Problem
Interpretasi dalam Dekonstruksi Pembaharuan Islam
Hermeneutika
Pembebasan
Pada
batas-batas tertentu, identitas dari hermeneutika pembebasan selalu di
hubungkan dengan gagasan besar Hasan Hanafi yang terlingkup dalam Kiri
Islam. Secara definitif, Kiri Islam berupa respon Hasana Hanafi terhadap
pengkajian teks penting untuk memahami perkembangan Islam modern, di sisi
yang lain, Kiri Islam juga merupakan respon terhadap revolusi islam itu
sendiri. Melalui pemikiran tentang Agama dan Pembebasan dan Teologi
Pembebasan, pada konteks sosial memposisikan isu-isu revolusioner yang
berkaitan dengan dunia Islam, namun hal ini bergerak lebih jauh berkait
dengan revolusi negara-negara dunia ketiga dan kajian teks pembaharuan.
Menurut
pendapat para kalangan, Hasan Hanafi lebih dikenal sebagai seorang filosof
ketimbang hermeneut, dan tentu saja dalam hal ini tidaklah begitu dikenal
sebagai seorang mufasir. Namun jika kita tinjau dari beberapa karyanya,
sangatlah jelas bahwa secara metodologis Hasan Hanafi telah menunjukan
suatu perumusan dalam penafsiran Al-Qur’an. Akan tetapi, Hanafi tidaklah
menulis tentang persoalan hermeneutika secara sistematis dalama satu karya
pokok, namun kebanyakan pemikiranya dalam masalah ini hanya berupa artikel
atau makalah yang kemudian diterbitkan dalam bentuk bunga rampai.
Sebagai
sarjana yang matang dalam bidang tradisi pemikiran Barat dan hukum Islam,
Hasan Hanafi tidak tanggung-tanggung dalam eksperimentasi hermeneutika
Al-Qur’annya. Ia membangun landasan pemikiran hermeneutikanya melalui empat
pilar. Dari khazanah klasik, ia memilih Ushul Fiqh, sementara fenomenologi,
Marxisme, disamping hermeneutika itu sendiri dari tradisi intelektual
Barat. Ini tentu sama merupakan suatu rancangan baru mengingat bahwa
mayoritas penafsiran dan metode tafsir Al-Qur’an saat ini masih terbatas pada
penggunaan pendekatan filologis, hukum, periwayatan atau laporan sejarah,
teologi, kajian sosio politik, hingga pendekatan estetis dalam Al-Qur’an.
Dari
tradisi ilmu-ilmu keislaman klasik, hermeneutika Al-Qur’an Hanafi sengata
memanfaatkan landasan ushul fiqh sebagai titik tolak. Sebab secara praktis,
ia melihat keterkaitan yang erat antara kegiatan penafsiran di satu sisi,
dan proses pembentukan hukum di sisi yang lain. Mengingat yang terakhir ini
merumuskan hukum dalam menghadapi tuntutan realitas sosial, maka jelas
ushul fiqh kompatibel dengan kepentingan hermeneutika pembebasan Hanafi
yang berbicara tentang kebutuhan dan kepentingan kaum muslim dalam
menghadapi berbagai persoalan kontemporer mereka.
Dalam
hermeneutika pembebasanya, Hanafi memperbincangkan beragam problematika
teoritis yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial dalam ushul fiqh,
seperti asbab an-nuzul, an-nasikh wa al-mansukh, dan mashlahah. Asbab
an-nuzul dimaksudkan oleh Hanafi untuk menunjukan prioritas kenyataan
sosial. Sementara an-nasikh wa al-mansukh mengasumsikan gradualisme dalam
penetapan aturan hukum. Eksistensi waahyu dalam waktu, perubahannya menurut
kesanggupan manusia, dan keselarasannya degan perkembangan kedewasaan
individu dan masyarakat sejarah. Adapun konsep mashlahah berangkat dari
pendasaran wahyu sebagai bagian dari pendasan sejarah dan tuntutan
kemaslahatan manusia.
Dapat
dipahami bahwa praktik hermeneutika pembebasan Al-Qur’an Hanafi jika tidak
semua masalah dan pendirian dalam ilmu fikih dan ushul fiqh perlu diterima.
Hanafi dan gerakan kiri islamnya lebih cocok dengan pradigma ushul fiqh
dari fikih maliki yang berkembang dalam tradisi Abdullah Ibn Mas’ud yang
diderifasi dari Umar bin Khattab. Sebab paradigma maliki lebih dekat dengan
realitas dan memberi keberanian dan kebebasan pada mujtahid dalam membuat
keputusan hukum berdasarkan kepentingan umum.
Gagasan
Hanafi tentang hermeneutika Al-Qur’an juga banyak dipengaruhi hermeneutika
filosofis Hans Georg Gadamer. Salaha satu ciri pokok pendekatan ini dalam kaitannya
dengan penafsiran teks terletak pada anggapan bahwa penafrisan tidak
mungkin terbebas dari subyektifitas penafsir yang kemudian disebut
prapaham. Oleh karena itu, kegiatan penafsiran selalu melibatkan pandangan
tertentu penafsir terhadap obyek yang ia tafsirkan. Dengan demikian,
penafsiran sebagai upaya reproduksi makna asli tidak dapat dilakukan.
Sebaliknya, proses penafsiran ekuivalen dengan upaya terus-menerus untuk
menciptakan makna baru yang bersifat kreatif.
Berbagai
gagasan diatas, disatu sisi memang memperkaya muatan hermeneutik Al-Qur’an
Hanafi. Namun disisi lain, tidak urung menimbulkan banyak kontradiksi
motodologi yang mungkin tidak ia sadari. Berdasarkan pertimbangan ini, pada
bagian berikutnya kita akan masuk pada wilayah kerangka teori dan
motodologi yang mencirikan persoalan hermeneutika Al-Qur’an Hanafi. Dan perlu dipahami
disini bahwa pemikiran hermeneutika Hanafi harus dilihat sebagai proses
perkembangan intelektualnya dalam wilayah pemikiran dan pergulatan sosial
dimesir. Yang kemudian mengejawantahkan gagasan hermeneutika ini sebagai
gerakan revolusi khazanah intelektual Islam.
Prinsip-prinsip Metodologi
Secara
garis besar, hermeneutika kontempores berada pada dua arus utama, yakni
yang bercirak filosofis dan yang metodis. Akan tetapi, hermeneutika Hanafi
tidak dengan mudah dimasukkan dalam salah satu tipologi tersebut karena
ambivalensinya antara tendensi metodis-obyektivistik, disatu sisi, dan
kepentingan emansipatoris-filoaofis yang bercorak praktis, pada sisi yang
lain. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini kita akan memperbincangkan
topik-topik teoritis yang menonjol dalam pemikirannya, dan tranfirmasi
hermeneutika pembebasannya yang terentang dari teori menuju praktis.
1.
Hermeneutika sebagai Aksiomatika
Satu
hal yang menonjol dalam pemikiran awal Hasan Hanafi tentang hermeneutika
Al-Qur’an adalah tendensi positivistiknya. Selain merekomendasikan perlunya
melakukan perbincangan teoritik tentang hermeneutika. Satu hal yang sama
sekali baru dalam tradisi penafsiran klasik terhadap Al-Qur’an Hanafi
sebenarnya juga menginginkan hermeneutika aksiomatik bersifat positivistik.
Bahkan tujuan perbincangan teoritik dalam hermeneutikanya dalam rangka
sebuah aksiomatika, yang tidak lain untuk menciptakan sebuah disiplin
penafsiran yang obyektif dan universal.
Belakangan,
Hasan Hanafi merevisi sebagian asumsinya tentang hermeneutika sebagai
disiplin yang rigorus dan positifisme tersebut. Kesadarannya tentang proses
kesejarahan manusia membawa pada kesimpulan bahwa tidak ada hermeneutika
yang bersifat absolut dan universal. Hermeneutika selalu merupakan terapan
yang merupakan bagian dari perjuangan sosial. Bagi Hanafi, pluralitas
penafsiran itu sendiri merupakan mencerminkan kontribusi masyarakat,
merupakan refkelsi konflik sosial yang menjadi dasar pemikiran manusia.
Dalam hal ini, Hanafi tidak lagi berbicara tentang hermeneutika dalam
pengertian teoritiknya, tetapi lebih mengarah pada historisitas
hermeneutika tersebut, takni difahami sebagai suatu produk pemikiran yang
tidak mungkin disebut dalam konteks di mana dia muncul daan untuk apa ia
dibangun.
2.
Dominasi Analisis
Hasan
Hanafi menerika sebagian gagasan baik hermeneutika metodis bahwa
hermeneutika merupakan disiplin tentang teknis penafsiran, maupun
hermeneutika filosofis yang berpegang pada hakikat peristiwa penafsiran.
Hanya saja ia menambahkan bahwa disiplin tersebut harus juga
memperbincangkan dua dimensi lain dari wilayah penafsiran, yakni sejarah
teks dan kepentingan praktis dalam kehidupan. Hasan Hanafi beranggapan bahwa
hermeneutika bukan sekedar “sains penafsiran” atau teori pemahaman belakan.
Akan tetapi, hermeneutika adalah tanggapan komprehensif tentang sejarah
teks, iterpritasi, dan praktiknya dalam mentranfirmasikan kenyataan sosial.
a)
Kritik Historis
Otentisitas
teks hanya dapat dibuktikan melalui kritik sejarah. Kritik ini harus
terbebas dari hal-hal yang semata-mata berbau teologis, filosofis, mistik,
spitirual, atau bahkan fenomenologi. Keaslian kitab suci tidak dijamin oleh
takdir Tuhan, keyakinan dogmatis, pemuka agama atau pranata sejarah apapun.
Otentisitas teks hanya dapat dibuktikan dengan melalui kritik sejarah oleh
sejarawan, setelah sebelumnya jaminan keaslian teks dalam sejarah dilakukan
oleh para orator, melalui metode pengalihan teks secara lisan maupun
tulisan.
Fungsi
kritik sejarah dalam hermeneutika untuk memastikan keaslian teks yang
disampaikan kepada nabi dalam sejarah. Artinya, perhatian hermeneutika
terketak pada historikal wahyu yang sifatnya historis, dan bukan pada
dimensi vertikalnya yang bersifat metafisik. Sebagaimana yang disampaikan
Hasan Hanafi sendiri bahwa hermeneutika tidak berurusan dengan sifat
hubungan antara Tuhan dan Rasulnya dan bagaimana Nabi menerima wahyu
tersebut, melainkan dengan kata-kata yang diturunkan dalam sejarah.
Keaslian
wahyu dalam sejarah, lebih lanjut menurut hanafi, ditentukan oleh tidak
adanya syarat-syarat kemanusiaan didalamnya. Kata-kata yang diterima nabi
dan didektekan langsung oleh Tuhan melalui malaikat, langsung pula
didektekan oleh Nabi kepada para penyalinnya pada saat pengucapan, dan
lestari sampai saat ini dalam tulisan Al-Qur’an. Wahyu semacam ini tidak
melalui tahap pengalihan lisan, tapi ditulis pada saat pengucapannta.
Menurut Hanafi, hanya Al-Qur’an yang memenuhi prasyarat ini. Pada kasus Al-Qur’an,
wahyu ditulis in verbatim yang secara harfiyah dan kebahasaan sama dengan
yang diucapkan Nabi.
b)
Kritik Eidetis
Setelah
melalui kritik sejarah yang dilakukan demi menentukan keaslian kitab suci,
seorang penafsir dapat melakukan proses interpretasi atau yang secara
teknis ia sebut sebagai kritik eidetis. Hasan Hanasi sendiri tidak
menjelaskan pengertian eidetis, sebuah istilah fenomenologi, kecuali
dikaitkan dengan proses interpretasi. Lazimnya dalam fenomenologi disebut
dengan istilah “reduksi eidetis” dan “visi eidetis” yang bersifat positif,
yang dibedakan dari reduksi fenomenologis yang bersifat negatif. Jika
reduksi fenomenologi menunda afirmasi mengenai ada tidaknya suatu fenomena
atau kebenaran., maka reduksi eidetik adalah penyaringan fenomena dari
eksistensinya dalam kesadaran pada hakikat yang ada dalam fenomena
tersebut. Paling tidak, kritik eidetis dalam pemikirsn Hanafi merupakan
analisis fenomena teks seutuh-utuhnya sebagaimana yang ditangkap oleh
kesadaran penafsir. Hasan Hanafi menggunakan metodologi fenomenologi karena
memang dia adalah seorang fenomenolog, dan tentu saja tidak ada pilihan
lain kecuali menggunakan pendekatan ini dalam interpretasi realitas teks.
Metode
yang sedianya berfungsi untuk menganalisis fenomena dicangkokkan Hanafi ke
dalam hermeneutika pembacaan teks. Oleh karena itu, obyeknya adalah teks
dan maknanya sebagaimana ditangkap oleh kesadaran. Suatu penafsiran menurut
Hanafi, harus menghindarkan diri pada pengulang-ulangan prasangka tertentu
dari dogma. Karena hal ini akan menjerumuskan suatu penafsiran di dalam
dugaan-dugaan belaka. Seorang penafsir harus memulai pekerjaanya dengan
tabula rasa, tidak boleh ada kecuali analisisnya.
Apa
yang dimaksud Hanafi dengan tabula rasa disini agaknya harus dipahami
secara fenomenologis. Dalam fenomenologi, keasdaran bukanlah kesadarn murni
sebagaimana dalam rasionalisme, tatapi selalu merupakan kesadaran yang
terarah. Kritik eidetis, berada pada tiga level atau tahap analisis.
Pertama, pada analisis bahasan; kedua, analisis konteks sejarah; ketiga,
generalisasi. Analisis linguistik terhadap kitab suci memang bukan dengan
sendirinya menurut analisis yang baik, demikian diakui Hanafi. Tapi ia
merupakan alat sederhana yang membawa kepada pemahaman terhadap makna kitab
suci. Dalam analisis bahasa, Hanafi menunjukan pentingnya penggunaan
filologi,, morfologi, leksikologi, dan sintaksis.
c)
Kritik Praktis
Generalisasi
dalam tahap eidetis diatas membuka jalan bagi kritik praktis yang menjadi
tujuan hermeneutika aksiomatik. Hermeneutika pembebasan Al-Qur’an semenjak
awal memang merupakan cara baca Al-Qur’an dengan maksud-maksud praktis.
Dengan kepentingan semacam ini, hermeneutika pembebasan jelas menaruh
perhatian besar pada tranformasi masyarakat.
Bagi
Hasan Hanafi, praktik merupakan penyempurnaan kalam Tuhan di dunia
mengingat tidak ada kebenaran teoritis dari sebuah dogma atau kepercayaan
yang datang begitu saja, dogma lebih pada suatu gagasan atau motivasi yang
ditujukan secara praktis. Hal ini karena wahyu Al-Qur’an sebagai dasar
dogma merupakan motivasi bagi tindakan di samping sebagai obyek
pengetahuan.
Pandangan
Hanafi tentang sifat fungsional dan dimensi psikologis Al-Qur’an disisni
dan bukanya sifat kebenaranya empiris-historis dari isinya secara
keseluruhan seperti pandangan banyak kaum muslimin, perlu memperoleh
perhatian sebab, sebuah dogma hanya dapat diakui eksistensinya jika
disadari sifat keduniaannya sebagai sistem ideal, namun dapat
direalisasikan dalam tindakan manusia.
Kritik
Hermeneutika Tradisional
1.
Kritik Orietnasi
Tafsir-tafsir
tradisional, dari segi bentuk dan sistematikanya lebih banyak merupakan
al-tafsir al-tahlili, suatu penafsiran yang disebut bertele-tele. Tafsir
demikian menguraikan teks-teks Al-Qur’an membujur dari surat al-fatihah di
awal Al-Qur’an menuju surat an-nas diakhirnya. Metode penafsiran ini hanya
melahirkan penafsiran yang parsial, bercambur-baur antara tema satu dengan
tema yang lain. Tema-tema perbincangana diulanag-ulang tanpa suatu
akumulasi makna yang berfungsi untuk membangun konsep global yang terfokus.
Tafsir seperti ini tidak memiliki struktur yang rasional, yang riil, yang
bisa menyajika argumentasinya dari dalam dan dari luar. Dengan kata lain,
ia kehilangan ideologi yang koheren, atau pandangan dunia yang bersifat
global. Yang beranjank dari pertikuralitas kepada keseluruhan. Yang paling
membrohatinkan adalah al-tafsir al-tahlili tercerabut dari kebutuhan jiwa
dan kepentingan masyarakat kontemporer.
2.
Kritik Epistemologi
Menurut
Hasan Hanafi, kita tidak pernah memiliki dalam wacana tradisional kita
suatu teori penafsiran yang otoritatif dengan prinsip-prinsip ilmiah yang
terarah pada kepentingan tertentu. Sebaliknya, mayoritas tafsir-tafsir
klasik hanya berfungsi sebagai penjelasan yang sifatnya tautologis dan
repetitif mengenai masalah-masalah yang sama sekali bertentangana dengan
kepentingan masyarakat. ciri-ciri penafsiran seperti ini adalah
kegemarannya mengulang-ulang pendapat klasik dan sifatnya apologetisnya
dalam merfomulasikan beragam argumen.
Berbagai
penafsiran yang disinyalir diatas dianggap terlalu membatasi diri pada
aspek tekstualitas Al-Qur’an , yakni kebahasaan dan sejarah turunnya
ayat-ayat Al-Qur’an. Padahal keduanya justru reduktif terhadap makna.
Linguistik misalnya, membatasi makna Al-Qur’an berdasarkan prinsip-prinsip
kebahasaan yang sifatnya spesifik, seperti makna hakiki dan metafor, makna
yang pasti dan makna yang samar, makna global dan makna spesifik, makna
yang jelas dan makna interpretatif, makna yang bersyarat dan bebas, makna
yang umum dan khusus, hal mana dilakukan sekedar untuk menjamin
ditemukannya kebenaran makna. Hanya saja, metode seperti ini hanya
mereduksi makna sebagai sesuatu yang belum jelas sehingga dibutuhkan
keseriusan berlebihan untuk memahami maknanya. Lebih-lebih pendekatan ini mengabaikan
pengalaman hidup yang menjadi karakter teks dan yang semestinya dirasakan
oleh penafsir dalam posisinya sebagai bagian dari umat islam.
Di
sisi yang lain, Hanafi ingin mengalihkan perhatian hermeneutika dari
kapasitas sebagai metode yang tertumpu pada teks kepada analisis aspek
sosial dan historis teks, dan bukanya sama sekali mengabaikan bahasa teks.
Hanya saja dalam mentranformasikan gagasanya ia terlalu meradikalkan
argumen, sebagaimana lazimnya gaya argumentasinya. Menurutnya, pemikiran tradisional
Islam dalam rangka menganalisis masyarakat tertumpu pada metodologi baca
teks semata, yakni hanya pengalihan teks ke realitas. Padahal metode
demikian memiliki banyak kelemahan.
Pasted From :
http://sosbud.kompasiana.com/2013/05/14/problem-interpretasi-dalam-dekonstruksi-pembaharuan-islam-560229.html
|