Kesadaran nasional dan
kebangunan intelektual selalu merupakan dorongan utama pembangunan nasional
dan renaisans dalam kehidupan material maupun spiritual umat manusia.
Peranan literatur dalam
membangunkan kesadran nasional tidak pernah terbantahkan, baik di dunia
Barat maupun Timur. Cendekiawan studi perbandingan, tentunya sangat
menyadari kenyataan ini. Eropa modern muncul sebagai pimpinan dalam semua
bidang kehidupan, hanya setelah renaisans-nya dirangsang oleh minat khusus
dan kajian-kajian yang dalam terhadap karya klasik Yunani dan Latin, yang
membuka cakrawala gagasan baru di setiap cabang pemikiran manusia, baik
humanika maupun ilmu pengetahuan. Kita tidak asing lagi dengan kenyataan
betapa Divine-Comedy karya Dante begitu merangsang Italia, dan belakangan
Renaisans Eropa. Bangunnya Inggris di abad ke tujuh belas dan delapan belas
disebabkan oleh peran penting cendekiawan. Renaisans Jerman dan Prancis
juga diilhami oleh para pujangga, pemikir dan filsuf.
Halnya dengan renaisans
timur. Bagi semua bentuk kemajuan, membangunkan kembali jiwa sudah
merupakan keharusan. Karena literatur berakar pada jiwa manusia, maka dia
menerobos batas-batas ruang dan waktu. Selama ada jiwa, rasa dan emosi,
maka literatur pasti tumbuh. Para hamba pena yang tulus berusaha menata
kembali masyarakat sesuai dengan dorongan jiwanya. Literatur adalah memberi
nafas kembali kaum yang mati. Menyulut kembali dian iman dan menyuntikkan
harapan dalam kaum-kaum yang sakit.
Literatur juga sanggup
memainkan peran sosial dan moral. Kaum mistik yang mempunyai kepekaan dalam
untuk menerawang keindahan dan kebenaran, di satu pihak, dan para pemikir
sosial yang sangat rindu untuk membangun kembali masyarakat, di pihak
lainnya, dapat mereka lampiaskan melalui literatur.
Pemasungan Literatur
Elit-elit ilmiah baik
di barat maupun di Timur, terus melakukan gempuran-gempuran besar-besaran
terhadap literatur dengan menyatakan bahwa rahasia kemajuan nasional
terletak pada kemajuan ilmiah, tekhnologi dan industri. Dan bukannya pada
literatur, yang membuat bangsa kehilangan imajinasi dan terlalu emosional.
Studi literatur mereka hanya kepuasan rasa, serapan-serapan imajinatif dan sensasi-sensasi
khayali.
Pemasungan literatur
bukan barang baru. Hal ini dimulai sejak adanya dialektika antara Plato dan
Aristoteles mengenai peranan dan fungsi literatur. Teori imitasi Plato
bertentangan dengan teori Aristoteles yang menyatakan bahwa, seorang
seniman adalah pencipta dan bukan penjiplak atau pelukis, yang membuat kopi
dari aslinya, seperti yang diduga Plato. Plato beranggapan bahwa, seni
tidaklah menggugah rasio, melainkan emosi. Bagi Plato puisi justru menyemai
nafsu, bukan mematikannya; bahwa puisi merusak watak manusiawi dan
membangkitkan anarkhi dalam jiwa dengan mencuatkan nafsu-nafsu rendah,
menindas nafsu-nafsu luhur dan dengan meruntuhkan rasio demi rasa.
Aristoteles menentang
keras argumentasi tersebut dan dengan serius mempertahankan seni rupa.
Aristoteles mempertahankan dan membeli nilai seni rupa yang steril. Dia
menyatakan bahwa, emosi harus memiliki jalan penyaluran yang sehat, mudah
dan teratur, karena rasa-rasa terpendam yang tak tersalurkan akan meledak
dalam tindak irrasional yang dahsyat. Ia berkilah bahwa bagian emosi dari
jiwa tidak harus dimatikan atau dirampas, dan manusia perlu asyik dengan
rasa yang akan memelihara fitrah insani.
Pertikaian-pertikaian
abad ke empat sebelum masehi ini menyita perhatian perhatian pemikir Barat
untuk jangka waktu yang lama. Diskusi-diskusi mengenai teori didaktik
Platonis dengan estetika Aristoteles membangkitkan pertentangan tak
terpecahkan mengenai arti dan peranan literatur, yakni seni untuk seni atau
seni untuk hidup, yang mendominasi jalannya kritik literatur baik di Barat
maupun di Timur.
Di zaman modern,
pembelaan puisi oleh Shelley (1792-1822), pujangga Romantis Inggris, patut
kita ketengahkan. Karyanya yang termasyhur A Defence of Poetry (1840)
mengubah iklim literatur eropa yang baru saja dinodai oleh
pendapat-pendapat irnis dan skeptis Peacock mengenai seni dan puisi. Dalam
karyanya Four Ages of Poetry, Peacock mengklaim bahwa pujangga adalah
perancang kejalangan. Shelley mengecam pendapat Peacock ini dan mengatakan
bahwa puisi adalah, wakil dari tindak
keinginan kehidupan nuraniah kita yang lebih langsung dan syair adalah
bayang-bayang kehidupan hakiki yang mencuat dalam kebenarannya yang
langgeng ... dan puisi menyingkap tabir keindahan dunia yang tersembunyi. Dia
menulis bahwa puisi menjadikan langgeng semua yang terbaik dan terindah di
dunia dan menambah keindahan bagi hal yang rusak. Shelley menyimpulkan
pembelaannya dengan kata-katanya yang terkenal; “puisi adalah pembuat
undang-undang dunia yang tidak dikenal”.
Di balik semua silang
pendapat serta pemasungan literatur tersebut, eropa modern telah bergerak
ke arah sikap yang menggembirakan terhadap literatur. Teori terbaru, “Tidak
akan ada studi gejala sosial di negara mana pun yang tuntas tanpa adanya pengertian
terhadap literatur yang dihasilkan dan dibaca di dalamnya ...”, menjadi
prinsip penuntun Eropa di bidang ini. Karena itulah kita menemukan
kenyataan bahwa, titik berat studi saat kini diarahkan ke kajian bahasa dan
literatur-dalam zaman peradaban ilmiah yang sudah uzdur ini.
Sikap terhadap
literatur ini sangatlah asing bagi Timur yang sedang terlena menjiplak
perkembangan dan kemajuan ilmiah Barat. Literatur pada umumnya dan puisi
pada khususnya, dianggap sebagai gemuruh hiperbolis pujangga dan imajinasi
kaum kuli tinta. Literatur dianggap sebagai bahan canda, kesenangan dan
gemilang kemewahan masa lalu. Di Timur ini, literatur tengah menjadi bahan
tertawaan, yang sama sekali tidak berperan dalam rekonstruksi nasional.
Timur Muslim, yang
membela renaisansnya hanya berdasarkan kemajuan ilmu dan industri, tidak
bisa menyaksikan hakikat kemajuannya, kecuali jika kepercayaan nasional
terhadap literatur dan seni rupa dipulihkan, batasan diperbaharui,
ketidakterbatasan ditegaskan kembali dan teori “tidak ada literatur, tidak
ada bangsa” dikembangkan. Literatur menyatukan bangsa dan mengangkat
kelanggengannya, karena menjadi tolakukur kehidupan intelek. Bangsa-bangsa
tanpa literatur telah dipulihkan.
Kemalasan besar-besaran
untuk Studi di kalangan orang-orang Arab, Persia dan Turki di Timur Muslim.
Benar bahwa,
telaah-telaah terhadap kekayaan terpendam karya klasik Yunani dan Latin
telah membantu Eropa meremajakan diri. Mengilhami renaisans-nya. Dan hampir
dapat dipastikan bahwa bahwa Timur Muslim dapat bangkit lagi jika
kekayaan-kekayaan literatur digali kembali., keindahan ruhaniahnya
disingkapkan.
Akan tetapi sayngnya
studi literatur dianggap pemborosan waktu, langkah surut dan tanda
kemunduran. Tuntutan pertama untuk proyek-proyek riset Timur Islam adalah
ilmu yang memadai tentang bahasa dan literatur. Dan sungguh mengejutkan
bahwa para guru filsafat Islami, sejarah Islam, pemikir politis Muslim,
mengajarkan masalah tanpa mengetahui bahasa asli yang terlibat. Bagaimana
kiranya dapat dikembangkan pengajaran dan kemampuan standar untuk mengkaji
sumber asli dalam kondisi semacam ini ?. karenanya tak heran jika mutu
pengajaran dan hasil riset di bidang-bidang ini akan memupuk rasa
ketergantungan terhadap kaum Orientalis atau, dengan kata lain, bergantung pada
sumber-sumber sekunder.
Harus diakui bahwa,
sedikit sekali, atau bahkan tidak ada, cabang telaahan Islam yang belum
dieksplorasi oleh kaum Orientalis. Jasa-jasa mereka patut dipuji kendati
pendekatan mereka terhadap masalah ini mungkin berbeda dari sudut pandang
Muslim. Diakui atau tidak, para cendekiawan Muslim selalu mendasarkan
ilmunya pada riset-riset dan penemuan-penemuan kaum Orientalis.
Kegetiran lain adalah
bahwa pengajaran literatur tersebut di Timur telah berkurang martabatnya
menjadi translasi-translasi monoton dari naskah-naskah Abad Pertengahan
atau Klasik, prosa atau puisi. Pengajaran bahasa juga mengalami titik
balik, karena para cendekiawan masa kini tidak turut terjun dan berpacu
dengan lajunya waktu kecenderungan-kecenderungan yang terus menerus berubah
dan gerakan-gerakan baru dalam bahasa.
Yang lebih malang lagi
adalah bahwa, para cendekiawan agama kita tidak hanya mengabaikan tetapi
menganggap diskusi literatur bukan bidangnya. Cukup aneh jika kita temukan
diskusi-diskusi mengenai bahasa dan literatur dalam buku-buku mengenai
Islam. Kenyataannya, memang tidak ada media penyaluran pendapat yang dapat
menanamkan iklim keimanan, khususnya di zaman modern yang lebih dari seni
imajinatif dan plastis ini.
Marksisme dan
gerakan-gerakan sesat lainnya telah menghantam tanah-tanah Muslim melalui
alat-alat literatur; puisi, drama, fiksi, novel dan cerita pendek.
Rekonstruksi nasional mustahil terwujud kecuali jika bahasa dan literatur
di dunia Islam diperhatikan secepat mungkin. Semoga
|