Pesantren
di Indonesia berhasil melakukan adaptasi dengan perubahan lingkungannya.
Kiprah komunitasnya seiring dengan tuntutan zaman, sesuatu yang berbeda
dengan sistem pendidikan Islam di beberapa negara (madrasah di Pakistan,
pondok di Malaysia). Dinamika mereka ditopang dengan dukungan masyarakat
dan pemerintah, yang peduli terhadap perkembangan pesantren. Beberapa
pengamat pesantren melihat sebagai suksesnya pesantren dalam menghadapi
tekanan luar, baik dari negara, masyarakat maupun global. Karl Steenbrink
dan Zamakhsyari Dlofier memandang dinamika komunitas pesantren dipengaruhi
beberapa aspek: sistem nilai pendidikannya yang fleksibel, kuatnya hubungan
elemen tradisi pesantren, dan kebebasan yang diberikan oleh negara terhadap
pertumbuhan lembaga pendidikan Islam. Dinamika ini berlangsung sejak masa
kolonial, dengan mulainya jaringan ulama melayu dan Arab.
Fondasi
perubahan pesantren tidak hanya dipengaruhi oleh Kyai, santri, dan
pesantren (masjid) (Geertz, 1971) tetapi juga telah digerakkan oleh elemen
eksternal: media, politik dan masyarakat sipil. Karena itu pesantren beradaptasi kedalam
tuntutan sosial Indonesia, dengan persoalan kompleks di level nasional dan global. Masyarakat pesantren
telah berkiprah dalam stabilitas internasional, dan rekonsiliasi regional.
Mereka telah terjun dalam memediasi persoalan dan konflik antara masyarakat
dan negara. Masyarakat petani, nelayan, buruh dan bahkan pelaku industri
menyerahkan peran komunitas pesantren sebagai wadah dan media rekonsiliasi
dengan pemerintah. Masyarakat petani Situbondo mendapat perlindungan dari
Pesantren Salafiah Syafi’iyah, yang melakukan advokasi atas hak-hak dasar
terhadap perusahaan perkebunan pemerintah. Proses rekonsiliasi juga diambil
alih oleh pesantren dalam konflik komunal di Jawa, Sulawesi Selatan, Nusa
Tenggara Barat dan tempat lain di Indonesia.
Kalau
dicermati secara historis, berdasarkan studi tentang sepuluh pesantren
dalam lima wilayah Indonesia, terdapat spektrum dinamika baru pesantren
yang tidak hanya didominasi oleh Pesantren mainstream yang didirikan sejak
abad 19 dengan karakter inklusif, akomodatif dengan tradisi lokal dan
terbuka dengan dialog-dialog antar iman, tetapi juga Pesantren jenis baru
yang memiliki kecenderungan berbeda dengan pesantren mainstream yang masih
mayoritas di Indonesia. Kecenderungan mereka radikal, eksklusif dan
non-akomodatif, bahkan lekat dengan gerakan kekerasan berlandaskan ideologi
agama. Peran aktif mereka dalam dukungan Jihad ke Maluku dan Poso, baik
melalui retorika dakwah maupun pengiriman sukarelawan “pejuang” melawan
Kristen Maluku dan Poso bertolak belakang dengan ide, argumentasi dan
gerakan pesantren mainstream. Guruta K.H. Ambo Dalle (alm.), dilanjutkan
dengan penerusnya K.H. Faried Wajedy, M.A., pengasuh DDI-AD Mangkoso, Kab.
Barru, Sulawesi Selatan menolak upaya pengiriman sukarelawan ke Poso dan
Maluku. Keduanya menekankan pentingnya aktualisasi doktrin bahwa Islam
mengayomi kedamaian alam semesta (Al-Islam Rahmatan Lil Alamin). Ini juga
menjadi dasar pemikiran bahwa pelaksanaan Syari’at Islam yang sedang trend
di Sulawesi Selatan senantiasa menghargai tradisi dan agama lain.
Argumentasi senada dilakukan oleh TGH Turmudzi, pengasuh Pesantren Bagu, NTT, yang telah
berupaya aktif menahan gelombang dukungan atas Tablig Akbar di Mataram,
yang kemudian menimbulkan kerusuhan Mataram pada 2000. Tablig ini mengajak
masyarakat Muslim Mataram untuk merespon terdesaknya Muslim Maluku dalam
kerusuhan 1999-2000. Tablig ini juga dilakukan oleh jaringan pesantren
non-mainstream di beberapa kota besar di Indonesia. Di Tasikmalaya, Jawa
Barat, mereka juga getol berdakwah untuk penggalangan dana dan sukarelawan
ke Maluku dan Poso. Tetapi mereka tidak direspon positif oleh Muslim
setempat. Mayoritas pesantren mainstream
bersama masyarakat Muslim tetap konsisten mengembangkan gerakan
kultural. Dalam penanggapi gagasan pelaksanaan syari’at Islam misalnya,
para Kyai dan komunitas pesantren melakukan gerakan Gerbang Marhamah.
Gerakan ini secara tegas berhadapan dengan gerakan destruktif Gerbang Malhamah.
Gerakan ini juga dilakukan di Situbondo, dengan keterlibatan komunitas
pesantren Salafiah Syafi’iyah Sukorejo, Kab. Situbondo dalam pendampingan
masyarakat petani. Kebijakan kultural dan konstruktif jaringan komunitas
pesantren mainstream ini sayangnya tidak didukung secara merata dengan
pesantren-pesantren lainnya. Komitmen mereka dalam mengembangkan
nilai-nilai dan kehidupan pluralisme baik dikalangan pesantren maupun
dengan masyarakat sekitar yang berbeda etnis dan agama perlu diperkuat dan
diperluas baik frekuensi maupun substansinya.
Kalau
disimpulkan, studi ini terbagi kedalam beberapa pokok pikiran sebagai
berikut. Pertama, terjadi proses dialogis antara komunitas pesantren dengan
tradisi lokal. Islam Indonesia merupakan manifestasi akhir dari akulturasi
antara tradisi Islam Arab dengan tradisi lokal. Tetapi proses evolutif ini
mendapat tantangan dari fenomena tumbuhnya pesantren baru yang cenderung
eksklusif, menolak dialogis antara Islam dan tradisi lokal. Kedua,
komunitas pesantren juga memiliki peran aktif dalam membendung derasnya
kerusuhan dan konflik yang terjadi sejak paruh akhir Orde Baru. Elit
pesantren melakukan upaya preventif dan rekonsiliasi antar komunitas
berbeda etnis dan agama di Situbondo, Tasikmalaya dan Mataram. Mereka juga
membendung emosi Muslim ketika berkembang retorika yang mengajak Jihad
melawan Kristen Maluku dan Poso. Upaya damai ini seringkali dimentahkan
oleh kebijakan kontraproduktif keamanan nasional dan sekelompok elit
politik yang memiliki interest tersendiri atas kerusuhan dan konflik ini.
Disamping semakin menguatnya pertumbuhan pesantren baru radikal yang
mengedepankan pendekatan kekerasan, dari pada upaya damai, dialogis dan
rekonsiliatif. Ketiga, jaringan komunitas pesantren juga telah
mengembangkan gerakan penyetaraan peran laki-laki dan perempuan melalui
pelembagaan gerakan masyarakat sipil. Lembaga non pemerintah (ornop) ini
menjamur, dan dipelopori oleh para alumni pesantren. Dalam observasi dan
interview di beberapa pesantren, diakui oleh para elit dan komunitas
pesantren bahwa keterbukaan dan kesadaran penyetaraan peran tidak dibarengi
dengan keseimbangan potensi SDM. Walaupun demikian, tradisi pemisahan
pesantren perempuan dan laki-laki yang selama berabad-abad terjadi di
pesantren memberi peluang bagi para santri putri dan asatizah (guru-guru
perempuan) untuk bersaing setara dengan santri putra. Tetapi mereka
mendapat tantangan atas tekanan budaya patriarkal yang mengakar tidak hanya
di pesantren, tetapi juga di banyak komunitas berbagai etnis di Indonesia.
Terakhir, komunitas pesantren juga menjadi basis gerakan pluralisme,
keberagaman etnis dan agama. Di masing-masing pesantren, para kyai
memainkan peran berbeda-beda dalam mengusung gerakan pluralisme ini. K.H.
Mahfuz, pengasuh pesantren Edi Mancoro Salatiga misalnya telah lebih dari
satu dekade mempelopori kesadaran hidup bersama dalam perbedaan teologis.
Gerakan ini dilakukan bersama dengan para tokoh non Muslim di Salatiga.
Kuatnya dukungan intelektual Muslim dan Kristen dalam gerakan ini
menciptakan kesinambungan dan kontinuitas. Kesadaran yang sama dilakukan
oleh para elit pesantren DDI Mangkoso, Sulawesi Selatan dan pesantren Bagu,
NTT. Keempat pola potensi jaringan komunitas pesantren ini akan menjadi
modal sosial untuk membangun kehidupan masyarakat Indonesia lebih dinamis
dalam kesadaran multikulturalisme.
Pola
tradisi, sikap dan gerakan jaringan komunitas ini mendapat tantangan serius
dari tekanan kekerasan dan radikalisme gerakan yang dilakukan oleh
milisi-milisi laskar sejak terjadinya kerusuhan antar komunitas berbeda
agama pasca runtuhnya Orde Baru. Euforia kebebasan ekspresi dalam periode
Reformasi memberi kesempatan bagi kelompok-kelompok militan ini untuk
berkampanye (baik lewat gerakan jalanan maupun mimbar-mimbar agama) dan
memobilisasi gerakan. Mereka tidak terkontrol akibat tiadanya instrumen
legal yang mengatur gerakan masif, khususnya berbasis ideologi agama.
Kontradiksi hukum ini diperparah dengan runtuhnya bangunan organisasi dan
jaringan gerakan reformasi, dan ketidakmampuan negara dalam membendung
derasnya perilaku korup dan disparitas sumberdaya legislatif. Peristiwa
yang menimbulkan terpecahnya sikap dan gerakan ini adalah munculnya
serangan terorisme pada 2001, yang menyudutkan komunitas Muslim.
Peristiwa
9/11 mengarahkan perhatian dunia terhadap masyarakat Muslim. Imej, brand,
dan cap atas kekerasan ini ditujukan kepada jaringan Jamaah Islamiah (JI)
yang dianggap bertanggungjawab atas peristiwa ini. Kemudian lebih spesifik
Muslim Indonesia setelah Bom Bali, Oktober 2002, bom BEJ Jakarta, bom
Makassar, bom Kuningan dan bom-bom lainnya. Peristiwa ini mempertanyakan
ulang peran lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia: Pesantren. Fakta
membuktikan bahwa banyak alumni pesantren yang terlibat aktif dalam gerakan kekerasan ini. Tetapi berdasarkan
riset lapangan selama dua bulan termasuk dibeberapa pesantren yang diduga
aktif dalam gerakan ini bahwa sikap militansi kekerasan oleh orang-orang
yang notabene disebut teroris tidak disebabkan dari sistem pengajaran dan
pendidikan pesantren. Mereka sangat kuat dipengaruhi oleh pengalaman
setelah selesai pendidikan di pesantren, baik di Malaysia, Afghanistan
maupun tempat dan kegiatan lain. Mereka juga mendapat inspirasi dan
kekuatan gerakan dari jaringan yang dibangun berdasarkan ikatan organisasi
dan gerakan tertentu. Diantaranya adalah ikatan jaringan veteran
Afghanistan. Pertukaran ide, gagasan dan pengalaman baru mereka di
Malaysia, Afghanistan dan bahkan di Mindanao, Filipina Selatan menciptakan
tradisi baru Islam yang cenderung pro-kekerasan. Generalisasi atas perubahan
komunitas pesantren yang dianggap lebih radikal sempat mencuat akibat
terjadinya kekerasan-kekerasan ini. Padahal, secara kualitatif dan
kuantitatif mereka adalah kelompok minoritas yang diuntungkan oleh keadaan
nasional yang tidak stabil secara politis dan ekonomis. Tentu saja,
mayoritas Pesantren tetap mengedepankan pendekatan evolutif dan damai.
Mereka telah berperan dalam menjaga kehidupan multikultural sejak awal
pendiriannya dan aktif dalam proses-proses rekonsiliasi dan dialog dalam
periode konflik dan kerusuhan. Tetapi dibutuhkan langkah-langkah strategis
untuk menopang peran-peran mayoritas pesantren ini.
Melihat
fenomena dinamika perubahan pesantren baik karena pengaruh jaringan maupun
tekanan nasional dan global, diperlukan langkah-langkah strategis. Pertama,
kebijakan makro nasional, regional dan global. Perlunya rekonstruksi
instrumen hukum yang adil, fair dan transparan atas tindakan kekerasan,
khususnya menyangkut kelompok masif agama. Tekanan global atas gerakan
kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok jaringan Muslim hendaknya tidak
menyudutkan masyarakat Muslim secara luas. Tentu saja, dibutuhkan upaya
kerjasama secara langsung antara lembaga-lembaga pendidikan Islam dengan
lembaga internasional. Kedua, perlunya pendidikan alternatif bagi pelajar-pelajar
dan komunitas pesantren dalam mengembangkan nilai-nilai pluralitas. Dan
ketiga, penguatan terhadap kualitas kurikulum dan sistim pendidikan sangat
dibutuhkan oleh pesantren, yang dalam jangka panjang akan meredam pengaruh
negatif bangkitnya gerakan-gerakan militan Islam.
Perlu
diperhatikan bahwa radikalisme tidak tumbuh karena pendidikan di pesantren
atau karena eksistensi alumni Timur Tengah. Pendidikan Islam, seliteral
apapun tidak akan mempengaruhi orang untuk menjadi radikal atau terlibat
dalam jaringan kelompok Islam militan, apalagi ikut dalam pemboman atas
nama Islam. Sejak abad 15, jaringan Ulama Nusantara dan Timur Tengah
melahirkan ulama, aktifis sosial dan intelektual. Dan tidak ada yang
terlibat dalam gerakan Islam radikal, hingga abad 20. Mereka yang terlibat
lebih banyak dipengaruhi pengalaman politik atau kekecewaan terhadap
kinerja ormas Islam. Mereka sebagian juga terinspirasi oleh kebijakan
Amerika Serikat dan sebagian negara Barat yang memiliki pola kebijakan yang
mereka klaim merugikan umat Islam. Antara lain kebijakan yang tidak
seimbang antara Palestina dan Israel. Pemihakan yang berlebihan terhadap
Israel sangat mengecewakan mereka. Di Indonesia, tumbuhnya gerakan radikal
dan milisi Islam juga dipicu oleh timbulnya konflik di Maluku dan Poso
sejak awal tahun 1999. Melalui pemberitaan yang provokatif dan informasi
beberapa korban yang mendapat kesempatan penggalangan solidaritas di
berbagai masjid dan majelis taklim di Jawa dan Sulawesi Selatan – ‘bahwa
Muslim terdesak oleh pasukan Kristen’ – maka secara spontan kelompok
solidaritas ‘Jihad’. Terbentuknya pasukan jihad ini mendapat momentum dan
sambutan meriah pada saat lemahnya posisi negara. Pemerintah dipandang
gagal dalam melindungi masyarakat di daerah konflik, dan dampaknya terjadi
penggalangan milisi keamanan sukarela.
Besarnya
antusiasme pemuda Muslim terhadap lahirnya Laskar Jihad di Yogyakarta dan
Laskar Mujahidin di Solo dan Jakarta, serta Laskar Jundullah di Sulawesi
Selatan, juga didorong oleh krisis moneter berkepanjangan. Banyak pemuda
penganggur akibat putus kerja yang mendaftar dalam milisi ini. Diantara
mereka bahkan baru belajar Islam secara intensive ketika masuk dalam
jaringan laskar ini. Mereka mencoba mencari pengalaman baru di Maluku dan
Poso. Kini pasca konflik, terutama di kota-kota besar – antara lain Kota
Ambon, Buru, Ternate, Poso- mereka berdagang dan bertani ditempat mereka
yang baru, sambil melanjutkan dakwah dan penyebaran agama.
Menuju
Perdamaian Regional: Reposisi Pesantren
Disamping
peran pesantren dalam perdamaian ditingkat lokal dan nasional, komunitasnya
juga merambah peran wilayah yang lebih luas. Dengan potensi SDM yang
semakin kuat akibat kesempatan pendidikan pasca pesantren, mereka telah
menjadi ’diplomat negara’ dalam mewujudkan cita-cita bangsa: mewujudkan kedamaian
dunia. Mereka telah mendapat kepercayaan untuk membantu negara-negara
tetangga untuk mengatasi konflik etnis dan agama, dan menyebarkan kesadaran
kedamaian melalui dialog antar iman. Beberapa alumni pesantren yang menjadi
kajian buku ini, telah berkiprah dalam intelektualisme di dunia global.
Misalnya, alumni Pesantren Al Mukmin Ngruki juga telah merambah profesi
lintas negara, sebagai jurnalis, akademisi dan sekaligus guru. Pesantren
damai ditebarkan melalui peran-peran sejenis ini. Secara lebih dinamis,
komunitas pesantren berbasis ormas Islam: Nahdlatul Ulama, mendapat peran
sangat strategis untuk menjembatani masyarakat Muslim Patani dan pemerintah
Thailand. Peran perdamaian di tingkat regional ini telah dilakukan
komunitas NU sejak puluhan tahun, tidak hanya di Asia Tenggara, tetapi juga
di Timur Tengah. Pertanyaan lebih spesifik adalah apakah peran damai
komunitas pesantren telah menciptakan dan mewarnai komunitas Muslim di Asia
Tenggara? Bagaimana peran mereka dalam jaringan ulama di Asia Tenggara dan
Timur Tengah yang terjalin sejak beberapa abad lampau? Pertanyaan ini akan
menggiring kita kedalam jejak historis bagaimana pembentukan komunitas
Muslim di wilayah Asia Tenggara sangat dipengaruhi oleh kiprah pesantren,
dan sangat berdampak terhadap perdamaian dan stabilitas di wilayah ini.
Demikian juga komunitas pesantren yang aktif di ormas Islam Muhammadiyah.
Selain memperkuat pendidikan dasar, menengah dan tinggi, ulama Muhammadiyah
juga aktif menebarkan perdamaian melalui pembangunan kesadaran hubungan
antar agama, dan dialog antar iman. Peran damai ini perlu dilacak dalam
sejarah bagaimana wilayah ini berbeda dengan Muslim di Timur Tengah.
Asia
Tenggara tempat berkembangnya peradaban Islam yang berbeda dengan Islam di
Timur Tengah. Islam mengalami adaptasi dan akulturasi dengan agama dan
tradisi lokal. Muslim di Asia
Tenggara memiliki karakter toleran, lembut dan budi luhur. Muslim di
wilayah ini seringkali disebut ’Malay Muslim’. Mungkin karena mayoritas
Muslim yang menyebar diberbagai negara di Asia Tenggara berbahasa Melayu.
Ini sebabkan oleh kelahiran atau jaringan pendidikan. Sejak puluhan tahun,
ratusan ulama dari Malaysia, Brunei dan Thailand pernah belajar di
pesantren atau madrasah di Indonesia. Ulama Indonesia juga menyebarkan
Islam di negara Asia Tenggara, antara lain Pesantren Lukmanul Hakim di
Johor yang menghebohkan itu, didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar
Ba’asyir. Banyak ulama muda dari berbagai negara di Asia Tenggara belajar
di pesantren ini. Meskipun akhirnya dibubarkan karena sebagian komunitas
pesantren ini dianggap terlibat dalam Bom Bali, 12 Oktober 2002.
Setidaknya, apabila dilihat dalam sejarah, banyak ulama besar Nusantara
menyebarkan pengaruh ke berbagai wilayah di Asia Tenggara. Jaringan ulama
Melayu ini menurut Azyumardi Azra (2003) telah eksis selama beberapa abad,
tidak hanya menjembatani ilmu Islam Arab dan Islam Nusantara, tetapi juga
menerjemahkan Islam dalam konteks masyarakat Melayu yang berbeda dengan
masyarakat Arab.
Beberapa
karakter penting Malay Muslim yaitu: pertama, ideologi pemikirannya Sunni
(Ahlussunnah Wal Jamaah) yang menekankan stabilitas dan keramahan dengan
warna ideologi lain. Dalam aspek politik Malay Muslim juga menebarkan aspek
kompromistis dan harmony. Tiga negara Malay Muslim: Indonesia, Malaysia dan
Brunei Darussalam adalah par excellence dari politik masyarakat Muslim
Melayu, yang mengutamakan kompromi, akomodatif dan mengedepankan
komunalisme-kekompakan atau di Indonesia disebut gotong
royong-kekeluargaan. Tradisi ini adalah produk dari adaptasi dan akulturasi
agama Islam Arab dan agama-budaya lokal Asia Tenggara yang menghasilkan
agama-tradisi baru: Muslim Melayu. Dua partai politik besar Muslim Melayu:
UMNO dan Golkar mencerminkan sikap adaptasi ini. Akomodatif dalam beragama
dan tetap menguasai politik ’persatuan’. Hal ini diperkuat dengan
eksistensi pemimpin kedua partai dalam kekuasaan tertinggi pemerintahan
masing-masing: Abdullah Badawi dan Yusuf Kalla.
Berbeda
dengan Muslim di Thailand dan Filipina yang mengalami guncangan terus
menerus. Dalam kondisi minoritas, mereka ’dipaksa’ untuk tunduk dalam
tradisi mayoritas yang didominasi oleh tradisi dan politik non Muslim.
Meskipun demikian kekuatan ’ulama melayu’ dikedua wilayah ini masih sangat
diperhitungkan. Karena itu, tidak
heran ketika Ulama NU diundang oleh Perdana Menteri Thaksin dan Raja
Thailand untuk menjembatani perpecahan (gap) antara pemerintah Thailand dan
Muslim Patani, Ulama NU melakukan pendekatan Islam Melayu. Mereka berhasil
menjembatani, dan membuat kemajuan untuk menyusun ulang Muslim Patani baru
dalam payung Pemerintah dan Raja Thailand. Pasca pemerintahan Thaksin,
perdana menteri Thailand yang baru pun mengajak Indonesia untuk membantu
penyelesain krisis di Thailand Selatan, dan tentu saja Menlu Hassan Wirayuda
mendorong KH Hasyim Muzadi untuk melanjutkan langkah-langkah yang pernah
dirintis. Pendekatan Melayu dalam rekonsiliasi ini akan sangat strategis,
tidak hanya menyatukan hubungan yang retak antara Muslim Patani dan
Pemerintah Thailand, tetapi juga revitalisasi pendidikan Islam melayu yang
mulai hilang akibat penetrasi tentara Thailand, dan semakin kuatnya
pengaruh Wahabi dalam pengajaran dan pendidikan madrasah di Thailand
Selatan. Hal yang sama, juga menjadi fenomena di Filipina-yang barangkali
lebih sulit karena lebih jauh dari tradisi Melayu.
Sedangkan
Muslim Singapura tidak mengalami tekanan seperti di Thailand dan Filipina,
meskipun sama-sama minoritas. Kemajuan ekonomi dan kokohnya pemerintahan
Singapura memberi kesempatan yang luas bagi Muslim Singapura yang mayoritas
Muslim Melayu untuk maju bersaing dengan etnis lain, khususnya China dan
India. Tradisi melayu tetap hidup di Singapura, dan membentuk koloni
–masyarakat Melayu Singapura- yang tumbuh nasionalisme dibawah Negara
Singapura yang kaya. Banyak tokoh Muslim Singapura yang berhasil menjadi
pengusaha, politisi dan intelektual ternama, mampu bersaing dengan etnis
China yang dominan dan India. Muslim Melayu Singapura tidak hanya damai
karena kemakmuran dan tingkat pendidikan yang merata, tetapi khususnya
terjaganya tradisi Melayu dalam masyarakat.
Muslim Melayu Singapura menjaga toleransi dan perdamaian dengan
dominasi masyarakat Chinese Singapura dan India.
Tantangan
Baru
Tradisi
damai dan komitmen dalam menjaga toleransi dan kerjasama Malay Muslim di
Asia Tenggara dalam satu dekade terakhir mendapat tantangan kuat, akibat
derasnya tradisi Wahabi dalam pendidikan Islam di Asia Tenggara, dan
khususnya tekanan global atas klaim tumbuhnya gerakan terorisme di Asia
Tenggara. Tulisan Sidney Jones tentang Jamaah Islamiah (JI), Rohan
Gunaratna dalam Inside Alqaidah, dan terutama setelah terbitnya karya Nasir
Abbas tentang JI mengguncang ulama
di Asia Tenggara, bagaimana bisa gerakan radikalisme dan terorisme bisa
berkembang dalam alam Muslim Melayu? Seolah mereka ’kecolongan’ atas
eksistensi gerakan ini. Ini menjadi tantangan baru, bagaimana tradisi Malay
Muslim dilakukan revitalisasi dalam pendidikan, politik dan budaya agar
bisa memenuhi tuntutan masyarakat baru Asia Tenggara, yang sedang survive
dalam tekanan ekonomi global. Trauma krisis ekonomi belum pulih dalam
kehidupan masyarakat, dan ini akan mudah dimasuki oleh tradisi baru yang
menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Jihad yang dulu di pesantren dan
madrasah memiliki makna luhur, menciptakan kedamaian dan kemajuan dalam
masyarakat, kini mendapat nuansa dan interpretasi baru dengan kekerasan dan
perang. Tantangan juga semakin berat dengan trend politisasi regulasi
syari’at Islam, yang jauh dari nilai-nilai dan kebiasaan Muslim Melayu yang
tidak suka atas formalisasi Islam. Muslim Melayu menyajikan Islam secara
substantif dan kultral. Budaya hedonis politisi yang pragmatis ini akan
menjadi bumerang bagi masa depan Muslim di Asia Tenggara dalam jangka
panjang. Muslim Indonesia yang dulu dilihat damai dalam beribadah dan
bermuamalah (termasuk bersiasah), kini dilihat oleh Muslim Malaysia dan
Singapura sebagai saudara tua yang berubah dan nampak menegangkan (kalau
tidak menakutkan). Semakin pudarnya tradisi Muslim Melayu dalam paruh kedua
dekade terakhir membutuhkan daya juang dan pikir serius bagaimana upaya
revitalisasi dan refleksi atas pengembangan pendidikan dan dakwah yang
lebih humanis dan toleran. Kedamaian tradisi Malay Muslim harus
dikembalikan, dengan kerjasama yang kuat antara Ulama dan Umara. Ini akan
mencipkan wilayah yang damai dan makmur, gemah ripah loh jinawi, toto
tentrem karta raharja, Baldatun Tayyibah Wa Rabbun Gafur.
Badrus Sholeh* dan Abdul Mun’im DZ**
*Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, UIN
Jakarta, dan Peneliti Pusat Studi Perdamaian LP3ES Jakarta.
**Direktur NU Online, dan Peneliti Senior
CESDA-LP3ES Jakarta.
Pasted From :
http://alamsyahdjafar.wordpress.com/2009/07/14/memahami-gerakan-islam-transnasional-sebuah-pengantar/
|