan mendiami batin dengan muraqabah (mendekatkan
diri) kepada Allah di segala gerak diamnya atas Sunnah Nabi dan jalan orang
pilihan.
Syaikh Ahmad Syarif juga mengarang sebuah kitab
tentang jihad, yaitu: Bughyatul Musa’id fi Ahkamil Mujahid’. Menurut
pengamat Tasawuf belakangan, Tarekat Sanusiyah tasawufnya memiliki corak
ajaran yang khas, yaitu: Imamah (kepemimpinan), Hijrah dan Jihad. Taat
kepada seorang Imam adalah wajib, Hijrah adalah untuk mencapai kemapanan,
dan Jihad adalah untuk menegakkan Kalimat Haq (kebenaran) dan Dien.
Pada saat Syaikh Ahmad dilantik menjadi pemimpin
Zawiyah Tarekat Sanusiyah tahun 1900 M, beliau langsung menyatakan perang
melawan musuh Allah penjajah tanah air mereka. Gerakan ini membuat pasukan
Prancis kewalahan menghadapi serangan pasukan Sanusiyah, ketika itu juga
pasukan Italia telah menguasai Barqah, tetapi mendapat perlawanan dari
Syaikh Ahmad Syarif as-Sanusi, perjalanan hidupnya penuh dengan perjuangan
sehingga beliau meninggal dengan tenang di kota Madinah setelah datang dari
Syam.
|
Syaikh Abu Yazid al-Busthami
Raja Mistikus
Syaikh Abu Yazid Thoifur bin Isa bin Sarusyan
al-Busthami lahir di Bustham yang terletak di bagian timur Laut Persia.
Beliau adalah salah seorang Sulthanul Awliya, yang merupakan salah satu
Syaikh yang ada dalam silsilah tarekat Naqsyabandiyah, tarekat Sadziliyah,
dan beberapa tarekat lain. Tetapi beliau sendiri menyebutkan di dalam kitab
karangan tokoh di negeri Irbil sbb:" ...bahwa mulai Abu Bakar Shiddiq
sampai ke aku adalah golongan Shiddiqiyah."
Kakek Syaikh Abu Yazid al-Busthami adalah
seorang penganut agama Zoroaster. Ayahnya adalah salah satu di antara
orang-orang terkemuka di Bustham. Kehidupan Syaikh Abu Yazid yang luar
biasa bermula sejak ia masih berada dalam kandungan. "Setiap kali aku
menyuap makanan yang kuragukan kehalalannya", ibunya sering berkata
pada Abu Yazid, "Engkau yang masih berada di dalam rahimku memberontak
dan tidak mau berhenti sebelum makanan itu kumuntahkan kembali."
Pernyataan itu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri.
Setelah sampai waktunya, si ibu mengirimkan Abu
Yazid ke sekolah. Abu Yazid mempelajari Al Qur'an. Pada suatu hari gurunya
menerangkan arti satu ayat dari surat Lukman yang berbunyi,
"Berterimakasihlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu." Ayat
ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia meletakkan batu tulisnya dan
berkata kepada gurunya, "Ijinkanlah aku untuk pulang, ada yang hendak
kukatakan pada ibuku."
Sang guru memberi ijin, Abu Yazid lalu pulang ke
rumahnya. Ibunya menyambutnya dengan kata-kata, "Thoifur, mengapa
engkau sudah pulang? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah sesuatu
kejadian istimewa?"
"Tidak", jawab Abu Yazid,
"Pelajaranku sampai pada ayat dimana Allah memerintahkan agar aku
berbakti kepada-Nya dan kepadamu. Tetapi aku tak dapat mengurus dua rumah
dalam waktu yang bersamaan. Ayat ini sangat menyusahkan hatiku. Maka wahai
ibu, mintalah diriku ini kepada Allah sehingga aku menjadi milikmu seorang
atau serahkanlah aku kepada Allah semata sehingga aku dapat hidup untuk Dia
semata-mata."
"Anakku", jawab ibunya, "Aku
serahkan engkau kepada Allah dan kubebaskan engkau dari semua kewajibanmu
terhadapku. Pergilah engkau menjadi hamba Allah."
Di kemudian hari Abu Yazid berkata,
"Kewajiban yang semula kukira sebagai kewajiban yang paling ringan,
paling sepele di antara yang lainnya, ternyata merupakan kewajiban yang
paling utama. Yaitu kewajiban untuk berbakti kepada ibuku. Di dalam
berbakti kepada ibuku itulah kuperoleh segala sesuatu yang kucari, yakni
segala sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat tindakan disiplin diri dan
pengabdian kepada Allah.
"Pada suatu malam, ibu meminta air
kepadaku. Maka akupun mengambilnya, ternyata di dalam tempayan kami tak ada
air. Kulihat dalam kendi, tetapi kendi itupun kosong. Oleh karena itu, aku
pergi ke sungai lalu mengisi kendi tersebut dengan air. Ketika aku pulang,
ternyata ibuku sudah tertidur. Malam itu udara terasa dingin. Kendi itu
tetap dalam rangkulanku. Ketika ibu terjaga, ia meminum air yang kubawa itu
kemudian memberkati diriku. Kemudian terlihatlah olehku betapa kendi itu
telah membuat tangaku kaku."
"Mengapa engkau tetap memegang kendi
itu?" ibuku bertanya. "Aku takut ibu terjaga sedang aku sendiri
terlena", jawabku. Kemudian ibu berkata kepadaku, "Biarkan saja
pintu itu setengah terbuka." "Sepanjang malam aku berjaga-jaga
agar pintu itu tetap dalam keadaan setengah terbuka dan agar aku tidak
melalaikan perintah ibuku. Hingga akhirnya fajar terlihat lewat pintu,
begitulah yang sering kulakukan berkali-kali."
Setelah si ibu memasrahkan anaknya pada Allah,
Abu Yazid meninggalkan Bustham, merantau dari satu negeri ke negeri lain
selama 30 tahun, dan melakukan disiplin diri dengan terus menerus berpuasa
di siang hari dan bertirakat sepanjang malam. Ia belajar di bawah bimbingan
seratus tiga belas guru spiritual dan telah memperoleh manfaat dari setiap
pelajaran yang mereka berikan. Di antara guru-gurunya itu ada seorang yang
bernama Shadiq. Ketika Abu Yazid sedang duduk dihadapannya, tiba-tiba
Shadiq berkata kepadanya, "Abu Yazid, ambilkan buku yang di jendela
itu."
"Jendela? Jendela yang mana?", tanya
Abu Yazid. "Telah sekian lama engkau belajar disini dan tidak pernah
melihat jendela itu?" "Tidak", jawab Abu Yazid, "Apakah
peduliku dengan jendela. Ketika menghadapmu, mataku tertutup terhadap
hal-hal lain. Aku tidak datang kesini untuk melihat segala sesuatu yang ada
di sini." "Jika demikian", kata sang guru," kembalilah
ke Bustham. Pelajaranmu telah selesai."
Abu Yazid mendengar bahwa di suatu tempat
tertentu ada seorang guru besar. Dari jauh Abu Yazid datang untuk menemuinya.
Ketika sudah dekat, Abu Yazid menyaksikan betapa guru yang termasyhur itu
meludah ke arah kota Mekkah (diartikan menghina kota Mekkah), karena itu
segera ia memutar langkahnya.
Abu Yazid berkata mengenai guru tadi, "Jika
ia memang telah memperoleh semua kemajuan itu dari jalan Allah, niscaya ia
tidak akan melanggar hukum seperti yang dilakukannya." Diriwayatkan
bahwa rumah Abu Yazid hanya berjarak empat puluh langkah dari sebuah
mesjid, ia tidak pernah meludah ke arah jalan dan menghormati masjid itu.
Setiap kali Abu Yazid tiba di depan sebuah
masjid, sesaat lamanya ia akan berdiri terpaku dan menangis.
"Mengapa engkau selalu berlaku
demikian?" tanya salah seseorang kepadanya. "Aku merasa diriku
sebagai seorang wanita yang sedang haid. Aku merasa malu untuk masuk dan
mengotori masjid", jawabnya.
Perjalanan Abu Yazid menuju Ka'bah memakan waktu
dua belas tahun penuh. Hal ini karena setiap kali ia bersua dengan seorang
pengkhotbah yang memberikan pengajaran di dalam perjalanan itu, Abu Yazid
segera membentangkan sajadahnya dan melakukan sholat sunnah dua raka'at.
Mengenai hal ini Abu Yazid mengatakan: "Ka'bah bukanlah serambi istana
raja, tetapi suatu tempat yang dapat dikunjungi orang setiap saat."
Akhirnya sampailah ia ke Ka'bah, tetapi ia tidak
pergi ke Madinah pada tahun itu juga. Abu Yazid menjelaskan, "Tidaklah
pantas berkunjung ke Madinah hanya sebagai pelengkap saja, saya akan
mengenakan pakaian haji yang berbeda untuk mengunjungi Madinah."
Tahun berikutnya ia kembali menunaikan ibadah
haji. Ia mengenakan pakaian yang berbeda untuk setiap tahap perjalanannya
sejak mulai menempuh padang pasir. Di sebuah kota dalam perjalanan
tersebut, suatu rombongan besar telah menjadi muridnya dan ketika ia
meninggalkan tanah suci, banyak orang yang mengikutinya.
"Siapakah orang-orang ini?", ia
bertanya sambil melihat kebelakang.
"Mereka ingin berjalan bersamamu",
terdengar sebuah jawaban. "Ya Allah!", Abu Yazid memohon,
"Janganlah Engkau tutup penglihatan hamba-hamba-Mu karenaku."
Untuk menghilangkan kecintaan mereka kepada
dirinya dan agar dirinya tidak menjadi penghalang bagi mereka, maka setelah
selesai melakukan sholat shubuh, Abu Yazid berseru kepada mereka, "Ana
Allah ,Laa ilaha illa ana, Fa'budni." Sesungguhnya Aku adalah Allah,
Tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka Sembahlah Aku."
"Abu Yazid sudah gila!", seru mereka
kemudian meninggalkannya.
Abu Yazid meneruskan perjalanannya. Di tengah
perjalanan, ia menemukan sebuah tengkorak manusia yang bertuliskan
"Tuli, bisu, buta.. mereka tidak memahami." Sambil menangis Abu
Yazid memungut tengkorak itu lalu menciuminya. "Tampaknya ini adalah
kepala seorang sufi", gumamnya, "Yang menjadi tauhid di dalam
Allah... ia tidak lagi mempunyai telinga untuk mendengar suara abadi, tidak
lagi mempunyai mata untuk memandang keindahan abadi, tidak lagi mempunyai
lidah untuk memuji kebesaran Allah, dan tak lagi mempunyai akal walaupun
untuk merenung secuil pengetahuan Allah yang sejati. Tulisan ini adalah
mengenai dirinya."
Suatu ketika Abu Yazid di dalam perjalanan, ia
membawa seekor unta sebagai tunggangan dan pemikul perbekalannya.
"Binatang yang malang, betapa berat beban yang engkau tanggung.
Sungguh kejam!", seseorang berseru. Setelah beberapa kali mendengar
seruan ini, akhirnya Abu Yazid menjawab, "Wahai anak muda, sebenarnya
bukan unta ini yang memikul beban." Kemudian si pemuda meneliti apakah
beban itu benar-benar berada di atas punggung onta tersebut. Barulah ia
percaya setelah melihat beban itu mengambang satu jengkal di atas punggung
unta dan binatang itu sedikitpun tidak memikul beban tersebut.
"Maha besar Allah, benar-benar
menakjubkan!", seru si pemuda. "Jika kusembunyikan
kenyataan-kenyataan yang sebenarnya mengenai diriku, engkau akan
melontarkan celaan kepadaku", kata Abu Yazid kepadanya. "Tetapi
jika kujelaskan kenyataan-kenyataan itu kepadamu, engkau tidak dapat
memahaminya. Bagaimana seharusnya sikapku kepadamu?"
MI'RAJ
Abu Yazid mengisahkan, "Dengan tatapan yang
pasti aku memandang Allah setelah Dia membebaskan diriku dari semua
makhluq-Nya, menerangi diriku dengan Cahaya-Nya, membukakan
keajaiban-keajaiban rahasia-Nya dan menunjukkan kebesaran-Nya
kepadaku."
Setelah menatap Allah akupun memandang diriku
sendiri dan merenungi rahasia serta hakekat diri ini. Cahaya diriku adalah
kegelapan jika dibandingkan dengan Cahaya-Nya, kebesaran diriku sangat
kecil jika dibandingkan dengan kebesaran-Nya, kemuliaan diriku hanyalah
kesombongan yang sia-sia jika dibandingkan dengan kemuliaan-Nya. Di dalam
Allah segalanya suci sedang di dalam diriku segalanya kotor dan cemar.
Bila kurenungi kembali, maka tahulah aku bahwa
aku hidup karena cahaya Allah. Aku menyadari kemuliaan diriku bersumber
dari kemuliaan dan kebesaran-Nya. Apapun yang telah kulakukan, hanya karena
kemahakuasaan-Nya. Apapun yang telah terlihat oleh mata lahirku, sebenarnya
melalui Dia. Aku memandang dengan mata keadilan dan realitas. Segala
kebaktianku bersumber dari Allah, bukan dari diriku sendiri, sedang selama
ini aku beranggapan bahwa akulah yang berbakti kepada-Nya. Aku bertanya,
"Ya Allah, apakah ini?"
Dia menjawab, "Semuanya adalah Aku, tidak
ada sesuatupun juga kecuali Aku. Dan sesungguhnya tidak ada wujud selain
wujud-Ku." Kemudian Ia menjahit mataku sehingga aku tidak dapat
melihat. Dia menyuruhku untuk merenungi akar permasalahan, yaitu diri-Nya
sendiri. Dia meniadakan aku dari kehidupan-Nya sendiri, dan Ia memuliakan
diriku. Kepadaku dibukakan-Nya rahasia diri-Nya sendiri sedikitpun tidak
tergoyahkan oleh karena adaku. Demikianlah Allah, Kebenaran Yang Tunggal
menambahkan realitas ke dalam diriku. Melalui Allah aku memandang Allah,
dan kulihat Allah di dalam realitasNya."
Di sana aku berdiam dan beristirahat untuk
beberapa saat lamanya. Kututup telinga dari derap perjuangan. lidah yang
meminta-minta kutelan ke dalam tenggorokan keputusasaan. Kucampakkan
pengetahuan yang telah kutuntut dan kubungkamkan kata hati yang menggoda
kepada perbuatan-perbuatan aniaya. Di sana aku berdiam dengan tenang.
Dengan karunia Allah aku membuang kemewahan-kemewahan dari jalan yang
menuju prinsip-prinsip dasar.
Allah menaruh belas kasih kepadaku. Ia
memberkahiku dengan pengetahuan abadi dan menanam lidah kebajikan-Nya ke
dalam tenggorokanku. Untuk diciptakan-Nya sebuah mata dari cahaya-Nya,
semua makhluk kulihat melalui Dia. Dengan lidah kebajikan itu aku berkata-kata
kepada Allah, dengan pengetahuan Allah kuperoleh sebuah pengetahuan, dan
dengan cahaya Allah aku menatap kepada-Nya.
Allah berkata kepadaku, "Wahai engkau yang
tak memiliki sesuatupun jua namun telah memperoleh segalanya, yang tak
memiliki perbekalan namun telah memiliki kekayaan."
"Ya Alloh.. Jangan biarkan diriku
terperdaya oleh semua itu. Jangan biarkan aku puas dengan diriku sendiri
tanpa mendambakan diri-Mu. Adalah lebih baik jika Engkau menjadi milikku
tanpa aku, daripada aku menjadi milikku sendiri tanpa Engkau. Lebih baik
jika aku berkata-kata kepada-Mu melalui Engkau, daripada aku berkata-kata
kepada diriku sendiri tanpa Engkau."
Allah berkata, "Oleh karena itu
perhatikanlah hukum-Ku dan janganlah engkau melanggar perintah serta larangan-Ku,
agar Kami berterima kasih akan segala jerih payahmu."
"Aku telah membuktikan imanku kepada-Mu dan
aku benar-benar yakin bahwa sesungguhnya Engkau lebih pantas untuk
berterimakasih kepada diri-Mu sendiri dari pada kepada hamba-Mu. Bahkan
seandainya Engkau mengutuk diriku ini, Engkau bebas dari segala perbuatan
aniaya."
"Dari siapakah engkau belajar?", tanya
Allah.
"Ia Yang Bertanya lebih tahu dari ia yang
ditanya", jawabku, "Karena Ia adalah Yang Dihasratkan dan Yang
Menghasratkan, Yang Dijawab dan Yang Menjawab, Yang Dirasakan dan Yang
Merasakan, Yang Ditanya dan Yang Bertanya."
Setelah Dia menyaksikan kesucian hatiku yang
terdalam, aku mendengar seruan puas dari Allah. Dia mencap diriku dengan
cap kepuasan-Nya. Dia menerangi diriku, menyelamatkan diriku dari kegelapan
hawa nafsu dan kecemaran jasmani. Aku tahu bahwa melalui Dia lah aku hidup
dan karena kelimpahan-Nya lah aku bisa menghamparkan permadani kebahagiaan
di dalam hatiku.
"Mintalah kepada-Ku segala sesuatu yang
engkau kehendaki", kata Alloh. "Engkaulah yang kuinginkan",
jawabku, "Karena Engkau lebih dari kemurahan dan melalui Engkau telah
kudapatkan kepuasan di dalam Engkau. Karena Engkau adalah milikku, telah
kugulung catatan-catatan kelimpahan dan kemurahan. Janganlah Engkau jauhkan
aku dari diri-Mu dan janganlah Engkau berikan kepadaku sesuatu yang lebih
rendah daripada Engkau."
Beberapa lama Dia tak menjawab. Kemudian sambil
meletakkan mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku, berkatalah Dia,
"Kebenaranlah yang engkau ucapkan dan realitaslah yang engkau cari,
karena itu engkau menyaksikan dan mendengarkan kebenaran." "Jika
aku telah melihat", kataku pula, "Melalui Engkau-lah aku melihat,
dan jika aku telah mendengar, melalui Engkaulah aku mendengar. Setelah Engkau,
barulah aku mendengar."
Kemudian kuucapkan berbagai pujian kepadaNya.
Karena itu Ia hadiahkan kepadaku sayap keagungan, sehingga aku dapat
melayang-layang memandangi alam kebesaranNya dan hal-hal menakjubkan dari
ciptaanNya. Karena mengetahui kelemahanku dan apa-apa yang kubutuhkan, maka
Ia menguatkan diriku dengan perhiasan-perhiasanNya sendiri.
Ia menaruh mahkota kemurahan hati ke atas
kepalaku dan membuka pintu istana ketauhidan untukku. Setelah Ia melihat
betapa sifat-sifatku tauhid ke dalam sifat-sifat-Nya, dihadiahkan-Nya
kepadaku sebuah nama dari hadirat-Nya sendiri dan berkata-kata kepadaku
dalam wujud-Nya sendiri. Maka terciptalah Tauhid Dzat dan punahlah
perpisahan.
"Kepuasan Kami adalah kepuasanmu",
kata-Nya, "Dan kepuasanmu adalah kepuasan Kami. Ucapan-ucapanmu tak
mengandung kecemaran dan tak seorang pun akan menghukummu karena
ke-aku-anmu."
Kemudian Dia menyuruhku untuk merasakan hunjaman
rasa cemburu, dan setelah itu Ia menghidupkan aku kembali. Dari dalam api
pengujian itu aku keluar dalam keadaan suci bersih. Kemudian Dia bertanya,
"Siapakah yang memiliki kerajaan ini."
"Engkau", jawabku.
"Siapakah yang memiliki kekuasaan?"
"Engkau", jawabku.
"Siapakah yang memiliki kehendak?"
"Engkau", jawabku.
Karena jawaban-jawabanku itu persis seperti yang
didengarkan pada awal penciptaan, maka ditunjukkan-Nya kepadaku betapa jika
bukan karena belas kasih-Nya, alam semesta tidak akan pernah tenang, dan
jika bukan karena cinta-Nya segala sesuatu telah dibinasakan oleh ke-Maha
Perkasaan-Nya. Dia memandangku dengan mata Yang Maha Melihat melalui medium
Yang Maha Memaksa, dan segala sesuatu mengenai diriku sirna tak terlihat.
Di dalam kemabukan itu setiap lembah kuterjuni.
Kulumatkan tubuhku ke dalam setiap wadah gejolak api cemburu. Kupacu kuda
pemburuan di dalam hutan belantara yang luas. Kutemukan bahwa tidak ada
yang lebih baik daripada kepapaan dan tidak ada yang lebih baik dari
ketidakberdayaan (fana, red). Tiada pelita yang lebih terang daripada
keheningan dan tiada kata-kata yang lebih merdu daripada kebisuan. Dan
tiada pula gerak yang lebih sempurna daripada diam. Aku menghuni istana
keheningan, aku mengenakan pakaian ketabahan, sehingga segala masalah
terlihat sampai ke akar-akarnya. Dia melihat betapa jasmani dan ruhaniku
bersih dari kilasan hawa nafsu, kemudian dibukakan-Nya pintu kedamaian di
dalam dadaku yang kelam dan diberikan-Nya kepadaku lidah keselamatan dan
ketauhidan.
Kini telah kumiliki sebuah lidah rahmat nan
abadi, sebuah hati yang memancarkan nur ilahi, dan mata yang ditempa oleh
tangan-Nya sendiri. Karena Dia-lah aku berbicara dan dengan kekuasaan-Nya
lah aku memegang. Karena melalui Dia aku hidup, karena Dia lah Dzat Yang
Maha Hidup dan Maha Menghidupi, maka aku tidak akan pernah mati. Karena
telah mencapai tingkat keluhuran ini, maka isyaratku adalah abadi, ucapanku
berlaku untuk selama-lamanya, lidahku adalah lidah tauhid dan ruhku adalah
ruh keselamatan, ruh Islam. Aku tidak berbicara mengenai diriku sendiri
sebagai seorang pemberi peringatan. Dia lah yang menggerakkan lidahku
sesuai dengan kehendak-Nya, sedang aku hanyalah seseorang yang
menyampaikan. Sebenarnya yang berkata-kata ini adalah Dia, bukan aku.
Setelah memuliakan diriku Dia berkata,
"Hamba-hamba-Ku ingin bertemu denganmu." "Bukanlah
keinginanku untuk menemui mereka", jawabku. "Tetapi jika Engkau
menghendakiku untuk menemui mereka, maka aku tidak akan menentang
kehendak-Mu. Hiaslah diriku dengan ke-esaan-Mu, sehingga apabila
hamba-hamba-Mu memandangku yang terpandang oleh mereka adalah ciptaan-Mu.
Dan mereka akan melihat Sang Pencipta semata-mata, bukan diriku ini."
Keinginanku ini dikabulkan-Nya. Ditaruh-Nya
mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan Ia membantuku mengalahkan
jasmaniku.
Setelah itu Dia berkata, "temuilah hamba-hamba-Ku
itu." Akupun berjalan selangkah menjauhi hadirat-Nya. Tetapi pada
langkah yang kedua aku jatuh terjerumus. Terdengarlah seruan, "Bawalah
kembali kekasih-Ku kemari. Ia tidak dapat hidup tanpa Aku dan tidak ada
satu jalanpun yang diketahuinya kecuali jalan yang menuju Aku."
Setelah aku mencapai taraf tauhid Dzat - itulah
saat pertama aku menatap Yang Esa - bertahun-tahun lamanya aku mengelana di
dalam lembah yang berada di kaki bukit pemahaman. Akhirnya aku menjadi
seekor burung dengan tubuh yang berasal dari ke-esa-an dan dengan sayap
keabadian. Terus menerus aku melayang-layang di angkasa kemutlakan. Setelah
terlepas dari segala sesuatu yang diciptakan-Nya, akupun berkata, "Aku
telah sampai kepada Sang Pencipta. Aku telah kembali kepada-Nya."
Kemudian kutengadahkan kepalaku dari lembah
kemuliaan. Dahagaku kupuaskan seperti yang tak pernah terulang di sepanjang
zaman. Kemudian selama tiga puluh ribu tahun aku terbang di dalam sifat-Nya
yang luas, tiga puluh ribu tahun di dalam kemuliaan perbuatan-Nya, dan
selama tiga puluh ribu tahun di dalam keesaan Dzat-Nya. Setelah berakhir
masa sembilan puluh ribu tahun, terlihat olehku Abu Yazid, dan segala yang
terpandang olehku adalah aku sendiri.
Kemudian aku jelajahi empat ribu padang
belantara. Ketika sampai di akhir penjelajahan itu terlihat olehku bahwa
aku masih berada pada tahap awal kenabian. Maka kulanjutkan pula
pengembaraan yang tak berkesudahan di lautan tanpa tepi itu untuk beberapa
lama, aku katakan, "Tidak ada seorang manusia pun yang pernah mencapai
kemuliaan yang lebih tinggi daripada yang telah kucapai ini. Tidak mungkin
ada tingkatan yang lebih tinggi daripada ini."
Tetapi ketika kutajamkan pandangan ternyata
kepalaku masih berada di tapak kaki seorang Nabi. Maka sadarlah aku bahwa
tingkat terakhir yang dapat dicapai oleh manusia-manusia suci hanyalah
sebagai tingkatan awal dari kenabian. Mengenai tingkat terakhir dari
kenabian tidak dapat kubayangkan.
Kemudian ruhku menembus segala penjuru di dalam
kerajaan Allah. Surga dan neraka ditunjukkan kepada ruhku itu tetapi ia
tidak peduli. Apakah yang dapat menghadang dan membuatnya peduli?. Semua
sukma yang bukan Nabi yang ditemuinya tidak dipedulikannya. Ketika ruhku
mencapai sukma manusia kesayangan Allah, Nabi Muhammad Saw, terlihatlah olehku
seratus ribu lautan api yang tiada bertepi dan seribu tirai cahaya.
Seandainya kujejakkan kaki ke dalam lautan api yang pertama itu, niscaya
aku hangus binasa. Aku sedemikian gentar dan bingung sehingga aku menjadi
sirna. Tetapi betapapun besar keinginanku, aku tidak berani memandang tiang
perkemahan Muhammad. Walaupun aku telah berjumpa dengan Allah, tetapi aku
tidak berani berjumpa dengan Muhammad.
Kemudian Abu Yazid berkata, "Ya Allah,
segala sesuatu yang telah terlihat olehku adalah aku sendiri. Bagiku tiada
jalan yang menuju kepada-Mu selama aku ini masih ada. Aku tidak dapat
menembus keakuan ini, apakah yang harus kulakukan?"
Maka terdengarlah perintah, "Untuk melepas
keakuanmu itu ikutilah kekasih Kami, Muhammad, si orang Arab. Usaplah
matamu dengan debu kakinya dan ikutilah jejaknya.
Maka terjunlah aku ke dalam lautan api yang tak
bertepi dan kutenggelamkan diriku ke dalam tirai-tirai cahaya yang
mengelilingi Muhammad. Dan kemudian tak kulihat diriku sendiri, yang
kulihat Muhammad. Aku terdampar dan kulihat Abu Yazid berkata, "Aku
adalah debu kaki Muhammad, maka aku akan mengikuti jejak Muhammad.
PERANG TANDING ANTARA ABU YAZID DAN YAHYA BIN
MU'ADZ
Yahya bin Mu'adz - salah seorang tokoh sufi,
waliyullah jaman itu, menulis surat kepada Abu Yazid, "Apakah katamu
mengenai seseorang yang telah mereguk secawan arak dan menjadi mabuk tiada
henti-hentinya?"
"Aku tidak tahu. Yang kuketahui hanyalah
bahwa di sini ada seseorang yang sehari semalam telah mereguk isi samudra
luas yang tiada bertepi namun masih merasa haus dan dahaga.", jawab
Abu Yazid.
Yahya bin Mu'adz menyurati lagi, "Ada
sebuah rahasia yang hendak kukatakan kepadamu tetapi tempat pertemuan kita
adalah di dalam surga. Di sana, di bawah naungan pohon Tuba akan kukatakan
rahasia itu kepadamu."
Bersamaan surat itu dia kirimkan sepotong roti
dengan pesan, "Syaikh harus memakan roti ini karena aku telah
membuatnya dari air zam-zam."
Di dalam jawabannya Abu Yazid berkata mengenai
rahasia yang hendak disampaikan Yahya itu, "Mengenai tempat pertemuan
yang engkau katakan, dengan hanya mengingat-Nya, pada saat ini juga aku
dapat menikmati surga dan pohon Tuba, tetapi roti yang engkau kirimkan itu
tidak dapat kunikmati. Engkau memang telah mengatakan air apa yang telah
engkau pergunakan, tetapi engkau tidak mengatakan bibit gandum apa yang
telah engkau taburkan."
Maka Yahya bin Mu'adz ingin sekali mengunjungi
Abu Yazid. Ia datang pada waktu sholat Isya'. Yahya berkisah sebagai
berikut, "Aku tidak mau mengganggu Syaikh Abu Yazid. Tetapi aku pun
tidak dapat bersabar hingga pagi. Maka pergilah aku ke suatu tempat di
padang pasir di mana aku dapat menemuinya pada saat itu seperti dikatakan
orang-orang kepadaku. Sesampainya di tempat itu terlihat olehku Abu Yazid
sedang sholat Isya'. Kemudian ia berdiri di atas jari-jari kakinya sampai
keesokan harinya. Aku tegak terpana menyaksikan hal ini. Sepanjang malam
kudengar Abu Yazid berkata di dalam do'anya, "Aku berlindung kepadamu
dari segala hasratku untuk menerima kehormatan-kehormatan ini."
Setelah sadar, Yahya mengucapkan salam kepada
Abu Yazid dan bertanya apakah yang telah dialaminya pada malam tadi. Abu
Yazid menjawab, "Lebih dari dua puluh kehormatan telah ditawarkan
kepadaku. Tetapi tak satupun yang kuinginkan karena semuanya adalah
kehormatan-kehormatan yang membutakan mata."
"Guru, mengapakah engkau tidak meminta
pengetahuan mistik, karena bukankah Dia Raja diantara raja yang pernah
berkata, "Mintalah kepada-Ku segala sesuatu yang engkau
kehendaki?", Yahya bertanya. "Diamlah!", sela Abu Yazid,
"Aku cemburu kepada diriku sendiri yang telah mengenal-Nya, karena aku
ingin tiada sesuatu pun kecuali Dia yang mengenal diri-Nya. Mengenai
pengetahuan-Nya, apakah peduliku. Sesungguhnya seperti itulah kehendak-Nya,
Yahya. Hanya Dia, dan bukan siapa-siapa yang akan mengenal diri-Nya.
Yahya bermohon, "Demi keagungan Allah..
Berikanlah kepadaku sebagian dari karunia-karunia yang telah ditawarkan
kepadamu malam tadi."
"Seandainya engkau memperoleh kemuliaan
Adam, kesucian Jibril, kelapangan hati Ibrahim, kedambaan Musa kepada
Allah, kekudusan Isa, dan kecintaan Muhammad, niscaya engkau masih merasa
belum puas. Engkau akan mengharapkan hal-hal lain yang melampaui segala
sesuatu. Tetaplah merenung Yang Maha Tinggi dan jangan rendahkan
pandanganmu, karena apabila engkau merendahkan pandanganmu kepada sesuatu
hal, maka hal itulah yang akan membutakan matamu", jawab Abu Yazid.
Suatu hari Abu Yazid berjalan-jalan dengan
beberapa orang muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari
arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Abu Yazid menyingkir ke
pinggir untuk memberi jalan kepada binatang itu.
Salah seorang murid tidak menyetujui perbuatan
Abu Yazid ini dan berkata, "Allah Yang Maha Besar telah memuliakan
manusia di atas segala makhluk-makhluk-Nya. Abu Yazid adalah "Raja
diantara kaum mistik", tetapi dengan ketinggian martabatnya itu
beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing.
Apakah pantas perbuatan seperti itu?"
Abu Yazid menjawab, "Anak muda, anjing tadi
secara diam-diam telah berkata kepadaku, 'Apakah dosaku dan apakah pahalamu
pada awal kejadian sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau
mengenakan jubah kehormatan sebagai raja diantara para mistik?'. Begitulah
yang sampai dalam pikiranku dan karena itulah aku memberi jalan
kepadanya."
Suatu ketika Abu Yazid melakukan perjalanan
menuju Ka'bah di Makkah, tetapi beberapa saat kemudian ia pun kembali lagi.
"Di waktu yang sudah-sudah engkau tidak pernah membatalkan niatmu.
Mengapa sekarang engkau berbuat demikian?", tanya seseorang kepada Abu
Yazid.
"Baru saja aku palingkan wajahku ke jalan,
terlihat olehku seorang hitam yang menghadang dengan pedang terhunus dan
berkata, 'Jika engkau kembali, selamat dan sejahteralah engkau. Jika tidak,
akan kutebas kepalamu. Engkau telah meninggalkan Allah di Bustham untuk
pergi ke rumah-Nya'", jawab Abu Yazid.
Hatim Tuli - salah seorang waliyullah masa itu -
berkata kepada murid-muridnya, "Barangsiapa di antara kamu yang tidak
memohon ampunan bagi penduduk neraka di hari berbangkit nanti, ia bukan
muridku."
Perkataan Hatim ini disampaikan orang kepada Abu
Yazid, kemudian Abu Yazid menambahkan, "Barang siapa yang berdiri di
tebing neraka dan menangkap setiap orang yang dijerumuskan ke dalam neraka,
kemudian mengantarnya ke surga lalu kembali ke neraka sebagai pengganti
mereka, ia adalah muridku."
ABU YAZID DAN SEORANG MURIDNYA
Ada seorang pertapa di antara tokoh-tokoh suci
terkenal di Bustham. Ia mempunyai banyak pengikut dan pengagum, tetapi ia
sendiri senantiasa mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh Abu
Yazid. Dengan tekun ia mendengarkan ceramah-ceramah Abu Yazid dan duduk
bersama sahabat-sahabat beliau.
Pada suatu hari berkatalah ia kepada Abu Yazid,
"Pada hari ini genaplah tiga puluh tahun lamanya aku berpuasa dan
memanjatkan do'a sepanjang malam sehingga aku tidak pernah tidur. Namun
pengetahuan yang engkau sampaikan ini belum pernah menyentuh hatiku. Walau
demikian aku percaya kepada pengetahuan itu dan senang mendengarkan
ceramah-ceramahmu."
"Walaupun engkau berpuasa siang malam
selama tiga ratus tahun, sedikitpun dari ceramah-ceramahku ini tidak akan
dapat engkau hayati." "Mengapa demikian?", tanya si murid.
"Karena matamu tertutup oleh dirimu
sendiri", jawab Abu Yazid. "Apakah yang harus kulakukan?",
tanya si murid pula. "Jika kukatakan, pasti engkau tidak mau
menerimanya", jawab Abu Yazid. "Akan kuterima!. Katakanlah
kepadaku agar kulakukan seperti yang engkau petuahkan." "Baiklah!",
jawab Abu Yazid. "Sekarang ini juga, cukurlah janggut dan rambutmu.
Tanggalkan pakaian yang sedang engkau kenakan ini dan gantilah dengan cawat
yang terbuat dari bulu domba. Gantungkan sebungkus kacang di lehermu,
kemudian pergilah ke tempat ramai. Kumpulkan anak-anak sebanyak mungkin dan
katakan pada mereka, "Akan kuberikan sebutir kacang kepada setiap
orang yang menampar kepalaku." Dengan cara yang sama pergilah
berkeliling kota, terutama sekali ke tempat dimana orang-orang sudah
mengenalmu. Itulah yang harus engkau lakukan."
"Maha Besar Allah! Tiada Tuhan kecuali
Allah", cetus si murid setelah mendengar kata-kata Abu Yazid itu.
"Jika seorang kafir mengucapkan kata-kata
itu niscaya ia menjadi seorang Muslim", kata Abu Yazid. "Tetapi
dengan mengucapkan kata-kata yang sama engkau telah mempersekutukan
Allah."
"Mengapa begitu?", tanya si murid.
"Karena engkau merasa bahwa dirimu terlalu
mulia untuk berbuat seperti yang telah kukatakan tadi. Kemudian engkau
mencetuskan kata-kata tadi untuk menunjukkan bahwa engkau adalah seorang
penting, dan bukan untuk memuliakan Allah. Dengan demikian bukankah engkau
telah mempersekutukan Allah?".
"Saran-saranmu tadi tidak dapat
kulaksanakan. Berikanlah saran-saran yang lain", si murid keberatan. "Hanya
itu yang dapat kusarankan", Abu Yazid menegaskan. "Aku tak
sanggup melaksanakannya", si murid mengulangi kata-katanya. "Bukankah
telah aku katakan bahwa engkau tidak akan sanggup untuk melaksanakannya dan
engkau tidak akan menuruti kata-kataku", kata Abu Yazid.
"Engkau dapat berjalan di atas air",
orang-orang berkata kepada Abu Yazid. "Sepotong kayu pun dapat
melakukan hal itu", jawab Abu Yazid.
"Engkau dapat terbang di angkasa".
"Seekor burung pun dapat melakukan itu."
"Engkau dapat pergi ke Ka'bah dalam satu
malam." "Setiap orang sakti dapat melakukan perjalanan dari India
ke Demavand dalam satu malam."
"Jika demikian apakah yang harus dilakukan
oleh manusia-manusia sejati?", mereka bertanya kepada Abu Yazid. Abu
Yazid menjawab, "Seorang manusia sejati tidak akan menautkan hatinya
kepada siapapun dan apapun kecuali kepada Allah."
Abu Yazid ditanya orang, "Bagaimanakah
engkau mencapai tingkat kesalehan yang seperti ini?"
"Pada suatu malam ketika aku masih kecil,
aku keluar dari kota Bustham. Bulan bersinar terang dan bumi tertidur
tenang. Tiba-tiba kulihat suatu kehadiran. Di sisinya ada delapan belas
ribu dunia yang tampaknya sebagai sebuah debu belaka. Hatiku bergetar
kencang lalu aku hanyut dilanda gelombang ekstase yang dahsyat. Aku berseru
"Ya Allah, sebuah istana yang sedemikian besarnya tapi sedemikian
kosongnya. Hasil karya yang sedemikian agung tapi begitu sepi?" Lalu
terdengar olehku sebuah jawaban dari langit, "Istana ini kosong bukan
karena tak seorang pun memasukinya tetapi Kami tidak memperkenankan setiap
orang untuk memasukinya. Tak seorang manusia yang tak mencuci muka-pun yang
pantas menghuni istana ini.", jawab Abu Yazid.
"Maka aku lalu bertekat untuk mendo'akan
semua manusia. Kemudian terpikirlah olehku bahwa yang berhak untuk menjadi
penengah manusia adalah Nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu aku hanya
memperhatikan tingkah lakuku sendiri. Kemudian terdengarlah suara yang
menyeruku, "Karena engkau berjaga-jaga untuk selalu bertingkah laku
baik, maka Aku muliakan namamu sampai hari berbangkit nanti dan umat
manusia akan menyebutmu.
RAJA PARA MISTIK
Abu Yazid menyatakan, "Sewaktu pertama kali
memasuki Rumah Suci (Ka'bah), yang terlihat olehku hanya Rumah Suci itu.
Ketika untuk kedua kalinya memasuki Rumah Suci itu, yang terlihat olehku
adalah Pemilik Rumah Suci. Tetapi ketika untuk ketiga kalinya memasuki
Rumah Suci, baik si Pemilik maupun Rumah Suci itu sendiri tidak terlihat
olehku."
Sedemikian khusyuknya Abu Yazid dalam berbakti
kepada Allah, sehingga setiap hari apabila ditegur oleh muridnya, yang
senantiasa menyertainya selama 20 tahun, ia akan bertanya, "Anakku,
siapakah namamu?" Suatu ketika si murid berkata pada Abu Yazid,
"Guru, apakah engkau memperolok-olokkanku. Telah 20 tahun aku mengabdi
kepadamu, tetapi, setiap hari engkau menanyakan namaku."
"Anakku.. Aku tidak memperolok-olokkanmu.
Tetapi nama-Nya telah memenuhi hatiku dan telah menyisihkan nama-nama yang
lain. Setiap kali aku mendengar sebuah nama yang lain, segeralah nama itu
terlupakan olehku", Abu Yazid menjawab.
Abu Yazid mengisahkan: Suatu hari ketika sedang
duduk-duduk, datanglah sebuah pikiran ke dalam benakku bahwa aku adalah
Syaikh dan tokoh suci zaman ini. Tetapi begitu hal itu terpikirkan olehku,
aku segera sadar bahwa aku telah melakukan dosa besar. Aku lalu bangkit dan
berangkat ke Khurazan. Di sebuah persinggahan aku berhenti dan bersumpah tidak
akan meninggalkan tempat itu sebelum Allah mengutus seseorang untuk
membukakan diriku.
Tiga hari tiga malam aku tinggal di persinggahan
itu. Pada hari yang ke empat kulihat seseorang yang bermata satu dengan
menunggang seekor unta sedang datang ke tempat persinggahan itu. Setelah
mengamati dengan seksama, terlihat olehku tanda-tanda kesadaran Ilahi di
dalam dirinya. Aku mengisyaratkan agar unta itu berhenti lalu unta itu
segera menekukkan kaki-kaki depannya. Lelaki bermata satu itu memandangiku.
"Sejauh ini engkau memanggilku",
katanya,"Hanya untuk membukakan mata yang tertutup dan membukakan
pintu yang terkunci serta untuk menenggelamkan penduduk Bustham bersama Abu
Yazid?"
"Aku jatuh lunglai. Kemudian aku bertanya
kepada orang itu, "Dari manakah engkau datang?"
"Sejak engkau bersumpah itu telah
beribu-ribu mil yang kutempuh", kemudian ia menambahkan,
"Berhati-hatilah Abu Yazid, Jagalah hatimu!"
Setelah berkata demikian ia berpaling dariku dan
meninggalkan tempat itu.
MASA AKHIR
Diriwayatkan bahwa Abu Yazid telah tujuh puluh
kali diterima Allah ke hadhirat-Nya. Setiap kali kembali dari perjumpaan
dengan Allah itu, Abu Yazid mengenakan sebuah ikat pinggang yang lantas
diputuskannya pula.
Menjelang akhir hayatnya Abu Yazid memasuki
tempat shalat dan mengenakan sebuah ikat pinggang. Mantel dan topinya yang
terbuat dari bulu domba itu dikenakannya secara terbalik. Kemudian ia
berkata kepada Allah: "Ya Allah, aku tidak membanggakan disiplin diri
yang telah kulaksanakan seumur hidupku, aku tidak membanggakan shalat yang
telah kulakukan sepanjang malam. Aku tidak menyombongkan puasa yang telah
kulakukan selama hidupku. Aku tidak menonjolkan telah berapa kali aku
menamatkan Al Qur'an. Aku tidak akan mengatakan pengalaman-pengalaman
spiritual khususku yang telah kualami, do'a- do'a yang telah kupanjatkan
dan betapa akrab hubungan antara Engkau dan aku. Engkau pun mengetahui
bahwa aku tidak menonjolkan segala sesuatu yang telah kulakukan itu.
Semua yang kukatakan ini bukanlah untuk
membanggakan diri atau mengandalkannya. Semua ini kukatakan kepada-Mu
karena aku malu atas segala perbuatanku itu. Engkau telah melimpahkan
rahmat-Mu sehingga aku dapat mengenal diriku sendiri. Semuanya tidak
berarti, anggaplah itu tidak pernah terjadi. Aku adalah seorang Torkoman
yang berusaha tujuh puluh tahun dengan rambut yang telah memutih di dalam
kejahilan.
Dari padang pasir aku datang sambil
berseru-seru, 'Tangri-Tangri' Baru sekarang inilah aku dapat memutus ikat
pinggang ini. Baru sekarang inilah aku dapat melangkah ke dalam lingkungan
Islam. Baru sekarang inilah aku dapat menggerakkan lidahku untuk
mengucapkan syahadat. Segala sesuatu yang Engkau perbuat adalah tanpa
sebab. Engkau tidak menerima umat manusia karena kepatuhan mereka dan
Engkau tidak akan menolak mereka hanya karena keingkaran mereka. Segala
sesuatu yang kulakukan hanyalah debu. Kepada setiap perbuatanku yang tidak
berkenan kepada-Mu limpahkanlah ampunan-Mu. Basuhlah debu keingkaran dari
dalam diriku karena aku pun telah membasuh debu kelancangan karena mengaku
telah mematuhi-Mu.
Kemudian Abu Yazid menghembuskan nafas
terakhirnya dengan menyebut nama Allah pada tahun 261 H /874 M.
|
Syaikh Ahmad At-Tijani
Pendiri Tarekat Tijaniyah
Syaikh Ahmad At-TijaniTarekat Tijaniyah
didirikan oleh Syaikh Ahmad At-Tijani. Ia dilahirkan pada tahun 1150 H
(1737 M) di 'Ain Madi, sebuah desa di Aljazair. Syaikh Tijani memiliki
nasab sampai kepada Rasulullah Saw., yakni dari Sayyidah Fatimah Az-Zahra,
putri Rasulullah Saw.
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Abbas Ahmad Ibn
Muhammad Ibn Mukhtar Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Salam Ibn Abi Al-Id Ibn
Salim Ibn Ahmad Al-'Alawi Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Abbas Ibn Abd Jabbar Ibn
Idris Ibn Ishak Ibn Zainal Abidin Ibn Ahmad Ibn Muhammad Al-Nafs
Al-Zakiyyah Ibn Abdullah Al-Kamil Ibn Hasan Al-Musana Ibn Hasan Al-Sibti
Ibn Ali Ibn Abi Thalib.
Ia meninggal dunia pada hari Kamis, tanggal 17
Syawal tahun 1230 H, dan dimakamkan di Kota Fez, Maroko. Sejak kecil,
Syaikh Ahmad At-Tijani telah mempelajari berbagai cabang ilmu, seperti ilmu
ushul, fikih, dan sastra. Menginjak usia tujuh tahun, ia sudah hafal Al
Qur'an. Dikisahkan, saat usianya masih remaja, Syaikh Ahmad At-Tijani telah
menguasai dengan mahir berbagai cabang ilmu agama Islam sehingga pada usia
di bawah 20 tahun, ia sudah mengajar dan memberi fatwa tentang berbagai
masalah agama.
Pada usia 21 tahun, tepatnya di tahun 1171 H,
Syaikh Ahmad At-Tijani pindah ke Kota Fez, Maroko, untuk memperdalam ilmu
tasawuf. Selama di kota ini, ia menekuni ilmu tasawuf melalui kitab Futuhat
Al-Makkiyyah di bawah bimbingan Al-Tayyib Ibn Muhammad Al-Yamhali dan
Muhammad Ibn Al-Hasan Al-Wanjali. Al-Wanjali berkata kepada Syaikh Tijani,
''Engkau akan mencapai maqam kewalian sebagaimana maqam Abu Hasan
As-Syadzili (pendiri tarekat Syadziliyah)."
Selanjutnya, Syaikh At-Tijani berguru pada
Syaikh Abdullah Ibn Arabi Al-Andalusia. Syaikh Abdullah berkata padanya,
''Semoga Allah membimbingmu.'' Kata-kata ini diulang sampai tiga kali. Tak
cukup sampai di sini, Syaikh At-Tijani juga berguru kepada Syaikh Ahmad At-Tawwasi
dan mendapat bimbingan untuk persiapan masa lanjut dalam bidang tasawuf. Ia
menyarankan kepada Syaikh Tijani untuk berkhalwat (menyendiri) dan
berdzikir, sampai Allah memberi keterbukaan (futuh). ''Engkau akan
memperoleh kedudukan yang agung (maqam 'azim),'' kata Syaikh Tawwasi.
Ketika memasuki usia 31 tahun, Syaikh Ahmad
At-Tijani mulai mendekatkan diri (taqarrub) pada Allah SWT melalui amalan
beberapa tarekat. Tarekat pertama yang diamalkannya adalah Tarekat
Qadiriyah, kemudian Tarekat Nasiriyah dari Abi Abdillah Muhammad Ibn
Abdillah. Selanjutnya, ia mengamalkan ajaran tarekat Ahmad Al-Habib Ibn
Muhammadan, Tarekat Tawwasiyah. Setelah itu, ia pindah ke zawiyah
(pesantren sufi) Syaikh Abdul Qadir Ibn Muhammad Al-Abyadh.
Pada tahun 1186 H, ia pergi menunaikan ibadah
haji. Ketika tiba di Aljazair, saat berjumpa dengan Sayyid Ahmad Ibn Abdul
Rahman Al-Azhari, seorang tokoh Tarekat Khalwatiyah, ia lalu mendalami
ajaran tarekat ini. Kemudian, Syaikh Tijani berangkat ke Tunisia dan
menjumpai seorang wali bernama Syaikh Abdul Samad Al-Rahawi. Di kota ini,
ia belajar tarekat secara lebih intens sambil mengajar tasawuf.
|
Syaikh Samman
Pendiri Tarekat Sammaniyah
Kemunculan Tarekat Sammaniyah bermula dari
kegiatan sang tokoh pendirinya, yaitu Syaikh Muhammad bin Abdul Karim
As-Samani Al-Hasani Al-Madani Al-Qadiri Al-Quraisyi. Ia adalah seorang
fakih, ahli hadits, dan sejarawan pada masanya. Dilahirkan di Kota Madinah
pada tahun 1132 Hijriyah atau bertepatan dengan tahun 1718 Masehi.
Keluarganya berasal dari suku Quraisy.
Semula, ia belajar Tarekat Khalwatiyyah di
Damaskus. Lama-kelamaan, ia mulai membuka pengajian yang berisi teknik
dzikir, wirid, dan ajaran tasawuf lainnya. Ia menyusun cara pendekatan diri
kepada Allah SWT yang akhirnya disebut sebagai Tarekat Sammaniyah.
Sehingga, ada yang mengatakan bahwa Tarekat Sammaniyah adalah cabang dari
Tarekat Khalwatiyyah. Demi memperoleh ilmu pengetahuan, ia rela menghabiskan
usianya dengan melakukan berbagai perjalanan. Beberapa negeri yang pernah
ia singgahi untuk menimba ilmu di antaranya adalah Iran, Syam, Hijaz, dan
Transoxania (wilayah Asia Tengah saat ini). Karyanya yang paling terkenal
adalah kitab Al-Insab. Ia juga mengarang buku-buku lain, seperti Mu'jamul
Mashayekh, Tazyilul Tarikh Baghdad, dan Tarikh Marv.
Syaikh Muhammad Samman dikenal sebagai tokoh
tarekat yang memiliki banyak karamah. Baik kitab Manaqib Syaikh al-Waliy
Al-Syahir Muhammad Saman maupun Hikayat Syaikh Muhammad Saman, keduanya
mengungkapkan sosok Syaikh Samman. Sebagaimana guru-guru besar tasawuf,
Syaikh Muhammad Samman terkenal akan kesalehan, kezuhudan, dan
kekeramatannya. Konon, ia memiliki karamah yang sangat luar biasa. ''Ketika
kaki diikat sewaktu di penjara, aku melihat Syaikh Muhammad Samman berdiri
di depanku dan marah. Ketika kupandang wajahnya, tersungkurlah aku dan
pingsan. Setelah siuman, kulihat rantai yang melilitku telah terputus,''
kata Abdullah Al-Basri. Padahal, kata seorang muridnya, Syaikh Samman
berada di kediamannya sendiri.
Adapun perihal awal kegiatan Syaikh Muhammad
Samman dalam tarekat dan hakikat, menurut Kitab Manaqib, diperolehnya sejak
bertemu dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Suatu ketika, Syaikh Muhammad
Samman berkhalwat (menyendiri) di suatu tempat dengan memakai pakaian yang
indah-indah. Pada waktu itu, datang Syaikh Abdul Qadir al-Jilani yang
membawakan pakaian jubah putih. ''Ini pakaian yang cocok untukmu.'' Syaikh
Abdul Qadir al-Jilani kemudian memerintahkan Syaikh Muhammad Samman agar
melepas pakaiannya dan mengenakan jubah putih yang dibawanya. Konon, Syaikh
Muhammad Samman menutup-nutupi ilmunya sampai datanglah perintah dari
Rasulullah Muhammad Saw. untuk menyebarkannya kepada penduduk Kota Madinah.
Wallahua’lam.
Hubungan Tari Saman Aceh dengan Sammaniyah
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) adalah provinsi
paling barat di bumi nusantara. Daerah ini dikenal sebagai 'Serambi
Makkah'-nya nusantara. Agama Islam yang masuk ke Indonesia dipercaya juga
berawal dari wilayah ini. Tak heran bila nuansa keislaman sangat kental di
provinsi paling barat di Indonesia tersebut. Sebagaimana disebutkan,
Tarekat Sammaniyah pertama kali masuk ke Indonesia melalui Aceh dan dibawa
oleh Syaikh Abdussamad Al-Falimbani sekitar abad ke-18, salah seorang murid
Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani Al-Hasani Al-Madani, pendiri
Tarekat Sammaniyah.
Tarekat Sammaniyah mengajarkan dzikir dan wirid
untuk mendekatkan diri kepada Allah kepada murid-muridnya. Wirid dan dzikir
itu biasanya diamalkan seusai melaksanakan shalat lima waktu dan dengan
cara duduk bersila. Seiring dengan perkembangannya, dzikir dan wirid
Sammaniyah terus berkembang. Di Sudan dan Nigeria (Afrika Utara), dzikir
dan wirid Sammaniyah ini dilaksanakan dengan cara berdiri sambil memuji
kebesaran Allah SWT. Tak hanya wirid seusai shalat lima waktu, zikir dan
wirid Sammaniyah biasanya dilaksanakan pada peringatan hari besar Islam,
seperti maulid Nabi Saw, Isra Mikraj, dan sebagainya.
Adakah hubungan antara dzikir Sammaniyah dan
tari Saman di Aceh? Belum ada penjelasan yang paling sahih mengenai
keberadaan masalah ini. Dalam beberapa literatur disebutkan, tarian Saman
di Aceh didirikan dan dikembangkan oleh Syaikh Saman, seorang ulama yang
berasal dari Gayo di Aceh Tenggara. Siapakah Syaikh Saman Aceh ini? Hingga
kini, penulis belum menemukannya. Tercatat, ia adalah seorang ulama yang
menyebarkan Islam di Aceh.
Pengamat sejarah Gayo, Ir Wahab Daud,
menjelaskan, tari Saman sangat identik dengan agama Islam karena tarian ini
dikembangkan sebagai alat untuk mengembangkan agama Islam, khususnya di
dataran tinggi Gayo Lues. Liriknya bermakna nasihat, petuah agama, petunjuk
hidup, dan sebagainya. Tarian ini mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan
santun, kepahlawanan, kekompakan, dan kebersamaan. Tari Saman biasanya
diawali dengan salam pembuka dari syaikh (pemuka adat atau pimpinan dari
tari Saman). Selanjutnya, disampaikan petuah-petuah tentang menjalani
kehidupan umat manusia. Tarian ini dilakukan oleh sedikitnya delapan orang.
Terkadang, dilakukan oleh 17 orang. Orang yang duduk pada posisi nomor
sembilan (tengah) bertindak sebagai pimpinan (syaikh).
Pada mulanya, tarian ini hanya merupakan
permainan rakyat biasa yang disebut Pok Ane. Melihat minat yang besar
masyarakat Aceh pada kesenian ini, Syaikh Saman pun menyisipkan syair-syair
yang berisi puji-pujian kepada Allah SWT. Sehingga, tari Saman menjadi
media dakwah saat itu. Dahulu, latihan Saman dilakukan di bawah kolong
meunasah (sejenis surau pada saat itu yang berbentuk panggung). Sehingga,
mereka tidak akan ketinggalan untuk shalat berjamaah. Sejalan dengan
kondisi Aceh yang berada dalam peperangan, syaikh pun menambahkan
syair-syair yang menambah semangat juang rakyat Aceh. Tari ini terus
berkembang sesuai kebutuhannya. Sampai sekarang, tari ini lebih sering
ditampilkan dalam perayaan-perayaan keagamaan dan kenegaraan.
Tak ditemukan penjelasan lain dari Wahab Daud
mengenai asal mula tari Saman. Pun, demikian dengan Mudha Farsyah, peneliti
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh. Ia hanya
menyebutkan, tari Saman berasal dari Aceh Gayo yang diciptakan oleh Syaikh
Saman, seorang ulama yang menyebarkan Islam di Aceh, khususnya Gayo.
Penulis belum menemukan biografi Syaikh Saman, pendiri atau pencipta tari
Saman ini.Tentu, akan sangat menarik dan semakin jelas bila ada riwayat
hidup Syaikh Saman ini, kemudian asal mula diciptakannya tarian ini.
Benarkah tarian ini memiliki hubungan dengan Tarekat Sammaniyah yang
didirikan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani Al-Hasani
al-Madani? Apakah tari Saman memang merupakan budaya asli Aceh yang
dikembangkan dari dzikir dan wirid? Wallahua’lam.
Sejarah Tarekat Sammaniyah
Tarekat Sammaniyah merupakan salah satu cabang
dari Tarekat Syadziliyah
Di samping Naqsyabandiyah, Syattariyah,
Qadiriyah, dan Syadziliyah, umat Islam juga mengenal adanya Tarekat
Sammaniyah. Tarekat Sammaniyah merupakan salah satu cabang dari Tarekat
Syadziliyah yang didirikan oleh Syaikh Abu Hasan Ali Asy-Syazili (wafat
1258) di Mesir. Pendiri Tarekat Sammaniyah adalah Syaikh Muhammad bin Abdul
Karim As-Samani Al-Hasani Al-Madani (1718-1775 M).
Tarekat ini berhasil membentuk jaringan yang
sangat luas dan mempunyai pengaruh besar di kawasan utara Afrika, yaitu
dari Maroko sampai ke Mesir. Bahkan, memperoleh pengikut di Suriah dan
Arabia. Aliran tarekat ini lebih banyak menjauhkan diri dari pemerintahan
dan penguasa serta lebih banyak memihak kepada penduduk setempat, di mana
tarekat ini berkembang luas. Salah satu negara Afrika yang banyak memiliki
pengikut Tarekat Sammaniyah adalah Sudan. Tarekat ini masuk ke Sudan atas
jasa Syaikh Ahmad At-Tayyib bin Basir yang sebelumnya belajar di Makkah
sekitar tahun 1800-an.
Pemimpin Tarekat Sammaniyah di Sudan yang
terkenal ialah Syaikh Muhammad Ahmad bin Abdullah (1843-1885) yang pernah
memproklamasikan dirinya sebagai Imam Mahdi (pemimpin yang ditunggu-tunggu
kedatangannya oleh masyarakat). Ia adalah seorang pemimpin dan anggota
Tarekat Sammaniyah yang sangat saleh dan kehadirannya dinanti-nantikan oleh
masyarakat Sudan.
Syaikh Muhammad Ahmad menghendaki adanya
perbaikan-perbaikan terhadap praktik-praktik keagamaan sesuai dengan agama
Islam yang benar. Ia memberikan berbagai perintah tentang bermacam-macam
aspek keagamaan, seperti pengasingan (pingitan) terhadap kaum wanita dan
pembagian tanah kepada rakyat, dan berusaha memodifikasi berbagai praktik
keagamaan masyarakat Sudan yang pada waktu itu dilakukan sebagai tradisi.
Ini semua bertujuan untuk menyesuaikan tradisi mereka dengan ajaran-ajaran
syariat.
Syaikh Muhammad Ahmad juga menentang pemakaian
jimat, penggunaan tembakau dan alkohol, ratapan wanita pada upacara
pemakaman jenazah, penggunaan musik dalam prosesi keagamaan, dan ziarah ke
kuburan orang-orang suci (wali). Dalam rangka meniru hijrah Nabi Muhammad
Saw., ia dan para pengikutnya mengasingkan diri di Pegunungan Kardofan,
lalu menyebut diri mereka sebagai Anshar (penolong) Nabi Muhammad Saw.
Lebih jauh, kelompok ini berhasil membentuk pemerintahan revolusioner
dengan organisasi militer yang sangat rapi dan mempunyai sumber keuangan
yang teratur serta administrasi yang baik.
Amalan Tarekat Sammaniyah
Ciri-ciri Tarekat Sammaniyah adalah berdzikir La
Ilaha Illa Allah dengan suara yang keras oleh para pengikutnya.
Dalam mewiridkan bacaan dzikir, para murid
Tarekat Sammaniyah biasa melakukannya secara bersama-sama pada malam Jumat
di masjid-masjid atau mushala sampai tengah malam.
Selain itu, ibadah yang diamalkan oleh Syaikh
Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani adalah shalat sunah Asyraq (setelah
Subuh) dua rakaat, shalat sunah Dhuha sebanyak 12 rakaat, memperbanyak
riyadhah (melatih diri lahir batin untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT), dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi.
Berikut adalah beberapa ajarannya yang terkenal;
Pertama, memperbanyak shalat dan dzikir.
Kedua, bersikap lemah lembut kepada fakir
miskin.
Ketiga, tidak mencintai dunia.
Keempat, menukarkan akal basyariyah
(kemanusiaan) dengan akal rabbaniyah (ketuhanan).
Kelima, menauhidkan Allah SWT, baik dalam Dzat,
Sifat, maupun Af'al-Nya.
|
Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi
Syaikh al-Akbar (Guru Teragung), demikian Ibnu
Arabi sering disapa. Ada pula yang menyapanya Muhyiddin (Penghidup Agama),
atau al-Kabrit Al-Ahmar (Belerang Merah). Sang pengusung ajaran wahdat al-wujud
ini merupakan sosok yang kontroversial. Syair-syair mistisnya
disenandungkan dengan bahasa erotis sehingga mengundang reaksi dari
kalangan fuqaha. Nama Muhyidin Ibnu Arabi, mengingatkan pada tokoh sufi
seperti Al-Hallaj (Baghdad), Syaikh Siti Jenar, dan Syaikh Hamzah Fansuri.
Syair-syair maupun ungkapan-ungkapannya banyak mengandung kontroversi.
Namun demikian, bila dicermati secara saksama, apa yang diucapkan atau
tertulis dalam syairnya, menggambarkan kecintaan dan kedekatan sang tokoh
dengan Tuhannya.
Ibnu Arabi sudah menulis tiga kumpulan puisi dan
ribuan syair yang tersebar di seluruh tulisan-tulisan prosanya. Sebagai
seorang teoretisi imajinasi Muslim terbesar, ia mampu menggambarkan
perasaan cinta, keagungan Tuhan, kesempurnaan Muhammad, dan keindahan alam
dalam puisi imajinatif yang sempurna. Dalam karyanya berjudul Dakha'ir
al-A'laq, Ibnu Arabi mengatakan, ''Aku menyinggung tentang ilmu makrifat
yang mulia, cahaya ketuhanan, misteri spiritual, ilmu pengetahuan,
intelektual, dan berbagai peringatan syari'ah. Akan tetapi, kuekspresikan
semuanya itu dengan gaya bahasa cinta erotis dan gelora asmara, karena jiwa
akan terpikat dengan ekspresi-ekspresi seperti itu.''
Ibnu Arabi sering kali menggunakan sebuah
perumpamaan untuk menggambarkan realitas keagungan dan keindahan Tuhan.
Terkadang, ia menggunakan tamsil bulan purnama (badr), dan tidak jarang
pula menggambarkan-Nya dengan perempuan cantik. Syair mistiknya dalam
Tarjaman al-Asywaq, melukiskan keindahan Tuhan. ''Seorang perempuan
ramping, langsing, cantik nan segar, untuk siapa hati pecinta yang
dirundung kerinduan. Racikan terjadi dengan harum wangi pada saat
menyebutnya, dan setiap gerak lidah tidak lain kecuali namanya.''
Syair tersebut seakan diucapkan oleh seorang
pemuda yang sedang dimabuk cinta kepada seorang wanita cantik yang
dicintainya. Kobaran cintanya menyala untuk selama-lamanya. Kapan pun
lelaki itu menyebut nama yang dicintanya itu, keluar aroma harum wangi,
karena kegandrungan itu sendiri adalah aroma. Karena tamsil yang terlalu
menonjolkan keindahan-keindahan fisik itu, Syaikh al-Akbar dituduh oleh
para fuqaha (ahli ilmu fiqih) tengah mengumbar syair-syair erotis dengan
menyamarkannya sebagai syair-syair mistis. Penilaian yang dilontarkan oleh
para fuqaha tidak sepenuhnya salah. Di dalam Kitab Tarjuman, Sang Guru
Teragung sendiri menceritakan pertemuannya dengan seorang gadis jelita yang
mengilhaminya menulis syair-syair indah.
Ia mengatakan, ''Yang kurasakan adalah seberkas
cahaya yang menerpa bahuku, yang dipantulkan oleh tangan-tangan lembut. Aku
berbalik dan kulihat seorang wanita, salah seorang putri Rum. Tak pernah
kulihat wajah yang secerah dia, atau kata-kata yang begitu indah, cerdas,
halus, dan suci.'' Ibnu Arabi kemudian menanyakan nama gadis itu.
''Kejernihan Mata,'' jawabnya. Ia lantas mengatakan, ''Setelah itu, aku
mengucapkan salam kepadanya dan pergi.'' Untuk menyanjung kesempurnaan
gadis itu, ia terkadang menyebutnya ''Pelipur Lara'' atau ''Sumber
Matahari''.
Rasa takjub Si Belerang Merah terhadap sang
gadis Persia tampaknya membekas di hatinya begitu dalam. Di pengantar
Tarjuman ia mengatakan, ''Setiap kali aku menyebut sebuah nama, nama dialah
yang kusebut. Setiap kali aku menyebut rumah, rumah dialah yang kusebut.''
Setelah mengakui kekagumannya terhadap sang gadis, ia segera mengingatkan
para pembaca bahwa apa yang ditulisnya adalah ilham ilahi dan wahyu
spiritual. Akan tetapi, peringatannya tampak sia-sia, karena kelompok
fuqaha tidak mengendorkan tuduhan kepadanya sebagai pengumbar hawa nafsu.
Ibnu Arabi kemudian merasa perlu menulis sebuah ulasan atas Kitab Tarjuman
yang diberi nama Dakha'ir al-A'laq. Di dalamnya dijelaskan dengan tegas dan
lugas makna spiritual di balik ungkapan yang biasa ia gunakan dalam bahasa
cinta.
Keberanian Ibn Arabi tidak hanya dalam memilih
kata-kata erotis untuk menyanjung Dzat Yang Maha Kuasa. Ketajaman
spiritualitasnya mendorongnya untuk berani mengakui dirinya sebagai orang
yang tidak terikat oleh suatu agama formal. Tak heran jika ia kemudian
dituduh sesat dan menyesatkan, murtad, atau seorang Nasrani oleh kelompok
yang tidak suka dengannya. Dalam sebuah syair yang masyhur ia berkata,
''Hatiku telah berganti rupa jadi semua bentuk: padang rumput bagi
rusa-rusa, biara bagi para rahib, kuil bagi arca-arca, Ka'bah bagi
peziarah. Lembaran Taurat, Kitab Suci Al Qur'an. Aku memeluk agama cinta,
dan ke arah mana pun unta-unta menuju, cinta adalah agama dan
keyakinanku.''
Gelora cinta yang ia ungkapkan itu tampak
melintasi batas-batas fisik dan keterikatan dengan agama formal. Ia
menyebut dirinya laksana biara, kuil, Ka'bah, yang merupakan tempat ibadah
umat yang berlainan agama. Namun, sesungguhnya Ibnu Arabi memiliki hubungan
spesial dengan benda fisik yang membuatnya mabuk asmara. Benda itu adalah
Ka'bah. Ka'bah menempati kedudukan istiwewa dalam diri Ibnu Arabi. Ketika
berada di Makkah pada 598 H, ikatannya dengan Ka'bah melampaui
ikatan-ikatan peziarah biasa. Dalam pandangannya, Ka'bah adalah mahkluk
hidup yang dapat berbicara dan mendengar.
Dikisahkan dalam kitabnya al-Futuhat
al-Makkiyah, ia tidak terkejut ketika suatu hari Ka'bah memanggil dan
memintanya bertawaf. Sementara itu, mata air Zamzam mengharapkan untuk
meminumnya. ''Kedua permintaan itu jelas sekali terdengar,'' katanya. Oleh
karena itu, kecintaan Ibnu Arabi kepada Ka'bah, laksana cintanya kepada
makhluk hidup. Dalam Tarjuman ia bersenandung untuk Ka'bah, ''Kasih Allah
bagi orang-orang yang taat. Allah telah memilihmu di antara bebatuan.
Engkaulah rumah Allah. Cahaya hatiku. Kesegaran mataku. Hatiku. Secara
hakiki engkau adalah rahasia wujud. Altarku. Kemurnian cintaku. Duhai
Ka'bah Allah, hidupku.''
Pengakuan Syaikh al-Akbar tentang
pengalaman-pengalaman spiritualnya yang begitu hebat tidak hanya terjadi
ketika di Makkah. Sebelumnya, ketika masih berada di Fez, Maroko, tahun 595
H, ia mengaku telah dianugerahi gelar oleh Allah sebagai Penutup Kewalian
Muhammad. Pengakuannya itu ia tuangkan dalam al-Futuhat al-Makkiyah.
''Di antara hamba-hamba Allah, aku adalah ruh suci,
sebagaimana malam penentuan adalah ruh segala malam. Aku menyucikan diriku
dari ketidakseimbangan dengan keseimbangan. Karena kebaikan yang ada pada
diriku, aku asing terhadap keseimbangan maupun ketidakseimbangan. Dan,
manakala pada suatu malam Tuhan datang dan menyatakan kepadaku bahwa akulah
sang penutup, pada awal bulan itu. Dia berfirman kepada orang yang kala itu
berada di cakrawala tertinggi dan alam perintah.''
Meski demikian, ia berseru kepada Allah,
berlindung kepada-Nya untuk tidak dipuja oleh para pengikutnya. Pada suatu
malam yang sunyi ia memanjatkan doa, ''Rabb, aku pernah meminta-Mu untuk
mengizinkan hamba-Mu agar tetap tersembunyi hingga akhir zaman. Rabb, aku
meminta-Mu untuk melindungiku dari segala pemujaan terhadapku.''
Karisma Sang Penutup Kewalian Muhammad
''Akulah anggrek yang merekah dan panen yang
melimpah. Kini, angkatlah tabirku dan bacalah apa yang tertera dalam
tulisanku. Apa pun yang engkau lihat pada diriku, tuliskan dalam bukumu dan
ajarkan kepada semua sahabatmu.''
Pernyataan Ibnu Arabi di atas adalah sebuah
ajakan kepada siapa pun untuk menerima ajaran-ajarannya, kemudian
menularkannya kepada orang-orang yang membuka diri. Apa yang ia
cita-citakan itu menjadi nyata. Karya-karya agungnya telah menyebar ke
hampir seluruh dunia Islam dan Barat sampai saat ini.
Ibnu Arabi lahir di Murcia, Spanyol Islam, pada
17 Ramadhan 560 H, bertepatan dengan 28 Juli 1165, dengan nama Abu Bakar
Muhammad ibnu al-'Arabi al-Hatimi at-Ta'i. Sejak kecil tanda-tanda
keistimewaan sang Muhyiddin (Penghidup Agama) telah tampak. Karena itu
pula, ia sering dipanggil dengan nama Muhyidin Ibnu Arabi. Pada satu ketika
di kota Sevilla, ia sedang bermain bersama teman-temannya, tiba-tiba Ibnu
Arabi kecil mendengar suara yang memanggilnya, ''Hai Muhammad, bukan untuk
ini kamu diciptakan.'' Karena suara itu, ia menjadi gelisah.
Ia melarikan diri dan menyendiri untuk beberapa
hari di sebuah tempat pekuburan. Di situlah ia mengalami tiga musyahadah
yang mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan spiritualnya. Konon, Ibnu
Arabi telah bertemu Nabi Isa as, Musa as, dan Muhammad Saw, yang mengasah
kualitas spiritualnya. Karena pengalaman dan kedalaman spiritualnya itu,
Guru Teragung ini meyakini dirinya sebagai Penutup Kewalian Muhammad. Dalam
karyanya, al-Futuhat al-Makkiyyah, ia menuturkan memperoleh pengetahuan
dari Tuhan dengan cara begitu saja, karena pintu-pintu ilmu pengetahuan
telah terbuka baginya. Ketika pintu telah terbuka, ia menemukan dirinya
telah mewarisi seluruh ilmu pengetahuan Muhammad.
Ibnu Arabi mengatakan, ''Kekasih Tuhan akan
meneruskan warisan Muhammad. Di antara wali-wali Tuhan adalah pewaris
Ibrahim, Musa, dan Isa. Hal itu terus berlangsung hingga ada Penutup
Muhammad.''
Dalam salah satu syair pendeknya, Ibnu Arabi
mengungkapkan masalah ini. ''Kuwarisi Muhammad dan kuwarisilah segalanya.''
William C. Chittick dalam bukunya, Dunia
Imajinal Ibnu Arabi, menyatakan, pengakuan Ibnu Arabi sebagai Penutup
Kewalian Muhammad agak berlebihan. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa tak
seorang pun setelahnya yang punya visi begitu terbuka, segar, dan
terperinci. ''Terlepas dari kita setuju atau tidak terhadap pengakuannya,
sulit untuk kita menolak gelarnya sebagai Guru Teragung,'' katanya.
Ibnu Arabi mewariskan sekitar 500 karya kepada
generasi setelahnya. Karya teragungnya adalah al-Futuhat al-Makkiyyah
(Pembukaan Wahyu Makkah) setebal 15 ribu halaman di edisi terbarunya.
Kilauan cahaya ilmu di dalamnya ia ringkas dalam karyanya, Fushush al-Hikam
(Cincin Pengikat Hikmah). Tak mengherankan jika sosok Ibnu Arabi menarik
perhatian sarjana-sarjana modern. Banyak nama sarjana Barat yang dikenal
menggeluti karya-karya Ibnu Arabi. Di antaranya HS Nyberg, Miguel Asin
Palacois, Titus Burckhardt, Henry Cobin, Toshihiko Izutsu, dan RA
Nicholson. Ibnu Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 M bertepatan
dengan tanggal 22 Rabiul Akhir 638 H pada usia 70 tahun.
|
Sulthanul Awliya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
Syaikh Abdur Qadir al-Jilani adalah imam yang
zuhud dari kalangan sufi. Beliau lahir tahun 470 H di Baghdad dan
mendirikan tarekat Qadiriyah. Diantara tulisan Beliau antara lain kitab
Al-Fath Ar-Rabbani, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haq dan Futuh Al-Ghaib.
Tahun wafat Beliau tercatat tahun 561 H, bertepatan dengan 1166 M. Beliau
adalah seorang yang shalih. Bila dirunut ke atas dari nasabnya, Beliau
masih keturunan dari Sayyidina Ali bin Abi Talib ra. Nama lengkap Beliau
adalah Abu Shalih Sayidi Abdul Qodir bin Musa bin Abdullah bin Yahya
Az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Mahdhi bin
Hasan al-Mutsana bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra.
Jumlah karomah yang dimiliki oleh Syaikh Abdul
Qadir al-Jilani banyak sekali:
Dari Syaikh Abil Abbas Ahmad ibn Muhammadd ibn
Ahmad al-Urasyi al-Jili:
Pada suatu hari, aku telah menghadiri majelis
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani beserta murid-muridnya yang lain. Tiba-tiba,
muncul seekor ular besar di pangkuan Syaikh. Maka orang ramai yang hadir di
majelis itu pun berlari tunggang langgang ketakutan. Tetapi Syaikh Abdul
Qadir al-Jilani hanya duduk dengan tenang saja. Kemudian ular itu pun masuk
ke dalam baju Syaikh dan telah merayap-rayap di badannya. Setelah itu, ular
itu naik ke lehernya. Namun, Syaikh masih tetap tenang dan tidak berubah
keadaan duduknya. Setelah beberapa waktu berlalu, turunlah ular itu dari
badan Syaikh dan ia seperti bicara dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani.
Setelah itu, ular itu pun ghaib. Kami pun bertanya kepada Syaikh tentang
apa yang telah dikatakan oleh ular itu. Menurut Beliau, ular itu berkata
bahwa dia telah menguji wali-wali Allah yang lain, tetapi dia tidak pernah
bertemu dengan seorang pun yang setenang dan sehebat Syaikh Abdul Qadir
al-Jilani.
Pada suatu hari, ketika Syaikh sedang mengajar
murid-muridnya di dalam sebuah majelis, seekor burung terbang di atas
majelis sambil mengeluarkan satu bunyi yang mengganggu majelis itu. Maka
Syaikhpun berkata, “Wahai angin, ambil kepala burung itu.” Seketika itu
juga, burung itu jatuh dalam keadaan kepalanya telah terputus dari
badannya. Setelah melihat keadaan burung itu, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
pun turun dari kursi tingginya dan mengambil badan burung itu, lalu
disambungkan kepala burung itu ke badannya. Kemudian Syaikh berkata,
“Bismillaahirrahmaanirrahiim.” Dengan serta merta burung itu hidup kembali
dan kemudian terbang dari tangan Syaikh. Maka takjublah para hadirin di
majelis itu karena melihat kebesaran Allah yang telah ditunjukkan-Nya
melalui tangan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani.
Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:
Pada suatu hari, pada tahun 537 H,seorang lelaki
dari kota Baghdad (dikatakan oleh setengah perawi bahwa lelaki itu bernama
Abu Sa‘id ‘Abdullah ibn Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Baghdadi) telah
datang bertemu dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, dan berkata bahwa dia
mempunyai seorang anak gadis cantik berumur 16 tahun bernama Fatimah. Anak
gadisnya itu telah diculik (diterbangkan) dari atas atap rumahnya oleh
seorang jin. Maka Syaikh Abdul Qadir al-Jilani pun menyuruh lelaki itu
pergi pada malam hari itu, ke suatu tempat bekas rumah roboh, di satu
kawasan lama di kota Baghdad bernama al-Karkh.
“Carilah bonggol yang kelima, dan duduklah di
situ. Kemudian, gariskan satu bulatan sekelilingmu di atas tanah. Ketika
engkau membuat garis, ucapkanlah “Bismillah, dan di atas niat Syaikh Abdul
Qadir al-Jilani” Apabila malam telah gelap, engkau akan didatangi oleh
beberapa kumpulan jin, dengan berbagai rupa dan bentuk. Janganlah engkau
takut. Apabila waktu hampir terbit fajar, akan datang pula raja jin dengan
segala angkatannya yang besar. Dia akan bertanya hajatmu. Katakan kepadanya
bahwa aku menyuruh engkau datang menemuinya. Kemudian ceritakanlah
kepadanya tentang kejadian yang telah menimpa anak perempuanmu itu.”
Lelaki itu pun pergi ke tempat itu dan
melaksanakan arahan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Beberapa waktu kemudian,
datanglah jin-jin yang coba menakut-nakuti lelaki itu, tetapi jin-jin itu
tidak kuasa untuk melintasi garis bulatan itu. Jin-jin itu datang silih
berganti. Dan akhirnya, datanglah raja jin dengan menunggang seekor kuda dan
disertai oleh satu pasukan yang besar dan hebat rupanya.
Raja jin itu memberhentikan kudanya di luar
garis bulatan dan bertanya kepada lelaki itu, “Wahai manusia, apakah
hajatmu?”Lelaki itu menjawab, “Aku disuruh oleh Syaikh Abdul Qadir
al-Jilani untuk bertemu denganmu.”
Begitu mendengar nama Syaikh Abdul Qadir
al-Jilani diucapkan oleh lelaki itu, raja jin itu turun dari kudanya.
Kemudian raja jin itu duduk, disertai dengan seluruh anggota rombongannya.
Sesudah itu, raja jin itu menanyakan masalah lelaki itu. Lelaki itu pun
menceritakan kisah anak gadisnya yang telah diculik oleh seorang jin.
Setelah mendengar cerita lelaki itu, raja jin itu pun memerintahkan agar
dicari si jin yang bersalah itu. Beberapa waktu kemudian, dibawa ke hadapan
raja jin, seorang jin lelaki dari negara Cina bersama dengan anak gadis
manusia yang diculiknya.Raja jin bertanya, “Kenapa engkau culik anak gadis
ini? Tidakkah engkau tahu bahwa dia ini berada di bawah naungan al-Quthb?”
Jin lelaki dari negara Cina itu mengatakan bahwa
dia jatuh hati kepada anak gadis tersebut. Raja jin itu pun memerintahkan
agar anak gadis itu dikembalikan kepada bapaknya, dan jin dari Cina itu
juga dikenai hukuman pancung. Lelaki itu pun mengatakan rasa takjubnya
dengan segala perbuatan raja jin itu, yang sangat patuh kepada Syaikh Abdul
Qadir al-Jilani. Raja jin itu berkata pula, “Sudah tentu, karena Syaikh
Abdul Qadir al-Jilani dapat melihat dari rumahnya semua kelakuan jin-jin
yang jahat. Dan mereka semua berada di sejauh-jauh tempat di atas bumi, karena
lari dari sebab kehebatannya. Allah Ta’ala telah menjadikan Syaikh Abdul
Qadir al-Jilani bukan saja al-Qutb bagi umat manusia, bahkan juga bagi
seluruh bangsa jin.”
Telah bercerita Syaikh Abi Umar Usman dan Syaikh
Abu Muhammad Abdul Haqq al-Huraimi:
Pada tanggal 3 bulan Safar, kami berada di sisi
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani pada waktu itu, Syaikh sedang mengambil wudhu
dan memakai sepasang terompah. Setelah selesai menunaikan shalat dua
raka'at, Beliau berteriak dengan tiba-tiba, dan melemparkan salah satu dari
terompahnya dengan sekuat tenaga sampai tak nampak lagi oleh mata. Setelah
itu, Beliau berteriak sekali lagi, lalu melemparkan terompah yang satu
lagi. Kami yang berada di situ, melihat dengan keheranan, tetapi tidak ada
seorang pun yang berani menanyakan maksud semua itu. Dua puluh tiga hari
kemudian, sebuah kafilah datang untuk menziarahi Syaikh Abdul Qadir
al-Jilani. Mereka membawa banyak hadiah untuknya, termasuk baju, emas dan
perak. Dan anehnya, termasuk juga sepasang terompah. Ketika kami amati,
kami lihat terompah itu adalah terompah yang pernah dipakai oleh Syaikh
Abdul Qadir al-Jilani. Kami pun bertanya kepada rombongan kafilah itu, dari
manakah datangnya sepasang terompah itu.
Inilah cerita mereka:
Pada tanggal 3 bulan Safar yang lalu, ketika
kami sedang di dalam satu perjalanan, kami diserang oleh perompak. Mereka
merampas semua barang-barang kami dan membawa barang-barang yang mereka
rampas itu ke satu lembah untuk dibagikan di antara mereka. Kami pun
berbincang di antara kami dan telah mencapai satu keputusan. Kami lalu
menyeru Syaikh Abdul Qadir al-Jilani agar menolong kami. Kami juga bernazar
apabila kami selamat, kami akan memberinya beberapa hadiah. Tiba-tiba, kami
mendengar satu jeritan yang amat kuat, sehingga menggemparkan lembah itu
dan kami lihat di udara ada satu benda yang melayang dengan cepat sekali.
Beberapa waktu kemudian, terdengar satu lagi bunyi yang sama, dan kami
lihat satu lagi benda seperti tadi yang melayang ke arah yang sama. Setelah
itu, kami melihat para perompak itu lari tunggang langgang dari tempat
mereka sedang membagi-bagikan harta rampasan itu, dan mereka meminta kami
mengambil kembali harta kami, karena mereka ditimpa satu musibah. Kami pun
pergi ke tempat itu. Kami lihat kedua orang pemimpin perompak itu telah
mati. Di sisi mereka, ada sepasang terompah. Inilah terompah itu.
Telah bercerita Syaikh Abduh Hamad ibn Hammam: Pada
mulanya aku memang tidak suka kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Walaupun
aku adalah saudagar yang paling kaya di kota Baghdad waktu itu, aku tidak
pernah merasa tentram ataupun berpuas hati. Pada suatu hari, aku pergi
menunaikan shalat Jum’at. Ketika itu, aku tidak mempercayai tentang
cerita-cerita karomah yang dikaitkan pada Syaikh Abdul Qadir al-Jilani.
Sesampainya aku di masjid itu, aku dapati Beliau dikerumuni oleh jama'ah.
Aku mencari tempat yang tidak terlalu ramai, dan aku mendapat tempat di
depan mimbar. Di kala itu, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani baru saja mulai
untuk khutbah Jum'at. Ada beberapa perkara yang disampaikan oleh Syaikh
Abdul Qadir al-Jilani yang menyinggung perasaanku.Tiba-tiba, aku terasa
hendak buang air besar. Untuk keluar dari masjid itu memang sukar dan agak
mustahil. Dan aku dihantui perasaan gelisah dan malu, aku khawatir buang
air besar di sana di depan orang banyak. Dan kemarahanku terhadap Syaikh
Abdul Qadir al-Jilani pun bertambah dan memuncak.
Pada saat itu, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
turun dari atas mimbar dan berdiri di hadapanku. Sambil terus memberikan
khutbah, Beliau menutup tubuhku dengan jubahnya. Tiba-tiba aku seperti
berada di satu tempat yang lain, yakni di satu lembah hijau yang sangat
indah. Aku lihat sebuah anak sungai mengalir perlahan di situ dan keadaan
sekelilingnya sunyi sepi, tanpa kehadiran seorang manusia, dan aku pun pergi
buang air besar. Setelah selesai, aku mengambil wudlu. Ketika aku sedang
berniat untuk shalat, tiba-tiba diriku berada di tempat semula di bawah
jubah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Beliau mengangkat jubahnya dan menaiki
kembali tangga mimbar itu.
Aku sungguh-sungguh merasa terkejut. Bukan
karena perutku sudah merasa lega, tetapi juga keadaan hatiku. Segala
perasaan marah, ketidakpuasan hati, dan perasaan-perasaan jahat yang lain,
semuanya telah hilang. Setelah shalat Jum’at berakhir, aku pun pulang ke
rumah. Di dalam perjalanan, aku menyadari bahwa kunci rumahku telah hilang.
Dan aku kembali ke masjid untuk mencarinya. Begitu lama aku mencari, tetapi
tidak kutemukan, terpaksa aku menyuruh tukang kunci untuk membuat kunci
yang baru. Pada keesokan harinya, aku meninggalkan Baghdad dengan
rombonganku karena urusan perniagaan. Tiga hari kemudian, kami melewati
satu lembah yang sangat indah.
Seolah-olah ada suatu kuasa ajaib yang menarikku
untuk pergi ke sebuah anak sungai. Barulah aku teringat bahwa aku pernah
pergi ke sana untuk buang air besar, beberapa hari sebelum itu. Aku mandi
di anak sungai itu. Ketika aku sedang mengambil jubahku, aku temukan
kembali kunciku, yang rupa-rupanya telah tertinggal dan telah tersangkut
pada sebatang dahan di situ. Setelah aku sampai di Baghdad, aku menemui
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dan menjadi anak muridnya.
Telah bercerita Syaikh ‘Adi ibn Musafir
al-Hakkar: Aku pernah berada di antara ribuan hadirin yang berkumpul untuk
mendengar pengajian Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Ketika Beliau sedang
berbicara, tiba-tiba hujan turun lebat. Beberapa orang pun berlari
meninggalkan tempat itu. Langit kala itu sedang diliputi awan hitam yang
menandakan hujan akan terus turun dengan lebat. Aku melihat Beliau
mendongak ke langit dan mengangkat tangannya serta berdoa, “Ya Robbi! Aku
telah mengumpulkan manusia karena-Mu, adakah kini Engkau akan menghalau
mereka daripadaku?”
Setelah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani berdoa,
hujan pun berhenti. Tidak setitik pun hujan yang jatuh ke kami, pada hal di
sekeliling kami hujan masih terus turun dengan deras.
Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat: Pada
suatu hari, istri-istri Syaikh Abdul Qadir al-Jilani bertemu dengannya dan
berkata, “Wahai suami kami yang terhormat, anak lelaki kecil kita telah
meninggal dunia. Namun kami tidak melihat setitik air mata pun yang
mengalir dari mata kakanda dan tidak pula kakanda menunjukkan tanda
kesedihan. Tidakkah kakanda menyimpan rasa belas kasihan kepada anak lelaki
kita, yang merupakan darah daging kakanda sendiri? Kami semua sedang
dirundung kesedihan, namun kakanda masih juga meneruskan pekerjaan kakanda,
seolah-olah tiada sesuatu pun yang terjadi. Kakanda adalah pemimpin dan
pelindung kami di dunia dan di akhirat. Tetapi jika hati kakanda telah
menjadi keras sehingga tiada lagi menyimpan rasa belas kasihan, bagaimana
kami dapat bergantung kepada kakanda di Hari Pembalasan kelak?”
Maka berkatalah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani:
“Wahai isteri-isteriku yang tercinta! Janganlah kamu semua menyangka hatiku
ini keras. Aku menyimpan rasa belas kasihan di hatiku terhadap seluruh
makhluk, sampai terhadap orang-orang kafir dan juga terhadap anjing-anjing
yang menggigitku. Aku berdoa kepada Allah agar anjing-anjing itu berhenti
menggigit, bukanlah karena aku takut digigit, tetapi aku takut nanti
manusia lain akan melempar anjing-anjing itu dengan batu. Tidakkah kamu
mengetahui bahwa aku mewarisi sifat belas kasihan Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa sallam, yang telah diutus Allah sebagai rahmat untuk sekalian
alam?”
Maka wanita-wanita itu berkata pula, “Kalau
benar kakanda mempunyai rasa belas kasihan terhadap seluruh makhluk Allah,
sampai kepada anjing-anjing yang menggigit kakanda, kenapa kakanda tidak
menunjukkan rasa sedih atas kehilangan anak lelaki kita yang telah
meninggal ini?”
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani pun menjawab,
“Wahai istri-istriku yang sedang berduka, kamu semua menangis karena kamu
semua merasa telah berpisah dari anak lelaki kita yang kamu semua sayangi.
Tetapi aku senantiasa bersama dengan orang-orang yang aku sayangi. Kamu
semua telah melihat anak lelaki kita di dalam satu ilusi yang disebut
dunia. Kini, dia telah meninggalkannya lalu berpindah ke satu tempat yang
lain. Memang dunia ini adalah satu ilusi, untuk mereka yang sedang terlena.
Tetapi aku tidak terlena – aku melihat dan waspada. Aku melihat anak lelaki
kita sedang berada di dalam bulatan masa, dan kini dia telah keluar
darinya. Namun aku masih dapat melihatnya. Dia kini berada di sisiku. Dia
sedang bermain-main di sekelilingku, sebagaimana yang pernah dia lakukan
pada masa lalu. Sesungguhnya, jika seseorang itu dapat melihat Kebenaran
melalui mata hatinya, sama dengan yang dilihatnya masih hidup ataupun sudah
mati, maka Kebenaran itu tetap tidak akan hilang.”
Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat: Pada
suatu hari, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani berjalan-jalan dengan muridnya di
padang pasir. Waktu itu hari sangat panas, dan mereka sedang berpuasa.
Mereka pun merasa letih dan dahaga. Tiba-tiba, sekumpulan awan muncul, yang
melindungi mereka dari panas terik matahari. Setelah itu, sebatang pohon
kurma dan sebuah kolam air muncul di hadapan mereka. Mereka terpesona.
Kemudian satu cahaya besar yang berkilauan, muncul dari celah awan di
hadapan mereka dan terdengarlah satu suara dari dalamnya yang berkata,
“Wahai Abdul Qadir, akulah Tuhanmu. Makan dan minumlah, karena pada hari
ini, telah aku halalkan untuk engkau apa yang telah aku haramkan untuk
orang-orang lain.” Syaikh Abdul Qadir al-Jilani pun melihat ke arah cahaya
itu dan berkata, “Aku berlindung dengan Allah dari godaan syaitan yang
terkutuk.” Tiba-tiba, cahaya, pohon kurma dan kolam itu semuanya hilang
dari pandangan mata. Maka kelihatanlah iblis di hadapan mereka dengan
bentuk rupanya yang asli.
Iblis bertanya, “Bagaimanakah engkau dapat
mengetahui itu sebenarnya adalah aku?” Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
menjawab, “Syari'at itu sudah sempurna, dan tidak akan berubah sampai Hari
Kiamat. Allah tidak akan mengubah yang haram kepada yang halal, walaupun
untuk orang-orang yang menjadi pilihan-Nya (wali-Nya).” Maka iblis pun
berkata lagi untuk menguji Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, “Aku mampu menipu
70 kaum dari golongan salikin (yakni orang-orang yang menempuh jalan
keruhanian) dengan cara ini. Ilmu yang engkau miliki lebih luas daripada
ilmu mereka. Apakah hanya ini jumlah pengikutmu? Sudah sepatutnya semua
penduduk bumi ini menjadi pengikutmu, karena ilmumu menyamai ilmu para
nabi.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menjawab, “Aku
berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar, Yang Maha Mengetahui, daripada
engkau. Bukanlah karena ilmuku aku selamat, tetapi karena rahmat dari
Allah, Pengatur sekalian alam.”
Syeikh Abdul Qadir Jilani
(Futuhal Ghaib 1)
Ada tiga perkara yang wajib diperhatikan oleh
setiap Mu’min di dalam seluruh keadaan, yaitu: (1) melaksanakan segala
perintah Allah; (2) menjauhkan diri dan segala yang haram; (3) ridha dengan
hukum-hukum atau ketentuan Allah.
Ketiga perkara ini jangan sampai tidak ada pada
seorang Mu’min. Oleh karena itu, seorang Mu’min harus memikirkan perkara
ini. Bertanya kepada dirinya tentang perkara ini dan anggota tubuhnya
melakukan perkara ini.
Ikutilah dengan ikhlas jalan yang telah ditempuh
oleh Nabi besar Muhammad saw. dan janganlah merubah jalan itu. Patuhlah
kepada Allah dan Rasul-Nya, dan jangan sekali-kali berbuat durhaka.
Ber-Tauhid-lah kepada Allah dan jangan menyekutukan-Nya. Allah itu Maha
Suci dan tidak mempunyai sifat-sifat tercela atau kekurangan. Janganlah
ragu-ragu terhadap kebenaran Allah. Bersabarlah dan berpegang-teguhlah
kepada-Nya. Bermohonlah kepada-Nya dan tunggulah dengan sabar.
Bersatu-padulah di dalam menta’ati Allah dan janganlah berpecah-belah.
Saling mencintailah di antara sesama dan janganlah saling mendengki.
Hindarkanlah dari dari segala noda dan dosa. Hiasilah dirimu dengan
keta’atan kepada Allah.
Janganlah menjauhkan diri dari Allah dan
janganlah lupa kepada-Nya. Janganlah lalai untuk bertobat kepada-Nya dan
kembali kepada-Nya. Janganlah jemu untuk memohon ampun kepada Allah pada
siang dan malam hari. Mudah-mudahan diberi rahmat dan dilindungi oleh-Nya
dari marabahaya dan azab neraka, diberi kehidupan yang berbahagia di dalam
surga, bersatu dengan Tuhan dan diberi nikmat-nikmat oleh-Nya. Anda akan
menikmati kebahagiaan dan
kesentosaan yang abadi di surga beserta para
Nabi, orang-orang shiddiq, para syuhada’ dan orang-orang shaleh. Anda akan
hidup kekal di dalam surga itu untuk selama-lamanya.
Apabila kamu ‘mati’ dari makhiuk, maka akan
dikatakan kepada kamu, “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kamu.”
Kemudian Allah akan mematikan kamu dari nafsu-nafsu badaniyyah. Apabila
kamu telah ‘mati’ dari nafsu badaniyyah, maka akan dikatakan kepada kamu,
“Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kamu”. Kemudian Allah akan
mematikan kamu dan kehendak-kehendak dan nafsu. Dan apabila kamu telah
‘mati’ dari kehendak dan nafsu, maka akan dikatakan kepada kamu, “Semoga
Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kamu.” Kemudian Allah akan menghidupkan
kamu di dalam suatu ‘kehidupan’ yang baru.
Setelah itu, kamu akan diberi ‘hidup’ yang tidak
ada ‘mati’ lagi. Kamu akan dikayakan dan tidak akan pernah papa lagi. Kamu
akan diberkati dan tidak akan dimurkai. Kamu akan diberi ilmu, sehingga
kamu tidak akan pernah bodoh lagi. Kamu akan diberi kesentosaan dan kamu
tidak akan merasa ketakutan lagi. Kamu akan maju dan tidak akan peroah
mundur lagi. Nasib kamu akan baik, tidak akan pemah buruk. Kamu akan
dimuliakan dan tidak akan dihinakan. Kamu akan didekati oleh Allah dan
tidak akan dijauhi oleh-Nya.
Martabat kamu akan menjadi tinggi dan tidak akan
pernah rendah lagi. Kamu akan dibersihkan, sehingga tidak lagi kamu merasa
kotor. Ringkasnya, jadilah kamu seorang yang tinggi dan memiliki
kepribadian yang mandiri. Dengan demikian, maka kamu boleh dikatakan
sebagai orang yang luar biasa.
Jadilah kamu ahli waris para Rasul, para Nabi
dan orang-orang yang shiddiq. Dengan demikian, kamu akan menjadi titik
akhir bagi segala kewalian, dan wali-wali yang masih hidup akan datang
menemuimu. Melalui kamu, segala kesulitan dapat diselesaikan, dan melalui
shalatmu, tanaman-tanaman dapat ditumbuhkan, hujan dapat diturunkan dan
malapetaka yang hendak menimpa umat manusia dan seluruh tingkatan dan
lapisan dapat dihindarkan. Boleh dikatakan kamu adalah polisi yang menjaga
kota dan rakyat.
Orang-orang akan berdatangan menemuimu dari
tempat-tempat yang dekat dan jauh dengan membawa hadiah dan oleh-oleh dan
memberikan khidmat mereka kepadamu. Semua ini hanyalah karena idzin Allah
Yang Maha Perkasa dan Maha Kuasa jua. Lisan manusia tak henti-hentinya menghormati
dan memuji kamu. Tidak ada dua orang yang beriman yang bertingkah kepadamu.
Wahai mereka yang baik-baik, yang tinggal di tempat-tempat ramai dan mereka
yang mengembara, inilah karunia Allah. Dan Allah mempunyai kekuasaan yang
tiada terbatas.
Apabila kamu melihat dunia dikuasai oleh
ahli-ahli dunia dengan perhiasan dan kekosongannya, dengan penipuan dan
perangkapnya dan dengan racunnya yang membunuh yang di luarnya tampak
lembut tetapi di dalamnya sangat niembahayakan, cepat merusak dan membunuh
siapa saja yang memegangnya, yang menipu mereka dan yang menyebabkan mereka
lengah terhadap dosa dan maksiat; apabila kamu lihat semua itu, maka
hendaklah kamu bersikap sebagai seorang yang melihat orang lain yang
membuang air besar yang membuka auratnya dan mengeluarkan bau busuk. Dalam
keadaan seperti itu, hendaklah kamu memalingkan pandanganmu dari
ketelanjangannya dan menutup hidungmu supaya tidak mencium baunya yang
busuk. Demikian pulalah hendaknya kamu bersikap terhadap dunia. Apabila
kamu melihatnya, maka hendaklah kamu memalingkan pandanganmu dari
pakaiannya dan tutuplah hidungmu supaya tidak mencium bau busuk
kegemerlapannya yang tidak kekal. Semoga dengan demikian kamu dapat selamat
dari bahaya dan cobaannya. Apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, pasti
akan kamu rasakan. Allah telah berfirman kepada Nabi Muhammad saw.:
‘Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada
apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai
bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan
kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.’ (QS,20:131)
Syeikh Abdul Qadir Jilani
(Futuhal Ghaib 2)
Akan kami paparkan bagimu sebuah misal tentang
kelimpahan, dan kami berkata, “Tidakkah kau lihat seorang raja yang
menjadikan seorang biasa sebagai gubernur kota tertentu, memberinya busana
kehormatan, bendera, panji-panji dan tentara, sehingga ia merasa aman mulai
yakin bahwa hal itu akan kekal, bangga dengannya, dan lupa akan keadaan
sebelumnya. Ia terseret oleh kebanggaan, kesombongan, dan kesia-siaan.
Maka, datanglah perintah pemecatan dari raja. Dan sang raja meminta
penjelasan atas kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya dan
pelanggarannya atas perintah dan larangannya. Lalu sang raja
memenjarakannya di dalam sebuah penjara yang sempit dan gelap serta
memperlama pemenjaraannya, dan orang itu terus menderita, terhinakan dan
sengsara, akibat ketakaburan dan kesia-siaannya, dirinya hancur, api
kehendaknya padam, dan semua ini terjadi di depan mata sang raja dan
diketahuinya. Setelah itu ia menjadi kasihan terhadap orang itu, dan
memerintahkan agar ia dibebaskan dari penjara, disertai kelembutan
terhadapnya, dianugerahkan kembali busana kehormatan, dan dijadikannya
kembali ia sebagai gubernur. Ia menganugerahkan semua ini kepada orang itu
sebagai karunia cuma-cuma. Kemudian ia menjadi teguh, bersih, berkecukupan
dan terahmati. Beginilah keadaan seorang beriman yang didekatkan dan
dipilih-Nya.
Syeikh Abdul Qadir Jilani
(Futuhal Ghaib 3)
“Apabila Allah memperkenankan permohonan dan doa
seorang hamba, maka ini tidak berarti bahwa simpanan Allah itu akan
berkurang, karena Allah itu Maha Kaya; dan juga tidak semestinya Allah
merasa terpaksa menerima permohonan hamba itu, seakan-akan Dia takluk
kepada permohonan hamba itu. Sebenarnya, permohonan atau doa hamba
itusesuai dengan kehendak Allah dan juga sesuai dengan masanya. Sebenarnya,
penerimaan doa itu telah tertulis dalam azalinya, dan hanya tinggal
menunggu masa dikabulkan doa itu oleh Allah. Inilah apa yang dikatakan oleh
orang-orang ‘arif di dalam menerangkan kalam Allah, “Setiap saat Dia dalam
keadaan baru”.
Ini berarti bahwa Allah menerima permohonan
hamba itu pada masa yang telah ditentukan-Nya. Allah telah menentukan masa
dikabulkannya doa itu. Allah tidak akan memberi sesuatu kepada seseorang
dalam dunia ini, kecuali dengan doa yang datang dari hamba itu sendiri.
Begitu juga Allah tidak menolak sesuatu dari hamba itu, kecuali dengan
doanya. Ada sabda Nabi yang menyatakan bahwa ketentuan takdir Ilahi itu
tidak akan terelakkan, kecuali dengan doa yang ditakdirkan Allah dapat
menolak ketentuan takdir itu. Begitu juga, tidak ada orang yang akan masuk
kedalam surga hanya melalui perbuatan baiknya saja, melainkan dengan rahmat
Allah juga. Walaupun demikian, hamba-hamba Allah itu akan diberi derajat di
surga sesuai dengan amal perbuatannya.
Diriwayatkan bahwa Aisyah pernah bertanya kepada
Nabi, “Dapatkah seseorang itu memasuki surga hanya dengan melalui perbuatan
baiknya saja?” Nabi menjawab, “Tidak, kecuali dengan rahmat Allah”. Aisyah
bertanya lagi, “Sekalipun engkau sendiri?” Beliau menjawab, “Ya, sekalipun
aku kecuali jika Allah meliputi aku dengan rahmat-Nya”. Setelah bersabda
demikian, beliau meletakkan tangannya di atas kepalanya.
Beliau berbuat demikian itu untuk menunjukkan
bahwa tidak ada seseorangpun yang berhak untuk melanggar ketentuan takdir
Ilahi, dan Allah itu tidak harus memperkenankan doa-doa hamba-hamba-Nya.
Dia berbuat apa yang dikehendaki-Nya. Dia mengampuni siapa saja yang
dikehendaki-Nya. Dia menghukum siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dia
memiliki kekuasaan yang mutlak. Segala ketentuan kembali kepada-Nya.
Allah tidak boleh ditanya tentang apa yang
diperbuat-Nya, tetapi hamba itulah yang ditanya. Allah memberikan
karunia-Nya, kepada orang yang dikehendaki-Nya dan tidak memberikannya
kepada orang yang tidak dikehendaki-Nya juga. Segala apa yang berada di
langit dan di bumi serta di antara keduanya adalah kepunyaan Allah belaka
dan berada dalam kontrol-Nya. Tidak ada tuan-tuan yang memiliki semua itu,
melainkan Allah saja. Dan tidak ada pencipta, melainkan Dia juga.
Firman Allah: “Hai manusia, ingatlah akan nikmat
Allah keapadamu. Adakah sesuatu pencipta selain Allah yang dapat memberikan
rizki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia; maka
mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?”. (QS, 35:3)
Firman-Nya lagi: “Tuhan (yang menguasai) langit
dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan
berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada
seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS, 19:65)
Selanjutnya Allah berfirman: “Kerajaan yang haq
pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan adalah (hari
itu) satu hari yang penuh kesukaran bagi orang-orang kafir. (QS, 25:26)
Syeikh Abdul Qadir Jilani
(Futuhal Ghaib 4)
Yang dimaksud dengan dekat dan bersatu dengan
Tuhan itu ialah, kamu mengosongkan hati kamu dari makhluk, hawa nafsu dan
lain-lain selain Allah, sehingga hati kamu hanya di penuhi oleh Allah dan
perbuatann-Nya saja. Kamu tidak bergerak, kecuali dengan kehendak Allah
saja. Kamu akan bergerak jika Allah menggerakkan kamu. Keadaan
seperti ini dinamakan ‘fana’. Fana inilah yang
dimaksud dengan ‘bersatu dengan Tuhan’. Tetapi harus diingat, bahwa bersatu
dengan Tuhan itu tidak seperti bersatu dengan makhluk atau dengan yang
selain Tuhan.
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Al-Khaliq itu tidak sama
dengan apa saja yang kamu duga. Hanya orang yang telah mengalami dan menyadari
bersatu dengan Tuhan itu sajalah yang dapat mengerti dan memahami apa yang
dimaksudkan dengan ‘bersatu dengan Tuhan’ itu. Orang yang belum pernah
merasakan atau mengalaminya tidak akan dapat mengerti apa yang
dimaksud dengannya. Setiap orang yang pernah
merasakan pengalaman tersebut mempunyai perasaan dan pengalaman tersendiri.
Pada setiap Nabi, Rasul dan Wali Allah terdapat
rahasia. Masing-masing mempunyai rahasianya tersendiri. Seseorang tidak
akan dapat mengetahui rahasia seorang lainnya. Kadang-kadang seorang murid
mempunyai rahasia yang tidak diketahui oleh gurunya. Ada kalanya
pula,rahasia yang dimiliki oleh guru itu tidak diketahui oleh
muridnya,meskipun murid itu sudah hampir sederajat dengan gurunya. Apabila
seorang murid dapat mencapai keadaan kerohanian yang ada pada gurunya, maka
murid itu diperintahkan untuk memisahkan dari guru itu. Dengan kata lain,
dia sekarang telah setarap dengan gurunya. Murid itupun berpisahlah dari
gurunya dan Allah sajalah yang menjadi penjaganya.Kemudian Allah akan
memisahkannya dari seluruh makluk.
Bolehlah diibaratkan bahwa, guru itu laksana ibu
dan murid itu laksana bayinya yang masih menyusu. Apabila si bayi telah
mencapai usia dua tahun,maka berhentilah dia menyusu dari ibunya. Tidak
lagi kebergantungan kepada makhluk, setelah hawa nafsu amarah dan
kehendak-khendak kemanusiaan hapus. Guru atau syaikh itu hanya diperlukan
selagi murid masih memiliki hawa nafsu angkara murka dan kehendak-kehendak
badaniah yang perlu dihancurkan. Setelah semua itu hilang dari hati si
murid tadi, maka guru itu tidak lagi diperlukan,karena si murid sekarang
sudah tidak lagi memiliki kekurangan atau dia telah sempurna.
Oleh karena itu, apabila kamu telah bersatu
dengan Tuhan, maka kamu akan merasa aman dan selamat dari apa saja selain
Dia. Kamu akan mengetahui bahwa tidak ada yang wujud melainkan Dia saja.
Kamu akan mengetahui bahwa untung, rugi, harapan, takut dan bahkan apa saja
adalah dari dan karena Dia jua. Dia-lah yang patut ditakuti dan kepada Dia
sajalah meminta perlindungan dan pertolongan. Karenanya, lihatlah
selalu perbuatan-Nya, nantikanlah selalu
perintah-Nya dan patuhlah selalu kepada-Nya. Putuskanlah hubunganmu dengan
apa saja yang bersangkutan dengan dunia ini dan juga dengan akhirat.
Janganlah kamu melekatkan hatimu kepada apa saja selain Allah.
Anggaplah seluruh yang dijadikan Allah ini
sebagai seorang manusia yang telah ditangkap oleh seorang raja yang agung
dan gagah;raja itu telah memotong kaki dan tangan orang tadi dan
menyalibnya pada sebatang pohon yang terletak di tepi sebuah sungai yang
besar lagi dalam, raja itu bersemayam di atas singgasana yang tinggi dengan
dikawal oleh hulu-balang yang gagah berani yang diperlengkapi persenjataan
yang lengkap dan raja itu melempar orang tadi dengan seluruh senjata yang
ada padanya. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melihat keadaan ini,
lalu memalingkan pandangannya dari raja itu dan takut kepadanya, sebaliknya
ia berharap dan meminta kepada orang itu dan bukannya kepada raja yang
agung itu? Jika ada orang yang gentar dan takut kepada orang yang tersalib
itu, dan bukannya kepada raja, maka orang ini adalah orang, gila dan tidak
sadar.
Oleh karena itu, mintalah perlindungan kepada
Allah dari menjadi buta setelah Dia memberikan penglihatan, dari berpisah
setelah disatukan-Nya, dari berjauhan setelah didekatkan-Nya, dari tersesat
setelah Dia memberikan petunjuk dan dari kekufuran setelah Dia memberikan
petunjuk dan dari kekufuran setelah Dia memberikan keimanan.
Dunia ini bagaikan sebuah sungai yang lebar,
airnya senantiasa mengalir dan selalu bertambah setiap hari. Begitu juga
halnya dengan nafsu kebinatangan, manusia itu selalu merasa tidak puas,
semakin tampak dan semakin tak sadarkan diri. Hidup manusia di dunia ini
senantiasa penuh dengan ujian dan cobaan. Di samping mendapatkan
kebahagiaan, kadangkala manusia juga dikelilingi
oleh penderitaan. Orang yang mempunyai kala pikiran yang sempurna, mau
berpikir dan mengetahui hakekat, akan mengetahui bahwa pada hakekatnya
tidak adakehidupan yang sebenarnya melainkan kehidupan akhirat saja. Oleh
karena itu, Nabi besar Muhammad saw. Bersabda. “Tidak ada kehidupan,
kecuali kehidupan di akhirat.” Bagi orang yang beriman, hal ini adalah
benar. Nabi Muhammad selanjutnya mengatakan,
“Dunia ini adalah penjara bagi orang yang beriman dan surga bagi orang
kafir.” Nabi juga pernah menyatakan bahwa, “Orang yang baik itu terkekang”.
Pada hakekatnya, kesentosaan dan kebahagiaan itu
terletak dalam hubungan yang langsung dengan Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang, tawakal yang bulat kepada-Nya dan senatiasa ridha
dengan-Nya. Jika kamu telah dapat melakukan hal yang demikian itu, maka
bebaslah kamu dari dunia ini dan Allah akan memberimu kesenangan,
Syeikh Abdul Qadir Jilani
(Futuhal Ghaib 5)
Apabila iman kamu masih lemah lalu kamu
berjanji, maka hendaklah kamu menepati janji itu. Jika tidak, maka
keimananmu itu akan berkurang dan kepercayaanmu semakin hilang. Tetapi,
jika iman kamu itu telah kuat dan tertanam kokoh di dalam hati sanubarimu
lalu kamu banyak menerima firman Allah di bawah ini:
Dan Raja berkata, “Bawalah Yusuf kepadaku, agar
aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.” Maka tatkala raja telah
bercakap-cakap dengan dia, dia berkata, “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini
menjadi seoarng yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami”.
(QS, 12:54)
Maka kamupun akan menjadi orang pilihan Tuhan,
lalu kehendak, nafsu dan perbuatanmu sendiri akan hilang, kamu terus
menjadi dekat dengan Tuhan yang kedekatan-Nya itu tidak terlihat olehmu dan
kamu terus tenggelam di hadirat Ilahi.
Maka jadilah kamu seperti bak yang bocor, tidak
ada air yang dapat tinggal di dalam bak itu, dan jadilah kamu seperti tong
kosong yang berlubang. Dengan demikian, hati kamu hanya dopenuhi oleh
Allah, tidak ada yang lain di dalam hatimu itu, kecuali Dia dan kamu bersih
dari segala sesuatu selain Allah. Sehingga Allah meridhai kamu, kamu
dijanjikan akan mendapatkan rahmat, nikmat dan ampunan-Nya dan kamu merasa
senang kepada-Nya.
Kemudian kamu akan diberi suatu janji, dan
apabila kamu merasa puas dengan janji itu dan tampak tanda keinginanmu
kepadanya, maka janji itu akan ditukar dengan janji yang lebih tinggi lagi,
kamu akan diberi perasaan cukup diri (self sufficiency), pintu ilmu akan
dibukakan untuk kamu, kamu akan disinari dengan pengetahuan untuk memahami
rahasia-rahasianya ke-Tuhan-an dan kamu akan merasakan bertambahnya keadaan
kerohanianmu.
Selanjutnya kamu akan menerima pangkat
kerohanian yang tinggi, kamu akan diberi rahasia-rahasia ke-Tuhan-an,
dadamu menjadi lapang, lidahmu berkata lantang, ilmumu tinggi dan kamu
cinta kepada Allah. Kamu akan dikasihi oleh semua orang, semua manusia, jin
dan makhluk-makhluk lainnya di dunia ini dan di akhirat. Apabila kamu telah
menjadi kekasih Allah, maka semua makhlukpun akan mengasihimu, lantaran
semua makhluk itu takluk kepada Allah, kasih mereka masuk ke dalam kasih
Allah, sebagaimana halnya benci mereka masuk ke dalam benci Allah.
Kamupun dinaikkan ke pangkat ini, di mana kamu
tidak lagi mempunyai kehendak kepada yang lain selain Allah.
Setelah ini kamu akan diberi kehendak kepada
sesuatu lalu kehendak itu akan dilepaskan dari kamu dan kamupun terhindar
darinya. Kamu tidak akan diberi perkara-perkara yang kamu kehndaki di dunia
ini, dan di akhirat kelak kamu akan diberi gantinay, kamu akan lebih
didekatkan kepada Allah SWT dan segala sesuatu yang kamu khendaki itu akan
menyejukkan matamu di surga.
Jika kamu tidak meminta sesuatu, tidak berharap
atau berangan-angan untuk mendapatkannya di masa hidupmu di dunia ini –
tempat sementara dan tempat ujian – dan kamu hidup di dunia ini semata-mata
hanya ingin mencapai keridhaan Tuhan yang menjadikan langit dan bumi serta
semesta alam, maka di dunia ini kamu akan dikarunia apa-apa yang
seimbangdengannya dan Allah akan menambahkan karunia-Nya, sedangkan di
akhirat nanti Dia akan menambahakan yang lebih banyak lagi. Sesungguhnya di
sisi Allah terdapat ganjaran yang besar dan kekal. Allah memberikan
karunia-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya menurut ketentuan dan
ketetapan-Nya
Syeikh Abdul Qadir Jilani
(Futuhal Ghaib 6)
Hindarkanlah dirimu dari orang ramai dengan
perintah Allah, dari nafsumu dengan perintah-Nya dan dari kehendakmu dengan
perbuatan-Nya agar kamu pantas untuk menerima ilmu Allah. Tanda bahwa kamu
telah menghindarkan diri dari orang ramai adalah secara keseluruhannya kamu
telah memutuskan segala hubungan kamu dengan orang ramai dan telah
membebaskan seluruh pikiranmu dengan segala hal yang bersangkutan dengan
mereka.
Tanda bahwa kamu telah putus dari nafsumu adalah
apabila kamu telah membuang segala usaha dan upaya untuk mencapai
kepentingan keduniaan dan segala hubungan dengan cara-cara duniawi untuk
mendapatkan sesuatu keuntungan dan menghindarkan bahaya. Janganlah kamu
bergerak untuk kepentinganmu sendiri. Janganlah kamu bergantung kepada
dirimu sendiri didalam hal-hal yang bersangkutan dengan dirimu sendiri.
Serahkanlah segalanya kepada Allah, karena Dia-lah yang memelihara dan
menjaga segalanya, sejak dari awalnya hingga kekal selamanya. Dia-lah yang
menjaga dirimu di dalam rahim ibumu sebelum kamu dilahirkan dan Dia pulalah
yang memelihara kamu semasa kamu masih bayi.
Tanda bahwa kamu telah menghindarkan dirimu dari
kehendakmu dengan perbuatan Allah adalah apabila kamu tidak lagi melayani
kebutuhan-kebutuhanmu, tidak lagi mempunyai tujuan apa-apa dan tidak lagi
mempunyai kebutuhan atau maksud lain, karena kamu tidak mempunyai tujuan
atau kebutuhan selain kepada Allah semata-mata. Perbuatan Allah tampak pada
kamu dan pada masa kehendak dan perbuatan Allah itu bergerak. Badanmu
pasif, hatimu tenang, pikiranmu luas, mukamu berseri dan jiwamu bertambah
subur. Dengan demikian kamu akan terlepas dari kebutuhan terhadap
kebendaan, karena kamu telah berhubungan dengan Al-Khaliq. Tangan Yang Maha
Kuasa akan menggerakkanmu. Lidah Yang Maha Abadi akan memanggilmu. Tuhan
Semesta alam akan mengajar kamu dan memberimu pakaian cahaya-Nya dan
pakaian kerohanian serta akan mendudukkan kamu pada peringkat orangorang
alim terdahulu.
Setelah mengalami semua ini, hati kamu akan
bertambah lebur, sehingga nafsu dan kehendakmu akan hancur bagaikan sebuah
tempayan yang pecah dan yang tidak lagi berisikan air walau setetespun.
Kosonglah dirimu dari seluruh perilaku kemanusiaan dan dari keadaan tidak
menerima suatu kehendak selain kehendak Allah. Pada peringkat ini, kamu
akan dikarunia keramat-keramat dan perkara-perkara yang luar biasa. Pada
zhahirnya, perkara-perkara itu datang darimu, tapi yang sebenarnya adalah
perbuatan dan kehendak Allah semata.
Oleh karena itu, masuklah kamu ke dalam golongan
orang-orang yang telah luluh hatinya dan telah hilang nafsu-nafsu
kebinatangannya. Setelah itu kamu akan menerima sifat-sifat ke-Tuhan-an
yang maha tinggi. Berkenaan dengan hal inilah maka Nabi besar Muhammad saw.
bersabda, “Aku menyukai tiga perkara dari dunia ini: bau-bauan yang harum,
wanita dan shalat yang apabila aku melakukannya, maka mataku akan merasa
sejuk di dalamnya”. Semua ini diberikan kepadanya setelah seluruh kehendak
dan nafsu sebagamana disebutkan di atas terlepas dari dirinya. Allah berfirman,
“Sesungguhnya Aku bersama mereka yang telah luluh hatinya karena Aku.”
Allah Ta’ala tidak akan menyertai kamu, sekiranya semua nafsu dan
kehendakmu itu tidak diluluhkan. Apabila semua itu telah hancur dan luluh
dan tidak ada lagi yang tersisa pada dirimu, maka telah pantaslah kamu
untuk ‘diisi’ oleh Allah dan Allah akan menjadikan kamu sebagai orang baru
yang dilengkapi dengan tenaga dan kehendak yang baru pula. Jika egomu
tampil kembali, walaupun hanya sedikit, maka Allah akan menghancurkannya lagi,
sehingga kamu kosong kembali seperti semula, dan untuk selamanya kamu akan
tetap luluh hati. Allah akan menjadikan kehendak-kehendak baru di dalam
diri kamu dan jika dalam pada itu masih juga terdapat diri (ego) kamu, maka
Allah-pun akan terus menghancurkannya. Demikianlah terus terjadi sehingga
kamu menemui Tuhanmu di akhir hayatmu nanti. Inilah maksud firman Tuhan,
“Sesungguhnya Aku bersama mereka yang telah luluh hatinya karena Aku.” Kamu
akan mendapatkan dirimu ‘kosong’, yang sebenarnya ada hanyalah Alah.
Di dalam hadits Qudsi, Allah berfirman,
“Hamba-Ku yang ta’at senantiasa memohon untuk dekat dengan-Ku melalui
shalat-shalat sunatnya. Sehingga aku menjadikannya sebagai rekan-Ku, dan
apabila aku menjadikan dia sebagai rekan-Ku, maka aku menjadi telinganya
yang dengan itu ia mendengar, menjadi matanya yang dengannya ia melihat,
menjadi tangannya yang dengannya ia memegang dan menjadi kakinya yang
dengannya ia berjalan, yakni mendengar melalui Aku, memegang melalui Aku
dan mengetahui melalui Aku.”
Sebenarnya, ini adalah keadaan ‘fana’ (hapusnya
diri). Apabila kamu telah melepaskan dirimu dan makhluk, oleh karena
makhluk itu bisa baik dan bisa juga jahat dan oleh karena diri kamu itu
bisa baik dan bisa juga jahat, maka menurut pandanganmu tidak ada suatu
kebaikan yang datang dari diri kamu atau dari makhluk itu dan kamu tidak
akan merasa takut kepada datangnya kejahatan dari makhluk. Semua itu
terletak di tangan Allah semata. Karenanya, datangnya buruk dan baik itu,
Dia-lah yang menentukannya semenjak awalya.
Dengan demikian, Dia akan menyelamatkan kamu
dari segala kejahatan makhluk-Nya dan menenggelamkanmu di dalam lautan
kebaikan-Nya. Sehingga kamu menjadi titik tumpuan segala kebaikan, sumber
keberkatan, kebahagiaan, kesentosaan, nur (cahaya) keselamatan dan
keamanan. Oleh karena itu, ‘Fana’ adalah tujuan, sasaran, ujung dan dasar
perjalanan Wali Allah. Semua Wali Allah, dengan tingkat kemajuan mereka,
telah memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah untuk menggantikan
kehendak atau kemauan mereka dengan kehendak atau kemauan Allah. Mereka
semuanya menggantikan kemauan atau kehendak mereka dengan kemauan atau
kehendak Allah. Pendek kata, mereka memfana-kan diri mereka dan me-wujudkan
Allah. Karena itu, mereka dijuluki ‘Abdal’ (perkataan yang diambil dari
kata ‘Badal’ yang berarti ‘pertukaran’). Menurut mereka, menyekutukan
kehendak mereka dengan kehendak Allah adalah suatu perbuatan dosa.
Sekiranya mereka lupa, sehingga mereka dikuasai
oleh emosi dan rasa takut, maka Allah Yang Maha Kuasa akan menolong dan
menyadarkan mereka. Dengan demikian mereka akan kembali sadar dan memohon
perlindungan kepada Allah. Tidak ada manusia yang benar-benar bebas dari
pengaruh kehendak egonya (dirinya) sendiri, kecuali malaikat. Para malaikat
dipelihara oleh Allah dalam kesucian kehendak mereka. Sedangkan jin dan
manusia telah diberi tanggung jawab untuk berakhlak baik, tapi mereka tidak
terpelihara dari dipengaruhi oleh dosa dan maksiat. Para wali dipelihara
dari nafsu-nafsu badaniah dan ‘abdal’ dipelihara dari kekotoran kehendak
atau niat.
Walaupun demikian, mereka tidak bebas mutlak,
karena merekapun mungkin mempunyai kelemahan untuk melakukan dosa. Tapi,
dengan kasih sayang-Nya, Alah akan menolong dan menyadarkan mereka
|
Syaikh as-Sayyid Ahmad Al-Badawi
Kota Fas beruntung sekali karena pernah
melahirkan sang manusia langit yang namanya semerbak di dunia sufi pada
tahun 596 H. Sang sufi yang mempunyai nama lengkap Ahmad bin Ali Ibrahim
bin Muhammad bin Abi Bakar al-Badawi ini ternyata termasuk zurriyyah baginda
Nabi Muhammad Saw, karena nasabnya sampai pada Ali Zainal Abidin bin Husain
bin Ali bin Abi Talib kw, suami sayyidah Fatimah binti Sayyidina Nabi
Muhammad Saw.
Keluarga Badawi sendiri bukan penduduk asli Fas
(sekarang termasuk kota di Maroko). Mereka berasal dari Bani Bara, suatu
kabilah Arab di Syam sampai akhirnya tinggal di Negara Arab paling barat
ini. Di sinilah Badawi kecil menghafal Al-Qur'an, dan mengkaji ilmu-ilmu
agama khususnya fikih madzhab Syafi'i. Pada tahun 609 H, ayahnya membawanya
pergi ke tanah Haram bersama saudara-saudaranya untuk melaksanakan ibadah
haji. Mereka tinggal di Makkah selama beberapa tahun sampai ajal menjemput
sang ayah pada tahun 627 H dan dimakamkan di Ma'la.
Sang sufi yang selalu mengenakan tutup muka ini
suatu ketika berkhalwat selama empat puluh hari tidak makan dan minum.
Waktunya dihabiskan untuk meihat langit. Kedua matanya bersinar bagai bara.
Sekonyong-konyong ia mendengar suara tanpa rupa. "Berdirilah!"
begitu suara itu terus menggema, "Carilah tempat terbitnya matahari.
Dan ketika kamu sudah menemukannya, carilah tempat terbenamnya matahari.
Kemudian.. beranjaklah ke Thantha, suatu kota yang ada di propinsi
Gharbiyyah, Mesir. Di sanalah tempatmu wahai pemuda."
Suara tanpa rupa itu seakan membimbingnya ke Iraq.
Di sana ia bertemu dengan dua orang yang terkenal yaitu Syaikh Abdul Qadir
al-Jilani dan Syaikh Ahmad ar-Rifa'i. "Wahai Ahmad", begitu kedua
orang itu berkata kepada Ahmad al-Badawi seperti mengeluarkan titah.
"Kunci-kunci rahasia wilayah Iraq, Hindia, Yaman, as-Syarq dan
al-Gharb ada di genggaman kita. Pilihlah mana yang kamu suka." Tanpa
disangka-sangka al-Badawi menjawab, "Saya tidak akan mengambil kunci
tersebut kecuali dari Dzat Yang Maha Membuka.
Perjalanan selanjutnya adalah Mesir, negeri para
nabi dan ahli bait. Badawi masuk Mesir pada tahun 34 H. Di sana ia bertemu
dengan al-Zahir Bibers dengan tentaranya. Mereka menyanjung dan memuliakan
sang wali ini. Namun takdir menyuratkan lain, ia harus melanjutkan
perjalanan menuju tempat yang dimaksud oleh bisikan ghaib, Thantha, satu
kota yang banyak melahirkan tokoh-tokoh dunia. Di sana ia menjumpai para
wali, seperti Syaikh Hasan al-Ikhna'i, Syaikh Salim al-Maghribi dan Syaikh
Salim al-Badawi. Di sinilah ia menancapkan dakwahnya, menyeru pada agama Allah,
takut dan senantiasa berharap hanya kepada-Nya.
Dalam perjalanan hidupnya sebagai anak manusia
ia pernah dikenal sebagai orang yang pemarah, karena begitu banyaknya orang
yang menyakiti. Tapi rupanya keberuntungan dan kebijakan berpihak pada anak
cucu Nabi ini. Marah bukanlah suatu penyelesaian terhadap masalah, bahkan
menimbulkan masalah baru yang bukan hanya membawa madarat pada orang lain,
tapi diri sendiri. Diam, menyendiri, merenung, itulah sikap yang dipilih
selanjutnya. Dengan diam orang lebih bisa banyak mendengar. Dengan
menyendiri orang semakin tahu betapa rendah, hina dan perlunya diri ini
akan gapaian tangan Yang Maha Asih. Dengan merenung orang akan banyak
memperoleh nilai-nilai kebenaran. Dan melalui sikap yang mulia ini ia
tenggelam dalam dzikir dan belaian Allah SWT.
Laksana laut, diam tenang tapi dalam dan penuh
bongkahan mutiara, itulah Syaikh Ahmad al-Badawi. Matbuli dalam hal ini
memberi kesaksian, "Rasulullah Saw bersabda kepadaku, "Setelah
Muhammad bin Idris as-Syafi'i, tidak ada wali di Mesir yang fatwanya lebih
berpengaruh daripada Ahmad al-Badawi, Nafisah, Syarafuddin al-Kurdi
kemudian al-Manufi." Suatu ketika Ibnu Daqiq al-'Id mengutus Abdul
Aziz al-Darini untuk menguji Syaikh Ahmad al-Badawi dalam berbagai
permasalahan. Dengan tenang dia menjawab, "Jawaban
pertanyaan-pertanyaan itu terdapat dalam kitab "Syajaratul
Ma'arif" karya Syaikh Izzuddin bin Abdus Salam.
Kendati karomah bukanlah satu-satunya ukuran
tingkat kewalian seseorang, tidak ada salahnya disebutkan beberapa karomah
Syaikh Badawi sebagai petunjuk betapa agungnya wali yang satu ini.
Alkisah ada seorang Syaikh yang hendak
bepergian. Sebelum bepergian dia meminta pendapat pada Syaikh Ahmad
al-Badawi yang sudah berbaring tenang di alam barzakh. "Pergilah, dan tawakkallah
kepada Allah SWT", tiba-tiba terdengar suara dari dalam makam Syaikh
Badawi. Syaikh Sya'rani berkomentar, "Saya mendengar perkataan tadi
dengan telinga saya sendiri."
Suatu hari Syaikh Badawi berkata kepada seorang
laki-laki yang memohon petunjuk dalam berdagang, "Simpanlah gandum
untuk tahun ini. Karena harga gandum nanti akan melambung tinggi, tapi
ingat, kamu harus banyak bersedekah pada fakir miskin." Demikian
nasehat Syaikh Badawi yang benar-benar dilaksanakan oleh laki-laki itu.
Setahun kemudian dengan izin Allah kejadiannya terbukti benar.
Pada tahun 675 H sejarah mencatat kehilangan
tokoh besar yang barangkali tidak tergantikan dalam puluhan tahun
berikutnya. Syaikh Ahmad al-Badawi, pecinta Ilahi yang belum pernah menikah
ini beralih alam menuju tempat yang dekat dan penuh limpahan rahmat-Nya.
Setelah beliau meninggal, tugas dakwah diganti oleh Syaikh Abdul 'Al sampai
dia meninggal pada tahun 773 H. Beberapa waktu setelah kepergian wali
pujaan ini, umat seperti tidak tahan, rindu akan kehadiran dan
petuah-petuahnya. Maka diadakanlah perayaan hari lahir Syaikh Ahmad
al-Badawi. Orang-orang datang mengalir bagaikan bah dari berbagai tempat
yang jauh. Kerinduan, kecintaan, pengabdian mereka tumpahkan pada hari itu
pada sufi agung ini. Hal inilah kiranya yang menyebabkan sebagian ulama dan
pejabat waktu itu ada yang berkeinginan untuk meniadakan acara maulid.
Tercatat satu tahun berikutnya perayaan maulid Syaikh Ahmad al-Badawi
ditiadakan demi menghindari penyalahgunaan dan penyimpangan akidah. Namun
itu tidak berlangsung lama, hanya satu tahun. Dan tahun berikutnya perayaan
pun digelar kembali sampai sekarang.
|
Imam Ghazali
Filsuf Besar dan Sufi Brilian Berilmu Tinggi
Ia pembaharu tasawuf dan filsafat dalam Islam.
Gagasan dan karya-karya Hujatul Islam ini, menjadi rujukan sampai sekarang.
Dalam rak-rak di sebuah toko buku, tampak
berjejer buku-buku tentang sufi. Tetapi ada hal yang mencolok. Buku-buku
karya Al-Ghazali begitu dominan. Hampir dua puluh buku karya ulama besar
ini banyak diminati calon pembeli. Karya Imam Al-Ghazali memang menarik.
Tulisannya tidak hanya memikat, tetapi juga selalu aktual sepanjang zaman.
Tidak salah jika gagasan dan pikirannya tentang Tasawuf banyak
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Imam Ghazali adalah ulama yang
mampu mendiskripsikan tasawuf, syari’at dan Akhlak dengan jelas dan
argumentatif.
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid ibnu Muhammad
ibnu Ahmad, lahir di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H atau 1058 M. Karya
masterpiece-nya Ihya Ulumuddin yang empat jilid itu menjadi bacaan wajib
bagi orang-orang yang ingin belajar tasawuf. Ia hidup dalam keluarga yang
sangat taat beragama. Ayahnya yang berasal dari desa Ghazalah adalah
seorang pemintal Wool. Nama desa inilah yang kelak menjadi nama sebutan
bagi anaknya, Abu Hamid, yaitu Ghazali.
Imam Al-GhazaliSejak kecil sudah tampak tekadnya
yang kuat untuk mendalami ilmu-ilmu
agama. Mula-mula ia belajar kepada Ahmad ibnu Muhammad al-Razhani al-Thusi.
Setelah merasa cukup, ia melanjutkan studi ke Kota Jurjan, belajar di
sekolah yang dipimpin oleh intelektual terkenal saat itu, Abu Nash
al-Ismail. Selain itu ia juga belajar kepada sufi besar Syekh Yusuf
al-Nasaj (wafat 487 H).
Rasa haus akan ilmu membawanya melanglang buana
ke berbagai kota. Ia sempat belajar kepada Abu Maal al-juwaini di
Naisyaburi yang tersohor karena mendapat julukan Imam al-Haramain. Di
Naisyaburi, ia juga belajar Tasawuf kepada Syekh Abu Ali al-Fadhl ibnu
Muhammad ibnu Ali Farmadi. Di Naisyaburi inilah kepiawaiannya mulai dikenal
orang. Ia tidak hanya berguru, tetapi juga sudah menulis dan memberi
beberapa kajian fikih.
Setelah Imam Juwaini wafat, Al-Ghazali
melanjutkan studinya ke Kota Muaskar. Di sinilah segala pergumulan
intelektual ia lalui dengan prestasi cemerlang.. karena prestasinya ia
diangkat sebagai guru besar sebuah perguruan tingg bergengsi Al-Nidzomiyah
di Bagdd pada tahun 484 H. di sini ia mengajar sambil memperdalam kajian
filsafat Yunani dan Islam.
Di tengah hidupnya yang mapan, jiwanya guncang,
ketika muncul pertanyaan-pertanyaan filosofis di benaknya: Apakah
pengetahuan yang hakiki itu?, pengetahuan dapat diperoleh melalui indra
atau akal? Hampir dua bulan pertanyaan-pertanyaan filosofis itu sempat
membuatnya linglung. Belakangan problem filosofis ini ia bahas dalam kitab:
Al-Munqiz min al-dzalal. Dalam kitab itu ia memperoleh jawaban: jalan
sufilah satu-satunya jalan untuk mendapatkan kebenaran hakiki.
Mempersiapkan Batin
Ia menulis, “Setelah itu perhatianku kupusatkan
pada jalan sufi. Ternyata jalan sufi tidak dapat ditempuh kecuali dengan
jalan ilmu dan amal, dengan menempuh tanjakan-tanjakan batin dan penyucian
diri. Hal itu perlu untuk mempersiapkan batin, kemudian mengisinya dengan
dzikir kepada Allah. Bagiku, ilmu lebih mudah daripada amal. Maka segeralah
aku mulai mempelajari ilmu dari beberapa kitab, antara lain, Qut’al Qulub,
karya Abu Thalib al-Makki, juga beberapa kitab karya Haris Al-Muhasibi,
serta ucapan-ucapan Junaid al-Bagdadi, Al-Syibli, Abu Yazid al-Bustami dan
lain-lain.
Ghazali melanjutkan tulisannya ”Penjelasan lebih
jauh terdengar sendiri dari lisan mereka. Jelas pula bagiku, hal-hal yang
khusus bagi mereka hanya dapat dicapai dengan Dzauq (perasaan), pengalaman
dan perkembangan batin sangat jauh memaknai sehat atau kenyang dengan
mengalaminya sendiri. Mengalami “mabuk” lebih jelas daripada hanya
mendengar keterangan tentang arti “mabuk”. Padahal yang mengalaminya
mungkin belum pernah mendengar keterangan tentang itu. Dokter yang sedang
sakit lebih banyak mengetahui tentang cara agar dia tetap sehat, tetapi dia
sedang tidak sehat. Mengetahui arti dan syarat zuhud tidak sama dengan
bersifat “Zuhud”.
Ketika
Ghazali tengah asyik berpikir secara filosofis, pada saat yang sama ia
hidup berkecukupan. Tetapi justru situasi ini membuatnya guncang. Hampir enam
bulan ia terombang-ambing antara memperhatikan persoalan duniawi dan
ukhrawi. Ketika itulah, mendadak pada tahun 488 H atau 1095 M ia memutuskan
pergi dari Bagdad menuju Damaskus – untuk mencari ketenangan dan kesejatian
hidup. Ia tinggal di Masjid Umawi bersama sufi. Pernah selama beberapa
bulan ia melakukan itikaf di Menara masjid, Riyadhah dan Mujahadah juga
dikerjakannya hampir setiap hari.
Tak lama kemudian ia beranjak dari Damaskus
menuju Palestina. Di Baitul Maqdis, Palestina, setiap hari ia bermunajat
kepada Allah SWT. Di Qubah Asy-Syakhrah – gua di bawah batu cadas di tengah
masjid tempat para nabi bermunajat. Semua pintu ia kunci, sehingga tidak
ada yang mengganggunya. Setelah itu ia mengunjungi kota al-Khalil dan
berziarah ke makam nabi Ibrahim. Setelah merasa cukup melakukan perjalanan
rohaniyah, ia menuju Hijaz, (kini Arab Saudi), untuk menunaikan ibadah haji
di Mekah dan berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah.
Setelah menunaikan rukun Islam yang kelima, ia
pergi ke Iskandariyah, Mesir dan tinggal beberapa lama di kota pelabuhan
itu. Tetapi berkali-kali perguruan tinggi Nidzamiyah memanggilnya. Akhirnya
ia kembali ke Baghdad untuk mengajar. Namun baru beberapa bulan tinggal di
sana, ia tidak betah. Maka pergilah ia ke Thus mendirikan sebuah Madrasah
bernama Khanaqah untuk memperdalam tasawuf. Di sana pula ia wafat pada usia
55 tahun pada tahun 1111 M atau 505 H.
Imam Ghazali
40 Jilid Kitabnya Musnah Dibakar
Di kalangan para sufi, Imam Ghazali adalah ikon
tersendiri. Ia sangat produktif, sementara karya-karyanya sungguh luar
biasa. Dalam beberapa tulisannya, tasawuf disuguhkan dalam penalaran dan
argumentasi yang sungguh mencengangkan. Hampir semua karyanya menjadi
rujukan dan bahan penelitian hingga kini.
Bagi Ghazali, tasawuf merupakan himpunan antara
akidah, syariat dan akhlak. Baginya perjalanan spritual seseorang mampu
menjernihkan hati secara berkesinambungan sehingga mencapai tingkat
Musyahadah (kesaksian).
Menurut Ghazali, kehidupan seorang muslim tidak
dapat dicapai dengan sempurna kecuali dengan mengikuti jalan Allah yang di
lalui secara bertahap. Tahapan itu antara lain tobat, sabar, kefakiran,
zuhud, tawakal, cinta dan makrifat. Setelah ketujuh tahapan itu, manusia
memperoleh Ridla. Oleh karena itu seseorang yang mempelajari taawuf wajib
mendidik jiwanya. Lebih dari itu juga harus mendidik akhlaknya. Menurut
dia, hati adalah cermin yang sanggup manangkap makrifat. Kesanggupan itu
terletak pada hati yang jernih dan suci.
Setiap karya Ghazali mempunyai keunikan tersendiri
dengan gagasan-gagasan yang orsinil. Tidak kurang dari 228 kitab
ditulisnya, meliputi berbagai disiplin ilmu, anatara lain, tasawuf, Fikih,
Teologi, Logika, dan Filsafat.
Di antara karya-karyanya adalah “Ihya Ulumuddin,
Bidayat al-Hidayah, Misykat al-Anwar, Minhaj al-Abidin ila Jannati Rabbil
Alamin, al-Munqidz min al-Dhalal, al-Arbain fi Ushuluddin, dan lain-lain.
Yang paling berbobot ialah Ihya Ulumuddin, yang terdiri dari empat jilid,
kitab ini memuat segudang teori dan jalan yang harus ditempuh oleh mereka
yang mendalami tasawuf. Hingga kini kitab yang sangat monumental ini
menjadi bacaan wajib di beberapa pesantren salaf.
Jangan lupa, Ghazali bukan hanya pakar tasawuf,
ia juga kampiun dalam ilmu filsafat. Dua karyanya di bidang Filsafat yang
sangat mengagumkan ialah Tahafutu al-Falasifah dan Maqasishid al-Falasifah.
Di zamannya belum ada seorang pun yang mampu dan berani mengkritik
pemikiran para fisul dengan senjata logika. Maka layaklah jika mendapat
julukan Hujjatul Islam atau tempat kaum muslimin merujuk ilmu agama.
Sayang, sebagian besar karya besar Imam Ghazali
yang sudah menjadi harta budaya dan khasanah intelektual itu musnah dibakar
oleh tentara mongol yang menyerbu Baghdad abad XIII, sehingga yang tersisa
tinggal 54 kitab. Kitab tafsirnya yang 40 jilid ikut musnah. Bayangkan,
betapa kaya khasanah intelektual kita andai semua karya Hujjatul Islam
masih utuh….!
Pujian dan Teguran Sang Adik
Banyak cerita menarik seputar Imam Ghazali, yang
paling terkenal ialah cerita tentang Ahmad, adiknya, melalui jalan
saudaranya inilah jalan tasawuf menjadi pilihan Ghazali. Saking berterima
kasihnya Ghazali mendedikasikan sebuah kitabnya, Madhunun bih Ala Ghairi
Ahlih, untuk sang adik. Cerita tentang adik kakak ini sering diperdengarkan
di pesantren-pesantren.
Alkisah, suatu hari Ghazali menjadi Imam shalat
di masjid, sementara adiknya menajdi makmum. Ketika itu adiknya melihat
tubuh sang kakak berdarah, maka ia pun membatalkan makmum kepada kakaknya,
dan meneruskan shalat sendiri. Usai shalat, Ghazali bertanya, “Mengapa kamu
membatalkan makmum kepadaku?” jawab Ahmad, adiknya, “Aku melihat kanda
penuh darah.”
Sejenak Ghazali termenung. “Memang dalam shalat
saya sedang berpikir tentang persoalan haid.” Adik kandung Imam Ghazali
memang dikenal sebagai ahli Kasyf, mampu melihat sesuatu yang tidak dapat
dilihat oleh orang awam. Seketika itu Ghazali sadar tentang pentingnya
dunia sufi. Dan kejadian inilah yang mendorongnya mendalami tasawuf.
Maka ia memutuskan untuk menjadikan tasawuf
sebagai jalan mengenal Allah – yang tujuan akhirnya disebut makrifat.
Menurut Ghazali, makrifat tidak hanya berarti mengenal Allah, tetapi juga
mengenal alam semesta. Makrifat bukan hanya pengenalan biasa, meliankan
juga ilmu yang tak diragukan kebenaranya, yang disebut Ainu al-Yaqin –
tersingkapnya sesuatu secara jelas, tidak ada keraguan, tidak mungkin salah
dan keliru.
Makrifat sebenarnya diperoleh melalui llham.
Allah memancarkan Nur ke dalam kalbu seseorang agar ia mengenali hakikat
Allah dan segala ciptaannya. Hanya kalbu yang bersihlah yang bisa menerima
Nur Ilahi. Apa syaratnya? Harus menyucikan diri dari dosa dan tingkah laku
tercela, membersihkan diri dari keyakinan selain keyakinan kepada Allah.
Kalbu harus total berdzikir kepada Allah sehingga dapat mencapai fana (kesirnaan)
secara total. Jika sudah mampu mencapai tahapan ini (maqamat), ia bisa
mendapatkan mukasyafah (mampu menjawab persoalan) dan musyahadah (mampu
melihat Allah dalam hati).
Banyak pujian dialamatkan kepadanya, orientalis
beken seperti H.A.R. Gibb menyejajarkan Imam Ghazali dengan filsuf Nasrani
ST Agustinus atau pembaharu Kristen Martin Luther. Gibb menulis dalam
sebuah bukunya, nama yang terkait dengan pembaharuan pemahaman agama adalah
Al-Ghazali, pembaharu agama yang sederajat dengan St. Agustinus dan Martin
Luther dalam pendangan keagamaan dan kemampuan intelektual. Cerita tentang
perjalanan spritualnya sungguh menawan hati dan sangat bernilai. Bagaimana
ia menemukan dirinya sendiri dalam pemberontakannya melawan keruwetan para
teolog yang berusaha mencari realitas tertinggi lewat seluruh sistem
keagamaan dan filsafat muslim pada masanya.
Sementara menurut Samuel M. Zwemer, ilmuwan asal
Jerman dan peneliti dunia sufi, ada empat tokoh yang paling besar jasanya
terhadap Islam, yaitu Nabi Muhammad SAW, Imam Bukhari RA yang berjasa dalam
pengumpulan Hadits, Imam Asy’ari sebagai teolog terbesar dan penentang
rasionalisme, dan Imam Al-Ghazali sebagai sufi dan pembaharu.
Al-Ghazali telah meninggalkan pengaruh paling
luas atas sejarah Islam dibanding siapapun setelah Nabi Muhammad SAW.
Abu Thalib Al-Makki,
Pemandu Amalan Tarekat Para Sufi
Ia sufi
besar, pengarang kitab
Qutubul Qulub fi Mu’ammalatil Mahbub, yang menjadi panduan bertarekat para
sufi.
Ia dikenal sebagai sufi jenius dalam hal pemikiran
yang tertuang dalam beberapa kitab, juga pengarang kitab ilmul Qulub dan
Qutubul Qulub fi Mu’ammalatil Mahbub, yang cukup populer dikalangan para
sufi maupun pengamat Tasawuf karena sering dirujuk dalam berbagai
perbincangan. Dialah Abu Thalib Al-Makki.
Ia lahir di Jabal, sebuah desa tidak jauh dari
Baghdad, Irak. Nama lengkapnya Muhammad bin Ali bin Athiyah Abu Thalib
Al-Makki Al-Haritsi Al- Maliki. Dua nama di bagian belakang adalah
julukannya. Ia mendapat julukan Al-Haritsi, karena memang dari suku Harits.
Sedangkan julukan Al-Maliki, sebab ia bermazhab Maliki, sementara julukan
Al-Makki, karena ia dibesarkan di Mekah.
Seperti beberapa sufi besar lainnya, tahun
kelahiran Abu Thalib juga sulit ditemukan, tapi riwayat hidupnya bisa
dilihat dari beberapa catatan dalam berbagai leteratur, meski hanya
sedikit, catatan-catatan tersebut bisa mengungkapkan perikehidupannya. Abu
Thalib Al-Makki wafat pada tahun 368 H / 966 M di Bahgdad.
Ia memulai pendidikannya dengan belajar ilmu
agama dari berbagai ulama, kemudian memperdalam ilmu hadis, terutama ia
berguru kepada Syekh Ali bin Ahmad bin Al-Misri (w.364/944 M) dan Syekh
Abubakar Muhammad bin Ahmad Al-Jurjani Al-Mufid (w.378H/958 M). belakangan
ia belajar ilmu fikih mazhab Maliki. Keluasan wawasannya dalam mazhab
Maliki inilah yang membuat ia mendapat julukan tambahan Al-Maliki.
Setelah merasa cukup menimba ilmu di Mekah, ia
mengembara untuk memperluas wawasan keilmuannya, hingga akhirnya berlabuh
di Basrah, Irak, yang kala itu terkenal sebagai pusat ilmu dan peradaban.
Di sini ia berguru ilmu tasawuf kepada Syekh Abul Ahmad bin Muhammad ibnu
Ahmad bin Salim Ash-Saghir (w. 360 H/940 M), sufi besar pendiri Tarekat
Salimiyah, bersumber dari tasawuf Sahab bin Abdullah At-Tustari, yang
sangat terkenal di Baghdad kala itu.
Tujuh Piranti
AllahBelakangan ia melanjutkan pengembaraannya
ke Baghdad, Irak. Di sini ia mengalami kesulitan, karena masyarakat tidak
menerima tarekat Salimiyah, hanya menerima tarekat Junaidiyah, sehingga ia
di larang mengajarkan tasawuf Salimiyah. Meski begitu ia mempunyai
kelebihan dalam pemikiran Tasawuf yang terekam dalam beberapa kitabnya.
Sayangnya hanya dua kitab yang tersisa yang
dapat dibaca oleh generasi berikutnya: Al-Ilmul Qulub, dan Qtubul Qulub fi
Mu’ammalatil Mahbub. Dua kitab ini cukup berbobot dalam hal analisis
mengenai amalan sufi berikut argumentasinya, begitu pula jalan yang
ditempuh para sufi dalam memantapkan jiwa dan keyakinan hati. Bahkan Imam
Ghazali juga menggunakan metode dan sistem Abu Thalib dalam beberapa pemikirannya.
Kitab Qutubul Qulub menjadi panduan standard
bagi para sufi. Itu sebabnya banyak ulama yang memberikan syarah atau
komentar dan penulisan ulang terhadap kitab ini. Salah satunya ditulis oleh
Muhammad bin Khalafuddin Al-Umawi, yang meringkas kitab tersebut untuk
memudahkan pembaca, dengan judul Al-Wushul Ila Ghardhil Mathlub min
Jawahiril Qtubil Qulub.
Menurut Abu Thalib, tasawuf hanya dapat
ditegakkan jika dasar-dasarnya kuat, yaitu jalan yang benar dalam
berkehendak dan berilmu. Sementara untuk mencapai dasar-dasar tersebut
diperlukan tujuh macam piranti: Pertama, kehendak yang benar dan konsekwen,
serta siap dengan segala resiko. Kedua, membina kehidupan bertaqwa dengan
menolak keburukan dan kemaksiatan. Ketiga, memiliki pengetahuan mengenai keadaan
diri, dan mengetahui kelemahan-kelemahannya.
Keempat, selalu mengikuti forum untuk mengenal
dan mengingat Allah SWT. Kelima, memperbanyak tobat Nasuha, memotong jalur
dosa dan menggantinya dengan jalur pahala, dengan cara merasakan kelezatan
taqwa dan memperkuat kehidupan zuhud. Keenam, makan makanan yang halal dan
mengetahui hukum-hukum makanan, pakaian dan sebagainya sebagaimana telah
diatur oleh syara’. Ketujuh, selalu dekat dengan teman akrab yang saleh dan
mampu memantau kehidupan taqwa sejati.
Abu Thalib menambahkan, ada empat tiang
penyanggah yang memperkuat kehidupan para sufi: Pertama, kehidupan yang
dibina dalam keadaan lapar, untuk memutuskan jalan darah setan yang
bersarang di hati. Dengan lapar hati tidak dipenuhi darah, sehingga menajdi
putih dan memancarkan Nur. Selain itu juga jadi lembut, karena lapar adalah
kunci pembuka pintu zuhud, dan zuhud adalah pembuka pintu akherat.
Kedua, banyak terjaga di waktu malam untuk
beribadah. Ketiga, memperbanyak diam sebagai jalan keselamatan dan kewaspadaan.
Kehidupan sufi selalu memperhatikan apa yang keluar dari lisan. Keempat,
bersunyi diri untuk berdzikir atau berkhalwat agar lebih berkonsentrasi
dalam menjernihkan hati dan menyerap rahmat Allah SWT. Sebab, hati
merupakan perbendaharaan Allah SWT yang tersembunyi. Jika iman telah
menghunjam dalam hati, yang tinggal adalah cinta akherat. Dan itulah,
“Hatinya hati”.
|
Mengenal Lebih Dekat
Al-Imam Muhammad bin ‘Idris Asy-Syafi’i
Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
Ulama adalah pewaris para nabi. Keberadaannya di
tengah umat bagai pelita dalam kegelapan. Titah dan bimbingannya laksana
embun penyejuk dalam kehausan. Keharuman namanya pun seakan selalu hidup
dalam sanubari umat.
Dengan segala hikmah dan kasih sayang-Nya, Allah
l yang Maha Hakim lagi Maha Rahim tak membiarkan umat Islam –dalam setiap
generasinya – lengang dari para ulama. Diawali dari para sahabat Nabi n
manusia terbaik umat ini, kemudian dilanjutkan oleh para ulama setelah
mereka, dari generasi ke generasi. Orang-orang pilihan pewaris para nabi
yang selalu siaga membela agama Allah dari pemutarbalikan pengertian agama
yang dilakukan oleh para ekstremis, kedustaan orang-orang sesat dengan
kedok agama, dan penakwilan menyimpang yang dilakukan oleh orang-orang
jahil. Di antara para ulama tersebut adalah Al-Imam Muhammad bin Idris
Asy-Syafi’i t. Seorang ulama besar umat ini yang berilmu tinggi, berakidah
lurus, berbudi pekerti luhur, lagi bernasab mulia.
Nama dan garis keturunan Al-Imam Asy-Syafi’i
Nama Al-Imam Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin
Idris. Beliau berasal dari Kabilah Quraisy yang terhormat (Al-Qurasyi),
tepatnya dari Bani Al-Muththalib (Al-Muththalibi) dan dari anak cucu Syafi’
bin As-Saib (Asy-Syafi’i). Adapun ibu beliau adalah seorang wanita mulia
dari Kabilah Azd (salah satu kabilah negeri Yaman). Kunyah beliau Abu
Abdillah, sedangkan laqab (julukan) beliau Nashirul Hadits (pembela hadits
Nabi n). Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi Muhammad n pada Abdu Manaf
bin Qushay, sebagaimana dalam silsilah garis keturunan beliau berikut ini:
Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin
Syafi’ bin As-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muththalib
bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luay bin Ghalib
bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin
Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan. (Manaqib Asy-Syafi’i karya
Al-Imam Al-Baihaqi t, 1/76, 472, Siyar A’lamin Nubala’ karya Al-Imam
Adz-Dzahabi t, 10/5-6, dan Tahdzibul Asma’ wal Lughat karya Al-Imam
An-Nawawi , 1/44)
Kelahiran dan masa tumbuh kembang Al-Imam
Asy-Syafi’i t
Para sejarawan Islam sepakat bahwa Al-Imam
Asy-Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H. Di tahun yang sama, Al-Imam Abu
Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kufi meninggal dunia. Adapun tempat
kelahiran beliau, ada tiga versi: Gaza, Asqalan, atau Yaman.
Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam
Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris (hal. 51-52), tidak ada pertentangan
antara tiga versi tersebut, karena Asqalan adalah nama sebuah kota di mana
terdapat Desa Gaza. Sedangkan versi ketiga bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i
dilahirkan di Yaman, menurut Al-Imam Al-Baihaqi, bukanlah negeri Yaman yang
dimaksud, akan tetapi tempat yang didiami oleh sebagian kabilah Yaman, dan
Desa Gaza termasuk salah satu darinya. (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi
Itsbatil Akidah karya Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Aqil, 1/21-22, dan
Manaqib Asy-Syafi’i, 1/74)
Dengan demikian tiga versi tersebut dapat
dikompromikan, yaitu Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Desa Gaza, Kota
’Asqalan (sekarang masuk wilayah Palestina) yang ketika itu didiami oleh
sebagian kabilah Yaman.
Para pembaca yang mulia, di Desa Gaza,
Asy-Syafi’i kecil tumbuh dan berkembang tanpa belaian kasih seorang ayah
alias yatim. Walau demikian, keberadaan sang ibu yang tulus dan penuh kasih
sayang benar-benar menumbuhkan ketegaran pada jiwa beliau untuk menyongsong
hidup mulia dan bermartabat. Pada usia dua tahun sang ibu membawa
Asy-Syafi’i kecil ke bumi Hijaz.1 Di Hijaz, Asy-Syafi’i kecil hidup di
tengah-tengah keluarga ibunya (keluarga Yaman). Di sana pula Asy-Syafi’i
kecil belajar Al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama, sehingga pada usia
tujuh tahun beliau telah berhasil menghafalkan Al-Qur’an dengan sempurna
(30 juz).
Saat memasuki usia sepuluh tahun, sang ibu
khawatir bila nasab mulia anaknya pudar. Maka dibawalah si anak menuju
Makkah agar menapak kehidupan di tengah-tengah keluarga ayahnya dari
Kabilah Quraisy. Kegemaran beliau pun tertuju pada dua hal: memanah dan
menuntut ilmu. Dalam hal memanah beliau sangat giat berlatih, hingga dari
sepuluh sasaran bidik, sembilan atau bahkan semuanya dapat dibidiknya
dengan baik. Tak ayal bila kemudian unggul atas kawan-kawan sebayanya.
Dalam hal menuntut ilmu pun tak kalah giatnya, sampai-sampai salah seorang
dari kerabat ayahnya mengatakan: “Janganlah engkau terburu menuntut ilmu,
sibukkanlah dirimu dengan hal-hal yang bermanfaat (bekerja)!”
Namun kata-kata tersebut tak berpengaruh
sedikitpun pada diri Asy-Syafi’i. Bahkan kelezatan hidup beliau justru
didapat pada ilmu dan menuntut ilmu, hingga akhirnya Allah l karuniakan
kepada beliau ilmu yang luas. (Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal.
51-52, Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 1/22-23)
Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i t dalam menuntut
ilmu
Di Kota Makkah dengan segala panorama khasnya,
Asy-Syafi’i kecil mulai mendalami ilmu nahwu, sastra Arab, dan sejarah.
Keinginan beliau untuk menguasainya pun demikian kuat. Sehingga setelah
memasuki usia baligh dan siap untuk berkelana menuntut ilmu, bulatlah tekad
beliau untuk menimba ilmu bahasa Arab dari sumbernya yang murni. Pilihan
pun jatuh pada Suku Hudzail yang berada di perkampungan badui pinggiran
Kota Makkah, mengingat Suku Hudzail –saat itu– adalah suku Arab yang paling
fasih dalam berbahasa Arab. Dengan misi mulia tersebut Asy-Syafi’i
seringkali tinggal bersama Suku Hudzail di perkampungan badui mereka.
Aktivitas ini pun berlangsung cukup lama. Sebagian riwayat menyebutkan
sepuluh tahun dan sebagian lainnya menyebutkan dua puluh tahun. Tak heran
bila di kemudian hari Asy-Syafi’i menjadi rujukan dalam bahasa Arab.
Sebagaimana pengakuan para pakar bahasa Arab di masanya, semisal Al-Imam
Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri (pakar bahasa Arab di Mesir), Al-Imam
Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i (pakar bahasa Arab di Irak), Al-Imam Abu
Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi (sastrawan ulung di masanya), dan yang
lainnya.2 (Lihat Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal. 53, Al-Bidayah wan
Nihayah karya Al-Hafizh Ibnu Katsir t, 10/263, Manaqib Asy-Syafi’i 1/102)
Kemudian Allah
anugerahkan kepada Al-Imam Asy-Syafi’i kecintaan pada fiqh
(mendalami ilmu agama). Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi menerangkan bahwa
kecintaan Al-Imam Asy-Syafi’i pada fiqh bermula dari sindiran sekretaris
ayah Mush’ab. Kisahnya, pada suatu hari Al-Imam Asy-Syafi’i sedang menaiki
hewan tunggangannya sembari melantunkan bait-bait syair. Maka berkatalah
sekretaris ayah Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi kepada beliau: “Orang
seperti engkau tak pantas berperilaku demikian. Di manakah engkau dari
fiqh?” Kata-kata tersebut benar-benar mengena pada jiwa Al-Imam
Asy-Syafi’i, hingga akhirnya bertekad untuk mendalami ilmu agama kepada
Muslim bin Khalid Az-Zanji –saat itu sebagai Mufti Makkah– kemudian kepada
Al-Imam Malik bin Anas di Kota Madinah. (Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/96)
Upaya menimba berbagai disiplin ilmu agama
ditempuhnya dengan penuh kesungguhan. Dari satu ulama menuju ulama lainnya
dan dari satu negeri menuju negeri lainnya; Makkah-Madinah-Yaman-Baghdad.
Di daerahnya (Makkah), Al-Imam Asy-Syafi’i menimba ilmu dari Muslim bin
Khalid Az-Zanji, Dawud bin Abdurrahman Al-Aththar, Muhammad bin Ali bin
Syafi’, Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Abu Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin
Salim, Fudhail bin Iyadh, dan yang lainnya.
Pada usia dua puluh sekian tahun –dalam kondisi
telah layak berfatwa dan pantas menjadi seorang imam dalam agama ini–
Al-Imam Asy-Syafi’i berkelana menuju Kota Madinah guna menimba ilmu dari
para ulama Madinah: Al-Imam Malik bin Anas, Ibrahim bin Abu Yahya
Al-Aslami, Abdul Aziz Ad-Darawardi, Aththaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far,
Ibrahim bin Sa’d, dan yang semisal dengan mereka. Kemudian ke negeri Yaman,
menimba ilmu dari para ulamanya: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf
Al-Qadhi, dan yang lainnya. Demikian pula di Baghdad, beliau menimba ilmu
dari Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani ahli fiqh negeri Irak, Ismail bin
‘Ulayyah, Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi, dan yang lainnya. (Diringkas dari Siyar
A’lamin Nubala’, 10/6, 7, dan 12)
Kedudukan Al-Imam Asy-Syafi’i di mata pembesar umat
Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i yang demikian
panjang dalam menuntut ilmu benar-benar membuahkan keilmuan yang tinggi,
prinsip keyakinan (manhaj) yang kokoh, akidah yang lurus, amalan ibadah
yang baik, dan budi pekerti yang luhur. Tak heran bila kemudian posisi dan
kedudukan beliau demikian terhormat di mata pembesar umat dari kalangan
para ahli di bidang tafsir, qiraat Al-Qur’an, hadits, fiqh, sejarah, dan
bahasa Arab. Kitab-kitab biografi yang ditulis oleh para ulama pun menjadi
saksi terbaik atas itu semua. Berikut ini contoh dari sekian banyak
penghormatan pembesar umat terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i yang terdapat dalam
kitab-kitab tersebut:
Dalam kitab Tahdzibut Tahdzib karya Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-Asqalani t disebutkan bahwa:
Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi t berkata: “Tidak ada
satu hadits pun yang Asy-Syafi’i keliru dalam meriwayatkannya.”
Al-Imam Abu Dawud berkata: “Asy-Syafi’i belum pernah keliru
dalam meriwayatkan suatu hadits.”
Al-Imam Ali bin Al-Madini berkata kepada putranya: “Tulislah semua
yang keluar dari Asy-Syafi’i dan jangan kau biarkan satu huruf pun
terlewat, karena padanya terdapat ilmu.”
Al-Imam Yahya bin Ma’in berkata tentang Asy-Syafi’i: “Tsiqah
(terpercaya).”
Al-Imam Yahya bin Sa’id Al-Qaththan t berkata:
“Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berakal dan lebih paham
tentang urusan agama daripada Asy-Syafi’i.”
Al-Imam An-Nasa’i berkata: “Asy-Syafi’i di sisi kami adalah
seorang ulama yang terpercaya lagi amanah.”
Al-Imam Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi t
berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berilmu dari
Asy-Syafi’i dalam hal sejarah.”
Dalam Mukadimah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad
Syakir t terhadap kitab Ar-Risalah karya Al-Imam Asy-Syafi’i (hal. 6)
disebutkan bahwa Al-Imam Ahmad bin Hanbal t berkata: “Kalau bukan karena
Asy-Syafi’i (atas kehendak Allah l, pen.), niscaya kami tidak bisa memahami
hadits dengan baik.”
Beliau juga berkata: “Asy-Syafi’i adalah seorang
yang paling paham tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah n.”
Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam
Dawud bin Ali Azh-Zhahiri t disebutkan: “Telah berkata kepadaku Ishaq bin
Rahawaih: ‘Suatu hari aku pergi ke Makkah bersama Ahmad bin Hanbal untuk
berjumpa dengan Asy-Syafi’i. Aku pun selalu bertanya kepadanya tentang
sesuatu (dari agama ini) dan aku dapati beliau sebagai seorang yang fasih
serta berbudi pekerti luhur. Setelah kami berpisah dengan beliau, sampailah
informasi dari sekelompok orang yang ahli di bidang tafsir Al-Qur’an bahwa
Asy-Syafi’i adalah orang yang paling mengerti tafsir Al-Qur’an di masa ini.
Kalaulah aku tahu hal ini, niscaya aku akan bermulazamah (belajar secara
khusus) kepadanya’.”
Dawud bin Ali Azh-Zhahiri berkata: “Aku melihat
adanya penyesalan pada diri Ishaq bin Rahawaih atas kesempatan yang
terlewatkan itu.”
Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam
Al-Baihaqi t (2/42-44 dan 48) disebutkan bahwa:
Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri t
berkata: “Asy-Syafi’i termasuk rujukan dalam bahasa Arab.”
Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i t
berkata: “Aku mengoreksikan syair-syair Suku Hudzail kepada seorang pemuda
Quraisy di Makkah yang bernama Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.”
Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi
t berkata: “Adalah Asy-Syafi’i sebagai rujukan dalam bahasa Arab atau
seorang pakar bahasa Arab.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal t berkata: “Perkataan
Asy-Syafi’i dalam hal bahasa Arab adalah hujjah.”
Al-Mubarrid t berkata: “Semoga Allah l merahmati
Asy-Syafi’i. Beliau termasuk orang yang paling ahli dalam hal syair, sastra
Arab, dan dialek bacaan (qiraat) Al-Qur’an.”
Menelusuri prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam
Asy-Syafi’i t
Prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i
sesuai dengan prinsip keyakinan (manhaj) Rasulullah dan para sahabatnya.
Untuk lebih jelasnya, simaklah keterangan berikut ini:
a.
|
Pengagungan Al-Imam Asy-Syafi’i terhadap
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
Al-Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ulama yang
selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah , serta berpegang
teguh dengan keduanya. Cukuplah karya monumental beliau, kitab Al-Umm
(terkhusus pada Kitab Jima’ul Ilmi dan Kitab Ibthalul Istihsan) dan juga
kitab Ar-Risalah menjadi bukti atas semua itu. Demikian pula beliau
melarang dari taklid buta. Sebagaimana dalam wasiat beliau berikut ini:
“Jika kalian mendapati sesuatu pada karya
tulisku yang menyelisihi Sunnah Rasulullah , maka ambillah Sunnah
Rasulullah tersebut dan tinggalkan
perkataanku.”
“Jika apa yang aku katakan menyelisihi hadits
yang shahih dari Nabi n, maka hadits Nabi n lah yang lebih utama, dan
jangan kalian taklid kepadaku.” (Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/472 dan
473)
Al-Imam Al-Muzani t (salah seorang murid
senior Al-Imam Asy-Syafi’i) di awal kitab Mukhtashar-nya berkata: “Aku
ringkaskan kitab ini dari ilmu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i serta dari kandungan ucapannya untuk
memudahkan siapa saja yang menghendakinya, seiring dengan adanya
peringatan dari beliau agar tidak bertaklid kepada beliau maupun kepada
yang lainnya. Hal itu agar seseorang dapat melihat dengan jernih apa yang
terbaik bagi agamanya dan lebih berhati-hati bagi dirinya.” (Dinukil dari
Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/127)
|
b.
|
Hadits ahad dalam pandangan Al-Imam
Asy-Syafi’i. Menurut Al-Imam Asy-Syafi’i (dan para ulama Ahlus Sunnah wal
Jamaah selainnya), tak ada perbedaan antara hadits mutawatir dan hadits
ahad dalam hal hujjah, selama derajatnya shahih. Bahkan dalam kitab
Ar-Risalah (hal. 369-471), Al-Imam Asy-Syafi’i menjelaskan secara panjang
lebar bahwa hadits ahad adalah hujjah dalam segenap sendi agama. Lebih
dari itu beliau membantah orang-orang yang mengingkarinya dengan
dalil-dalil yang sangat kuat. Sehingga patutlah bila beliau dijuluki
Nashirul Hadits (pembela hadits Nabi ).
|
c.
|
Tauhid dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i
,Al-Imam Asy- Syafi’i merupakan sosok yang kokoh tauhidnya. Sangat
mendalam pengetahuannya tentang tauhid dan jenis-jenisnya, baik tauhid
rububiyah, tauhid uluhiyah maupun tauhid asma’ wash shifat. Bahkan
kitab-kitab beliau merupakan contoh dari cerminan tauhid kepada Allah.
Di antaranya apa yang terdapat dalam mukadimah
kitab Ar-Risalah berikut ini: “Segala puji hanya milik Allah yang telah
menciptakan langit dan bumi, mengadakan gelap dan terang, namun
orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka.
Segala puji hanya milik Allah yang tidaklah mungkin satu nikmat dari
nikmat-nikmat-Nya disyukuri melainkan dengan nikmat dari-Nya pula. Yang
mengharuskan seseorang kala mensyukuri kenikmatan-Nya yang lampau untuk
mensyukuri kenikmatan-Nya yang baru.4 Siapa pun tak akan mampu menyifati
hakikat keagungan-Nya. Dia sebagaimana yang disifati oleh diri-Nya
sendiri dan di atas apa yang disifati oleh para makhluk-Nya. Aku
memuji-Nya dengan pujian yang selaras dengan kemuliaan wajah-Nya dan
keperkasaan ketinggian-Nya.5 Aku memohon pertolongan dari-Nya, suatu
pertolongan dari Dzat yang tidak ada daya dan upaya melainkan dari-Nya.
Aku memohon petunjuk dari-Nya, Dzat yang dengan petunjuk-Nya tidak akan
tersesat siapa pun yang ditunjuki-Nya. Aku pun memohon ampunan-Nya atas
segala dosa yang telah lalu maupun yang akan datang, permohonan seorang
hamba yang meyakini bahwa tiada yang berhak diibadahi melainkan Dia,
seorang hamba yang mengetahui dengan pasti bahwa tiada yang dapat
mengampuni dosanya dan menyelamatkannya dari dosa tersebut kecuali Dia.
Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia semata,
dan aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya…”6
Al-Imam Asy-Syafi’i sangat berupaya untuk
menjaga kemurnian tauhid. Oleh karena itu, beliau sangat keras terhadap
segala perbuatan yang dapat mengantarkan kepada syirik akbar (syirik
besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam), seperti mendirikan
bangunan di atas kubur dan menjadikannya sebagai tempat ibadah, bersumpah
kepada selain Allah l, dan sebagainya. (Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi
Itsbatil Akidah, 2/517)
Penting untuk disebutkan pula bahwa prinsip
Al-Imam Asy-Syafi’i dalam hal tauhid asma’ wash shifat sesuai dengan
prinsip Rasulullah n dan para sahabatnya serta menyelisihi prinsip kelompok
Asy’ariyyah ataupun Maturidiyyah.7 Yaitu menetapkan semua nama dan sifat
bagi Allah l sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan dijelaskan
dalam hadits Nabi yang shahih.
Menetapkannya tanpa menyerupakan dengan sesuatu pun, dan mensucikan Allah
l tanpa meniadakan (ta’thil) nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sebagaimana
yang dikandung firman Allah:
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia,
dan Dia-lah yang Maha mendengar dan lagi Maha melihat.” (Asy-Syura: 11)
Jauh dari sikap membayangkan bagaimana hakikat
sifat Allah (takyif) dan jauh pula dari sikap memalingkan makna sifat
Allah yang sebenarnya kepada makna
yang tidak dimaukan Allah dan Rasul-Nya (tahrif). Demikianlah prinsip
yang senantiasa ditanamkan Al-Imam Asy-Syafi’i kepada murid-muridnya.
Al-Hafizh Ibnu Katsir t berkata: “Telah
diriwayatkan dari Ar-Rabi’ dan yang lainnya, dari para pembesar
murid-murid Asy-Syafi’i, apa yang menunjukkan bahwa ayat dan hadits
tentang sifat-sifat Allah l tersebut dimaknai sesuai dengan makna
zhahirnya, tanpa dibayangkan bagaimana hakikat sifat tersebut (takyif),
tanpa diserupakan dengan sifat makhluk-Nya (tasybih), tanpa ditiadakan
(ta’thil), dan tanpa dipalingkan dari makna sebenarnya yang dimaukan
Allah l dan Rasul-Nya n (tahrif).” (Al-Bidayah wan Nihayah, 10/265)
|
d.
|
Permasalahan iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i,
Iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i mencakup ucapan, perbuatan, dan niat
(keyakinan). Ia bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang dengan
kemaksiatan. Adapun sikap beliau terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa
syirik) yang meninggal dunia dalam keadaan belum bertaubat darinya, maka
selaras dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan menyelisihi prinsip
ahlul bid’ah, dari kalangan Khawarij, Mu’tazilah, maupun Murji’ah. Yaitu
tergantung kepada kehendak Allah l. Jika Allah l berkehendak untuk
diampuni maka terampunilah dosanya, dan jika Allah l berkehendak untuk
diazab maka akan diazab terlebih dahulu dalam An-Nar, namun tidak kekal
di dalamnya. (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 2/516)
|
e.
|
Permasalahan takdir dan Hari Akhir menurut
Al-Imam Asy-Syafi’i
Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata: “Sesungguhnya
kehendak para hamba tergantung kehendak Allah l. Tidaklah mereka
berkehendak kecuali atas kehendak Allah Rabb semesta alam. Manusia
tidaklah menciptakan amal perbuatannya sendiri. Amal perbuatan mereka
adalah ciptaan Allah l. Sesungguhnya takdir baik dan takdir buruk
semuanya dari Allah . Sesungguhnya azab kubur benar adanya, pertanyaan
malaikat kepada penghuni kubur benar adanya, hari kebangkitan benar
adanya, penghitungan amal di hari kiamat benar adanya, Al-Jannah dan
An-Nar benar adanya, dan hal lainnya yang disebutkan dalam Sunnah
Rasulullah n serta disampaikan melalui lisan para ulama di segenap negeri
kaum muslimin (benar pula adanya).” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/415)
Ketika ditanya tentang dilihatnya Allah l
(ru’yatullah) di hari kiamat, maka Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Demi
Allah, jika Muhammad bin Idris tidak meyakini akan dilihatnya Allah l di
hari kiamat, niscaya dia tidak akan beribadah kepada-Nya di dunia.”
(Manaqib Asy-Syafi’i, 1/419)
|
f.
|
Penghormatan Al-Imam Asy-Syafi’i t terhadap
para sahabat Nabi
Al-Imam Asy-Syafi’i sangat menghormati para
sahabat Nabi. Hal ini sebagaimana tercermin dalam kata-kata beliau
berikut ini: “Allah l telah memuji para sahabat Nabi n dalam Al-Qur’an,
Taurat, dan Injil. Keutamaan itu pun (sungguh) telah terukir melalui lisan
Rasulullah n. Suatu keutamaan yang belum pernah diraih oleh siapa pun
setelah mereka. Semoga Allah merahmati mereka dan menganugerahkan
kepada mereka tempat tertinggi di sisi para shiddiqin, syuhada, dan
shalihin. Merekalah para penyampai ajaran Rasulullah n kepada kita.
Mereka pula para saksi atas turunnya wahyu kepada Rasulullah n. Oleh
karena itu, mereka sangat mengetahui apa yang dimaukan Rasulullah n
terkait dengan hal-hal yang bersifat umum maupun khusus, serta yang
bersifat keharusan maupun anjuran. Mereka mengetahui Sunnah Rasulullah n,
baik yang kita ketahui ataupun yang tidak kita ketahui. Mereka di atas
kita dalam hal ilmu, ijtihad, wara’, ketajaman berpikir dan menyimpulkan
suatu permasalahan berdasarkan ilmu. Pendapat mereka lebih baik dan lebih
utama bagi diri kita daripada pendapat kita sendiri. Wallahu a’lam.”
(Manaqib Asy-Syafi’i, 1/442)
Demikian pula beliau sangat benci terhadap
kaum Syi’ah Rafidhah yang menjadikan kebencian terhadap mayoritas para
sahabat Nabi n sebagai prinsip dalam beragama. Hal ini sebagaimana
penuturan Yunus bin Abdul A’la: “Aku mendengar celaan yang dahsyat dari
Asy-Syafi’i –jika menyebut Syi’ah Rafidhah– seraya mengatakan: ‘Mereka
adalah sejelek-jelek kelompok’.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/468)
|
g.
|
Sikap Al-Imam Asy-Syafi’i terhadap kelompok-kelompok sesat,
Al-Imam Al-Baihaqi t berkata: “Adalah Asy-Syafi’i seorang yang bersikap
keras terhadap ahlul ilhad (orang-orang yang menyimpang dalam agama) dan
ahlul bid’ah. Beliau tampakkan kebencian dan pemboikotan (hajr) tersebut
kepada mereka.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/469)
Al-Imam Al-Buwaithi t berkata: “Aku bertanya
kepada Asy-Syafi’i, ‘Apakah aku boleh shalat di belakang seorang yang
berakidah Syi’ah Rafidhah?’ Maka beliau menjawab: ‘Jangan shalat di
belakang seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah, seorang yang berakidah
Qadariyyah, dan seorang yang berakidah Murjiah’.” (Lihat Manhaj Al-Imam
Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/480)
Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata: “Tidaklah
seorang sufi bisa menjadi sufi tulen hingga mempunyai empat karakter:
pemalas, suka makan, suka tidur, dan selalu ingin tahu urusan orang
lain.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 2/207)
Akhir kata, demikianlah sekelumit tentang
kehidupan Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i dan prinsip keyakinan
(manhaj) beliau yang dapat kami sajikan kepada para pembaca. Seorang
ulama besar yang penuh jasa, yang meninggal dunia di Mesir pada malam
Jum’at 29 Rajab 204 H, bertepatan dengan 19 Januari 820 M, dalam usia 54
tahun.
Dari berbagai sumber
|
|
|