Teladan Imam Malik: Ulama
Yang Toleran dan Kritis Pada Penguasa
“Manakala kamu menemukan pendapatku keliru, maka tinggalkan ia dan
buanglah jauh-jauh. Dan manakala kamu menemukan pendapatku benar maka
ikutilah apa yang aku ikuti. Jangan mengikuti aku.” (Imam Malik)
Pernyataan
di atas dikemukakan oleh Imam Malik, ulama penggagas salah satu madzhab
besar di kalangan Islam Sunni, madzhab Maliki. Beliau adalah guru Imam
Syafi’i, yang pandangan dan madzhabnya banyak diikuti umat Islam Indonesia.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa meski beliau dikenal sebagai ulama
besar di zamannya dan memiliki otoritas sebagai Imam Madzhab, Imam Malik
tidak memaksakan pandangannya, tidak merasa bahwa pandangannya adalah yang
paling benar, sementara yang lain pasti salah.
Ketika
khalifah Al-Manshur ingin menetapkan kitab Al-Muwatha, karya utama Imam
Malik, sebagai pegangan utama dan dasar perundang-undangan di Negara Islam
saat itu, Imam Malik melarangnya. Beliau menolak penyatuan pemahaman
keagamaan ini dengan mengutip hadits yang menyatakan bahwa perbedaan
pandangan di antara umat Islam adalah rahmat. Penolakan Imam Malik atas
penyatuan paham keagamaan oleh pemerintah dengan menggunakan karyanya
Al-Muwatha, menyiratkan sikap muru’ah dan istiqamahnya. Sebagai
ulama dan fuqaha besar pada zamannya, beliau tidak mau memberangus
perbedaan-perbedaan pandangan yang ada dan berkembang di masyarakat, meski
hal itu dikehendaki penguasa.
Sikap
toleran dan menghargai perbedaan yang dimiliki Imam Malik, juga diikuti
oleh muridnya, Imam Syafi’i. Sebagai murid, Imam Syafi’i sering berbeda pandangan
dengan Imam Malik. Namun demikian, hubungan mereka sebagai guru dan murid,
tetap terjaga dengan baik. Membiarkan dan memberi ruang bagi para murid
untuk berbeda pandangan dengan guru, adalah salah satu sikap toleran yang
dicontohkan Imam Malik. Sementara Imam Syafi’i juga menyatakan bahwa “Ra’yi
shawab yahtamil al-khatha’ wa ra’yu ghairi khatha’ yahtamil al-shawab
(pendapatku memang benar, tetapi mengandung kemungkinan salah. Dan pendapat
orang lain memang salah, tetapi mengandung kemungkinan benar).”
Imam Malik: Ulama Besar pada Masanya
Imam Malik
sendiri bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir
bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi. Beliau
lahir di Madinah pada tahun 93 H/712 M dan wafat tahun 179 H/796 M dari
keluarga Arab terhormat. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah
nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu
Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2
H. Saat itu, Madinah adalah kota ‘ilmu’ yang sangat terkenal.
Kakek dan
ayahnya termasuk ulama hadits terpandang di Madinah. Karenanya Imam Malik
menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Ia juga berguru
pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az
Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad
bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi’in ahli
hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi
Rayi.
Di usia
muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu
menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak
kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al
Ma’mun, pernah jadi murid Imam Malik. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun
menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya.
Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300
orang.
Tegas dan
Kritis Terhadap Penguasa
Imam Malik
adalah sosok yang tegas dan kritis terhadap penguasa. Pernah suatu kali
Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam
marah dan berkata, ”Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.”
Ketegasan
sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada
keinginan penguasa yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik
menentang tanpa takut risiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja’far,
gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah
Abbasiyah, Al-Mansur, meminta seluruh penduduk Madinah melakukan bai’at
kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun
merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai’at kepada khalifah yang
mereka tak sukai.
Ia pun
mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai’at tanpa keikhlasan
seperti tidak sahnya perceraian dengan paksaan. Ja’far meminta Imam Malik
tak menyebarluaskan pandangannya tersebut, tetapi ditolaknya. Gubernur
Ja’far merasa terhina sekali. Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum
dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi berlumuran darah, sang imam
diarak keliling Madinah dengan untanya.
Khalifah
Mansur tidak berkenan dengan tindakan keponakannya itu. Khalifah mengirim
utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf
kepada sang Imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik
bermukim di Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah
mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan sang Imam. Namun Imam
Malik menolak undangan tersebut.
Dalam
sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid
(penguasa saat itu), tertarik mengikuti ceramah Imam Malik. Untuk hal ini,
khalifah mengutus orang memanggil Imam. Menjawab panggilan penguasa, Imam
Malik mengatakan dengan tegas, ”Rasyid, leluhur Anda selalu melindungi
pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda
tidak menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia
yang mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia”. Mendengar
itu, khalifah ingin jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu
diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ”Saya tidak
dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.”
Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah dan duduk bersama dengan
rakyat kecil.
Bercermin
pada Sejarah Islam
Dari
sejarah Islam, kita tahu bahwa banyak ulama dan bahkan Nabi Muhammad saw
sendiri diceritakan sebagai pribadi yang tegas dalam menyampaikan kebenaran
dan kritis pada kedzaliman, meskipun itu datang dari penguasa.
Dalam
sejarah Islam juga kita ketahui bahwa sikap toleran dan menghargai
perbedaan sesungguhnya bukan hanya dicontohkan Imam Malik dan Imam Syafi’i
saja. Para ulama sejak dahulu menghargai perbedaan pandangan yang ada
dengan sikap penuh toleransi. Banyak sekali kitab-kitab fikih perbandingan
yang ditulis secara khusus untuk mengulas berbagai perbedaan pandangan yang
ada. Sebut saja misalnya, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-’Arba’ah karya
Abdur rahman al-Jazairi, Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd dan
banyak lagi yang lain. Penulisan kitab-kitab itu antara lain diniatkan
supaya kita dapat memahami kenyataan adanya perbedaan-perbedaan itu dengan
penuh lapang dada. Sebagai umat Islam, sebenarnya kita telah diberi
pelajaran berharga, bagaimana menyikapi perbedaan dalam bingkai toleransi
dan saling menghormati satu sama lain.
Tetapi
kenyataannya, kenapa sikap toleran dan menghargai perbedaan belakangan
mendapatkan banyak rintangan dan hambatan. Bahkan ironisnya, terkadang
sikap toleran dan menghargai keragaman ini dipandang sebagai sesuatu yang
berasal dari luar ajaran dan sejarah Islam. Mestinya kita banyak belajar
dari ajaran dan sejarah Islam yang otentik yang sangat toleran dan menjunjung
perbedaan. Wallahu a’lam bi al-shawab. Penulis Ali Mursyid, dosen UIN
Syarif Hidayatullah dpk di IIQ Jakarta
|