Keseluruhan
sejarah Islam adalah pergumulan masyarakat Islam mewujudkan nilai-nilai
Islam dalam ruang dan waktu tertentu. Catatan pergumulan tersebut lalu
disistematisasi dan dilembagakan di balik nama-nama yang sekarang dikenal:
tentang Tuhan dalam kaitannya dengan manusia dan alam disebut
aqidah/filsafat, tentang hukum dan segala bentuk aplikasinya disebut fikih
(atau, syari'ah), tentang makna al-Qur'an disebut tafsir, sementara
cara-cara transmisi Islam dari satu generasi ke generasi lain atau dari satu
kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lain disebut tarbiyah. Sebutan
lain seperti adab (sejarah dan kebudayaan Islam), sufisme dan dakwah juga
menunjuk pada hal yang sama: hasil pencapaian masyarakat Islam dalam
menafsirkan dan mentransmisikan Islam.
Di
berbagai tempat dimana proses pendidikan Islam berlangsung-termasuk
pesantren, masjid, madrasah, majlis taklim, kelompok pengajian dan
IAIN-hasil-hasil capaian tersebut dipelajari. Aqidah, fikih/syari'ah,
tafsir, sufisme dll. menjadi materi-materi kajian; bahkan di IAIN menjadi
nama fakultas seperti Aqidah/Filsafat, Syari'ah, Tarbiyah, Dakwah dan Adab.
Proses
pelembagaan Islam tersebut-yaitu proses mengkristalnya Islam dalam berbagai
ilmu dan aliran pemikiran atau mazhab-sudah mulai nampak dengan kuat
terutama pada abad ke 2-3 H / 8-9 M dengan tokoh-tokoh seperti Malik ibn
Anas (wafat th. 179 H / 795 M), Abu Hanifah (wafat 150/767), al-Syafi'i
(wafat 204/820) dan Ahmad ibn Hanbal (wafat th. 241/855). Sejak abad ini
secara intensif Islam diformulasikan, digeneralisasikan, dan dibuat
hubungan antara satu sisi dengan yang lainnya. Yang muncul kemudian adalah
Islam yang abstrak dan transenden, Islam yang sudah ditarik dari dunia
nyata.
Dengan
generalisasi/abstraksi/transendensi, ciri khas Islam, atau kemampuan Islam
untuk menyapa problem bawah yang yang sangat beragam, tertekan. Dengan kata
lain, pendirian mazhab-dimana generalisasi dilembagakan-telah melahirkan
alienasi. Pertama, mengalienasi Islam dari masyarakatnya. Untuk memahami
generalisasi dan menurunkannya kembali ke tingkat detil memerlukan
pengetahuan yang tidak sedikit sehingga hanya orang-orang tertentu yang
bisa melakukannya (dan mereka inilah yang kemudian disebut ahli agama,
kyai, guru, ustaz dll). Mereka ini lalu menjadi semacam medium, lembaga
perantara, antara Muslim awam dengan persoalan-persoalan mereka. Kedua,
alienasi Muslim dari akar Islam, al-Qur'an dan Hadits. Dengan adanya mazhab
kedua sumber itu secara tidak sadar terjauhkan dari umat yang semestinya
menjadi pembacanya. Persoalan-persoalan yang timbul tidak lagi diadukan
langsung kepada al-Qur'an dan Hadith tetapi kepada mazhab. Ketiga,
mengalienasi masyarakat Islam dari Tuhannya. Tuhan kini didekati melalui
mazhab, melalui institusi. Keempat, mengalienasi Islam dari persoalan aktual,
karena mazhab tersebut dilahirkan pada masa tertentu untuk kebutuhan
masyarakat tertentu, untuk merespon problem yang lahir pada masa tertentu,
maka persoalan kekinian sendiri terpinggirkan dalam mazhab itu.
Untuk
keluar dari kemelut ini, seseorang harus bisa melampaui mazhab. 'Melampaui'
berarti memecahkan kembali gumpalan-gumpalan mazhab, menguraikannya,
mengembalikannya menjadi pecahan-pecahan kecil, dan menerapkannya pada
kasus per kasus keseharian dalam bentuk bahan baku. Dengan cara ini, Islam
akan kembali menjadi sederhana seperti masa awalnya, lebih fleksibel untuk
dibentuk sesuai dengan ruang dan waktu. Tujuan Islam sebagai wahana
mendekati Tuhan dan alat untuk menjawab persoalan-persoalan keseharian akan
lebih efektif dicapai karena tidak ada lagi lembaga perantara yang
memisahkan umat dengan kedua fungsi tersebut.
Memecahkan
gumpalan-gumpalan pemikiran yang sudah berabad-abad tersebut memang tidak
mudah. Tetapi itulah agenda besar yang harus dilaksanakan jika ingin
mengembalikan dinamika Islam ke tengah masyarakat. Lembaga-lembaga
pendidikan Islam, terutama IAIN, memainkan peranan penting dalam hal ini.
Untuk
tujuan tersebut, ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, menguasai masa
awal Islam yang simple sebagai bahan dasar-bahan yang dipakai para pendiri
mazhab untuk membangun mazhabnya. Kedua, memahami masa dimana pertama kali
institusionalisasi terjadi (atau masa dimana pertama kali mazhab-mazhab
muncul). Kedua masa ini-masa awal Islam dan masa lahirnya mazhab-masuk ke
dalam periode klasik Islam, yaitu masa yang membentang dari masa Nabi
sampai Baghdad jatuh pada 1258. Masa ini merupakan masa yang sangat penting
baik untuk memahami bangunan Islam sekarang maupun untuk membangun kembali
pemahaman Islam yang akan datang.
Struktur
Ajaran Islam
Abad
ke 1 Hijrah. Pada masa ini Tuhan menurunkan wahyu yang [diyakini Muslim]
paling sempurna ke dunia. Sebelumnya Tuhan menurunkan ajaranNya kepada
nabi-nabi lain sejak Nabi Adam, tapi [bagi kaum Muslim] ajaranNya yang
sempurna hanya diberikan kepada Nabi Muhammad. Sebagai penerima ajaran yang
sempurna, Nabi Muhammad juga dianggap sebagai figur yang paling sempurna.
Dibanding manusia lain yang pernah ada di dunia, termasuk nabi-nabi, Nabi
Muhammad adalah yang terbaik. Demikian juga, umat Nabi Muhammad, sebagai
umat yang menerima ajaran yang paling sempurna dari Nabi yang sempurna,
adalah juga dipandang umat yang paling sempurna (kuntum khayra ummah).
Dalam al-Qur'an disebutkan Nabi dan umatnya akan ditunjuk Tuhan untuk
menjadi saksi ketika pengadilan di akhirat nanti terjadi (ummatan wasatan
litakunu shuhada' 'ala al-nas).
Walaupun
umat Nabi Muhammad, termasuk yang sekarang, dianggap umat yang terbaik yang
tengah menjalankan ajaran Tuhan yang terbaik, masa yang paling penting
tetap berada pada saat ketiga kesempurnaan itu ada secara bersamaan, yaitu
pada abad pertama Hijrah ketika Nabi hidup menjalankan ajaran di
tengah-tengah umatnya. Demikian juga, walaupun Muslim kontemporer adalah
umat yang terbaik, tetapi yang paling baik diantara seluruh generasi Muslim
adalah mereka yang pernah hidup semasa dengan Nabi, mereka yang bersama
Nabi membangun masyarakat Islam.
Nabi
dan umat sezamannya merupakan figur kunci dalam religiusitas orang Islam
kapan pun. Apa yang dilakukan dan dikatakan mereka menjadi dasar hukum bagi
orang Islam. Al-Qur'an dan Hadith Nabi adalah dua sumber ajaran Islam
utama. Dari masa ke masa kedua sumber ini ditafsirkan dalam rangka menjawab
berbagai macam persoalan pada zamannya. Produk dari penafsiran itu adalah
tradisi Islam yang kaya raya, berupa mazhab-mazhab pemikiran (seperti
Asy'ariyah, Mu'tazilah, Jabariyah dan Qadariyah dalam teologi; dan Maliki,
Hanafi, Syafi'i dan Hanbali dalam fikih) yang kini terekam dalam buku-buku
klasik. Semuanya itu adalah buah dari kembang yang ada pada abad pertama
Hijriyah tersebut.
Abad
ke 2-3. Kalau masa Nabi adalah masa dimana pertama kali kesempurnaan ajaran
Tuhan diturunkan, maka abad 2-3 Hijriyah adalah masa dimana untuk pertama
kali ajaran-ajaran Tuhan yang diturunkan pada abad pertama tersebut dijabarkan
dan dikristalisasikan dalam berbagai mazhab. Dengan kata lain, Islam abadi
yang sudah direduksi pada masa Nabi kini direduksi lagi oleh para pendiri
mazhab.
Reduksi
tingkat pertama selalu lebih baik dari reduski tingkat kedua. Reduksi
tingkat pertama dilakukan Tuhan kepada manusia sempurna, Nabi. Reduksi
tingkat kedua dilakukan oleh manusia biasa (artinya, bukan Nabi). Reduksi
yang pertama, karena dilakukan oleh Tuhan, mengandung misteri dan
keagungan. Dia sakral. Reduksi kedua, karena dilakukan manusia, lebih mudah
diurai, tahap-tahapannya lebih mudah direkontruksi. Dia tidak sakral. Orang
dianjurkan berwudu untuk menyentuh al-Qur'an (sebagai hasil dari reduksi
tingkat pertama), dan membacanya bisa mendatangkan suasana spiritual dan
mistik. Tidak demikian halnya dengan membaca buku al-Syafi'i (sebagai hasil
reduksi tingkat kedua), misalnya.
Tapi
lepas dari perbedaan kedua tingkat reduksi tersebut, satu hal sama-sama
dimiliki oleh kedua moment penting tersebut: sebagai 'yang pertama,' produk
keduanya mengandung otoritas. Al-Qur'an dan buku al-Syafi'i, misalnya,
senantiasa menjadi rujukan bagi masyarakat Islam yang datang belakangan.
Ada orang yang menganggap reduksi tingkat pertama identik dengan
kesempurnaan ajaran Tuhan, dan mengikuti apapun yang ada pada masa itu
secara literal. Ada juga yang menganggap reduksi tingkat kedua sebagai
identik dengan kebenaran Tuhan, dan mengikuti putusan-putusan mazhab secara
literal. Dua pilihan itu sama-sama menafikan proses sebagai sesuatu yang
esensi dalam Islam.
Sesuatu
'yang pertama' selalu penting dan menentukan, karena di sinilah letaknya
bagaimana sesuatu tersebut bermula. Di sinilah berbagai ketegangan terjadi,
tarik-tarikan antara berbagai macam variable terjadi: tarik-tarikan antara
kesempurnaan langit dengan keterbatasan bumi pada kasus Nabi; dan
tarik-tarikan antara kesempurnaan Nabi dengan keterbatasan manusia biasa
pada kasus pembentukan mazhab. Pada kasus Nabi ada reduksi tingkat pertama,
pada kasus mazhab ada reduksi tingkat kedua (reduksi dari reduksi).
Kalau
mampu mengurai bagaimana reduksi terjadi, bagaimana tarik-tarikan bekerja,
pada kedua tingkatan itu, maka akan sampai kepada pemahaman yang baik
tentang Islam. Dengan memahami proses reduksi tingkat pertama, dari makna
abadi di wilayah Tuhan ke makna yang dibatasi ruang dan waktu pada masa
Nabi, seseorang bisa memahami mana tradisi Arab abad ke 7 dan mana Islam
yang universal. Yang akan diterapkan adalah Islam, bukan tradisi Arab.
Lewat pemahaman proses reduksi tingkat kedua, dari ajaran Nabi dan
sahabatnya ke mazhab oleh para pendirinya, sesorang akan bisa menjawab
posisi mazhab-mazhab pemikiran dalam Islam. Haruskah kaum Muslim terus
mengikuti Imam Shafi'i?
Al-Qur'an,
dan Hadits serta sejarah hidup Nabi adalah reduksi dari realitas wilayah langit.
Sebagai reduksi, dia tidak persis sama dengan makna abadi yang merupakan
bentuk asli agama. Walau begitu harus dicatat bahwa, karena Nabi adalah
makhluk yang terbaik dan al-Qur'an adalah ungkapan yang terbaik, maka
sejarah hidup Nabi dan al-Qur'an, serta kata-kata Nabi adalah bentuk
reduksi dunia langit yang terbaik yang mungkin dimiliki oleh umat Islam.
Atau dengan kata lain, al-Qur'an dan Nabi adalah pintu terbaik yang kaum
Muslim miliki untuk memahami Islam.
Karena
al-Qur'an dan hadith Nabi adalah ungkapan yang terbaik yang dipunyai, maka
umat Islam harus tahu persis bagaimana ungkapan yang terbaik itu
sebenarnya. Seperti dikatakan al-Qur'an dan Hadits Nabi, kaum Muslim harus
mecontoh dan mengikuti Nabi. 'Mencontoh' dan 'mengikuti' hanya mungkin dilakukan
kalau mereka tahu persis apa yang sebenarnya terjadi pada masa Nabi.
Historisitas menjadi penting. 'Apa sebenarnya yang telah terjadi' menjadi
penting untuk direkonstruksi oleh semua umat Islam.
Tapi
pada level kedua, karena Al-Qur'an dan Hadits Nabi itu terhubungkan dengan
dunia langit, maka selain mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, seseorang
juga harus mampu menemukan makna apa sebenarnya yang ada di balik kata-kata
atau peristiwa tersebut. Jawaban ini, karena terkait dengan dunia langit, tidak
ada yang tahu. Hanya Tuhanlah yang tahu sebenarnya, dan karena itu para
ulama selalu mengatakan 'wallalu a'lam bi al-sawab' ketika dia mengkahiri
sebuah bahasan. Dan karena tidak ada yang persis tahu maka jawaban terhadap
pertanyaan ini tidak satu. Jamak, plural.
Ajaran
Islam yang sebenarnya adalah ajaran Nabi sebelum mengalami reduksi. Inilah
yang harus ditangkap. Berbagai macam tafsiran al-Qur'an, dan berbagai macam
mazhab ditulis dalam rangka menangkap kesempurnaan ajaran Islam tersebut.
Manusia, sebagai amkhluk yang tidak sempurna tentu tidak akan mampu
menangkap sepenuhnya kesempurnaan ajaran Tuhan. Dan di sinilah esensi dari
beragama: ada dinamika, ada pencarian yang terus menerus, proses menjadi
yang tanpa batas. Kata 'Islam' sendiri' berarti 'sedang berusaha selamat'.
(Bukan 'silm' yang berati 'selamat'). 'Muslim', berbeda dengan 'Salim',
adalah 'orang-orang yang sedang berusaha menjadi Islam'. Dalam berislam ada
dinamika, ada usaha yang terus menerus, bahkan usaha dan dinamika adalah
esensi dari berislam. Dalam pengertian ini, orang yang tidak memiliki
dinamika di dalam dirinya bisa disebut non-Muslim.
Dialog
dengan Sumber Utama
Ada
komponen penting pada suatu permulaan: kesederhanaan. Sesuatu yang pertama
selalu sederhana, simple, mudah dipahami, dan merakyat. Ajaran-ajaran Nabi
seperti yang terungkap dalam Hadits-Hadits Nabi menggambarkan keadaan ini.
Karena simple, selain mudah dipahami, ajaran-ajaran Islam juga sangat
fleksibel. Penyebaran Islam ke wilayah yang lebih luas dan kemampuan beradaptasi
dengan komunitas lokal hanya mungkin terjadi jika ada fleksibelitas.
Sesuatu yang simple, sederhana selalu mampu merangkul masyarakat yang lebih
luas.
Contoh
yang bagus adalah syahadat dan aqidah. Jika seorang ingin masuk Islam, dia
diwajibkan mengucapkan syahadat, yaitu kesaksian bahwa hanya Allahlah Tuhan
yang Esa dan bahwa Muhammad adalah utusanNya. Hanya ucapan itu, tidak ada
upacara atau kegiatan ritual lain yang kompleks. Pada perkembangan
berikutnya muncul apa yang bernama aqidah.
Kalau
syahadat adalah komitmen individu, maka aqidah adalah komitmen suatu
kelompok. Dengan kata lain, aqidah adalah syahadatnya masyarakat. Syahadat
hanya satu dan dari orang ke orang ungkapannya sama. Aqidah jumlahnya
banyak (Wasiyat Abu Hanifah, Aqidah Tahawiyah dll) dan ungkapannya beragam.
Yang
menjadi perhatian utama adalah persoalan pengungkapan dan kaitannya dengan
waktu. Syahadat, sebagai bagian dari permulaan, sangat simpel. Ungkapannya
pendek. Aqidah, bagian dari masa belakangan, lebih kompleks dan ungkapannya
panjang sekali. Tidak seperti Syahadat, aqidah mengharuskan penganutnya
untuk mengakui banyak hal: mulai dari pengakuan keesaan Tuhan, sifat-sifat
Tuhan, kalam Tuhan, sampai ke pengakuan bahwa mengusap sepatu itu wajib dan
barang siapa yang mengingkarinya maka dia terancam menjadi kafir. Orang
yang tidak mengakui salah satu komponen aqidah itu akan dianggap sebagai
'orang lain' atau bukan bagian dari masyarakat (jama'ah). Keyakinan yang
berkembang di luar jama'ah disebut sekte.
Kalau
menggunakan aqidah sebagai acuan dalam beragama, maka seseorang telah
keluar dari simplisitas dan menghadirkan kompleksitas beragama yang
menyulitkan orang untuk berislam. Sebaliknya kalau menggunakan syahadat,
seseorang akan kembali ke simplisitas dan memudahkan orang untuk berislam.
Semakin simpel suatu ajaran, semakin sedikit kata-kata yang dibuat, semakin
banyak masyarakat yang bisa dimasukkan ke dalamnya. Semakin rumit sebuah
ajaran, semakin panjang sebuah rumusan doktrin, semakin banyak orang yang
tersingkirkan. Seperti perintah, "Semua orang masuk!" Dengan tiga
kata ini tidak ada seorangpun yang disingkirkan. Tetapi begitu ditambah
satu kata lagi (menjadi 4 kata), "Semua orang Padang masuk."
Selain orang Padang tidak boleh masuk. Banyak orang tersingkirkan. Kalau
ditambah satu kata lagi (menjadi 5 kata), "Semua orang Padang kaya
masuk." Semakin banyak lagi orang yang tersingkirkan. Proses seperti
ini telah terjadi pada rumusan doktrin Islam.
Semua
itu tidak untuk mengatakan bahwa perluasan doktrin atau penjabaran Islam
tidak perlu ada. Simplisitas Islam ketika memasuki suatu masa tertentu atau
tempat tertentu perlu dipadukan dengan budaya lokal. Simplisitas harus
dibiarkan terbuka supaya orang bisa masuk beserta semua kekayaan imajinasi,
fikiran dan budayanya. Ini adalah proses yang tidak bisa dihindarkan.
Budaya Islam berkembang dengan pesat justeru karena kesiapan Islam untuk
dimasuki orang-orang banyak, ide banyak. Jika simplisitas dibekukan, maka
Islam tidak akan bisa berkembang. Hanya orang-orang tertentu yang bisa
masuk.
Tidak
juga berarti bahwa simplisitas itu tidak diperlukan lagi. Masyarakat Islam
awal adalah suatu bahan dasar yang bisa dipakai untuk membangun berbagai
ekspresi Islam. Problem masyarakat yang semakin kompleks memerlukan rumusan
Islam yang sepadan. Beragama memerlukan proses pemilikan. Islam harus
menjadi bagian dari individu dan masyarakat. Proses pemilikan melibatkan
dialog yang kompleks antara individu dan masyarakat, dengan segala
kekayaannya-baik budaya, sejarah maupun kepentingan-dengan Islam. Hasilnya
tidak lagi Islam yang simpel. Komplikasi adalah suatu keharusan dalam
proses pemilikan. Jika hal tersebut tidak terjadi, Islam yang dianut akan
menjadi Islam yang teralienasi dari dunia nyata. Tetapi rumusan baru yang
kompleks tersebut harus bisa diturunkan lagi setiap saat ke dalam bentuk
simplenya yang asli. Ketika kompleksitas telah berubah menjadi belenggu
yang membingungkan, baik itu terjadi pada tingkat individu maupun generasi,
akan ada tempat untuk kembali. Kembali ke kesederhanaan, kembali ke bahan
baku, untuk kemudian kembali membuat kesepakatan-kesepakatan baru,
bangunan-bangunan baru.
Simplisitas-kompleksitas
dalam Islam juga bisa dilihat pada tingkat sumber. Pada masa awal sumber
Islam hanya al-Qur'an dan Hadits Nabi. Belum ada ijma`, belum ada qiyas.
Belum ada buku mazhab, baik dalam bidang fikih maupun teologi. Pada masa
itu al-Qur'an dan Hadits Nabi langsung berhadapan dengan tradisi lokal,
dengan realitas masyarakat. Suasana yang sama sekali berbeda dengan saat
ini. Sekarang al-Qur'an dan Hadits sudah dibentengi oleh berbagai tradisi
dan buku. Al-Qur'an dan Hadits Nabi tidak lagi berdialog langsung dengan
realitas kekinian, tapi diperantarai oleh buku dan tradisi tersebut, yang
sering sangat kokoh sehingga tidak tembus-sehingga akhirnya tidak lagi
merasakan keindahan dan kesucian al-Qur'an-yang sering tidak paham dengan
tradisi tertentu, dengan persoalan tertentu.
Menghadirkan
al-Qur'an dan Hadits langsung kehadapan umat masa kini, tanpa perantara,
juga berarti mengembalikan otoritas kedua sumber itu. Kembali ke masa awal
Islam yang simpel berarti mengembalikan rumusan-rumusan kebenaran al-Qur'an
dan Hadits yang simpel. Dari kedua sumber inilah dimulai upaya membangun
tradisi Islam yang baru, melakukan teoritisasi, problematisasi,
mendialogkan kembali kedua sumber itu dengan kompleksitas persoalan nyata.
Dengan kata lain, perlu melakukan hal yang persis dilakukan oleh generasi
kaum Muslimin sebelum mazhab-mazhab terbentuk. Besar kemungkinan hasil
dialog tersebut akan melahirkan mazhab-mazhab baru, seperti halnya generasi
abad ke 2-3 masyarakat Islam yang melahirkan Hanafi, Maliki, Syafi'i dan
Hanbali. Mazhab yang terbentuk adalah mazhab yang lahir langsung dari
al-Qur'an. Bukan mazhab yang lahir dari mazhab. Hubungan dengan mazhab-mazhab
tersebut tidak instruktif, tapi aspiratif. Hasil pemikiran yang
dikembangkan di IAIN bisa jadi tidak merupakan kelanjutan darti
mazhab-mazhab tersebut. Bisa jadi ada loncatan, ada sesuatu yang sama
sekali baru. Hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat usia mazhab-mazhab
(fikih) sekarang sudah lebih dari 1000 tahun.
Menjadikan
mazhab-mazhab yang ada sebagai sumber aspirasi tidak sama dengan
merendahkan kedudukan mazhab-mazhab tersebut. Sekali lagi perlu ditegaskan
mazhab-mazhab tersebut adalah mazhab pertama yang terinstitusionalisasi
dalam Islam. Sebagai yang pertama ia juga memiliki otoritas, tentu saja
pada level yang berbeda dengan al-Qur'an dan Hadits. Dari mazhab-mazhab
itulah Muslim kontemporer bisa berkaca bagaimana problem-problem masyarakat
mereka diadukan kepada al-Qur'an dan Hadits. Dalam hal ini proses
institusionalisasi menjadi lebih penting diperhatikan daripada hasilnya.
Arti
Bermazhab
Bagaimana
berkaca pada mazhab? Ambil contoh Abu Hasan al-Asy'ari (wafat th. 324/935),
tokoh penting di balik pendirian mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah yang
kini menjadi anutan masyarakat Islam di Indonesia. Bagaimana cara
memposisikan pendiri mazhab Asy'ariyyah ini?
Pertama
perlu ditegaskan kembali bahwa suatu pemikiran muncul karena adanya tantangan.
Jenis pemikiran akan ditentukan oleh jenis tantangan. Untuk memahami suatu
pemikiran, seseorang harus memahami dulu tantangan apa yang dihadapi oleh
para pemikir pada masa itu. Persoalan apa sebenarnya yang tengah dijawab,
problem apa yang tengah dipikirkan. Abu Hasan al-Asy'ari merumuskan pikiran
teologinya karena adanya tantangan Mu'tazilah. Yang terakhir ini, sebagai
akibat dari kajian filsafat, berusaha memasukkan elemen akal yang lebih
besar ke dalam interpretasi wahyu. Kontroversi ini terkristalisasi dalam
beberapa persoalan seperti sifat Tuhan, kalam Allah, perbuatan manusia dll.
Karena pikiran al-Ay'ari merupakan reaksi atau jawaban dari lontaran
Mu'tazilah, maka isi pikiran al-Asy'ari akan ditentukan oleh isu yang
dilontarkan Mu'tazilah.
Buku,
sebagai catatan suatu pemikiran, juga harus dipahami seperti itu. Suatu
buku lahir dari konteks tertentu, pada suatu ruang dan waktu tertentu. Jika
ingin memahami buku itu maka yang harus dilakukan adalah menyusun kembali
konteks kelahiran buku tersebut, atau, dengan kata lain, sejarah yang
mengitari kelahiran buku tersebut, totalitas realitas sejarah yang
melahirkan buku atau karya tersebut. Kalau ini benar, maka kajian sejarah
menjadi sangat penting dalam memahami sebuah teks. Pemahaman sejarah mendahului
pemahaman teks.
Buku
teologi Abu Hasan, karena ditulis sebagai respon terhadap pemikiran
Mu'tazilah, ditentukan isinya oleh Mu'tazilah. Isunya isu Mu'tazilah. Tentu
saja dengan jawaban yang berbeda. Buku Maqalat-nya berisi
persoalan-persoalan yang memang sedang menjadi isu saat itu. Kalau ingin
menggunakan teologi Asy'ariyah sekarang, apakah seseorang akan menganut
pikirannya dalam persoalan-persoalan Mu'tazilah itu? Persoalan yang tidak
menjadi isu besar dalam masyarakat saat ini? Apakah sekarang isu sifat
Tuhan, misalnya, sedang diperdebatkan di wilayah publik di TV, koran,
radio, seperti halnya hal itu diperdebatkan dengan media yang berbeda pada
masa Abu Hasan al-Asy'ari? Muslim sekarang punya persoalan tersendiri, yang
sama sekali bukan persoalan sifat Tuhan atau bisa tidaknya melihat Tuhan di
akhirat. Muslim sekarang perlu rumusan teologi yang bisa menjawab persoalan
kekinian mereka. Bukan teologi yang bisa memecahkan persoalan masa Abu
Hasan al-Asy'ari.
Tentu
saja warisan Abu Hasan, seperti halnya warisan tradisi Islam masa lalu
lainnya, sangat penting dipelajari. Bukan untuk diikuti secara literal,
tapi untuk dijadikan cermin. Ketika bercermin, yang muncul adalah bayangan
sendiri, bukan bayangan Abu Hasan. Muslim sekarang membaca Abu Hasan untuk
melihat diri sendiri, memahami masyarakat sendiri. Yang menjadi pusat
perhatian adalah umat Islam kontemporer, persoalan kontemporer. Mereka
boleh saja menjadi pengikut Abu Hasan. Tapi pengikut yang baik adalah
pengikut yang bisa mengulangi event dia: bahwa dia maju ke depan berfikir
mencari pemecahan problem pada masanya. Menjadi pengikut dia, berarti maju
memikirkan dan mencari pemecahan problem pengikut itu sendiri. Problem Abu
Hasan tidak mesti diikuti. Isi buku Abu Hasan tidak mesti dihafalkan dan diyakini
sampai berkeyakinan bahwa teologi yang dianut isinya sama dengan isi buku
Abu Hasan. Teologi kontemporer adalah teologi masa kontemporer, teologi
yang berisi kata-kata sendiri, yang merujuk pada benda-benda yang ada di
sekitar umat saat ini.
Tentu
saja seseorang baru bisa merumuskan teologi yang tepat untuk dirinya kalau
ia paham apa persoalannya. Teologi suatu generasi, atau aliran pemikiran
apapun dalam suatu generasi, adalah jawaban generasi tersebut pada
persoalan mereka. Pada saat itu aliran pemikiran tersebut memang cocok
(karena memang dirumuskan untuk memecahkan persoalan mereka). Kalau
seseorang ingin merumuskan paham keagamaan yang cocok buat dirinya,
pertama-tama ia harus paham apa problem dirinya. Kesalahan mengidentifikasi
problem akan melahirkan rumusan pikiran yang salah buat dirinya.
Walaupun
teologi banyak disebut, uraian di atas juga berlaku untuk ekspresi Islam
lainnya, misalnya fikih. Fikih adalah rumusan manusia tentang persoalan
hukum pada masanya. Fikih al-Syafi'i adalah fikih yang ditulis untuk
menjawab persoalan hukum masanya. Apa persoalan masa kini? Apakah persoalan
umat sekarang sama dengan persoalan yang dihadapi oleh imam Syafi'i?,
sehingga kalau ingin mengikuti mazhab Syafi'i berarti harus mengikuti semua
apa yang dia tulis dalam bukunya, lepas dari apakah apa yang dia tulis itu
relevan buat Muslim saat ini? Atau apakah juga menjadi pengikut al-Syafi'i
berarti mengikuti jejaknya dalam hal memacu dirinya untuk menjawab
persoalan pada masanya?
Kembali
ke Abu Hasan. Pada tingkat pertama, menjadi pengikut Abu Hasan berarti
mencontoh dia dalam hal keteguhan dan keyakinan serta ketekunannya dalam
menjawab tantangan pada masanya untuk menciptakan kemaslahatan umat
masanya. Pada level kedua, menjadi pengikutnya berarti mengikuti ajaran
dia. Tapi ajaran dia tidak identik dengan apa yang dia katakan dalam
buku-buku mereka. Jadi apa ajaran mereka? Ajaran mereka bukan pada level
detil, yaitu bahwa Qur'an itu bukan mahluk atau bahwa seseorang pasti
melihat Tuhan di akhirat, tapi pada tingkat prinsip yang lebih tinggi. Apa
itu? Seseorang akan melihat suatu contoh yang menjadi salah satu isu utama
pada masa Abu Hasan: hubungan antara Tuhan dengan sifatNya.
Pada
waktu kalangan ahli Hadits mengatakan bahwa dhat Tuhan itu berbeda dengan
sifatNya dan bahwa sifat Tuhan itu abadi maka persoalanpun muncul. Dhat
Tuhan abadi. Sifat Tuhan, yang ada dalam diri Tuhan, juga abadi. Bukankah
itu berarti mengakui adanya dua keabadian dalam diri Tuhan (yaitu dhat dan
sifatNya)?
Abu
al-Hudhayl (wafat th. 226/840), salah seorang tokoh Mu'tazilah,
berkeyakinan bahwa mengakui sifat Tuhan sebagai berbeda dengan dhatNya
adalah sirik. Dhat Tuhan itu, menurutnya, tidak berbeda dengan sifatNya.
Dhat Tuhan adalah sifatNya. SifatNya adalah dhat Tuhan. Lalu dengan apa
Tuhan mengetahui? Tuhan mengetahui bukan dengan 'sifat mengetahui' yang ada
dalam dhatNya, tapi lagsung dengan dhatNya. Dhat Tuhan itu adalah ilmu.
Ilmu adalah dhat Tuhan. Dalam pandangan Mu'tazilah, inilah tawhid yang
sebenarnya (dan karena itu mereka menamakan dirinya ahli tawhid).
Abu
Hasan menolak pandangan Mu'tazilah tersebut. Tuhan berfirman dalam
al-Qur'an bahwa Dia itu memiliki sifat. Nabi juga menyatakan begitu.
Sahabat Nabi juga menyatakan begitu. Penolakan Mu'tazilah pada sifat Tuhan
adalah penolakan pada kata-kata Tuhan, Nabi dan sahabatnya.
Pada
saat yang sama Abu Hasan juga tidak setuju dengan pandangan ahli Hadits
yang mengatakan bahwa sifat Tuhan itu berbeda dengan dhatNya. Mengatakan
bahwa sifat Tuhan itu berbeda dengan dhatNya dan bahwa sifatNya itu abadi
memang akan menggiring pada pemahaman adanya dualisme dalam diri Tuhan. Ini
tidak benar. Yang benar-setelah diperdebatkan di kalangan para pengikut Abu
Hasan sendiri-adalah "Sifat Tuhan itu bukan Tuhan dan bukan juga bukan
Tuhan (laa huwa walaa ghayruh)."
Doktrin
yang dirumuskan oleh kelompok Asy`ariyah itu seperti dua sisi mata uang. Ia
adalah penolakan dan sekaligus juga pengakuan terhadap kedua kelompok yang
bertikai di atas. Lewat "Sifat Tuhan itu bukan Tuhan" mereka
tolak Mu'tazilah dan mereka rangkul ahli Hadits yang berpendapat bahwa
sifat Tuhan itu berbeda dengan Tuhan. Lewat "Bukan juga bukan
Tuhan", mereka tolak ulama Hadits dan mereka rangkul orang Mu'tazilah
yang menyamakan Tuhan dengan sifatnya. Dua-duanya ditolak dan dua-duanya
diterima dalam waktu yang bersamaan.
Sebelum
doktrin Asy'ariyah tentang sifat Tuhan itu diterima oleh kebanyakan orang
Sunni, termasuk Nahdlatul Ulama (NU), Abu Hasa al-Asy'ari dan pengikutnya
menjadi bulan-bulanan kedua kelompok yang berusaha dia kompromikan. Oleh
Mu'tazilah dia ditolak, oleh ulama salaf juga tidak disukai. Keduanya
sama-sama merasa tidak terwakili. Sampai abad ke 12 para pengikut
al-Asy'ari masih harus bertarung di jalan-jalan Baghdad melawan pendukung
Mu'tazilah dan pendukung ahli Hadits.
Bagaimana
Asy`ariyah sekarang bisa diterima oleh kebanyakan umat? Rahasia di balik
rumusan ajaranya mungkin bisa membantu untuk menjawabnya. Semangat dari
rumusan "Sifat Tuhan itu bukan Tuhan dan bukan juga bukan Tuhan"
adalah bahwa realitas Tuhan itu bukan seperti yang dijelaskan baik oleh
Mu'tazilah maupun oleh ahli Hadith. Definisi yang mereka rumuskan sama-sama
tidak mampu menghadirkan eksistensi Tuhan yang sebenarnya. Makanya ditolak.
Kalau
begitu, rumusan yang diajukan Asy`ariyah itu sesungguhnya bukan sebuah
definisi, tapi lebih berupa sebuah pengakuan yang tulus: pertama, pengakuan
terhadap usaha Mu'tazilah dan ahli Hadith untuk memahami realitas Tuhan;
kedua, pengakuan bahwa realitas Tuhan itu jauh lebih kompleks dari
deskripsi yang dibuat oleh Mu`tazilah dan oleh ulama salaf (dan oleh
manusia manapun).
Lalu
apa artinya menjadi pengikut Abu Hasan al-Asy'ari? Artinya berislam menurut
prinsip Abu Hasan: mengakui relativitas setiap deskripsi tentang Tuhan dan
ajaranNya, memberi hak kepada masing-masing kelompok pembuat deskripsi
tersebut untuk terus ada, dan menghindari ekstrimitas dalam berislam.
Posisi Abu hasan adalah posisi tengah, yang berusaha menjembatani berbagai
ekstrimitas berbagai pihak yang bersebrangan. Menjadi pengikut Abu Hasan adalah
memegang teguh prinsip ini. Persoalan-persoalan luar yang dia diskusikan
pada masanya, seperti persoalan Tuhan dan sifatNya, bagi Muslim sekarang
ada pada lapisan kedua. Mengajarkan teologi Asy'ariyah di lembaga-lembaga
pendidikan Islam, termasuk IAIN, harus dikonsentrasikan pada lapisan
pertama, pada lapisan prinsip. Langkah berikutnya adalah melihat lapisan
pertama tersebut dengan kaca mata awal Islam: Apakah dia punya dasar kuat
dalam al-Qur'an dan Hadith? Apakah ini posisi yang diambil Nabi?
Ilmu
Bantu
Islam
adalah agama Tuhan untuk manusia. Berasal dari Tuhan, Islam adalah agama
Tuhan. Buat manusia, Islam adalah agama manusia. Tuhan dan manusia adalah
dua realitas yang tidak bisa dipisahkan dari agama. Tanpa salah satunya
agama tidak akan ada.
Karakteristik
dua realitas ini sama sekali berbeda. Tuhan adalah realitas yang sangat
luhur dan tak terbatas. Manusia adalah realitas yang rendah dan penuh
dengan keterbatasan. Di wilayah Tuhan ada makna abadi. Tuhan menghendaki
supaya makna tersebut dipahami manusia. Supaya bisa dipahami, makna yang
ada di wilayah Tuhan tersebut harus direduksi sedemikian rupa sehingga
manusia mampu menangkapnya. Dengan kata lan, makna itu harus diperkecil,
dibuat miniaturnya, sebab kalau tidak begitu, manusia yang sangat terbatas
ini tidak akan mampu menangkapnya.
Islam,
dengan demikian, hanya bisa dipahami dengan baik manakala perhatian Muslim
ditujukan pada dua wilayah sekaligus: wilayah Tuhan dan wilayah manusia.
Ajaran-ajaran Islam yang ada di wilayah Tuhan perlu ditangkap dan dipahami,
dan ajaran Tuhan tersebut bisa ditangkap lewat wilayah manusia. Apa yang
ada di wilayah manusia adalah pintu masuk memasuki dunia langit. Agama,
kitab suci, Nabi adalah pintu memasuki dunia langit. Untuk memahami dunia
langit seseorang harus memahami dunia manusia, memahami kitab suci,
memahami Nabi. Tanpa pemahaman itu dunia langit tidak akan bisa ditangkap
dengan baik.
Oleh
karena agama pada dasarnya untuk manusia, maka sebagian kebenaran agama
juga ada pada manusia. Karena ada manusialah agama ada. Yang membenarkan
agama adalah manusia. Manusia demikian penting posisinya dalam agama. Dia
adalah titik temu antara dunia langit dan dunia bumi. Sebagai titik
pertemuan, manusia menjadi unik. Mengkaji keunikan manusia-dengan segala
produknya, termasuk budaya, tradisi, bahasa, ilmu pengetahuan dan
teknologi-adalah sebuah kemestian dalam memahami agama. Dalam rangka inilah
ilmu-ilmu seperti filsafat, sosiologi, antropologi, dan psikologi, menjadi
penting untuk dikaji di IAIN.
Ilmu-ilmu
sosial seperti itu bukan hanya baik untuk memahami Islam juga mutlak
diperlukan untuk menerapkan Islam. Agama Islam harus diterapkan dalam
tingkah laku. Karena itu dalam merealisasikan Islam umat Islam kontemporer
harus mengetahui diri mereka sendiri, kelebihan dan kekurangan mereka, apa
kemauan dan cita-cita mereka. Islam persis diturunkan untuk tujuan-tujuan
itu: membantu manusia untuk hidup makmur, adil, bahagia.
Penutup
Ditegaskan
bahwa masa klasik-masa yang membentang dari abad ke-1 H/ ke-7 sampai
jatuhnya Baghdad pada abad ke-7 H/ ke-13 M-adalah masa dimana dua peristiwa
penting terjadi. Pertama, diturunkannya wahyu secara sempurna ke dunia
lewat Nabi Muhammad; kedua, dilembagakannya wahyu tersebut dalam berbagai
mazhab yang dianut masyarakat Islam sekarang. Produk kedua peristiwa
tersebut-yaitu al-Qur'an, Hadith Nabi, Sirah (sejarah hidup Nabi), Maghazi
(sejarah peperangan Nabi) pada peristiwa pertama dan buku-buku yang ditulis
para imam mazhab dan pengikut mereka pada peristiwa kedua-beserta konteks
yang mengitarinya tersimpan dalam khazanah buku-buku yang sangat kaya.
Buku-buku tersebut mutlak diperlukan dalam keberagamaan masyarakat Muslim
sekarang. Baik kelompok yang ingin mengikuti warisan itu secara utuh (yang
ingin mengikuti al-Qur'an dan Hadith Nabi serta ajaran-ajaran para pendiri
mazhab sepersis mungkin) ataupun kelompok yang ingin mengikuti warisan
tersebut secara terbuka (mempelajari warisan tersebut lewat konteks yang
melahirkannya dan berusaha menarik semangat yang ada di balik ekspresi verbal
warisan tersebut kemudian menerapkannya kembali dalam konteks mereka yang
berbeda dengan ekspresi verbal bisa jadi berbeda) tidak mungkin melepaskan
diri dari khazanah klasik tersebut.
Dengan
kata lain, hanya lewat penguasaan tradisi klasik tersebutlah bangunan Islam
mungkin didirikan. Reinterpretasi, tajdid, gerakan Salafi,
kontekstualisasi, atau apapun bentuk gerakan yang muncul di masyarakat
Islam, hanya mungkin berdiri dengan kokoh kalau dia berakar kuat dalam
tradisi Islam klasik. Pilihan arah dan bentuk kajian Islam, baik di IAIN
maupun di lembaga-lembaga kajian Islam lainnya, harus berpijak pada tradisi
Islam klasik. Al-Qur'an, Hadith, dan karya-karya imam mazhab harus menjadi
pijakan.
Warisan
Islam klasik tersebut tentu harus dibaca dengan kreatif. Untuk itu
pemahaman tentang manusia-sebagai penerima dan pelaksana agama-beserta
produknya (budaya, ilmu, teknologi) mutlak diperlukan. Tuhan dan manusia,
langit dan bumi, seperti dua sisi mata uang dalam agama.
Pasted
From :
|