Pengaruh
Konsep Insan Kamil Ibn Arabi dalam Tasawuf Nusantara
Muhammad
Alcaff
"Secara umum, tasawuf tidak
bisa lepas dari tokoh yang bernama Ibn Arabi. Karena beliaulah tokoh yang
berpengaruh di dalam dunia tasawuf. Bahkan Muthahari dalam bukunya “Insan
Kamil” menyebut Muhyiddin Arabi al Andalusi Tha’i sebagai bapak
sufisme."
Berbicara tasawuf tidak akan
lengkap tanpa menyebut tokoh yang sangat kesohor satu ini, yaitu Ibn Arabi.
Bak ungkapan “ada gula, ada semut”, setiap pembicaraan tentang
tasawuf/’irfan atau mistik atau apapun kata yang berpadangan dengannya
dimanapun dan kapanpun kayaknya kurang greget dan bak sayur tanpa garam
kalau tidak menyebut nama Ibn Arabi. Bukan tanpa alasan kami membincang
beliau karena tema tulisan ini adalah pembahasan tentang konsep insan kamil
yang rasanya kurang pas kalau tidak menyebut nama Ibn Arabi yang memang
adalah penggagas utama konsep ini.
Makalah ini tidak sedang memaksakan
diri untuk bagaimana caranya memasukkan nama Ibn Arabi di dalamnya namun
kami sekadar ingin membuktikan betapa pandangan tentang insan kamil yang
identik dengan Ibn Arabi sedikit-banyak memengaruhi perjalanan tasawuf di
nusantara. Ajaran insan kamil Ibn al-‘Arabî diulas dan diperkenalkan oleh
sejumlah ulama sufi seperti Hamzah Fansûri, Syams al-Dîn al-Sumatrânî, dan
yang lainnya.
"Insan Kamil'' makna
harfiahnya (tekstual) adalah manusia sempurna. ''Insan'' berasal dari
bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan manusia.
''Insan'' berbeda maknanya dengan ''basyar'' yang juga diterjemahkan dengan
manusia. ''Insan'' berarti manusia dalam pengertian manusia yang memiliki
dimensi rohani, sementara basyar mengarah kepada manusia dalam pengertian
jasad (biologis). Dengan demikian ''insan kamil'' adalah manusia yang
sempurna dalam pengertian rohani.
Tulisan ini pertama-tama akan
menyebutkan biografi Ibn Arabi lalu menjelaskan pandangan beliau tentang insan
kamil. Selanjutnya, kami menguraikan secara singkat teori Insan Kamil dalam
Pandangan Muthahari. Dan akhirnya, kami menjelaskan pengaruh teori insan
kamil dalam khazanah tasawuf nusantara dan para sufi kesohor, seperti
Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai dan Nuruddin al-Raniri. Berkaitan dengan
nama yang terakhir ini, kami agak kesulitan menemukan sumber yang secara
gamblang mengulas pandangan beliau tentang konsep insan kamil namun tidak
demikian halnya dengan dua nama yang lain.
Biografi Ibn Arabi
Bernama lengkap Abu Bakr Muhammad
ibn al-‘Arabi al-Hatimi al-Tai, sufi asal Murcia, Spanyol ini lahir pada
tanggal 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165. Dirinya dijuluki
”Syaikh al-Akbar” (Sang Mahaguru) dan ”Muhyiddin” (Sang Penghidup Agama). Kendati
tidak mendirikan tarekat populer—atau agama massa menurut istilah Fazlur
Rahman—pengaruh Ibn ‘Arabi atas para sufi meluas dengan cepat, melalui
murid-murid terdekatnya yang mengulas ajaran-ajaran dengan terminologi
intelektual maupun filosofis (Chittick, dalam Nasr (ed.), 2003: 64)
Ayah Ibn ‘Arabi, ‘Ali, adalah
pegawai Muhammad ibn Sa’id ibn Mardanisy, penguasa Murcia, Spanyol. Ketika
Ibn ’Arabi berusia tujuh tahun, Murcia ditaklukkan oleh Dinasti
al-Muwahiddun (al-Mohad) sehingga ’Ali membawa pergi keluarganya ke
Sevilla. Di tempat itu, sekali lagi dirinya menjadi pegawai pemerintahan.
Ia memiliki status sosial yang tinggi. Buktinya, salah satu adik istrinya,
Yahya ibn Yughan, menjadi penguasa kota Tlemcen di Algeria. Fakta yang
menarik adalah bahwa di kemudian hari, sang paman akhirnya menanggalkan
segala bentuk kekuasaan dunia pada pertengahan masa pemerintahannya dan
beralih menjadi seorang sufi dan zahid. Ibn ’Arabi pun menyebutkan dua
orang pamannya yang menjadi sufi (Addas, 2004: 43-4)
Pada masa mudanya Ibn ‘Arabi
bekerja sebagai sekretaris Gubernur Sevilla dan menikahi seorang gadis
bernama Maryam, yang berasal dari sebuah keluarga berpengaruh. Pada tahun
590, Ibn ’Arabi meninggalkan Spanyol untuk mengunjungi Tunisia. Tahun
597/1200, sebuah ilham spiritual memerintahkan dirinya untuk pergi ke
timur. Dua tahun kemudian, ia melakukan ibadah haji ke Mekkah dan
berkenalan dengan seorang syaikh dari Isfahan yang memiliki seorang putri.
Pertemuan dengan perempuan ini mengilhami Ibn ’Arabi untuk menyusun
Tarjumân al-Asywâq. Di Mekkah pula ia berjumpa dengan Majd al-Din Ishaq,
seorang syaikh dari Malatya, yang kelak akan mempunyai seorang putra yang
menjadi murid terbesar Ibn ’Arabi, Shadr al-Din al-Qunawi
(606-673/1210-1274).
Dalam perjalanan menyertai
kepulangan Majd al-Din ke Malatya, Ibn ‘Arabi bermukim sementara waktu di
Mosul. Di kota ini, ia ditahbiskan oleh Ibn al-Jami’, seseorang yang
memperoleh kekuatan spiritual dari tangan Nabi Khidhr. Selama beberapa
tahun Ibn ‘Arabi melancong dari kota ke kota di Turki, Suriah, Mesir, serta
kota suci Mekkah dan Madinah. Pada tahun 608/1211-12 M, ia dikirim ke
Bagdad oleh Sultan Kay Kaus I (607-616/1210-19) dari Konya dalam misi
yuridis kekhalifahan, kemungkinan ditemani oleh Majd al-Din. Ibn ’Arabi
memiliki hubungan baik dengan sultan ini dan mengirimnya surat-surat berisi
nasihat praktis. Dia pun merupakan sahabat dari penguasa Aleppo, Malik
Zhahir (582-615/1186-1218), putra Sultan Saladin (Shalah al-Din) al-Ayyubi.
Pada tahun 620/1233, Ibn ’Arabi
menetap secara permanen di Damaskus, tempat sejumlah muridnya, termasuk
al-Qunawi, menemaninya sampai akhir hayat. Menurut sejumlah sumber awal, ia
menikah dengan janda Majd al-Din, ibu al-Qunawi. Selama periode tersebut,
penguasa Damaskus dari Dinasti Ayyubiyah, Muzhaffar al-Din merupakan salah
seorang muridnya. Dalam sebuah dokumen berharga yang bertahun 632/1234, Ibn
’Arabi menganugerahinya izin (ijazah) untuk mengajarkan karya-karyanya yang
ditengarai berjumlah 290 buah. Ia pun menyebutkan tujuh puluh karya tersendiri
dalam keilmuan tertentu, yang menunjukkan ketidaklengkapan informasi
tersebut. Dari sumber tadi, jelas bahwa dalam upaya menyempurnakan studi
tasawuf yang dilakukannya Ibn ’Arabi menghabiskan waktu bertahun-tahun
untuk mempelajari pengetahuan eksoteris seperti tujuh qira’ah al-Quran,
tafsir, fikih, dan, terutama, hadis (Chittick dalam Nasr, 66)
Ibn ‘Arabi wafat di Damaskus pada
16 November 1240 bertepatan tanggal 22 Rabiul Akhir 638 pada usia tujuh
puluh tahun. Pencapaian spiritualnya yang luar biasa telah menyebar ke
hampir seluruh Dunia Islam, dan bahkan Barat, hingga sekarang.
Latarbelakang Konsep Insan Kamil
Beberapa penulis kontemporal, teori
dan pandangan insan kamil dianggap bersumber dari budaya non-Islam.
Gulpanarli, salah seorang peneliti kesohor Turki berpandangan bahwa
pandangan insan kamil berasal dari ajaran Budhaisme. Menurutnya, banyak
pemikiran dari teori ini yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani dan Yahudi.
Bahkan sebagian lagi berpandangan bahwa akar pemikiran ini berasal dari
Iran pra-Islam dan dongeng/legenda Kiyumarts. Bahkan ada lagi yang
berpendapat bahwa teori ini dapat ditemukan pada pelbagai karya Hermesi dan
Ghanusi serta ajaran-ajaran pra-Yahudi.
Tampaknya sumber pandangan insan
kamil pun ditemukan dalam Alquran dan layak untuk diperhatikan. Alquran
memandang bahwa khalifah manusia itu adalah ciptaan Ilahi dan menyebut
insan kamil sebagai imam. Dalam surah al Baqrah dijelaskan:
Dan (ingatlah), ketika
Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan),
lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan
menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". (QS. Al Baqarah: 124)
Jadi, Alquran dan isyarat yang
terdapat dalam kitab Nahjul Balaghah, karya Sayidina Ali bin Abi Thalib dan
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para imam Syiah dimana hal ini
memerlukan penelitian tersendiri, juga Muhammad bin Ali al Hakim at
Turmudzi (wafat 255 H), Abu Yazid Busthami (wafat 264 H) dan Husain bin
Manshur al Hallaj (wafat 309 H) adalah orang-orang yang pertama kali
mempopularkan terori insan kamil.
Hallaj, dengan bersandar kepada
hadis Nabi saw:
Sesungguhnya Allah
menciptakan Adam sesuai dengan gambarnya
Meyakini bahwa manusia terdiri dari
dua unsur, yaitu karakter kemanusiaan (nasut) dan ketuhanan (lahut). Dua
karakter ini yang noabene tampak dualis namun dua-duanya sejatinya saling
menyatu dan bercampur, seperti percampuran minuman keras.4
Ibn Arabi dan Konsep Insan Kamil
Ketika Ibn Arabi membahas manusia,
beliau biasanya mengarahkan pembahasannya pada manusia sempurna, bukan
manusia biasa yang umumnya dikenal dengan pelupa dan bodoh. Hakikat manusia
sempurna yang dimaksudkan adalah arketipe abadi dan kekal dari seluruh
manusia sempurna secara individual.
Muhyiddin Ibn Arabi menggunakan
istilah manusia sempurna (insan kamil) dari sisi pandangan khusus tasawuf.
Beliau mengambil pandangan al Hallaj lalu mengubahnya secara mendasar dan
cakupannya pun dikembangkan secara jauh lebih luas.
Ibn Arabi dualisme aspek “lahut”
dan “nasut” ditampilkannya dalam satu hakikat, bukan memiliki zat atau
esensi tersendiri, lalu lahut dan nasut bukan hanya terdapat pada manusia,
bahkan secara potensial ia mewujud pada setiap perkara yang lain, bahkan di
otak pun terdapat peran keduanya, sehingga pada segala sesuatu dapat dikenali
nasut sebagai manifestasi eksternal dan lahut sebagai manifestasi
internal/batin. Namun Allah SWT yang memanifestasi (tajalli) pada segala
sesuatu secara nyata, Dia mengejawantah secara sempurna pada sosok insan
kamil dimana para nabi dan para wali merupakan contoh kongkrit yang paling
menonjol darinya.
Pandangan ini merupakan tema asli
dua kitab utama beliau, Fushus al Hikam dan at Tadbirat al Ilahiyyah, dan
banyak bagian-bagian penting dari kitab tersebut yang kemudian ditelaah dan
dikajinya kembali dalam kitab Futuhat al Makkiyah dan pelbagai karya beliau
lainnya. Kitab Fushus al Hikam yang kemudian begitu tenar di kalangan umat
Islam menjadi gita sufistik yang sangat disambut oleh para ulama kenamaan.
Dalam beberapa abad yang lalu, lebih dari seratus sepuluh syarah dalam
bahasa Persia, Turki, dan Arab ditulis untuk buku ini dan pandangan/teori
insan kamil dipaparkan sebagai salah satu diskursus klasik mistik teoritis
(`irfan nazhari).
Fushus al Hikam mempunyai dua puluh
tujuh fash (segmen) dan masing-masing fash dinamai dengan nama-nama para
nabi dimana mereka merupakan manifestasi insan kamil di zamannya dan salah
satu dari pengejawantahan Muhammadiyah (Nur Muhammad) dan manifesati yang
komprehensif dan holistik dari insan kamil adalah Nabi Muhammad saw.
Ibn Arabi memandang bahwa insan
kamil adalah wakil yang benar/sah di muka bumi dan muallimul mulk (pengajar
alam gaib) di langit. Dalam perspektif beliau, insan kamil adalah potret
yang paling sempurna yang diciptakan oleh Allah dan derajatnya lebih baik
dari batasan mungkin dan lebih tinggi dari maqam ciptaan (makhluk). Karena
kedudukannya, pancaran rahmat dan bantuan al Haq (Allah SWT)—yang merupakan
penyebab kelestarian alam—sampai kepada alam.
Insan kamil adalah ciptaan yang
azali dan abadi dan kalimat penentu dan komprehensi. Dengan perantara
manusia seutuhnya, rahasia-rahasia Ilahi dan makrifat-makrifat hakiki
mewujud dan hubungan yang pertama dan yang terakhir tersambung serta
tingkatan alam batin dan alam lahir menyempurna. Insan kamil adalah wadah
seluruh peran dan duplikat asma-asma Ilahi dan hakikat-hakikat kekinian.
Insan kamil merupakan rahmat terbesar al Haqq bagi makhluk. Insan kamil
adalah ruh alam dan alam adalah jasadnya. Sebagaimana ruh mengatur dan
menguasai badan melalui kekuatan-kekuatan spiritual dan fisik, insan kamil
juga—melalui asma-asma Ilahi dimana Allah mengajarkan pelbagai rahasianya
kepadanya—mengintervensi alam dan sebagaimana ruh menjadi penyebab
kehidupan badan, dan ketika ruh meninggalkan/mengabaikan badan maka badan
akan menderita dan tidak akan menyempurna maka insan kamil pun menjadi
faktor kehidupan alam dan ketika ia meninggalkan alam ini, maka alam akan
rusak dan kehilangan makna. Dan insan kamil adalah manifestasi pertama dari
makhluk yang Zat Ahadiyah memantulkan cahaya-Nya kepadanya.
Jadi, karena hubungan yang organik
antara manusia dan kosmos, Ibn Arabi menyebut manusia sempurna dengan
“Pilar Kosmos”. Tanpa mereka, kosmos akan runtuh dan mati, inilah juga yang
terjadi pada hari akhir ketika manusia sempurna yang terakhir terpisah dari
dunia. Secara kosmologis dapat dikatakan, bahwa kerusakan dan kehancuran
alam dan lingkungan sosial di era modern adalah salah satu tanda
berkurangnya jumlah manusia sempurna di muka bumi ini(1).
Hakikat Muhammadiyah, bukan
kepribadian Rasulullah saw, tetapi suatu wujud metafisik yang sepadan
dengan akal pertama (‘aql awwwal) dimana hal ini terdapat pada seluruh
insan kamil dan setiap insan kamil percaya terhadap hakikat ini. Hakikat
ini dari sisi hubungan dengan manusia merupakan potret sempurna dari
manusia dan bila dilihat dari aspek pertalian dengan ilmu-ilmu batin
merupakan sumber pelbagai ilmu pengetahuan.
Kajian tentang wilayah yang
dipaparkan terkait dengan insan kamil dalam pandangan Ibn Arabi tidak hanya
khusus berlaku untuk pria. Ibn Arabi dalam kitabnya “Aqluhu al Mustaufiz”
setelah menjelaskan bahwa barometer khilafah (maqam sebagai
khalifatullah) adalah kemanusiaan manusia dan potret ketuhanannya, beliau
menegaskan bahwa kedudukan sebagai pengganti/wakil Ilahi tidak hanya
dikhususkan bagi kaum Adam, namun kaum hawa pun mampu meraih maqam ini.
Sebab, jenis kelamin pria dan
wanita itu merupakan ciri khas atau karakter kemanusiaan, bukan hakikat dan
esensinya. Bahkan Nabi saw sendiri bersaksi bahwa kaum hawa pun mampu
mencapai maqam khilafah ini dalam sabdanya:
Banyak laki-laki yang
sempurna dan yang sempurna dari kaum hawa adalah Maryam Binti ‘Imran
Teori Insan Kamil dalam Pandangan Muthahari
Berbeda dengan Ibn Arabi yang
mengulas konsep insan kamil dalam bingkai tasawuf, Murtadha Muthahari
mengkaji insan kamil dalam bukunya “Perfect Man” dari sudut pandangan
Alquran. Namun sebagaimana Ibn Arabi, Muthahari melihat insan kamil sebagai
manusia yang menangkap dan mengembangkan asma Allah secara proporsional.
Muthahari mengkitik tasawuf negatif
yang hanya memperhatikan satu aspek dan nilai saja. Beliau mengkritik tajam
kaum sufi yang mengabaikan peran akal dalam mendekati dan memahami agama
serta perannya dalam perjalanan spiritual. Bagi Muthahri, pengembaraan dan
pencerahan spiritual harus memakai kendaraan akal supaya sukses.
Perlu digarisbawahi di sini bahwa
Muthahari tidak menyerang ajaran tasawuf secara keseluruhan, namun sikap ifrath
(ekstremitas) dan tafrith (kelonggaran) yang menjadi sasaran
kritikannya. Sebab bagi beliau, insan kamil adalah sosok manusia yang bukan
hanya superior di satu bidang dan nilai namun inferior di bagian yang lain.
Insan kamil adalah sosok manusia yang mampu merekat dan merajut pelbagai
nilai dan prestasi secara seimbang. Insan kamil tidak bisa diwakili oleh
sosok petapa yang perutnya kempes, badannya lesu, mukanya pucat pasi,
matanya merah karena kurang tidur, namun kepekaan sosialnya hilang. Manusia
seperti ini adalah abid yang individualis.
Insan kamil tidak juga diwakili
oleh orang yang keberaniannya luar biasa bak macam kumbang yang selalu siap
menerkam mangsanya. Manusia seperti ini mengganggu kenyamanan dan keamanan
orang lain. Insan kamil bukan juga pada diri filosof yang mengkultuskan
akal namun aspek rohaninya kering kerontang. Ia lebih banyak mendiskusikan
agama dan menghafal istilah-istilah filosofis ketimbang mengamalkannya. Dan
insan kamil tidak bisa diklaim oleh pemabuk cinta yang kemana-mana
mensenandungkan nyacian cinta dan mabuk dalam buaian arak cinta. Ia hanya
mendekati Tuhan-Nya dengan syair-syair cinta dan nada-nada mahabbah, namun
ia mengebiri akal. Sebab, baginya akal adalah “tirai” yang menutup jalan
manusia menuju al Mahbub.
Jadi, insan kamil adalah sosok manusia
yang berhasil memadukan nilai-nilai luhur dan bajik secara proporsional. Ia
abid, sekaligus `arif (pesalik jalan spiritual dengan makrifat), sekaligus
`akil (pengguna akal) dan asyiq (pecinta). Dan akhirnya ia sejatinya adalah
manifestasi ‘abdul haqiqi (hamba sejati) Wajibul Wujud.
Apanya yang sempurna?
Saat menjelaskan bentuk
kesempurnaan manusia, Muthahari menyitir ayat Alquran yang berbunyi:
“Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak
mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia
mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang
lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS. Al Insan: 2-3)
Lalu beliau mengemukakan: “Ini
berarti, manusia telah dianugerahi banyak kemampuan dan dibiarkan bebas
untuk membuktikan apakah ia patut memperoleh pahala atau hukuman atas
perbuatannya. Makhluk lain tak mendapatkan semua itu.
Manusia harus memilih jalannya
sendiri, dan ia mendapatkan kesempurnaan melalui pengendalian dan
penyeimbangan diri dan dengan mengerahkan semua kemampuannya. Ini serupa
dengan kesempurnaan fisik. Perhatikanlah seorang bocah yang tumbuh. Bila
seluruh organ dan anggota badannya sehat dan berkembang secara harmonis,
maka secara fisik ia sempurna. Tetapi, bila ia tumbuh seperti kartun yang
sebagian organ dan anggota badannya berkembang berlebihan sedang yang lain
sama sekali tidak tumbuh atau hanya tumbuh sedikit, ia tak akan mencapai
kesempurnaan fisik. Jadi, perkembangan yang harmonis dan menyeluruh dapat
menghasilkan kesempurnaan. Imam Ali adalah manusia sempurna karena semua
nilai manusiawi tumbuh secara maksimum dan harmonis dalam dirinya(2).”
Jejak Teori Insan Kamil Ibn Arabi
di Nusantara
Secara umum, tasawuf tidak bisa
lepas dari tokoh yang bernama Ibn Arabi. Karena beliaulah tokoh yang
berpengaruh di dalam dunia tasawuf. Bahkan Muthahari dalam bukunya “Insan
Kamil” tidak canggung-canggung menyebut Muhyiddin Arabi al Andalusi Tha’i
sebagai sufi kawakan dan sekaligus bapak sufisme, tak terkecuali ketika
kita berbicara tasawuf di nusantara rasanya aroma Ibn Arabi tercium
dimana-mana. Hal ini tidak mengherankan karena sebagaimana pengakuan Prof.
Abdul Hadi WM., sejak abad ke-17 karya-karya penting sufi terkemuka
menyebar di pusat-pusat studi keagamaan tanah air, seperti pesantren dan
sudah akrab di kalangan para ulama, khususnya yang konsen tehadap kajian
tasawuf dan tarekat: Dalam hal ini Prof. Abdul Hadi WM. menulis:
Pada awal abad ke-17 M dengan
pindahnya pusat kekuasaan Jawa ke pedalaman, kegiatan penulisan suluk
berkembang pula di pedalaman, terutama di pesantren dan pusat-pusat
kekuasaan. Di istana-istana raja Jawa, kegiatan penulisan sastra suluk
mula-mula digalakkan oleh Panembahan Seda Krapyak pada permulaan abad ke-17
M. Perkembangan sastra suluk semakin pesat pada masa pemerintahan
Panembahan Senapati di Mataram. Pada masa ini sejumlah besar suluk-suluk
pesisir disalin dan disadur kembali ke dalam bahasa Jawa Baru. Di antaranya
Suluk Wujil karya Sunan Bonang, dan Suluk Malang Sumirang karya Sunan
Panggung (Poerbatjaraka 1938). Pada masa ini juga karya Jalaluddin Rumi
yang masyhur Diwan-i Shamsi Tabriz disadur ke dalam bahasa Jawa di bawah
judul Suluk Syamsi Tabriz. Sementara karya-karya Imam al-Ghazali, Abdul
Karim al-Jili (al-Insan al-Kamil), Ibn `Arabi, dan karya sufi Arab dan
Persia lain mulai dipelajari secara meluas di berbagai pesantren.
Salah satu tokoh sufi kenamaan
tanah air yang pemikiran tasawufnya sedikit banyak dipengaruhi oleh
pandangan-pandangan sufistik Ibn Arabi adalah Hamzah Fansuri. Berikut ini
kami akan mengulang sedikit bagaimana pandangan insan kamil Ibn Arabi
memengaruhi pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri.
Hamzah Fansuri dan Pandangan Insan
Kamil Ibn Arabi
Tasawuf Hamzah Fansuri banyak
dipengaruhi oleh pandangan Ibn Arabi. Berkaitan dengan hal ini Prof. Dr.
Abdul Hadi WM. menulis:
Mula-mula Hamzah Fansuri
mempelajari tasawuf setelah menjadi anggota tarekat Qadiriyah yang
didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jilani dan dalam tarekat ini pula dia
dibai’at. Setelah mengembara ke berbagai pusat Islam seperti Baghdad,
Mekkah, Madinah dan Yerusalem, dia kembali ke tanah airnya serta
mengembangkan ajaran tasawuf sendiri. Ajaran tasawuf yang dikembangkannya
banyak dipengaruhi pemikiran wujudiyah Ibn `Arabi, Sadrudin al-Qunawi dan
Fakhrudin `Iraqi. Sedangkan karangan-karangan sastranya banyak dipengaruhi
Fariduddin al-Aththar, Jalaluddin al-Rumi dan Abdur Rahman al-Jami.
Sehubungan dengan pandangan Hamzah
Fansuri terkait dengan kemuliaan manusia dan insan kamil, Dr. Abdul Hadi
WM. menulis:
Dalam pandangan Hamzah Fansuri,
kemulian manusia terletak pada kesempurnaannya dalam berhubungan dengan
Allah. Manusia yang paling sempurna adalah mereka yang mampu
memanifestasikan keseluruhan sifat Tuhan dalam diriya.
Dalam Burung Pingai Hamzah
menyatakan:
Mazhar
Allah akan rupanya
Asma
Allah akan namanya
Malaikat
akan tentaranya
‘Akulah
wasil’ akan katanya
Sayapnya
bernama furqan
Tubuhnya
bersurat Qur’an
Kakinya
Hannan dan Mannan
Daim
bertengger di tangan Rahman
Ruh Allah
akan nyawanya
Sirr
Allah akan angganya
Nur
Allah Akan matanya
Nur
Muhammad daim sertanya
Syair di atas menggambarkan posisi
manusia yang telah menyatu dengan Tuhan. Ia menggambarkan bagaimana
keseluruhan dirinya diliputi oleh asma’ dan sifat Tuhan. Tidak ada sisi
dalam dirinya yang tidak diliputi Tuhan. Bagaikan Tuhan ia dikawal
malaikat-Nya dan berdiri di atas kakinya yang juga merupakan malaikat-Nya
(Hannan dan Mannan). Dalam tataran inilah manusia menjadi sempurna.
Anda perhatikan bagaimana Hamzah
Fansuri menggambarkan sosok insan kamil secara apik dan elegan dan
bagaimana ia menggunakan istilah manusia sempurna atau insan kamil dalam
beberapa penjelasannya. Ini membuktikan bahwa beliau bukan hanya
terpengaruh oleh pandangan insan kamil Ibn Arabi tapi sebenarnya juga
berusaha mengembangkannya dengan bahasa yang lebih mudah dan popular
sehingga dapat dipahami dan kemudian diamalkan oleh para muridnya dan umat
Islam di Indonesia yang peduli terhadap kajian tasawuf.
Cinta Ilahi, Akhir perjalanan
Pesalik
Hamzah Fansuri lebih jauh memotret
insan kamil secara lebih tajam ketika beliau menjelaskan konsep mahabbah
(cinta). Baginya, cinta hakiki akan terbangun antara ‘asyiq dan ma`syuq
ketika tidak ada lagi noda cinta dunia. Selama masih ada kepentingan
materi, maka cinta hakiki dan abadi tidak akan pernah terwujud. Maka
pesalik harus berusaha sekuat tenaga untuk bagaimana caranya menghilangkan
noktah-noktah hitam dan merah akibat cinta. Sebagaimana disabdakan oleh
wujud insan kamil terbesar, yaitu Rasulullah saw bahwa: “Cinta dunia adalah
pangkal segala kesalahan (dosa).” Dalam kaitan ini, Dr. Abdul Hadi WM.
menulis:
Cinta adalah hakikat Tuhan yang
Wujud dalam alam. Ia menampakkan dirinya berupa surah dalam diri manusia.
Setiap manusia yang menempah jalan menuju Tuhan mesti membersihkan diri
dari sifat keduniawian. Sifat ketuhanan akan masuk dalam diri yang telah
bebas dari sifat keduniawiannya. Seseorang yang telah mampu menampakkan
sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya ia adalah insan kamil.
Dan yang menarik, ketika Hamzah
Fansuri menyebutkan cinta Ilahi sebagai terminal akhir pesalik/abid. Ya,
Allah SWT memanisfestasi melalui asma-asma-Nya yang paling indah dan
terbaik, supaya dengan nama-nama tersebut para pesalik mampu mengenal-Nya
dengan baik dan menjalankan aktifitas ibadah dengan kesadaran tauhid
tertinggi; tauhid yang mengantarkan insan pada hakikat ibadah, yaitu
penyembahan yang semata karena cinta dan kerinduan kepada-Nya dan tenggelam
dalam asma-Nya; hingga tiada lagi abid; tiada lagi ibadah, yang ada hanya
Ma’bud (Sang Kekasih Absolut); yang ada hanya nyayian dan lagu cinta.
Dalam hal ini, Hamzah Fansuri
mengatakan, “Akhir dari perjalan seorang salik adalah mendapatkan cinta
Ilahi yang akan menjadikannya sebagai insan kamil.” Penggapaian ini
berwujud pada kesadaran kesatuan pandang antara diri dan Tuhan, seperti
terungkap dalam sya’irnya:
Ma’bud
itulah yang bernama haqiq
Sekalian
alam di dalamnya ghariq
Olehnya
itu sekalian fariq
Pada
kunhi-nya tiada beroleh thariq
Konsep Insan Kamil dalam Tasawuf
Syamsudin Pasai
Tokoh sufi kesohor lainnya di tanah
air yang juga terpengaruh oleh pandangan insan kamil Ibn Arabi adalah
Syamsudin Pasai.
Dalam kitabnya Mir`at al-Muhaqqiqin
Syamsudin Pasai menerangkan bahwa rupa batin manusia merupakan salinan dari
wajah Tuhan. Tetapi hanya manusia yang telah mencapai martabat insan kamil
dapat kembali mencapai tipe ideal asalnya yang rupa batinnya mengandung
gambaran sifat ketuhanan. Uraiannya mengenai wahdat al-wujud (kesatuan
transenden wujud) dapat dilihat dalam bab ketiga bukunya ini, yaitu fasal
yang membicarakan nisbah (kaitan) perbuatan atau fi`il dan sifat, serta
nisbah dzat dan wujud. Perbuatan kita sebenarnya, jika ditilik secara
mendalam, digerakkan Tuhan, tetapi mengikuti keinginan dan gerak hati kita
sendiri. Kata Syamsudin, “ “Dalil (nya ialah) firman Tuhan yang berarti:
Allah Ta`ala menjadikan kamu dan perbuatan kamu”. Mengutip pernyataan Ibn
`Arabi, dia mengatakan, bahwa barang siapa memandang perbuatan makhluq
tiada berasal dari diri makhluq itu sendiri, maka ia benar.
Seperti Ibn `Arabi, bagi Syamsudin
Pasai sempurnanya makrifat seseorang terletak pada penguasaan tujuh
pengetahuan; 1. Pengetahuan tentang
nama-nama-Nya; 2. Pengetahuan tentang tajalli Ilahi; 3. Pengetahuan taklif
Tuhan terhadap hamba-Nya; 4. Pengetahuan tentang kesempurnaan dan
kekurangan wujud alam semesta; 5. Pengetahuan mengenai alam akhirat; 6.
Pengetahuan tentang hakikat diri; 7. Pengetahuan mengenai sebab-sebab dari
penyakit batin dan obatnya (Ibid).
Syamsudin Pasai juga menulis
beberapa syair. Satu bait dari syairnya yang indah ialah yang ini:
Heninglah
laut semata-mata
Hapuslah
sekalian rupa yang nyata
Pendeklah
sini sekalian kata
Isyarat
pun habis dari cita
(Braginsky
2002)
Coba Anda garis bawahi pernyataan
beliau: “Rupa batin manusia merupakan salinan dari wajah Tuhan. Tetapi
hanya manusia yang telah mencapai martabat insan kamil dapat kembali
mencapai tipe ideal asalnya yang rupa batinnya mengandung gambaran sifat
ketuhanan.” Betapa indahnya beliau menggambarkan potret batin insan kamil
yang jiwanya dipenuhi dengan pantulan dan cahaya asma Allah. Ketika beliau
mengatakan bahwa batin manusia merupakan salinan dan duplikat dari wajah
Allah, maka di sini menunjukkan bahwa insan kamil memiliki kekuatan
ilahiah. Dalam sebuah hadis qudsi yang terkenal dikatakan:
Wahai hamba-Ku, taatlah kepada-Ku,
hingga aku menjadikanmu seperti-Ku. Maka, sebagaimana Aku yang memiliki
kemampuan “kun fayakun” maka engkau pun dapat mengatakan kepada sesuatu
“kun fayakun”.
Kemampuan mendemontrasikan “kun
fayakun” ketika seseorang berhasil menjadi salinan Allah di muka bumi.
Namun menjadi salinan wajah Allah bukan perkara mudah. Kedudukan ini tidak
diberi cuma-cuma, Syamsudin Pasai membatasi tipe manusia yang paling ideal
ini hanya bagi mereka yang memang bersedia melalui jenjang-jenjang
spiritual yang mengantarkannya kepada posisi terhormat sebagai insan kamil.
Dengan kata lain, idealitas manusia bukan diukur dari sebanyak mana harta
yang dikumpulkannya; secantik apa istri yang dinikahinya; sebesar dan
seluas apa tahta yang didudukinya namun semua itu hanya fatamorgana yang
tak berguna ketika ia belum mencicipi rasanya menjadi insan kamil. Insan
kamil adalah martabat kemanusiaan yang paling tinggi dan paling mulia.
Insan Kamil dalam Tasawuf Nuruddin
al-Raniri
Tokoh sufi lainnya di tanah air
yang juga terpengaruh oleh pandangan insan kamil Ibn Arabi adalah Nuruddin
al-Raniri.
Ulama dan sastrawan besar Aceh yang
tidak kalah masyhur dari Hamzah Fansuri dan Syamsudin Pasai ialah Nuruddin
al-Raniri. Nama lengkap berikut gelar yang diberikan kepadanya ialah
al-`Alim Allama al-Mursyid ila al-Tariq al-Salama Maulana al-Syeikh
Nuruddin Muhammad ibn `Ali Hasan ji bin Muhammad Hamid al-Qurayshi
al-Raniri. Ulama keturunan India Arab ini lahir di Ranir, Gujarat, pada
tahun 1568 (Windstedt 1968:145; Ahmad Daudy 1983:49) dan sangat mencintai
dunia Melayu. Pada masa hidupnya Gujarat merupakan pelabuhan dagang yang
ramai dikunjungi kapal-kapal dagang Arab, Persia, Mesir, Turki dan
Nusantara. Di sini bahasa Melayu dipelajari oleh para pedagang dan
pendakwah yang akan berkunjung ke Nusantara. Nuruddin tertarik mempelajari
bahasa ini sejak usianya masih muda dan berhasrat tinggal di negeri Melayu
mengikuti jejak pamannya yang pernah berdakwah di Aceh pada abad ke-16 M.
Pada tahun 1582, setelah agak lama
belajar di Tarim, Arab, dia menunaikan ibadah haji di Mekkah (Ibid).
Pertemuannya dengan banyak orang Melayu selama di Mekkah dan Gujarat
memperkuat hasratnya untuk menetap di negeri Melayu. Apalagi setelah
mendengar kabar perkembangan paham wujudiya di Aceh yang dipandang oleh
ahli-ahli tasawuf India ketika telah banyak menyimpang. Terutama pada zaman
pemerintahan Sultan Iskandar Muda, ketika pengaruh Hamzah Fansuri dan
Syamsudin Pasai semakin kuat. Dia sendiri adalah pengikut Ibn `Arabi,
tetapi dalam menafsirkan ajaran wujudiya dia bertolak dari ketentuan
syariat dan fiqih sedemikian ketatnya.
Pada masa itulah dia pergi ke
Pahang, tinggal lama di situ dan memperdalam penguasaannya terhadap bahasa
dan kesusastraan Melayu sehingga akhirnya mampu menulis kitab dan karangan
sastra dalam bahasa ini. Ketika Sultan Iskandar Muda wafat pada tahun 1636
M, segera dia pergi ke Aceh dan diterima sebagai ulama istana oleh sultan
yang baru Iskandar Tsani (1637-1641). Di sini dia angkat sebagai mufti atau
qadi agung. Sejak itulah karirnya sebagai penulis sastra kitab dan
ketatanegaraan mencapai puncaknya (Ibid). Selain menguasai berbabagai
cabang ilmu agama dan kesusastraan, Syekh Nuruddin juga menguasai ilmu
mantiq (logika) dan balaghah (retorika), dan ilmu pengetahuan lain seperti
sejarah, ilmu ketabiban dan sebagainya.
Pengakuan Dr. Abdul Hadi WM. bahwa
“Nuruddin al-Raniri adalah pengikut Ibn `Arabi, meskipun dalam menafsirkan
ajaran Wahdatul Wujud dia bertolak dari ketentuan syariat dan fiqih
sedemikian ketatnya” menandakan bahwa beliau tentu seyogianya akrab dengan
pembahasan-pembahasan utama yang disampaikan oleh Ibn Arabi, terutama
pembahasan terkenal beliau tentang teori insan kamil.
Dalam bukunya “Bustan al-Salatin’,
bab pertama, beliau membahas “Nur Muhammad”. Tentu saja pembahasan ini
sangat kental beraroma sufistik dan berhubungan dengan konsep penciptaan
Adam (insan kamil) yang menjadi guru para malaikat.
Di samping itu, dalam kajian sastra
sufistik, sosok insan kamil tentu dijelaskan secara puitis dalam bait-bait
syair dan sastra. Banyak sekali karya satra, utamanya dalam bahasa Arab
yang memuji Nabi Muhammad saw sedemikian tingginya; melibihi sekat-sekat
manusia biasa. Tentu saja segala pujian yang ditujukan kepada Nabi Muhammad
itu terasa pas dan tidak perlu dianggap pengkultusan dan hiperbolis bila
dilihat dari sudut posisi beliau sebagai insan kamil.
Berkaitan dengan bagaimana maraknya
syair pujian dalam sastra Melayu, Dr. Abdul Hadi WM. menulis:
Syair Pujian Kepada Nabi Muhamad
Saw Walaupun tema tentang Nur Muhammad dan pujian kepada beliau terdapat
dalam syair-syair makrifat, terdapat syair pujian khusus kepada beliau.
Dalam kesusastraan Arab disebut al-mada`ih al-nabawiyah dan di Persia
disebut na`tiya, dari perkataan na`at yang berarti pujian. Syair jenis ini
dalam kesusastraan Melayu terutama diilhami oleh Qasida al-Burdah, Syaraf
al-Anam dan Qasida al-Barzanji. Di antaranya ialah Syair Rampai Maulid,
Syair Maulid Jawi, Nazam Dua Puluh Lima Rasul, yang didahului dengan
puji-pujian kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad Saw Dimasukkan ke dalam
kategori karya bercorak tasawuf, karena penulisnya biasa adalah sufi atau
guru tariqat, dan dalam ungkapan-ungkapannya terdapat simbol-simbol yang
berlaku dalam sastra sufi. Misalnya perumpamaan terhadap Nabi Muhammad Saw
sebagai matahari yang menerangi dunia, bulan purnama, kekasih Tuhan,
teladan bagi sekalian ahli makrifat, dan lain sebagainya.
Tema tentang Nur Muhammad saw
hampir merata disebutkan dalam buku-buku Maulid (kelahiran) beliau. Dan
tema ini sangat cocok bila dikaji dari sudut pandangan insan kamil. Bahwa
karena Nur Muhammad-lah alam dan seisinya ini diciptakan.
Kesimpulan
Ibn Arabi adalah maestro tasawuf
dalam dunia Islam yang berjasa besar dalam perkembangan dan pengukuhan ilmu
tasawuf. Sehingga secara langsung atau tidak banyak tokoh sufi dunia yang
terpangaruh dan berhutang kepadanya. Tak terkecuali tokoh-tokoh tasawuf di
nusantara yang sedikit-banyak terpangaruh oleh pandangan-pandangan Ibn
Arabi.
Salah satu pandangan sufistik Ibn
Arabi yang mewabah di kalangan sufi tanah air adalah teori ''insan kamil''.
Para sufi beken, seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai dan Nuruddin
al-Raniri sudah akrab dengan konsep insan kamil dan bahkan masing-masing
mereka dengan caranya masing-masing berusaha menyebarkan dan
mengembangkannya.
Ibn Arabi menilai bahwa Insan kamil
adalah ciptaan yang azali dan abadi dan kalimat penentu dan komprehensi.
Dengan perantaranya, rahasia-rahasia Ilahi dan makrifat-makrifat hakiki
mewujud. Insan kamil adalah wadah seluruh peran dan duplikat asma-asma
Ilahi dan merupakan rahmat terbesar al Haqq bagi makhluk.
Berbeda dengan Ibn Arabi yang
membahas teori insan kamil dalam bingkai tasawuf, Murtadha Muthahari
menguraikan konsep insan kamil dari sudut pandang Alquran. Sebagaimana Ibn
Arabi, Muthahari melihat insan kamil sebagai manusia yang menangkap dan
mengembangkan asma Allah secara proporsional.
Sedangkan menurut Hamzah Fansuri,
manusia yang paling sempurna adalah mereka yang mampu memanifestasikan
keseluruhan sifat Tuhan dalam diriya. Adapun Syamsudin Pasai berpendapat
bahwa rupa batin manusia merupakan salinan dari wajah Tuhan. Tetapi hanya
manusia yang telah mencapai martabat insan kamil dapat kembali mencapai
tipe ideal asalnya yang rupa batinnya mengandung gambaran sifat ketuhanan.
Dan akhirnya, pembahasan tentang “Nur Muhammad” yang dilakukan Nuruddin
al-Raniri dan juga terdapat dalam sastra Melayu menandakan betapa kuatnya
pengaruh pandangan kamil Ibn Arabi dalam literatur dan khazanah tasawuf
nusantara. (Taghrib.ir)
Daftar
Pustaka
Manusia
Sempurna,Muthahari, Lentera, Jakarta, 2003
Dunia
Imajinal Ibnu Arabi, William C. Chittick, Risalah Gusti, Surabaya 2001
http://www.hawzah.net
http://amuli.wordpress.com
(1)
Dunia Imajinal Ibn Arabi, William C. Chittick.
(2)
Manusia Sempurna, hal.32.
|