Secara umum, kegagapan
dunia Islam muncul seiring dengan interaksi mereka dengan dunia Barat. (1)
Kendati interaksi dimaksud melalui jalur imperialisme, tidak dapat
dipungkiri bahwa yang demikian ini membawa pengaruh sangat besar dalam
kehidupan masyarakat Muslim di kemudian hari. Karena di sini Barat tidak
sekali kali tidak hanya melakukan penjajahan atas dunia Muslim akan tetapi
juga –bersamaan dengan itu- sekaligus memperkenalkan tekhnologi, pemikiran
modern dan lain sebagainya, yang diperoleh dari negerinya.
Di Mesir, pertemuan
Barat dengan umat Islam, dimulai sejak Invasi (2) Napoleon Bonaparte pada
tahun 1798-1801. Napoleon yang berasal dari Prancis – selain bermaksud
menjajah Mesir – juga memperkenalkan gagasan-gagasan revolusi Perancis yang
berpondasikan pada; kebebasan (liberte), persamaan (egalite) dan
persaudaraan (fraternity) ke seantero penjuru Mesir. Serta merta, Napoleon
juga memperkenalkan tekhnologi maju.(3) Meski sedemikian cepat invasi yang
dilakukan di Mesir, tidak dapat dipungkiri, pengaruhnya sangat besar dalam
kehidupan masyarakat negara tersebut.
Generasi pertama, yang
dengan cerdas menangkap gagasan yang ditebar imprealis Perancis, adalah
Rifa’ah al Tahtawi (1801-1873). Keterlibatannya secara langsung dengan
tradisi Barat, dipandang memulai babakan baru dalam sejarah modern Mesir.
Kiprahnya demikian besar dalam menyongsong peradaban baru, utamanya di
Mesir. Karena itu, ia juga dikenal sebagai Bapak Pembaharuan di Mesir,
melampaui generasi-generasi sebelumnya. Apalagi, dengan ditopang seorang
penguasa progresif-modernis, Muhammad Ali Pasha. (Al-Tahtawi, Takhlis
al-“ibriz) yang senantiasa menyokong setiap gagasan pembaharuan di Mesir,
menjadikan sosok Rifa’ah al-Tahtawi semakin mengukuhkan posisinya diantara
cendekiawan Muslim pada masanya.
Latar Belakang
Intelektual dan Sosial
Nama lengkapnya adalah
Abu al-‘Azm Rifa’ah Rafi’ b Badaw. Jika dirunut masih keturunan Nabi SAW.
Namun nasab yang baik ini tidak banyak membantu karena ia hidup lumuran
kemiskinan. Tumbuh di lingkungan ulama terkemuka di Tahta. Pada saat umur
16 tahun (1817), Rifa’ah al-Tahtawi pergi ke Cairo untuk menuntut ilmu di Universitas
Al Azhar. Di sana ia bertemu dengan hasan al-Attar (1766-1834), seorang
guru besar Universitas al-Azhar Cairo yang secara intens berinteraksi
dengan ilmuwan Perancis selama pendudukan mereka di Mesir.
Hasan al-Attar inilah
yang banyak mempengaruhi Rifa’ah al-Tahtawi di kemudian hari.
Hasan alAttar, juga
merekomendasikan Rifa’ah al-Tahtawi untuk ditunjuk sebagai wa’iz atau
preacher tentara Mesir pada tahun 1824, di masa pemerintahan Muhammad I.
Dua tahun kemudian ketika Muhammad Ali berkehendak mengirimkan 44 pelajar
untuk menimba ilmu di Perancis. Rifa’ah al-Tahtawi ditunjuk sebagai salah
satu imam yang mendampingi para pelajar tersebut (4). Dari sanalah gairah
intelektualitas Rifa’ah al-Tahtawi semakin berkobar, karena selain belajar
bahasa Perancis untuk memahami karya-karya ilmiahnya, juga ia dapat belajar
langsung berkomunikasi dengan tokoh-tokoh ilmuan Perancis seperti Silvestre
de Sacy (1758-1862) di Colledge de France, Coussin de Perceval di Ecole des
Langues Orientales, Joseph Reinaud di Bibliotheque Nationale, dan Jomard
(1777-1862).
Sekembalinya dari
Perancis Rifa’ah al-Tahtawi bermaksud mengadopsi gagasan maupun perilaku
modern yang telah dicapai Perancis. Dengan ikhtiar untuk mensejajarkan
masyarakat Mesir dengan Perancis (Barat). Rifa’ah al-Tahtawi memulai dengan
proyek pembaruannya. Beberapa karyanya antara lain : Takhlis al-Ibriz fi
Talkhis Bariz (1834). Anwar Tawfiq al-Jalil fi Akhbar Misr wa Tawthiq Bani
Ismail (1868). Nihayat al-Ijaz fi Sirat al-Hijaz (1874), manahij al-Albab al-Misriyah
fi Mabahij al-Adab al-“Asriyyah (1869) dan Mursyid al-“Amin li al-Banar wa
al-Banin (1872) (66) sebagai upaya menuju langkah pembaharuannya. Belum
halnya dengan beberapa terjemahan buku berbahasa Perancis yang tersebar
dalam berbagai disiplin iilmu.
Pertama kali datang di
Perancis Rifa’ah al-Tahtawi langsung bekerja di kedokteran dengan tugas
sebagai editor, penulis dan penerjemah. Namun begitu yang nampak dominan
adalah pekerjaan penerjemahan buku-buku berbahasa Perancis ke Bahasa Arab.
Pada tahun 1833 M, Rifa’ah al-Tahtawi dipindahtugaskan ke sekolah militery,
tugas yang diemban Rifa’ah al-Tahtawi sama, sebagai penerjemah. Dua tahun
kemudian oleh Muhammad Ali Pasha. Dia ditugaskan di Madrasah Alsun. (7)
Di Madrasah Alsun
Rifa’ah al-Tahtawi juga mendirikan
Biro penerjemahan yang berada di bawah tanggungjawabnya langsung.
Pada tahun 1849 M, di saat peralihan kekuasaan dari Muhammad Ali Pasha –
juga Ibrahim Pasha – ke Abbas Pasha, Rifa’ah al-Tahtawi diasingkan ke
Khortum dengan dalih sebagai Kepala Madrasah Ibtidaiyah. Namun tidak lama
kemudian, ketika tampuk kekuasaan dipegang oleh Ismail Pasha, yakni tahun
1854. Rifa’ah al-Tahtawi diminta untuk kembali ke Mesir. Ia mulai bertugas
kembali di Biro Penerjemahan pada tanggal 7 Maret 1863 M sampai akhir
hayatnya (tahun 1873 M).
Rifa’ah al-Tahtawi Peletak Batu-Bata
Pertama Pembaharuan
Rifa’ah al-Tahtawi
dikenal sebagai bapak pembaharuan atau paling tidak sebagai peletak
batu-bata pertama pembaharuan di Mesir, karenanya beliau dikenal dalam
sejarah, sebagai tokoh yang mengawali gagasan-gagasan pembaharuan di Mesir.(8)
Salah satu item
pembaharuannya bermula dari menegaskan tentang pondasi untuk menuju pada
peradaban agung. Menurut Rifa’ah al-Tahtawi bahwa selain pondasi moral
agama, yang juga penting dilakukan dalam rangka meraih peradaban adalah
dengan perbaikan adalah dengan perbaikan material. Perbaikan ini lebih
mengarah pada match dengan apa yang dikatakannya, al-manafi’ al-umumiyyah
yang mengacu pada perbaikan pertanian, perdagangan dan perindustrian. Atau
dengan kata lain, pembaharuan yang berorientasi pada pembagungan ekonomi
masyarakat. (9)
Rifa’ah al-Tahtawi
menegaskan pentingnya mendasarkan pada rasionalitas sebagai basis utama
pemunculan peradaban. Segala ilmu pengetahuan modern, selayaknya menjadi
medium penggapaian umat Islam meraih peradaban luhur. Karena rasionalitas
yang sesungguhnya secara implisit terkandung dalam Islam, adalah instrumen
penting untuk senyatanya menggapai peradaban yang senantiasa compatable dan
mencegah permusuhan antar sesama (10)
Di lain pihak Rifa’ah
al-Tahtawi juga merupakan tokoh yang gigih memperjuangkan pendidikan
berbasis kesetaraan gender jauh sebelum pemikir jender seperti Qasim Amir,
Fatima Mernisi. Bagi Rifa’ah al-Tahtawi antara laki-laki dan perempuan
adalah sama dalam mendapatkan pendidikan. Pendidikan bagi perempuan
diperuntukkan selain keharmonisan keluarga, juga dalam rangka mendidik anak
yang baik. Kesempatan mendapatkan pekerjaan yang sama antara laki-laki dan
perempuan sesuai dengan kapasitasnya. (11)
Lebih dari itu Rifa’ah
al-Tahtawi adalah pengusung utama gagasan patriotisme (al-Wathaniyah) dalam
Islam. Disatukan oleh bahasa kesetiaan pada raja, kepatujan terhadap suatu
hukum Tuhan dan administrasi politik, anak-anak negeri bersatu padu
mengembangkan negerinya. Antara yang satu dengan yang lainnya adalah
bagaikan satu keluarga besar yang bersama-sama hendak membangun negeri.
Rifa’ah al-Tahtawi menyebut anak-anak negeri ini dengan orang mesir
(Egyptian) atau juga sering juga disebut seorang patriot. (12).
Untuk ukuran zamannya,
gagasan beliau sangat maju dan melampaui rekannya. Demikian ini
pertemuannya (encounter) dengan tradisi Perancis yang sedang jaya. Dia pula
yang secara langsung bertemu dengaqn perkembangan modernitas di Perancis,
namun begitu kelemahan lain dari pikirannya justru juga terletak di sana.
Bahwa beliau dalam peneguhan buah pikirannya, lebih menampakkan dari
pelopor pembaharuan dengan imitasi langsung terhadap produk tersebut dalam
alam tradisional Mesir.
Karena ini tentu saja,
ia cenderung mengabaikan conditioning, yang memungkinkan gagasan
pembaharuannya tersemai di Mesir. Ia juga nampaknya melupakan
prasyarat-include di dalamnya semua infrastruktur- untuk selanjutnya
melakukan pembumian atas atas gagasan besarnya. Akibatnya bak mercusuar,
gagasan pembaharuannya sama sekali tidak menyentuh masa akar rumput di
Mesir, karena di tingkat grass roots belenggu konsevatisme telah sedemikian
kokoh untuk di dobrak.
Boleh dikata,
pembaharuan yang digencarkannya –yang tidak didukung infrasturktur yang
memadai – hanya menuai kegagalan. Hal ini bisa diamati, at least, pada
kecilnya pengaruh gagasan pembaharuan beliau terhadap masyarakat luas.
Apalagi yang menonjol dari gagasan pembaharuan beliau harus ditopang
penguasa. Karenanya itu ketika penguasa penyangga lengser, maka
pembaharuannya hanya sekedar wacana yang tidak menemukan lahan persemaian.
Bahkan dalam kasus tertentu (misalnya rezim Abbas Pasha) ia harus didepak
karena tidak mendapatkan support secara politis dari penguasa.
Kesimpulan
Rifa’ah al-Tahtawi
berikut pembaharuan yang dibawanya, sesungguhnya merefleksikan situasi riil
umat Islam, khususnya Mesir tatkala berinteraksi dengan Barat (perancis).
Dari sinibiasa dipahami jurang yang sedemikian lebar antara situasi umat
Islam di Mesir dan peradaban Barat yang direpresentasikan Perancis di
masanya, menuntut upaya pembaharuan. Kendati pembaruan yang dihadirkan
lebih mirip dengan westernisasi, nampaknya usaha beliau adalah Batu Bata
pertama proyek pembaruan Islam masa modern di dunia Muslim.
Bagaimana pun juga,
gagasan pembaruan beliau di Mesir harus diapresiasi oleh umat Islam
generasi sesudahnya.
Sumber Majalah Aula Januari 2004 – No. 01 Tahun
XXVI
(1).
Jauh sebelumnya, interaksi telah bermunculan di abad pertengahan, yakni
dengan perniagaan dan pengembaraan orang-orang Eropa ke dunia Timur. Namun
demikian, Interaksi ini sama sekali belum memperoleh hasil yang memadai,
hingga kemudian datang Napoleon Bonaparte (1798-1801) yang menghentak
kesadaran baru bagi orang-orang Mesir_lihat Tl-Tahtawi, Takhlis al-Ibriz fi
Talkhis Bariz (Mesir: Musthofa al-Baby al-halaby.tt) 7.
(2).
Invasi yang diselenggarakan Nap-oleon turut mengikutsertakan sekitar 167
seniman, sarja dan ilmuan yang berkehendak membongkar dan mencari
pengetahuan tentang Mesir. Demikian ini karena karena ekspedisi yang
dilaksanakan Napoleon bukan berdimensikan militer, melainkan persoalan
logistik. Karena itu, tidak termaktub dalam ekspedisi ini, untuk
menghancurkan dan merusak Mesir. Arthur Goldschmid, JR, Modem Egypt, The
Formation of a nation State (Colorado : Westiview Press, 1988), 14-15.
(3).
Raif Khuri, Modem Arab Thought : Channels of The French Revolution to The
Arab East (Princeton : The Kingston Press, 1943) 11
(4).
At-Tahtawi, Takhlis al-Ibriz 7
(5).
Muhammad Ali Pasha adalah termasuk orang yang diuntungkan oleh situasi. Di
saat ketidakpercayaan atas penguasa lama di Mesir karena konflik intern
yang tidak kunjung usai di kalangan mereka sendiri, ditambah bahwa mereka
menghadapi penguasa dari luar Mesir, menyebabkan Muhammad Ali Pasha begitu
mudah menundukkan Mesir.
Arthur
Goldscmidt, Jr, Modem Egypt ... 17. Dan nampaknya Muhammad Ali Pasha
berhasil memodernisasi mesir dimana pola hubungan tradisional dalam
politik, ekonomi dan sosial dirombak, dan diganti dengan rancang bangun
sosial politik juga ekonomi yang baru. Lihat Nalad Safran, Egypt in search
of Political Community, an Anallysis of The Intelectual and Political
Evolution of Egypt, 1952, (London Oxford University, 1961) 30
(6).
CE. Boswort, et. Al, The The Encyclopedia Islam, Vol. 8 (Leiden E.J. Brill
1993), 523.
(7).
Perihal keterhubungannya secara nasab dengan nabi SAW, bisa baca di
At-Tahtawi, Manahij al “Albab al-Misriyyah fi Mabahij al-Adab al-‘Asriyyah
(MesirMarba’ah Shirkah al-Ragha’ib, 1330H/1912M, 7.
(8).
Albert Hourani, Philip S. Khoury dan Mercy C. Wilson, ed, The Modem Middle
East (Barkeley : University of California Press, 1993), 119.
(9).
Jack a Crabbs, The Writing of History in Nineteeth-Century Egypt : A Study
in National Transformation (Cairo: The American University in Cairo Press,
1984), 70.
(10).
CE. Boswort, et. Al, The The Encyclopedia Islam, Vol. 8 (Leiden E.J. Brill
1993), 524
(11).
Albert Hourani, Arabic Thought in The Liberal Age 1778-1938 (cambridge :
Cambidge University Press, 1983), 71
(12). Sebagaimana diketahui pada akhir abad ke
18, Mesir sangat tidak diperhitungkan sebagai salah satu “Kota Penting” di
dunia Muslim. Ini terjadi karena Mesir adalah kota miskin dan terisolir
dari Dinasti Uthmaniyah. Mesir bukan pula kota maju, bahklan boleh dikata
stagnan. Lihat Arthur Goldscmidt: J.r. Modem Egypt: The Formation of Nation
State, (Colorado:Wesview Press: 1988), 14. Dalam konteks kemiskinan dan
keterbelakangan Mesir, gagasan pembaharuan Rifa’ah al-Tahtawi mendapatkan
momentumnya.
(13).
Albert Hourani, Arabic Thoght in The Liberal Age 1778-1939 (cambridge :
Cambidge University Press, 1983), 72_Al Tahtawi, Manahij al-‘Albab ....,
29.
(14).
Al Tahtawi, Fatherland and Patriotism, dalam John J Donohue dan John L.
Espositi. Ed. Islam in Transition, 11-12, jika dirunut gagasan patriotisme
pertama kali dilontarkan oleh Rifa’ah al-Tahtawi. Karena itu slogan –bukan hanya
hadis nabi berupa Cinta tanah air adalah sebagian dari iman,
|