Pengantar
Di
Indonesia istilah ideologi transnasional ini dipopulerkan pertama kali oleh
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH. Hasyim Muzadi, sejak
pertengahan 2007 silam. Istilah itu merujuk pada ideologi keagamaan lintas
negara yang sengaja dimpor dari luar dan dikembangkan di Indonesia.
Menariknya, ideologi ini menurut Hasyim Muzadi bukan hanya datang dari
Timur Tengah, tapi juga dari Barat. Kelompok seperti Majlis Mujahidin,
Ikhawanul Muslimin, Jaulah , Al-Qaeda disebut sebagai kelompok yang
dikategorikan ideologi transnasional dari Timur (NU Online, 15/05/2007).
Sedangkan Jaringan Islam Liberal, seperti sering dilontarkan Hasyim Muzadi,
kelompok yang mengembangkan ideologi transnasional dari Barat.
Sebagai
sebuah labeling, istilah ini –jika hanya sekadar dipahami karena sifatnya
yang lintas negara, dan karena itu bukan “murni” Islam Indonesia— menurut
saya masih memunculkan pertanyaan baru. Benarkah ada Islam “murni
Indonesia” itu? Tidakah Islam ala NU atau Muhammadiyah misalnya, juga
muncul karena persentuhannya dengan dunia luar, terutama dari Timur Tengah?
Bukankah tradisi keilmuan yang dikembangkan di lingkungan NU dan
Muhammadiyah sebagiannya juga diimpor dari Timur Tengah? Pertanyaan yang lebih
mendasar lagi adalah bukankah sifat agama itu sendiri sebetulnya
transnasional dalam pengertian lintas wilayah? Jadi labeling ini memang
masih memerlukan kategori-kategori khusus untuk memperkuat atau membatasi
definisi yang lebih tegas, apa makhluk ideologi transnasional ini.
Dalam
tradisi kesarjanaan dan pers Barat sebelumnya, labeling yang agak senada
dengan makna ideologi transnasional ini memakai istilah fundamentalisme
yang setidaknya digunakan dalam tiga pengertian (John L. Esposito, 1994;
17-18). Pertama, semua usaha untuk kembali pada kepercayaan dasar. Dalam
konteks masyarakat Islam adalah usaha kembali kepada al-Quran dan Hadis
sebagai model hidup normatif. Kedua, pengertian yang sangat dipengaruhi
oleh tradisi Protestanisme Amerika. Fundamentalisme adalah gerakan
Protestanisme abad 20 yang menekankan penafsiran Injil secara literal
sebagai hal yang fundamental bagi kehidupan
dan ajaran Kristen. Bagi kebanyakan orang Kristen, cap ini bernada
penghinaan yang berarti dekat dengan
sesuatu yang statis, kemunduran dan kejumudan. Ketiga, istilah untuk
untuk menyebut sesuatu yang terkait dengan aktivitas politik, ekstrimisme,
fanatisme, terorisme, dan anti-Amerikanisme.
Karena
dianggap terlalu terbebani dengan praduga Kristen dan stereotif Barat, John
L. Eposito gerakan ini dengan “Kebangkitan Islam” atau “aktivisme Islam”
yang dinggap lebih sesuai dengan nilai-nilai dalam tradisi Islam seperti
konsep tajdid (pembaruan) dan islah (perbaikan). (John L. Eposito, 1994;
18).
Dengan
alasan yang hampir mirip pula, sebagian akademisi menyebut gerakan ini
dengan “islamisme”. Itu merujuk pada pandangan yang berusaha melihat Islam
sebagai ideologi yang tidak hanya harus diterapkan dalam wilayah politik,
tapi juga pada segala dimensi kehidupan masyarakat modern (Oliver Roy,
2004; h. 58). Dalam pandangan kelompok ini, Islam harus menentukan segala
bidang kehidupan dalam masyarakat tersebut, dari cara pemerintahan,
pendidikan, sistem hukum, hingga kebudayaan dan ekonomi. Dari cara pandang
ini karena itu kelompok ini melihat pentingnya kehadiran negara atau sistem
Islam. Sementara sebagian besar muslim justru melihat, menjadi muslim tanpa
harus menjadi islamis adalah sesuatu yang mungkin.
Jika
pengertian transnasional ini secara substansial tak beda dengan pengertian
islamisme ini, maka fenomena gerakan ini sebetulnya bisa ditarik ke
belakang pada akar sejarah kebangkitan dan pebaharuan Islam yang berkembang
di Timur Tengah sejak abad ke-18: gerakan Muhammad bin Abdul wahab
(1703-1787) di Arabia tengah; gerakan pada abad ke-19 dan ke-20 yang
dipimpin oleh tiga pemikir: Jamaludin al-Afghani (1839-1897), Muhammad
Abduh (1849-1905), dan Rasyid Ridha (1865-1935). (Greg Fealy dan Anthony
Bubalo, 2007; 30).
Gerakan
yang dikembangkan Abdul Wahab untuk kembali pada as-salaf ash-shalih, tiga
generasi pertama sahabat Nabi Muhammad yang kemudian dikenal dengan gerakan
Wahabi ini membayang-bayangi lahirnya Ikhwanul Muslimin oleh Hassan
Al-Banna di Mesir pada 1928. Pendiri gerakan itu berpandangan, ancaman
Barat yang tidak hanya berbentuk fisik tapi juga intelektual dan spiritual
harus dilawan dengan kembali pada dasar-dasar Islam, dan perlunya al-nizham
al-islami, negara atau sistem Islam.
Setelah
kematian Al-Banna akhir 50-an gagasan ideologi selanjutnya dikobarkan oleh
sang ideolog handalnya Sayyid Qutb. Tokoh ini sendiri dieksekusi pemerintah
Mesir pada 1966. sebelumnya, setelah kebijakan represi dilakukan pemerintah
Mesir, sebagian aktivis Ikhawanul Muslimin mengungsi ke Arab Saudi. Salah
satunya adalah Said Ramadhan yang kemudian menjadi salah seorang pendiri
Rabithah al-Alam Islami. Menantu al-Banna ini kemudian pindah ke Jenewa
untuk mengembangkan ideologi Ikhwan di kawasan Eropa. Muhammad Qutb, adik
kandung Sayyid Qutb juga ikut pindah ke Arab Saudi yang kemudian menjadi
dosen di King Abdul Aziz University Jeddah dan mengajar Osama bin Laden,
salah seorang mahasiswanya. (Abdurrahman Wahid [ed]; 2009; 82).
Pada
era 50-an pula Taqiudin Al-Nabhani (1909-1997) mendirikan Hizbuttahrir di
Yerussalem timur yang waktu itu dikuasai Yordania. Gerakan Ikhawanul waktu
itu ditudingnya terlalu moderat. Konflik Israel-Palestina dipandang
Taqiudin mencerminkan konflik yang lebih luas antara dunia Islam dan
non-Islam. Untuk memenangkan pertarungan itu, ia menilai perluanya khilafah
Islamiyah internasional, yang diawali dari teritori kawasan Arab dan
kemudian membentang ke wilayah non-Arab.
Konteks
Perkembangan Transnasional di Indonesia
Pengaruh
Timur Tengah atas Indonesia sesungguhnya sudah dimulai sejak abad ke-17.
Kelahiran ormas seperti Muhammadiyah, dan kemudian direspon dengan
kelahiran Nahdlatul Ulama juga tak bisa dilepaskan dari pengaruh Timur Tengah ini. Kedua tokoh pendiri ormas
ini, KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asyari, sama-sama mendalami ilmu agama
di Timur Tengah. Selama beberapa abad sejarah mencatat banyak orang
Indonesia pergi ke Timur Tengah baik sebagai haji, pedagang, pelajar, dan
ulama.
Dalam
konteks yang paling mutakhir, kalangan pelajar atau mahasiswa yang belajar
di Timur Tengah agaknya merupakan saluran paling penting pendistribusian
ide-ide Islamis ini. Di tengah situasi sosial politik yang represif yang
dikembangkan Orde Baru kala itu rupanya membuat ide ini bisa berkembang dan
diminati sebagian kalangan generasi muda muslim perkotaan.
Hal
yang saya kira menarik dicatat dari studi Greg Fealy dan Anthony Bubalo
mengenai pengaruh Islamisme Timur Tengah di Indonesia adalah penegasannya
untuk tidak melihat gerakan transnasional ini sebagai gerakan yang
monolitik. Dengan melihat islamisme ala Timur Tengah hanya sekadar gerakan
yang radikal, ekstrim, bukan hanya melahirkan sikap permusuhan baru tapi
juga bisa abai pada gradasi islamisme yang lebih moderat tapi pada dasarnya
tetap problematik bagi penguatan negara Indonesia. Gerakan-gerakan
mempromosikan sejumlah perda syariat di banyak daerah di Indonesia adalah
strategi yang jauh lebih moderat bahkan terkesan demokratis adalah salah
satu varian strategi gerakan transnasional ini.
Studi
keduanya berusaha memberi gambaran yang lebih bervariasi baik ketika menjelaskan
jalur pengaruh Timur Tengah atas Indonesia, maupun ketika mengategorikan
kelompok-kelompok islamis ini.
Jalur
transmisi ide-ide islamisme itu menurut studi ini setidaknya mengambil tiga
jalur (Greg Fealy dan Anthony Bubalo; 84) . Pertama, gerakan-gerakan
sosial. Di jalur ini transmisi ide dibawa oleh pelajar atau mahasiswa yang
belajar di Timur Tengah. Mereka belajar di Universitas Al-Azhar Kairo,
Universitas Islam Madinah, Universitas Umul Qura Mekah, Universitas al-Imam
Muhammad bin Saud di Riyadh, atau Universitas King Abdul Aziz. Sementara
itu, saluran utama kelompok jihadis adalah melalui perang Afghanistan pada
1980-an yang kemudian melahirkan kelompok Al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah.
Kedua,
jalur pendidikan dan dakwah. Lembaga-lembaga dan beberapa orang dari negara Timur Tengah termasuk
Mesir Kuwait belakangan cukup aktif
berkiprah di bidang pendidikan dan dakwah di Indonesia. Agen-agen itu
meliputi atase kedutaan Arab Saudi di Jakarta, Rabithah Alam Islami,
International Islamic Relief Organization (IIRO) dan Word Assembly Muslim
Youth (WAMY), atau lembaga amal nonpemerintah seperti al-Haramain –yang
cabangnya di Indonesia dituding Amerika sebagai organisai pendukung
terorisme (Greg Fealy; 92).
Lembaga
Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Cabang Universitas al-Imam Muhammad
bin Saud di Riyadh, Arab Saudi juga dianggap salah satu lembaga yang
mentransmisikan ide-ide ikhawanul muslimin dan salafi. Sebagian alumninya
ada yang menjadi petinggi PKS. Penelitian Sidney Jones menyebut sebagian besar
para alumni menjadi figur berpengaruh dalam gerakan salafi di Indonesia
melalui penerbitan, atau dengan menjadi dai, guru maupun ulama. (Greg
Fealy; 96). Tiga organisasi yang secara khusus mendapat dukungaan
signifikan dari Saudi adalah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII),
Jamiat Islam wa al-Irsyad dan Persis.
Ketiga,
jalur publikasi dan internet. Melalui sejumlah media baik cetak maupun
online, atau buku-buku dalam versi Arab maupun terjemahan, juga menjadi
salah satu jalur transmisi cukup efektif. Beberapa penerbit buku di
Indonesia bahkan mengkhususkan menerbitkan atau menerjemahakan buku
beraliran salafi dan pemikiran-pemikiran dari kalangan Ikhwanul Muslimin.
Studi
Greg Fealy dan Bubalo ini selanjutnya menyebut tiga arus utama gerakan
islamisme yang ada di Tanah Air.
Pertama, ikhawanul muslimin yang diadopsi gerakan tarbiyah dan mulai
berkembang di perguruan tinggi di era 80-an dan awal 90-an. Di masa itu
tentu saja gerakan ini berkembang underground di bawah tekanan rezim
Soeharto. Konsolidasi ini menemukan momentumnya ketika rezim Soeharto
tumbang. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia yang berdiri pada April
1998, sebagian pemimpinnya kemduian mendirikan Partai Keadilan Sejahtera
(waktu itu bernama Partai Keadilan).
Kedua,
kelompok salafi. Kelompok ini sebagian besar berbasis lembaga dakwah dan
pendidikan. Misalnya Yayasan al-Sofwah, Yayasan Ihsa at-Turost, dan
Al-Haramain al-Khoiriyah. Gerakan salafi yang cukup fenomenal adalah Forum
Komunikasi Ahlus Sunnah Waljamaah (FKAWJ) yang melahirkan Laskar Jihad
pimpinan Jafar Umar Tholib. Berdiri 1998, bubar Oktober 2002.
Ketiga,
kelompok jihadi. Kelompok ini adalah kelompok paling ekstrem dari gerakan
islamisme yang mengesahkan kekerasan seperti bom bunuh diri. Jaringan Islamiyah
yang didirikan pada 1 Januari 1993 oleh Abdullah Sungkar termasuk kelompok.
Jejaring inilah yang kemudian
melakukan aksi-aksi bom bunuh diri seperti yang dilakukan Imam Samudera dan
kawan-kawan.
Beberapa
Respon Gerakan
Sifat
gerakan baru ini yang dinilai tampak “membuldoser” pemahaman keagamaan yang
sudah tumbuh lebih dulu seperti kalangan Nahdliyin atau Muhammadiyah, tentu
saja telah melahirkan respon dalam berbagai gradasinya, mulai dari lunak
hingga keras. Apalagi jika dianggap kelompok tersebut “mengancam” dalam
bentuk mengambil aset mereka seperti jamaah, masjid, atau lembaga
pendidikan.
Karena
gerah dengan fenomena yang muncul, Muhammadiyah misalnya mengeluarkan Surat
Keputusan Pimpinan Pusat (SKPP) pada Desember 2006 tentang Kebijakan Pimpinan
Muhammadiyah mengenai Konsolidasi Organisasi dan Amal Usaha Muhammadiyah.
Disurat itu, SKKP jelas menyebut PKS sebagai partai politik yang telah
memanfaatkan Muhammadiyah berikut ases-asetnnya seperti masjid, lembaga
pendidikan, maupun amal usahanya, untuk tujuan politik.
Tahun
2007, forum Bahstul Masail di Pesantren Zainul Hasan Genggong menghasilkan
keputusan bahwa tak ada satupun nash dalam al-Quran yang mendasari gagasan
negara Islam. Negara Islam atau khilafah Islamiyah merupakan persoalan
ijtihadiyah. (KH. Abdurrahman Wahid; 254). Isu perebutan masjid oleh
kelompok tertentu di kalangaan NU
juga sudah kencang disuarakan setahun sebelumnya.
Namun
perlu disadari, respon yang refresif
apalagi mengunakan tangan negara memberangus kelompok ini, kecuali
sudah mengarah pada aksi-aksi teror, agaknya justru akan membuat gerakan
ini makin menguat. Bagaimanapun gerakan ini lahir dari konteks situasi
sosial-politik yang mereka anggap tidak adil dan represif. Jose Casanova
dala Public Religions in the Modern World (2004) mencatat gejala mendesakan
agama ke level negara justru dianggap sebagai dampak dari proses
sekularisasi baik dalam pengertiannya sebagai proses “kemunduran agama”
(religious decline) maupun “privatisasi” (privatization) yang jelas hendak
meminggirkan agama dalam wacana publik. Sekularisasi itu lalu melahirkan
fenomena gerakan “deprivatisasi”(deprivatization) agama yang berkembang
sejak awal tahun 1990-an di banyak negara termasuk negara-negara
berpenduduk mayoritas muslim. (Benyamin Fleming Intan; 2006; 14 ).
Dalam
konteks ini penting untuk melihat konteks lokal Indonesia dimana kelompok
berkembang. Betapapun gagasan yang diimpor itu selalu akan mengalami dialog
dan penyesuaian-penyesuaian. Inilah yang terjadi dengan gerakan PKS yang
tidak semata-mata saklek mengadopsi ideologi Ikhawanul Muslimin.
Respon
atas gerakan tersebut seyogyanya juga dilihat dalam konteks “perang
gagasan” yang dilakukan secara terbuka, dan pada saat yang sama memperkuat
basis jamaah di masing-masing pihak. Perlu ditegaskan pula di sini, bahwa
konsep negara Pancasila adalah hal final dan hasil kompromi dari berbagai
kepenti ngan, termasuk kepentingan kelompok islamis ini.
Sebagai
gerakan kultural keagamaan konsep kebangsaan yang jelas yang ditunjukan
kalangan Nahdliyin terhadap Pancasila harus terus dialogkan. Islam dalam
pandangan Kalangan Nahdliyin bukanlah untuk menggantikan negara, melainkan
melangkapi. Menjadi muslim sekaligus menjadi warga negara Indonesia. Sikap ini sudah ditunjukan jauh sebelum
republik ini berdiri. Melalui
Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin tahun 1936, kalangan NU berpandangan jika
Indonesia yang saat itu dikuasai negara Hindia Belanda dinyatakan sebagai
“negara Islam” yang sangat berbeda dengan apa yang dibayangkan gerakan
Islamis Indonesia dewasa ini yang hendak menggantikan fondasi negara (Imam
Ghazali Said; 2006).
Dengan
merujuk kitab Bughyatul Mustarsyidin (hasrat para pencari petunjuk) bab
Hudnah wal Imamah (perdamaian dan kepemimpinan), Indonesia dinilai sebagai
negara Islam karena pertimbangan bahwa mayoritas penduduknya muslim dan
pemerintah yang berkuasa saat itu tidak juga melarang orang untuk
menjalankan agamanya, termasuk alasan bahwa wilayah Nusantara sejak dulu
pernah dikuasai kerajaan-kerajaan Islam.
Sikap
yang tegas atas konsep bernegara-berbangsa inilah yang sesungguhnya menjadi
tugas bersama termasuk komunitas pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.
Selamat Bekerja!
Bahan
Bacaan
Esposito,
Jhon L., Ancaman Islam Mitos atau Realitas (tej) (Bandung: Mizan, 1996)
Cetakan III (edisi revisi)
Fealy,
Greg dan Anthony Bubalo, Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah
di Indonesia. terj, (Bandung; Mizan, 2007)
Intan,
Benyamin Fleming “Public Religion” and the Pancasila-Based State of
Indonesia: An Ethical and Sociological Analysis, (Newyork: PeterLang
Publishing, 2006)
Said,
Imam Ghazali (ed), Solusi Hukum Islam, Keputusan Muktamar dan
Konbes
(1926-2004), (Surabaya; Diantama, 2006)
Wahid,
Abdurrahman (ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional
di Indonesia (Jakarta: Gerakan Bhineka Tunggal Ika-the Wahid Institute-the
Maarif Institute, 2009)
Memahami
Gerakan Islam Transnasional: Sebuah Pengantar*
Oleh
Alamsyah M. Dja’far**
* Tulisan ini dipersiapkan dan dipresentasikan
pada Diskusi Publik “Fundamentalisme Agama dan Ideologi Transnasional:
Apakah Sebuah Ancaman” & Pelantikan Pengurus Komisariat PMII IAI
Al-Aqidah Jakarta Periode 2009 – 2010
** Mantan
Ketua Umum Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Ciputat;
staf peneliti the Wahid Institute Jakarta.
Pasted From :
http://alamsyahdjafar.wordpress.com/2009/07/14/memahami-gerakan-islam-transnasional-sebuah-pengantar/
|