Fakhruddin ar-Râzi (544 – 606 H).
Siapa yang tidak kenal dengan tokoh ini. Ia adalah salah satu mufasir
kondang yang hidup di abad ke-6 Hijriah. Ia adalah seorang tokoh yang
berhasil mendokumentasikan sekian banyak “persoalan” kaunîyah
(kealaman) dalam karya monumentalnya, at-Tafsîr al-Kabîr atau
Mafâtih al-Ghaib. Kendati demikian, di balik ketenaran
dan kepiawaiannya dalam menulis tafsir ini, sebagian kalangan mengkritisi
bahwa kitab tersebut banyak mengandung persoalan.
Tulisan ini tidak berpretensi untuk
menggugat atau mencounter pendapat yang di atas, tapi hanya ingin
mengeksplorasi secara agak mendalam tentang data-data dan terminologi yang
dihadirkan oleh mufassir kabîr yang kerap disebut dengan Ibnu Khatib
Ar-Raî ini.
Poin pertama yang ingin penulis
sampaikan adalah tentang kata “masalah” yang sering dipakai oleh Ar-Razi
dalam tafsirnya. Terminologi ini oleh sebagian kalangan dipahami sebagai
salah satu indikasi bahwa tafsir yang ditulis Ar-Razi adalah tafsir yang
penuh “masalah,” sebab kata masalah –menurut mereka- adalah personifikasi
dari persoalan kelam atau problematika yang lazim dihadapai manusia sebagai
bentuk dialektika kehidupan.
Tentu pendapat di atas tidak
selamanya tepat. Sebab terminologi “masalah” ternyata tidak selalu identik
dengan sebuah kesalahan atau catatan hitam perjalanan sejarah. Istilah fîhi
masâ’il (di dalamnya terdapat beberapa masalah) yang sering
dipakai Ar-Razi saat membuka tafsirnya tidak berarti bahwa di dalamnya
terdapat persoalan dan problematika kelam kehidupan.
Perkataan Ar-Razi ini tidak berangkat
dari ruang kosong dan hampa. Tapi, terminologi yang ia pakai terkonsruk di
atas epistemologi yang cukup kuat dan akurat. Menurutnya, kata masâ’il
adalah kata yang mampu merengkuh “semua” hal yang berkaitan dengan sebuah
ayat. Dengan kata masâ’il, Ar-Razi sebenarnya ingin menyampaikan
kepada pembaca bahwa sebuah ayat memiliki sekian banyak kandungan dan
hikmah. Al-Qur’an tidak hanya berisi tentang keindahan bahasa, hukum
jurisprudensi, kesehatan dan filsafat saja, tapi juga teori-teori ilmiah.
Karena itulah Ar-Razi memilih terminologi “masalah” dalam menafsirkan
ayat-ayatnya.
Ar-Razi adalah sosok cendekiawan luar
biasa yang mampu menguasai dua bahasa sekaligus; Arab dan Persia. Di
samping itu, kecerdasan, kemauan dan usahanya yang cukup tinggi mampu
mengantarnya ke puncak dunia intelektual. Sehingga tak berlebihan, jika
sejarah mencatatnya sebagai tokoh pembaharu babak ke-2 pada abad VI H.
pasca Hujjatul Islam Al-Ghazali. Kondisi sosio-kultiral dan politik waktu
itu mempunyai peran cukup signifikan dalam pembentukan karakter Ar-Razi
sebagai ilmuan terkemuka. Tak heran jika berbagai macam disiplin ilmu dapat
ia kuasai dengan baik dan matang. Sebut saja mislnya, filsafat, kedokteran,
sastra, fikih, usul fikih, kalam, tafsir dan masih banyak lagi.
Kepiawaiannya dalam berbagai disiplin
ilmu inilah yang memberikan warna tersendiri dalam tafsirnya, Mafâtih
al-Ghaib. Berbagai hal yang dianggapnya mempunyai nilai inherensi
dengan sebuah ayat, akan ditulis dan dimasukkan dalam pembahasan tafsirnya.
Kenyataan semacam ini ternyata membuat “gerah” sebagian kalangan. Tak kaget
jika kemudian Ibnu Taimiyah misalnya, mengatakan bahwa “dalam tafsir
tersebut terdapat berbagai macam hal kecuali tafsir.”
Taimiyah ini ternyata dibangun di
atas frame sinisme yang berlebihan terhadap filsafat. Taimiyah dalam
berbagai kesempatan banyak mengecam filsafat, terlebih filsafat yang
diterapkan dalam ranah kajian tafsir Al-Qur’an. Tapi, sikap “kebencian”
terhadap filsafat ini membuatnya “terjerumus” dalam pengakuan yang luar
biasa terhadap teori nazhariyah al-faidh (teori emanasi). Sebuah
teori filsafat yang keabsahannya masih diperdebatkan oleh banyak
cendekiawan.
Kontan saja, pernyataan Ibnu Taimiyah
itu menuai protes luar biasa dari banyak kalangan. Sebut saja misalnya, Abu
Hasan Ali As-Subki. Dengan tegas ia menyanggah statemen Ibnu Taimiyah
seraya berkata; “tidak demikian, sungguh di dalam tafsirnya (mafâtih
al-ghaib) termuat semua hal termasuk tafsir.”
Pernyataan Subki ini, sedikit banyak,
mampu menjadi sumber inspirasi bagi para pengkaji Ar-Razi sesudahnya.
Sehingga tidak sedikit orang yang mengatakan bahwa tafsir Ar-Razi adalah
rangkuman perjalanan ilmiah yang sarat dengan makna dan hikmah.
Hal lain yang menarik dari tafsir
Ar-Razi adalah, pembahasannya yang mendalam tentang bahasa dan sastra
Al-Qur’an. Ar-Razi selalu menyampaikan bahwa satu kata dalam Al-Qur’an
tidak saja mengandung satu model pembacaan. Tapi terkadang ada juga yang
dua, tiga, empat, bahkan ada yang sampai tujuh bacaan. Belum lagi
masalah-masalah gramatikal dan derivasi kata yang dengan apik dan gamblang
dapat ia eksplorasikan dengan mengetengahkan beberapa diskursus yang tengah
berkembang di zamannya.
Dalam konteks ini, Ar-Razi banyak
berhutang budi kepada tokoh-tokoh muktazilah seperti Quthrub (w.206 H.),
Al-Akhfasy (w.215 H.), Al-Juba’i (303 H.), Abu Hasyim (w. 321 H.),
Al-Qaffal II (w. 365 H.), Qadhi Abdul Jabbar (w. 415 H.), Abu Muslim
Al-Asbihani (459 H.) dan Az-Zamaksyari (w. 538). Nama yang terakhir disebut
ini merupakan tokoh “idola” yang sering dirujuk oleh Ar-Razi dalam
tafsirnya. Bahkan dalam banyak kesempatan Ar-Razi menukil perkataan
Zamakhsyari tanpa merubah sedikitpun.
Ketika Ar-Razi melewati ayat-ayat
yang berbicara tentang alam. Secara sepontan ia mengetengahkan
temuan-temuannya tentang teori ilmiah. Hampir semua ayat yang berbicara
tentang ayat kauniyah berhasil ia eksplorasi dengan gamblang dan jelas.
“Ulah” Ar-Razi inilah yang kemudian mengilhami beberapa pengkaji Al-Qur’an
kontemporer tentang konsep tafsir ilmi atau i’jâz ilmi.
Sebagai seorang pemikir berdarah
Asy’arian, Ar-Razi dalam tafsirnya juga banyak berbicara tentang pergulatan
pemikiran yang berkembang pada masa itu. Kebiasaan Ar-Razi adalah
mengetengahkan opini yang berseberangan dengan madzhab yang diimaninya.
Kemudian “membantai” opini tersebut dengan logika filsafat ketuhanan dan
ilmu kalam Asy’arian. Di antara kelompok yang menjadi bulan-bulanan Ar-Razi
adalah Muktazilah, Karramiyah, Syi’ah, Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah dan
masih banyak lagi.
Kemampuannya dalam menyusun logika
pikir dalam bentuk premis mayor dan minor menjadikan argumentasinya mudah
dicerna dan diterima. Sehingga dalam banyak kesempatan Ar-Razi selalu
menang atas lawan-lawannya. Bahkan, karena kemenangannya itulah Ar-Razi
mendapat kecaman dan ancaman luar biasa dari kelompok Karramiyah. Alkisah,
kelompok inilah yang menjadi penyebab wafatnya. Ia meninggal sebab sebuah
gelas berisi racun mematikan. Sungguh pertempuran yang sadis dan
menyedihkan!
Kendati demikian kuat sisi
intelektual dan filsafatnya, Ar-Razi memiliki karakteristik yang hampir
mirip dengan Al-Ghazali. Dalam akhir hayatnya, Ar-Razi banyak mendalami
ilmu-ilmu hikmah dan sufistik. Walaupun tidak sempat terbukukan secara
sempurna, kehidupan sufistik Ar-Razi dapat dilihat dari puisi dan prosa
serta syair yang sempat ia tulis menjelang detik-detik akhir hayatnya.
Sebuah tulisan yang dikenal dengan sebutan “nûniyah” adalah kumpulan syair
Ar-Razi yang berisi tentang penyerahan diri dan pengakuan atas kebesaran
dan keagungan Tuhan.
Niat yang benar dan dibarengi dengan
pembacaan kritis dan mendalam terhadap apapun disiplin pengetahun, akan mampu
mengantarkan seseorang kepada titik “kebenaran.” Inilah mungkin yang
disebut dengan teori titik balik pemikiran! Sebuah titik dimana seseorang
akan kembali kepada fitrah kemanusiaan seraya mengakui akan keagungan dan
keesaan Tuhan. By : M.
Ulinnuha Khusnan
|