STRATEGI PESANTREN, MADRASAH DAN SEKOLAH ISLAM
DI INDONESIA
Abstrak
Peran
pesantren telah lama diakui oleh masyarakat, demikian halnya dengan
madrasah dan sekolah Islam misalnya tentang peradaban. Kepiawaian
pesantren, madrasah dan sekolah Islam dalam memformulakan pemahaman dan
pemikirannya sehingga melahirkan kultur yang mengadabkan manusia adalah
potensi riil pesantren, madrasah dan sekolah Islam. Di era global
kepiawaian, kultur dan peran strategis itu harus menjadi lebih dimunculkan,
atau dituntut untuk dilahirkan
kembali.
Pesantren,
madrasah dan sekolah Islam mempunyai reputasi tersendiri sebagai lembaga
yang bercirikan agama Islam. Pertama, sebagai lembaga pendidikan. Kedua,
sebagai lembaga lembaga sosial kemasyarakatan. Sebagai lembaga pendidikan
karena pesantren madrasah dan sekolah Islam umumnya menyelenggarakan
pendidikan. Bahkan karena memiliki ciri khusus yang membedakannya dengan
penyelenggaraan pendidikan lain.
Sebagai
lembaga sosial kemasyarakatan dibuktikan dengan diharapkannya kehadiran
pesantren, madrasah dan sekolah Islam dalam masyarakat. Kehadiran di sini
dimaksudkan dalam rangka changing and developing masyarakat. Pesantren,
madrasah dan sekolah Islam di sini dianggap sebagai lambang permanensies
seorang kiyai di komunitas, atau daerah tertentu. Di bidang ini pesantren,
madrasah dan sekolah Islam sangat dikagumi karena pandai merubah perilaku
masyarakat, memotivasi, atau melakukan perubahan-perubahan terhadapnya
sekalipun terdapat keluhan akan adanya pesantren yang bersifat eklusif,
tertutup dengan masyarakat lingkungannya, namun umumnya masyarakat sekitar
pesantren mengalami perkembangan yang lebih baik dari sebelumnya.
A. Pendahuluan
Pesantren
merupakan institusi yang banyak dipuji orang, khususnya masyarakat muslim,
demikian juga dengan keberadaan Madrasah dan Sekolah Islam di Indonesia.
Namun di saat yang sama sering pula mendapat kecaman dan dilabelkan sebagai
institusi yang banyak “menghambat” kemajuan Islam. Kontroversi mengenai
pesantren seperti itu secara tidak langsung telah menempatkan pesantren
sebagai institusi yang cukup penting untuk selalu diperhatikan. Pandangan
positif akan menempatkan kontroversi tersebut sebagai peluang untuk
memperkuat peran pesantren itu sendiri.
Sama
halnya Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang dikelola oleh
Departemen Agama, selama ini masih dipandang rendah kualitasnya oleh
sebagian masyarakat. Bahkan rentang waktu perjalanan sekolah yang bernama
madrasah di bumi pertiwi ini (Indonesia) sangat panjang, dapat dikatakan
hampir sama dengan irama dinamika dunia pendidikan di Indonesia. Seiring
dengan perubahan dan perkembangan zaman, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta globalisasi, maka upaya-upaya yang ditujukan untuk mengembangkan
kualitas agar citra sekolahini tidak selalu menjadi nomor dua, setelah
sekolah umum yang lain, banyak hal yang bisa dilakukan oleh stakeholder
madrasah.
Sejalan
dengan perkembangan global, pendidikan Islam menghadapi tantangan
manajerial yang cukup mendasar. Harapan dari berbagai pihak agar pendidikan
dikelola dengan pola ”industri pendidikan” merupakan salah satu
perkembangan yang muncul dalam era kompetitif saat ini. Manajemen
pendidikan tidak lagi bisa dianggap sebagai ”manajemen sosial” yang bebas
dari keharusan pencapaian target dan dikendalikan oleh subyek yang
berwawasan ”sempit”, misalnya dengan pendekatan kekeluargaan seperti yang
penulis jumpai di sebagian pesantren di Indonesia.
Sesuatu
yang dapat dikembangkan mengenai peran madrasah, pesantren bahkan sekolah
Islam sekalipun, adalah pada peran strategisnya dalam mengelola pola
manajemen strategikyang dapat didefinisikan sebagai sekumpulan keputusan
dan tindakan yang menghasilkan rumusan (formulasi) dan pelaksanaan
(implementasi) rencana-rencana untuk mencapai sasaran- sasaran perusahaan
dalam hal ini disebut dengan Madrasah, Pesantren dan Sekolah Islam (Agus
Maulana, 1997: 20).
Sesuatu
yang dapat dikembangkan dalam pengelolaan Islam ( pesantren, madrasah dan
sekolah Islam) adalah pola manajemen srategik yang dpat didefinisikan
sebagai sekumpulan keputusan dan tindakan yang menghasilkan perumusan
(formulasi) dan pelaksanaan (implementasi) rencana-rencana untuk mencapai
sasaran-sasaran perusahaan dalam hal ini disebut madrasah (Agus Maulana,
1997: 20).
Dalam
konteks pendidikan pesantren, madrasah dan sekolah Islam, apabila penerapan
”manajemen instruksional” dirumuskan dalam pola-pola praktis yang kaku oleh
pemegang kebijakan, akan mengakumulasikan kerawanan masalah. Seperti proses
pembelajaran yang kurang memadai, pengembangan sumber daya manusia (SDM)
yang tidak profesional dan lain sebagainya. Membiarkan pola seperti ini
berkembang (tanpa ada solusi alternatif menuju perkembangan pesantren,
madrasah dan sekolah Islam ke depan) pada saatnya akan mengancam eksistensi
pesantren, madrasah dan sekolah Islam itu sendiri. Yang terpenting dari
semua ini dalam melaksanakan pengelolaan manajemen madrasah terutama pada
perannya yang strategis adalah dengan melakukan refleksi dan evaluasi terhadap
seluruh potensi yang dimiliki stakeholder dan kemudian secara bersama
menyusun program dan rencana pengembangan pesantren, madrasah dan sekolah
Islam secara bertahap serta meneguhkan kembali komitmenstakeholder kepada
pentingnya pendidikan Islam (madrasah) dalam rangka mempersiapkan subyek
didik yang cerdas, bermoral dan memiliki ketrampilan, sehingga dapat
memberikan kontribusi pemikiran perkembangan zaman.
Sekilas
apabila diperhatikan, era globalisasi yang dijumpai masyarakat ternyata
lebih memperkuat perhatian orang terhadap pesantren. Di antara penyebabnya
adalah dimungkinkan karena adanya semangat untuk mencari pendidikan
alternatif. Era global seakan mengharuskan seseorang atau bahkan kepada
komunitas masyarakat secara luas untuk mencari , menggali dan mengembangkan
pendidikan alternatif tersebut dan sekaligus untuk memperbesar peluang
keunggulan terutama yang terkait dengan peran pesantren ,madrasah dan
sekolah Islam yang ada di Indonesia ini.
Dalam
tulisan ini penulis kemukakan beberapa poin sebagai berikut: 1) pesantren sebagai akar sejarah
pendidikan Islam di Indonesia, 2) eksistensi pesantren, madrasah dan
sekolah Islam, 3) Reaktualisasi peran strategis pesantren madrasah dan
sekolah Islam.
B. Pesantren sebagai Akar Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia
Berbicara
mengenai akar sejarah pendidikan Islam di Indoensia tidak bisa dilepaskan
dari pesantren. Karena Pesantren dianggap sebagai sistem pendidikan asli
Indonesia (Haedari Amin, 2007: 34) sekalipun demikian informasi-informasi
lain membuktikan bahwa sistem pendidikan pesantren , madrasah, merupakan
adaptasi dari sistem pendidikan yang telah dikembangkan sebelumnya. Satu
informasi mengatakan bahwa, pesantren, madrasah dan sekolah Islam seperti
dikemukakan pendapat pertama yaitu merupakan kelanjutan dan penyempurnaan
dari praktik pendidikan pra-Islam atau masa kekuasaan Hindu Budha,
Nurcholis Madjid setuju dengan pendapat ini. Sebagaimana disebutkan bahwa
pesantren memiliki hubungan historis dengan lembaga pendidikan pra-Islam
yang sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu Budha, lalu Islam meneruskan dan
meng-Islamkannya (Haedari Amin, 2007: 34).
Dari
penamaan pesantren sendiri terkait dengan terminologi yang ada di kalangan
Hindu. Kata pesantren berakar dari kata santri dengan awalan ”pe” dan akhiran
”an”. Menurut C.C. Berg istilah tersebut berasal kata India Shastri,
berarti orang-orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang
sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata Shastri sendiri berasal dari kata
shastrayang berarti buku-buku suci, buku-buku Agama atau pengetahuan.
Pendapat kedua menyatakan bahwa pesantren memiliki hubungan historis dengan
Timur Tengah. Terkait dengan pengaruh Timur Tengah ini sudah banyak yang
membuktikan terutama mereka yang melakukan ibadah haji di Mekah dan Madinah.
Mekah dan Madinah bagi ulama Indonesia tidak semata tempat untuk melakukan
ibadah haji tetapi tempat untuk mencari ilmu, terutama dengan menghadiri
pengajian di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Adanya perbedaan pendapat
ini tidak berarti pendapat satu yang benar, sementara pendapat lainnya
salah. Kedua pendapat ini saling mengisi dan pesantren memang tidak bisa
dilepaskan dari unsur-unsur Hindu yang sudah lebih awal ada di Indonesia
dan unsur-unsur Islam Timur Tengah di mana Islam berasal (Haedari Amin,
2007: 34).
Bertitik
tolak dari akar sejarah pesantren atau sebut saja asal-usul pesantren tidak
bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia.
Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa abad 16 … 15 yang telah
berhasil mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam
memperkenalkan Islam masyarakat. Keunikan yang dimaksud adalah hampir semua
pesantren di Indonesia ini dalam mengembangkan pendidikan kepesantrenannya
berkiblat pada ajaran Walisongo. Misal pondok pesantren Nahdlatul Wathan di
Pancor Lombok Timur NTB yang saat ini santrinya lebih dari sepuluh ribu
orang (Mas’ud Abdurrahman, 2002: 4) dan pondok pesantren yang lainnya yang
tersebar di Pulau Jawa. Sedangkan Maksum menyebutkan bahwa akar sejarah
atau asal usul lembaga pendidikan Islam misal madrasah adalah merupakan
prestasi abad kelima Hijriyah. Madrasah-madrasah yang timbul dalam Islam,
tidak dikenal pada masa-masa sahabat dan melainkan sesuatu yang baru
setelah 400 tahun sesudah Hijriyah (Maksum, 1999: 60)
Mengawali
asal usul pesantren atau akar sejarah pesantren sama halnya dengan membahas
sejarah madrasah dan sekolah Islam, karena ketiga lembaga pendidikan ini
bernuansa religius atau dengan kata lain fokus studinya keagamaan di
samping studi yang lain yang mendukung visi misi ketiga lembaga tersebut
juga menjadi program pembelajarannya.
Perkembangan
dari pesantren ke madrasah muncul pada awal abad 20, sebagai akibat dari
kurang puas terhadap sistem pesantren (waktu itu ) yang dianggap sempit dan
terbatas pada pengajaran ilmu fardlu ’ain (Mas’ud Abdurrahman, 2002: 241),
terdapat dua hal yang melatar belakangi tumbuhnya sistem madrasah di
Indonesia, pertama adalah faktor pembaharuan Islam dan kedua respon
terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. Kemunculan dan perkembangan
madrasah tidak bisa dilepaskan dari gerakan pembaharuan Islam dan kemudian
dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam baik di Jawa , Sumatera
maupun Kalimantan. Oleh karena itu pendidikan dipandang sebagai aspek
strategis dalam membentuk pandangan keislaman masyarakat. Dalam
kenyataannya, pendidikan yang terlalu berorientasi pada ilmu-ilmu agama
ubudiyyah, sebagaimana ditunjukkan dalam pendidikan di masjid, surau dan
pesantren, pandangan keislaman masyarakat agaknya kurang memberikan
perhatian kepada masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan budaya, untuk
melakukan pembaharuan terhadap pandangan dan tindakan masyarakat itu
langkah strategis yang harus ditempuh adalah memperbaharui sistem
pendidikannya.
Para
ahli dimana pun juga, sepakat bahwa sistem pendidikan yang terkait perlu
diperbaharui secara berkesinambungan, atas pemahaman tersebut pakar
pendidikan mengambil langkah-langkah menuju perbaikan sistem pendidikan
tradisional menuju pada sistem pendidikan modern yang dilengkapi dengan
pola manejemen sebagai standar mutu. Bagi masyarakat luas, dengan tujuan
supaya madrasah tidak dianggap sebagai salah satu pendidikan yang
bercirikan tradisional, sehingga kiat-kiat untuk menepis anggapan
masyarakat tersebut di atas diperlukan manajemen yang tertata dalam sistem
pendidikan modern.
C. Eksistensi Madrasah dan Sekolah
Islam
Madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relatif lebih muda dibanding
pesantren. Lahir pada abad 20 dengan munculnya madrasah Manbaul Ulum
Kerajaan Surakarta tahun 1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh
Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909. Madrasah berdiri atas
inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem pendidikan Islam yang telah
ada. Menarik untuk diamati mengapa sistem pendidikan pesantren sendiri
justru tidak bersifat statis, tetapi selalu mengalami pertumbuhan seiring
dengan perubahan masyarakat yang terjadi. Demikian juga madrasah dan
sekolah Islam di Indonesia selalu melakukan terobosan-terobosan guna
mempertahankan eksitensinya (Mas’ud Abdurrahman, 2002: 226) .
Pembaharuan
tersebut menurut Mastuhu, meliputi tiga hal, yaitu: (1)Usaha menyempurnakan sistem pendidikan pesantren,(2) Penyesuaian
dengan sistem pendidikan Barat, dan (3) Upaya menjembatani antara sistem
pendidikan tradisional pesantren dan sistem pendidikan Barat.
Madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam, kini ditempatkan sebagai pendidikan
sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Di dalam salah satu diktum surat
keputusan bersama (SKB) tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan
Menteri Dalam Negeri)disebutkan perlunya diambil langkah-langkah untuk
meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar lulusan dari madrasah dapat
melanjutkan ke sekolah-sekolah umum, dari sekolah dasar sampai perguruan
tinggi (Mastuhu, 1999: 226).
Aktivitas
yang berorientasi pada tujuan, perlu dicapai melalui jalan menetapkan
hubungan tertentu antara sumber daya yang tersedia (sumber daya material
dan moneter). Hubungan tersebut berkembang dengan sebuah pola yang berubah
secara konstan yang merefleksikan fakta tentang bagaimana orang-orang
bekerja satu sama lain, dan bagaimana mereka dipengaruhi satu sama lain
dalam kehidupan keorganisasian mereka.
Tindakan
bekerja melalui pihak lain, untuk mencapai sasaran-sasaran keorganisasian.
Untuk memperoleh manfaat hasil yang maksimum baik dari bakatnya sendiri
maupun bakat pihak lainnya diperlukan melalui pembagian kerja, penugasan
tanggung jawab bidang-bidang terbatas kepada individu atau kelompok.
Keterlibatan
aktif dengan keputusan-keputusan, evaluasi dan seleksi alternatif atau
problem-problem keputusan manajemerial. Dalam jangka panjang seluruh masa
depan suatu lembaga pendidikan (madrasah) misalnya bergantung pada tingkat
hingga di mana keputusan-keputusan ”tepat ” diambil oleh para manajer.
Sistem
pendidikan madrasah di masa akan datang, diharapkan merupakan suatu
industri dalam arti bahwa pendidikan memerlukan pengelolaan yang
professional agar rate of returns dari industri pendidikan itu sama atau
lebih baik dari investasi dalam sektor ekonomi lainnya.
Untuk
memperkuat eksistensi Madrasah, pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa
Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang Tanggung jawab Fungsional
Pendidikan dan Latihan Isi keputusan ini pada intinya menyangkut tiga hal
sebagai berikut (Maksum,1999: 146):
1.
|
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggungjawab
atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan
|
2.
|
Menteri Tenaga Kerja betugas dan bertanggung jawab atas pembinaan
latihan keahlian dari kejuruan tenaga kerja bukan pegawai negeri.
|
3.
|
Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab
atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri
|
Dua
tahun berikutnya, Keppres itu dipertegas dengan Inpres No.15 Tahun 1974
yang mengatur realisasinya. Bagi Departemen Agama yang mengelola pendidikan
Islam, termasuk madrasah, Keputusan ini menimbulkan ŽmasalahŽ. Dalam Tap
MPRS No. 27 Tahun 1966 dinyatakan bahwa agama merupakan salah satu unsur
mutlak dalam pencapaian tujuan Nasional. Selain itu, dalam Tap MPRS No.2
Tahun 1960 ditegaskan bahwa madarasah adalah lembaga pendidikan otonom di
bawah pengawasan Menteri Agama. Berdasarkan ketentuan ini, maka Departemen
Agama menyelenggarakan pendidikan madrasah tidak saja yang bersifat
keagamaan dan umum, etapi juga yang bersifat kejuruan. Dengan Keppres No.34
dan Inpres No.15 Tahun 1974 itu, penyelenggaraan pendidikan umum dan
kejuruan menjadi sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Secara
implisit ketentuan ini mengharuskan diserahkannya penyelenggaraan
pendidikan madrasah yang sudah menggunakan kurikulum nasional kepada
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan(sekarang Departemen Pendidikan Nasional).
Secara yuridis, keberadaan madrasah dijamin oleh undang-undang SKB tiga
menteri (menag, Mendikbud dan Mendagri) Tahun 1975 kedudukan madrasah sama
dan sejajar dengan sekolah formal lainnya. Demikian juga dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 ditegaskan
ulang bahwa madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas agama Islam.
Kurikulum yang digunakan pun secara umum mengacu kepada kurikulum Dinas dan
ditambah kurikulum agama yang dikeluarkan oleh Depag. Oleh karena itu secara
teoritis, madrasah seharusnya mampu memberikan nilai lebih bagi para
siswanya dibanding sekolah umum (Mifathul Haq, 2002: 26)
Yang
menjadi persoalan di sini adalah apa yang dicari pesantren, madrasah dan
sekolah Islam di Indonesia itu memang ada? Dan bagaimana eksistensinya
tersebut. Seberapa tinggi peluang untuk menjadikannya sebagai alternatif
atau sebagai keunggulan ? Persoalan tersebut disebabkan madrasah tidak
hanya menawarkan peserta didiknya memiliki kematangan intelektual semata
melainkan juga memiliki kematangan mental dan spiritual.
D. Reaktualisasi Peran Strategis
Pesantren, Madrasah dan Sekolah Islam
Sudah
banyak diketahui bahwa peran pesantren secara konvensional adalah melakukan
proses transfer ilmu agama Islam, mencetak kader-kader ulama, dan
mempertahankan tardisi. Dalam perkembangan modern, pesantren, madrasah dan
sekolah Islam menghadapi tantangan baru, di mana ketiga lembaga Islam
tersebut tidak bisa mengelak dari proses modernisasi itu. Dampak dari
modernisasi setidaknya mempengaruhi pesantren, madrasah dan sekolah Islam
tersebut dari berbagai aspeknya . Di antaranya adalah sistem kelembagaan ,
orientasi hubungan kiyai-santri, kepemimpinan dan peran pesantren ,
madrasah dan sekolah Islam.
Orientasi
peran pesantren, madrasah dan sekolah Islam sangat dipengaruhi oleh faktor
internal pesantren, terutama pandangan kiyainya, dan faktor luar,
perkembangan dan tuntutan aman (sebut saja pengaruh globalisasi).
Mencermati perkembangan globalisasi yang kian marak ini, bisa dipastikan
banyak orang yang meyakini bahwa peran pesantren, madrasah dan sekolah
Islam dalam menyebarkan Islam di bumi Nusantara ini. Hanya saja, tidak
banyak dari mereka yang mengetahui kapan pesantren pertama kali lahir. Para
sejarawan pun tidak sepakat mengenai awal berdirinya pesantren. Baik
keberadaan pesantren, madrasah dan sekolah Islam tidak bisa dilepaskan dari
penyebaran Islam di Indonesia.
Proses
globalisasi yang terus menemukan momentumnya sejak dua dasawarsa menjelang
millenium baru telah memunculkan wacana baru dalam berbagai lapangan
kehidupan literatur akademik,media massa, forum-forum seminar, diskusi, dan
pembahasan dalam berbagai lembaga. Penggunaan istilah globalisasi semakin
meluas termasuk di Indonesia, penggunaan istilah lain seperti kesejagatan
tidak cukup reperesentatif untuk menampung semua makna dan nuansa yang
tercakup dalam istilah globalisasi.
Globalisasi
adalah kata yang digunakan untuk mengacu kepada bersatunya berbagai negara
dalam globe menjadi satu entitas. Secara denotatif globalisasi berarti
perubahan-perubahan struktural dalam seluruh kehidupan negara bangsa yang
mempengaruhi fundamen-fundamen dasar pengaturan hubungan antar manusia,
organisasi-organisasi sosial, dan pandangan pandangan dunia (Azyumardi
Azra, 2007 : 6). Beberapa pesantren yang awalnya salafiyah, hanya
mengajarkan kitab-kitab kuning Ddan bertujuan mencetak kader ulama, kemudia
berubah dengan menawarkan sekolah formal, seperti madrasah atau sekolah,
adalah bukti pesantren mengalami perubahan orientasi.
Perubahan
ini terutama sekali dipengaruhi oleh faktor kiyai, yang dalam pesantren
tradisional adalah pemilik sekaligus pemimpin absolut dari pesantren
tersebut. Persinggungan kiyai-kiyai tradisional dengan budaya luar, baik
melalui ibadah haji maupun kegiatan lainnya, turut menyumbangkan gagasan
pembaruan yang dilakukan kiyai. Para Kiyai yang sudah modern itu
beranggapan bahwa santri tidak cukup dibekali dengan pengetahuan agama
semata, melainkan harus memiliki tambahan pengetahuan yang bermanfaat bagi
kehidupannya ketika terjuan dan kembali kemasyarakat.
Beberapa
pesantren yang membuka sekolah dan madrasah formal, selain karena gagasan
pembaruan kiyai, juga disebabkan karena tuntutan zaman. Oleh karenanya
pesantren-pesantren yang membuka sekolah dan madrasah sedikit banyak dipengaruhi
oleh dunia kebutuhan masyarakat tentang tenaga profesional yang memiliki
akhlak mulia. Pada awal kemerdekaan, negara banyak membutuhkan pegawai
negeri sipil. Untuk memenuhi kebutuhan itu , pesantren tidak tinggal diam.
Pendirian sekolah dan madrasah adalah bentuk respon pesantren atas
kelangkaan pegawai negeri sipil. Pesantren berharap , stock PNS dari
lulusan pesantren memiliki kelebihan di bidang akhlaknya dibanding lulusan
dari sekolah biasa (Amin Haedari, 2007: 34).
Dalam
perkembangan modern seperti saat ini, tuntutan peran pesantren semakin
kompleks. Problem-problem sosial ekonomi yang terjadi di masyarakat,
seperti masalah disintegrasi, kemiskinan, kemunduran akhlak sudah semakin
terbuka dan merajalela di masyarakat. Pesantren diharapkan tidak saja mampu
menyelesaikan masalah-masalah yang terkait dengan faham keagamaan , tetapi
juga diharapkan dapat terlibat menyelesaikan masalah-masalah sosial
tersebut.
Sejauh
pengamatan penulis, pesantren yang di dalamnya ada madrasah dan sekolah
Islam memiliki peluang dan kesempatan untuk terlibat aktif dalam
menuntaskan problem-problem sosial tersebut. Apalagi pesantren tersebut
memiliki karakter sosial dan kedekatan emosi dengan masyarakat karena sifat
egalitar dan kesahajaannya yang memungkinkannya dapat berinteraksi secara
intensif dengan masyarakat (misalnya salah satu contoh pesantren Sunan
Pandanaran yang bertempat Dusun Candi , Sardonoharja, Ngaglik, Sleman, )
setiap sebulan sekali tepatnya pada setiap Kamis wage terlihat bagaimana
tumpah ruah masyarakat dari berbagai Kecamatan bahkan Kabupaten di sekitar
Daerah Istimewa Yogyakarta juga luar Propinsi mendatang pengajian Mujahadah
Akbar yang contennya adalah syiar Islam dan sekaligus media komunikasi
antar masyarakat muslim muslimah dalam rangka mencari solusi penyelesaian
problem- problem sosial kehidupan yang semakin menghimpit terutama pasca
kenaikan BBM ini dan penyadaran diri sebagai hamba atau kholifahkepada sang
Kholiq.
Dengan
demikian, esensi peran strategis pesantren, madasah dan sekolah Islam ada
dua pokok, yaitu mencetak kader ulama yang mendalami ilmu agama dan pada
saat yang sama mengetahui, terampil, dan peduli terhadap persoalan
keummatan.Pesantren adalah tempat untuk mencetak kader ”faqih fi ’ulum
al-din dan faqih fi mashalih al-ummah. Lulusan Pesantren diharapkan baik
agamanya dan pandai menghadapi persoalan umat.
Dengan
peran semacam ini, dimungkinkan pesantren, madrasah dan sekolah
Islamterlibat maksimal dalam membangun bangsa ini. Melalui pesantren,
madrasah dan sekolah Islam, para santri atau siswa belajar ilmu-ilmu agama
dan ilmu-ilmu sosial yang dibutuhkan masyarakat. Bahkan seterusnya
pesantren menjadi lembaga pengkaderan bagi santri atau siswa yang kelak
siap terjun ke masyarakat.
Peran
pesantren yang demikian ini sesungguhnya tidak asing lagi di kalangan dunia
pesantren, karena dunia pesantren sudah tahu betul bahwa setiap manusia
yang ingin sukses harus menguasai ilmu dan inovatif sebagaimana pesan
Rasulullah SAW tentang etos kerja sebagaimana hadits berikut :
Artinya : ”Dari Rifa’ah bin Rafi’
ra, bahwasannya Rasulullah SAW perah ditanyai usaha yang paling baik.
Beliau menjawab : amal usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan semua
jual beli yang bersih.” (HR. Al-Bazzar dan dinilai sahih oleh al-Hakim)
(Sahih Bukhari Muslim : 800).
Pesan
Nabi berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah ”barangsiapa yang ingin
sukses dalam urusan dunia harus memiliki ilmunya, sama halnya ingin sukse
akhirat, dan barangsiapa yang ingin menghendaki keduanya, baginya juga
menguasai ilmu dunia dan ilmu akhirat”.
Mencermati
peran strategis pesantren, madrasah dan sekolah Islam di Indonesia seperti
tersebut di atas, diharapkan dapat mengembalikan kejayaan ummat Islam yang
pernah menyinari dunia dengan ilmunya. Saat itu, Islam menjadi pusat peradaban
dimana di tempat lain sedang mengalami kegelapan. Saat negara dan bangsa
lain terkungkung dalam kemunduran dan kemiskinan, Islam maju meninggalkan
bangsa dan negara lain. Kemajuan ini diperoleh karena perhatian serius
Islam terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, disamping tetap
mempertahankan ilmu agama.
Saat
itu, tidak ada dikhtomi ilmu agama dan umum. Para cendekiawan muslim
mempelajari dan menguasai kedua ilmu ini secara bersamaan. Ambil saja
contoh, ulama Ibnu Rusyd yang tidak saja mendalam dalam bidang fiqih,
tetapi piawai dalam bidang ilmu filsafat. Ibnu Sina, ahli agama sekaligus
ahli kedokteran. Bukunya tentang kedokteran Althib, tidak saja dirujuk oleh
ilmuwan dan ahli di Barat, tetapi juga menjadi inspirasi bagi perkembangan
dunia kedokteran modern. Muhammad Abduh,ahli bidang sosiologi sekaligus
pakar bidang agama dan masih banyak lagi sederet cendekiawan muslim dalam
berbagai bidang : matematika, bahasa, ilmu tanah, pertanian dan sebagainya
yang ikut mencerahkan dunia (Amin Haedari, 2007: 36).
Islam
mengalami kemunduran saat terkungkung dengan takliddan mengabaikan ilmu
pengetahuan. Ketika Islma meninggalkan ilmu pengetahuan dan mengalami
kejumudan, negara dan bangsa lain bangkit dari keterpurukan. Akhirnya, kini
dalam beberapa kurun waktu Islam mengalami keterpurukan. Oleh karena itu
sudah saatnya pesantren, madrasah dan sekolah Islam mengangkat keterpurukan
bangsa Indonesia khusunya dan umat manusia pada umumnya saat ini.
Peran-peran madrasah dan pundi-pundi keilmuan seperti Baitul Hikmah pada
zaman kejayaan Islam, yang telah memberi sumbangan berarti bagi kemajuan
Islam, dapat ditransfer oleh pesantren, madrasah dan sekolah Islam untuk
dapat diterapkan saat ini, sehingga ketiga lembaga Islam tersebut menjadi
laboratorium ilmu pengetahuan agama dan pusat riset kegiatan ilmiah.
Dengan
menjadi pusat riset ilmu pengetahuan, prediksi Nurcholis Madjid (Nurcholis
Madjid, 1977), tentang Universitas Tebuireng, Universitas Tremas,
Universitas Lirboyo, dan Universitas Pesantren lainnya di Indonesia dapat
terwujud. Hal ini cukup beralasan ,karena kemajuan Islam masa pertengahan,
terutama ditopang oleh budaya riset ilmu pengetahuan. Apalagi pesantren
yang jumlahnya puluhan ribu, jika mampu menjadi pusat riset ilmu
pengetahuan , maka pengaruh sekaligus perannya akan melebihi Baitul Hikmah
dan dampaknya dapat meluas ke seluruh dunia. Dengan begitu, kemajuan Islam
dapat diraih kembali. Lebih dari itu peran pesantren yang utama adalah
lulusannya diharapkan memiliki kelebihan dari sisi akhlakul karimah, karena
pesantern sudah semestinya menjadi pengawal bagi akhlak yang terpuji ini.
Di
akhir tulisan sederhana ini penulis pertanyaan : mungkinkah pesantren,
madrasah dan sekolah Islam menjadi besar ? pertanyaan ini tidak untuk
dijawab mungkin atau tidak, tetapi harus dijawab dengan kata HARUS .
Mengapa harus , karena pesantren, madrasah dan sekolah Islam harus menjadi
besar seiring dengan ekspektasi masyarakat yang semakin besar terhadap
pesantren, madrasah dan sekolah Islam , terutama setelah pendidikan yang lain
tidak memenuhi tuntutan mental dan akhlak yang diharapkan masyarakat.
Pesantren
dimulai dengan menetapkan visi dan misi (tujuan) yang tepat, yaitu mencetak
kader yang ahli di bidang agama dan mumpuni dalam urusan sosial, kemudian
bersma pemerintah membangun kemitraan untuk merumuskan kebijakan dan
program pengembangan pesantren, madrasah dan sekolah Islam di masa depan.
Saran sederhana misalnya dengan mengacu kepada sistem mutu sekolah formal
yang tersandarisasi dan aspek manajerial yang berbasis industri ( dengan
tetap mengacu kepada Quran Hadis ).
Wallahu
’alamu.
DAFTAR
PUSTAKA
Agus
Maulana, MSM dalam Pearce Robinson,1997,Manajemen Strategik, Formulasi
Implementasi dan Pengenalian, Binarupa Aksara:Jakarta
Amin
Haedari, dalam Jurnal Mihrab Vol. II, no 1 Juli 2007
Amin
Haedari dalam Jurnal Pondok Pesantren Mihrab, vol. II No. 1 Juli 2007 ,
Masud
Abdurrahman; Dinamika Pesantren dan Madrasah;2002, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Mastuhu,
1999, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam Ciputat : PT Logas Wacana Ilmu
Maksum,1999,
Madrasah Sejarah dan Perkembangannya , PT Logas Wacana Ilmu
Mifathul
Haq,2002,Bakti, No.130.Th XI
Azyumardi
Azra dalam Jurnal Pondok Pesantren Mihrab, vol. II No. 2 November 2007
Nurcholis
Madjid, 1977, Bilik-bilik pesantren, sebuah potret perjalanan;
Jakarta:Paramadi
Pasted From :
|