Tauhid
dan Pembebasan
Farid
Esack
Banyak di antara kita yang akan
memiliki kesulitan besar dalam memahami bagaimana tauhid terkait dengan
pembebasan. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena kita telah dikondisikan
untuk memiliki tingkat keimanan yang terbatas hanya pada perkumpulan
peribadatan seperti maulud dan hajatan, hukum fiqh (yurisprudensi Islam),
ibadah keagamaan dan dogma teologis. Iman (keyakinan) kita seperti jubah di
dalam masjid. Penggunaannya terbatas pada jam-jam tertentu dan hanya di
dalam masjid sehingga keyakinan diceraikan dari kenyataan dan dipisahkan
dari kehidupan kita sehari-hari. Jadi banyak di antara kita yang memiliki
mata dan telinga keimanan yang hanya mampu melihat dan mendengar di dalam
masjid atau di daerah-daerah yang dirujuk oleh keyakinan atau dogma. Ketika
membaca surat kabar atau menemukan permasalahan sosial atau politik, mata
keimanan kita menjadi buta dan telinga keimanan kita menjadi tuli. Kita
melihat kenyataan tetapi kita tidak benar-benar melihatnya dan kita
mendengar banyak hal tetapi tidak memahaminya. Berapa banyak di antara kita
yang dapat mengingat wajah penjaja surat kabar yang kita lihat setiap hari;
apalagi memahami kenyataan di balik wajah tersebut? Kami bukan membuat
pembelaan dengan menekankan bahwa tauhid memiliki dimensi pribadi, sosial,
dan politik. Meskipun demikian, para aktivis Muslim harus menjaga diri
mereka dari ketidakseimbangan Islam mereka. Islam tidak hanya merupakan
sebuah sistem politik atau memberikan solusi-solusi politik. Ketika kita
mendukung Islam yang holistik maka kita juga merujuk kepada misalnya
hubungan kita dengan bumi; kepada kerukunan semua makhluk sebagai bagian
dari ekosistem; perlindungan laut, gunung, hutan, dan hewan-hewan liar.
Kita berbicara tentang bagaimana kita berurusan dengan teman, hubungan
antarpribadi kita. Kita merefleksikan kualitas dan frekuensi shalat kita
serta sikap kita terhadap azan. Itu baru merupakan beberapa pokok persoalan
yang terkait dengan Islam yang komprehensif. Kita harus melakukan semuanya
dan tidak hanya beberapa yang kita anggap bisa dilakukan. Kita tidak boleh
masuk ke dalam jebakan yang sama seperti mereka yang mengatakan atau
bertindak seolah-olah Islam itu murni bersifat spiritual. Apabila kita
mengatakan atau bertindak seakan-akan Islam itu murni bersifat politis,
maka kita juga telah bersalah karena berpegang kepada sebagian dari Kitab
Suci dan menolak sebagian yang lain.
Kamu percayai sebagian Kitab dan
menolak yang sebagian lagi? Ganjaran orang yang berbuat demikian di antara
kamu tak lain hanyalah kehinaan dalam kehidupan dunia ini dan pada hari
kiamat mereka dikembalikan ke dalam azab yang berat. Dan Allah tiada lengah
akan segala yang kamu lakukan.
Jadi sekarang kita telah berkumpul
untuk merefleksikan hubungan antara tauhid dan pembebasan. Apa makna tauhid
dalam konteks penindasan? Masyarakat seperti apakah yang Allah inginkan
kita untuk mewujudkannya, dalam kaitannya dengan filsafat dan realitas
tauhid? Orang seperti apakah yang memiliki kepribadian tauhid? Apakah
tauhid bermakna lebih daripada apa yang selama ini kita pahami?
Keesaan Allah begitu pentingnya
sehingga Dia mengutus sekitar 124.000 Nabi ‘alaihim al-salam untuk
memproklamirkannya. Tidak hanya itu, tetapi mereka juga terkena ujian,
penyiksaan dan bahkan kematian yang mengerikan untuk menegakkan kesatuan
ini. Mengapa Allah mengutus begitu banyak orang pilihan-Nya dan mengapa
mereka mengalami begitu banyak penderitaan? Apakah hal itu hanya karena
Ketunggalan-Nya secara matematis? Apa dampak dari Ketunggalan ini sehingga
menimbulkan antagonisme yang sengit dan berlarut-larut dari kaum yang
berkuasa terhadap para nabi? Apakah tauhid ada dengan sendirinya, dengan
nilai-nilai intrinsik yang hanya memerlukan sebuah pengakuan verbal, tanpa
adanya keharusan untuk mewujudkan atau mengaktualisasikannya di sini dan
sekarang? Apakah menjadi persoalan Allah itu satu atau tiga atau seribu
apabila hal itu hanya meminta sebuah pengakuan verbal dan hubungan budaya
yang luas dengan orang lain yang juga telah melakukan hal tersebut?
Perkataan berikut akan terdengar seperti sebuah sindiran: Apakah buah pohon
ek yang jatuh di hutan akan menimbulkan bunyi apabila tidak ada orang yang
mendengar kejatuhannya? Bukankah mendengar adalah prasyarat dari keberadaan
suatu bunyi? Analogi matahari mungkin akan lebih dekat dengan tauhid.
Matahari ada dengan semua cahaya terangnya, tetapi apa artinya buat saya
ketika saya mengalami dingin atau panas sebagai akibat dari keberadaannya?
Allah ada di sana, selalu ada di sana dan akan terus ada di sana, tetapi
bagaimana saya merasakan Kesatuan-Nya.
Sampai akhir-akhir ini, perdebatan
filosofis mengenai tauhid hanya dibatasi kepada Kesatuan Allah secara
matematis; apakah Tangan-Nya adalah tangan yang riil; Apakah Singgasana-Nya
bersifat fisik, dsb. Dengan demikian, perdebatan itu dibatasi hanya kepada
'dunia yang lain' atau murni bersifat ortodoks-yang berlawanan dengan
ortopraxis. Keyakinan Anda harus baik dan keyakinan adalah sesuatu yang
tertinggi dan sederhana, dengan sebuah pengakuan verbal. Selalu terdapat
elemen-elemen penting, terutama para pengikut Abdul Wahab Najdi dan Ibnu
Taimiyyah, yang menyamakan ortodoksi - keyakinan yang benar - dengan
ortopraksis - tindakan yang benar. Mereka juga beranggapan bahwa yang
pertama akan hampa tanpa yang terakhir. Meskipun demikian, para cendekiawan
pada masa kemudian, seperti Fazlur Rahman Anshari, Muhammad Iqbal, Khalifah
Abdul Hakim dan Ali Syari’ati menjelaskan bahwa tauhid terdapat dalam
keseluruhan kosmos, dan umat manusia, sebagai bagian dari kosmos tersebut,
harus mengatur kehidupan pribadi dan sosialnya sesuai dengan tauhid. Jadi
kami menyatakan bahwa keesaan Allah hanya akan berarti untuk saya apabila
saya menjadi seorang prajurit di dalam perjuangan untuk mengaktualisasikan
sebuah tata tertib tauhid dalam kehidupan pribadi dan kehidupan
sosial-ekonomi saya.
Adakah manusia mengira, bahwa
mereka akan dibiarkan berkata, “Kami beriman,” padahal mereka tidak diuji?
Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, dan Allah pasti tahu siapa
yang benar dan pasti tahu siapa yang berdusta.
Kami kemudian diberitahu bahwa
sebuah pernyataan verbal tidaklah cukup dan harus diikuti oleh sebuah
perjuangan untuk membenarkannya. Hal ini direfleksikan lebih lanjut dalam
hadis berikut:
Barangsiapa melihat kemunkaran,
hendaklah dia mencegah dengan tangannya, bila tidak mampu hendaklah dia
mencegah dengan lisannya dan bila tidak mampu juga hendaknya dia mencegah
dengan hatinya, dan itu (hatinya) adalah selemah-lemahnya iman.
Versi lain dari hadis yang sama
menambahkan: “dan setelah itu tidak akan ada sebiji keimanan yang
tertinggal.” Kita belajar dari hadis ini bahwa keadaan keimanan kita
terkait langsung dengan tingkat di mana kita siap untuk menentang
kemunkaran, dan ketika Nabi saw menyatakan bahwa “setelah itu tidak akan
ada sebiji keimanan yang tertinggal,” maka itu berarti bahwa hati yang
kosong dari perlawanan terhadap kemunkaran dan penindasan adalah hati yang
kosong dari keimanan.
Hadis berikut - “barang siapa
meninggal dunia tanpa pernah berjuang untuk Islam atau memiliki niat
berjuang untuknya, maka ia meninggal dunia dalam keadaan jahilliyyah
(kebodohan atau keadaan tidak beriman pra-Islam)” - menekankan hal ini
lebih lanjut.
Lalu apa hubungan antara tauhid
dengan pembebasan pribadi dan antara tauhid dengan pembebasan politik? Apa
maksudnya ketika kita diminta untuk membentuk sifat-sifat kita sesuai
dengan Allah?
Tauhid dan Pembebasan Pribadi
Sebuah kepribadian tauhid adalah sebuah makhluk yang terintegrasi dan
harmonis, yang menjadi satu dengan dirinya, lingkungan alamnya dan dengan
Allah. Ia tidak dapat dan tidak akan membagi hidup ke dalam kehidupan yang
religius dan sekuler, privat dan publik, spiritual dan politik, karena hal
itu melanggar filsafat integrasionis yang melekat dalam tauhid. Sebuah
kepribadian tauhid tidak akan menundukkan kepalanya kepada Allah di masjid
dan kepada kapital di pasar bursa di luar masjid. Ia tidak akan mengucapkan
Allah-Allah di rumah dan menjadi seorang Freudian di kampus. Ia tidak bisa
tetap berpuasa di bulan Ramadhan dan kemudian mendukung sistem
sosial-ekonomi yang menindas, baik secara aktif ataupun diam-diam. Ia tidak
hanya mengamati dan menentang sistem yang menciptakan dan mengekalkan kelaparan
atau kekuatan sosiologis-cum-industrial yang memunculkan sikap permisif
yang tak bermoral, tetapi juga mengamati dan menentang perannya di dalam
sistem atau kekuatan tersebut. Kepribadian tauhid tidak akan sibuk dengan
tari kupu-kupu eskapisme yang sia-sia dan penyimpangan dari pencapaian
kesatuan dengan diri. Perjuangan untuk mempribadikan tauhid juga
mengimplikasikan perjuangan untuk mengaktualisasikannya secara sosial. Nabi
saw telah menyatakan bahwa kufur merupakan sebuah sistem tunggal. Jadi kufur
bukan hanya merupakan seperangkat keyakinan tetapi juga sebuah pola
perilaku. Anda tidak bisa bersikap lemah lembut di masjid dan terjebak
dalam watak kasar di luar masjid. Anda tidak bisa memperhatikan
aturan-aturan shalat dan tidak peduli dengan aturan-aturan muamalat
(berurusan dengan orang). Sistem nilai dan standar perilaku kita yang valid
untuk masjid juga valid untuk toko. Inilah yang dimaksud oleh Nabi saw
ketika ia menyatakan bahwa ia tidak khawatir para pengikutnya akan
melakukan syirik (pemberhalaan) yang nyata, tetapi khawatir bahwa mereka
akan melakukan syirik yang tersembunyi, yaitu bahwa kita akan menganggap
Allah sebagai tuhan kita di masjid tetapi membiarkan diri rendah kita
berkuasa sebagai bos di diskotik. Ini adalah syirik. Itu tidak hanya
syirik, tetapi juga sakit. Pertama-tama, hal itu akan mengarah kepada
kepribadian yang terbelah dan kemudian kepada disintegrasi kepribadian.
Tauhid dan Pembebasan
Sosial-Ekonomi Sebuah masyarakat tauhid bermakna kesatuan semua makhluk
karena kesatuan Penciptanya. Umat manusia tidak bisa mengeksploitasi semua
sumber daya bumi dan beranggapan bahwa sumber daya itu tidak terbatas. Kita
tidak boleh memperkosa dan menjarah bumi dengan memandang rendah lingkungan
kita sepenuhnya, memburu, memakan, dan mengeksploitasi seolah-olah tidak
akan ada hari esok. Kita tidak bisa terlibat dalam industrialisasi yang tak
terkontrol tanpa memperhitungkan biaya-biaya yang terkait dengan limbah
industrial dan kerusakan ekosistem. Umat manusia adalah bagian dari lingkungan
alam dan kita tidak boleh menganggap diri kita sebagai lawan darinya.
Sebuah masyarakat tauhid tidak
hanya berarti bahwa umat manusia menjadi satu dengan alam, tetapi yang
paling penting adalah bahwa kita menjadi satu dengan umat manusia lainnya. Dengan
demikian, kita tidak hanya berjuang melawan semua model pembangunan yang
berupaya membuat kita menjadi penguasa asing di bumi, tetapi kita harus
mencapai kesatuan dengan umat manusia lainnya, karena “Hai umat manusia!
Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang
satu!”
Dr. Ali Syari’ati sebagai seorang
syahid berpendapat bahwa masyarakat tanpa kelas adalah sebuah konsekuensi
dari tauhid. Maulana Fazlur Rahman Anshari juga berpendapat bahwa sebuah
masyarakat tauhid bersifat “non-rasial, non-kesukuan, tanpa kasta dan tanpa
kelas.” Masyarakat tauhid adalah sebuah masyarakat egalitarian yang
melampaui kekakuan egalitarianisme menuju masyarakat persaudaraan. Nilai
dari masyarakat itu diwakili dalam al-Quran dan konsep “falâh,” yaitu
kesejahteraan, yang dalam kaitannya dengan tauhid haruslah bersifat
kolektif dan integralistik, yaitu secara politik, ekonomi, moral, fisik,
spiritual, dsb.
Jadi anggota masyarakat yang
seperti itu tidak hanya disebut sebagai orang yang setara secara ekonomi,
tetapi juga sebagai saudara dan saudari, yang serba-mencakup. Hal ini
biasanya dengan senang diakui oleh semua Islamis dan ini agak mengganggu.
Hal itu mengganggu, karena cukup banyak Islamis yang berasal dari sebuah
kelas yang akan kehilangan banyak apabila masyarakat yang seperti itu
benar-benar terwujud. Bisa saja komitmen mereka terhadap perwujudannya
bersifat total, sehingga mereka melupakan implikasi ekonominya atau mereka
menganggap bahwa sebuah Afrika Selatan yang baru akan dibangun dengan pemilik
yang sekarang tetap menjadi penjaga, yang akan menjangkau kaum tak berpunya
dengan ramah, sebuah kedermawanan yang paternalistik. Apa yang perlu kita
tanyakan adalah bisakah kita berbicara tentang kemauan untuk bergerak
menuju sebuah masyarakat tauhid yang fraternalistik, apabila kapitalisme
dan konsumerisme seumur hidup serta dua ratus tahun industrialisasi telah
mengeraskan hati orang-orang beriman yang tak sadar dalam “tauhid yang
melangit.” Kemudian kita merasa bahwa kita harus memberontak dan menghancurkan
semua sistem yang membelah rakyat atas dasar apapun kecuali takwa
(kesalehan) karena “tidak ada keutamaan orang Arab atas orang non-Arab atau
orang non-Arab atas orang Arab kecuali dengan takwa.”
Inilah makna tauhid dalam kehidupan
kita. Tauhid bukanlah persaudaraan yang lemah dan emosional, yang
ditunjukkan oleh para apologis Muslim kepada dunia non-Muslim. Lihatlah
dalam masjid kita, di mana kaum miskin dan kaya shalat bersama! Lihatlah
dalam haji, di mana kaum kulit hitam dan kulit putih menjalankan thawaf
Kabah bersama-sama, kita semua dalam pakaian ihram yang sama! Itu hanyalah
tauhid simbolik yang harus kita lampaui. Apa gunanya kesatuan Arafah ketika
Anda kembali ke rumah dan kulit hitam dipisahkan lagi dari kulit putih?
Juga beberapa di antara kita mati karena tidak cukup makan sementara yang
lain mati karena kekenyangan? Apa gunanya kita berdiri bersama-sama sebagai
saudara dalam masjid apabila setelah shalat Anda pulang ke rumah megah Anda
sementara sang muazzin harus merangkak masuk ke dalam kamarnya yang kecil?
Maulana Yusuf, amir kedua dari Tablighi Jama'at berpendapat bahwa adalah
suatu penindasan apabila beberapa di antara kita tinggal di istana
sementara yang lainnya tinggal dalam gubuk. Bekerja untuk menghilangkan
rintangan-rintangan ini adalah bekerja untuk membangun tauhid di bumi.
Ketika Sayyidina ‘Ali mengatakan
bahwa tidak mungkin beberapa orang mendapatkan sejumlah besar kekayaan
kecuali yang lain mati kelaparan; ketika Sayyidina Abu Dzar al-Ghiffari
mengatakan: “Seandainya aku berkuasa, maka aku akan pergi ke semua orang
kaya dan mengambil dengan paksa kelebihan harta mereka serta membagikannya
kepada orang-orang miskin.” Ketika Sayyidina ‘Umar mengatakan: “Seandainya
sebelumnya aku tahu apa yang kuketahui sekarang, maka aku tidak akan
ragu-ragu untuk mengambil kelebihan harta kaum Anshar dan membagikannya
kepada kaum Muhajirin yang miskin.”
Semua ini menunjukkan perjuangan
para pendahulu kita untuk mewujudkan tauhid dalam bidang sosial-ekonomi.
Tetapi bagaimana dengan Nabi Sulaiman dan Hazrat Utsman? Bukankah mereka
itu kaya? Kekayaan mereka pada hakikatnya tidak pernah terkait dengan
keseluruhan sistem penindasan dan eksploitasi. Lagipula, mereka adalah
raksasa-raksasa spiritual. Kekayaan mereka ada di tangan mereka dan keimanan
mereka dengan kuat melekat di hati mereka. Ketika muncul kebutuhan terhadap
kekayaan mereka, maka mereka akan mengeluarkannya dengan sukarela. Dan
ketika cinta kepada isi tangan mereka mengancam isi hati mereka, maka
mereka melepaskan isi tangan mereka untuk melindungi keimanan mereka.
Mereka diasingkan oleh masyarakat apabila mereka memperlihatkan keengganan
untuk melakukan hal itu. Nabi saw tidak menjawab ucapan salam mereka dan
bahkan istri mereka diperintahkan untuk dipisahkan dari mereka. Contoh khusus
adalah Murarah bin Rabi, Hilal bin Ummayah dan Ka’ab bin Malik.
Mereka menunda keikutsertaan mereka
ketika panggilan jihad datang. Kebun kurma mereka sedang berkembang penuh
dan karena pada saat itu adalah musim panen, maka mereka takut kehilangan hasil
panen yang sangat besar, yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Mereka
tinggal dan beranggapan bahwa mereka akan mengikuti ekspedisi setelah
selesai memanen. Tetapi ekspedisi tersebut pulang lebih awal dari yang
diperkirakan. Mereka semua mendatangi Nabi saw untuk menyatakan alasan
mereka. Nabi saw mengabaikan mereka, tidak menjawab ucapan salam mereka,
memerintahkan masyarakat untuk mengasingkan mereka dan memerintahkan istri
mereka untuk dipisahkan dari mereka selama empat puluh hari. Manusia modern
- dan juga termasuk umat “Muslim” - duduk dengan kekayaan di hatinya dan
keimanan di tangannya - ketika isi hati mereka terancam, mereka akan
melepaskan apa yang ada dalam tangan mereka.
Manusia modern, yang merupakan
tikus spiritual, tidak dapat membandingkan diri mereka dengan Nabi Sulaiman
as atau Hazrat Utsman karena mereka tidak bisa dipercaya dengan keimanan
mereka sendiri.
Selanjutnya, tidak bisa dipercaya,
bahwa mereka berpegang pada kekayaan mereka di hadapan kemiskinan di
sekitar mereka. Jadi kita, tanpa merasa malu, memilih kaum miskin dan
tertindas. Kita mengambil pilihan ini karena Allah sendiri dan semua
nabinya as mengambil pilihan ini.
Dan Kami hendak memberi karunia
kepada mereka yang tertindas di bumi; dan akan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin
dan Kami jadikan mereka para ahli waris; (Lebih jauh lagi, hendak) Kami
kukuhkan mereka di bumi ini, dan hendak Kami perlihatkan kepada Firaun dan
Haman, serta pasukannya, apa yang mereka khawatirkan.10
Apabila kita harus memilih antara
perspektif Abu Dzarr dan Utsman maka kita harus memilih satu yang dekat
dengan pembebasan. Di sebuah negara di mana 10 anak meninggal tiap jam
karena kekurangan gizi, maka kita dipaksa untuk mengikuti perspektif Abu
Dzarr. Islam, sebagai agama yang dinamis, memang mengakui perubahan dalam
urusan manusia dan menjawab tuntutan sah masyarakat yang muncul dari waktu
ke waktu. Pembatalan Umar ra terhadap aturan memberikan zakat kepada mereka
yang hatinya condong kepada Islam adalah sebuah contoh. Beberapa orang di antara
kita meminta untuk membatalkan instruksi tegas Nabi saw bahwa perempuan
tidak boleh dihalangi untuk sering mengunjungi masjid, karena menurut
mereka, waktu telah berubah. Perubahan-perubahan ini semuanya dapat
diterima karena tidak menyentuh apa yang paling menyakitkan - rekening bank
kita.
Nabi saw telah mengidentifikasi
dirinya dengan kaum tertindas dengan konsisten. Marilah kita jujur. Kita
sama sekali tidak bisa percaya bahwa dalam etos Makkah atau Madinah
terdapat lemari es yang penuh di tengah-tengah kelaparan. Bahkan ketika
orang tidak sekarat karena kelaparan, maka masih tidak bisa dipahami bahwa
Nabi saw akan mengizinkan penimbunan makanan untuk enam bulan berikutnya,
karena takut Allah sendiri akan mengetahuinya. Kita harus percaya kepada Allah
ketika kita mengikat unta kita. Tetapi mengikat unta kita di Makkah atau
Madinah tidak pernah berarti terserang panik karena bayangan kelaparan di
masa depan. Tauhid bermakna pembebasan rakyat dari ketidakamanan ini dengan
lenyapnya ketamakan.
Pilihan yang kita ambil sekarang
ini, untuk kaum miskin, harus berarti bahwa kita mempertanyakan cara yang
kita coba untuk melindungi masa depan kita. Terdapat beberapa orang yang
membangun rumah-rumah besar sehingga anak-anak mereka, yang beberapa di
antaranya masih merangkak sementara yang lainnya belum lahir, akan memiliki
kamar atau tempat tinggal mereka sendiri lima belas tahun kemudian,
sementara para pekerja mereka, yang cukup tua untuk menjadi ibu saya dan
Anda, hidup dengan seluruh keluarga mereka di satu bagian dari garasi kita.
Asuransi jiwa telah menjamin masa depan keluarga kita setelah kita
meninggal, sementara kita mengabaikan kehadiran mereka yang bekerja untuk
kita ketika kita masih hidup. Seolah-olah Allah Swt akan bertanya kepada
kita tentang berbagai peristiwa yang terjadi setelah kita meninggal.
Karena kita diciptakan tidak hanya
untuk bertahan hidup, kita adalah sebuah umat “yang dilahirkan untuk
segenap manusia” sehingga kita mesti menjawab tangisan umat manusia.
Tanggapan terhadap kebutuhan rakyat jelas merupakan jawaban terhadap
undangan Allah untuk membangun sebuah masyarakat yang adil, damai, setara,
mencintai dan benar.
Dinyatakan dalam salah satu hadis
qudsi Nabi saw bahwa pada Hari Kiamat Allah akan mengatakan kepada
hamba-Nya, “Aku sakit, tetapi kamu tidak menjenguk-Ku.” Si hamba akan
bertanya, “Bagaimana aku harus menjenguk-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan
bagi alam semesta.” Setelah itu Allah akan menjawab, “Apakah kamu tidak
tahu bahwa hamba-Ku si fulan sedang sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya?
Seandainya kamu menjenguknya (untuk menghibur dan membantu) pasti kamu
dapati Aku di sisinya.” Ia akan bertanya lagi, “Hai anak Adam, Aku minta
makan kepadamu, tetapi tidak kamu beri Aku makan.” Si hamba akan menjawab,
“Bagaimana aku memberi makan Engkau, sedangkan Engkau adalah Tuhan bagi
alam semesta?” Allah kemudian akan mengatakan, “Apakah kamu tidak tahu
bahwa hamba-Ku si fulan meminta makan kepadamu, tetapi tidak kauberi makan?
Seandainya kamu beri makan dia niscaya kamu dapati Aku di sisinya.” Allah
akan bertanya lagi, “Wahai anak Adam, Aku minta minum kepadamu, tetapi
tidak kamu beri minum.” Si hamba akan menjawab, “Bagaimana aku memberi-Mu
minum sedangkan Engkau Tuhan bagi alam semesta?”, Allah akan mengatakan,
“Hamba-Ku si fulan meminta minum kepadamu, tetapi tidak kamu beri minum.
Seandainya kamu memberinya minum niscaya akan kamu dapati Aku di sisinya.”
Tanggapan terhadap tangisan kaum
tertindas adalah jawaban terhadap panggilan Allah. Mengabaikan tangisan
kaum tertindas sama dengan mengabaikan panggilan Allah.[]
Catatan
Kaki:
1
Ceramah ini disampaikan di Roshnee pada bulan November 1984.
2 QS
2:85.
3 QS
29:2-3.
4
Bukhari dan Muslim.
5 QS
4:1.
6
Lihat lebih lanjut Qur'anic Foundation and structure of Society oleh Fazlur
Rahman Anshari, Karachi 1976, jilid 1, hlm. 157-198.
7
Muslim, Bukhari dan Tarmidzi.
8 Ibn
Hazur, Vol. IV, hlm. 158.
9
Kisah ini diceritakan dengan sangat terperinci dalam “Stories of Sahabah”
oleh M.M. Zakariyyah.
10 QS.
28: 5-6.
Pasted From :
|