Hijrah
Sebuah Strategi Membangun Peradaban
Oleh: M. Ulinnuha Husnan
Gegap gempitan peringatan tahun baru Islam masih terasa begitu lekat
dalam jiwa umat Islam. Betapa tidak, tahun baru Islam merupakan saksi bisu
atas terjadinya peristiwa bersejarah belasan abad silam. Sebuah peristiwa
yang mampu menghentakkan mayapada, sebuah peristiwa yang mampu
membangkitkan semangat perjuangan, dan sebuah peristiwa yang menjadi
penentu keberhasilan sebuah misi besar kerasulan Muhammad SAW.
Berbagai upacara peringatan tahun baru digelar di seantero dunia,
termasuk di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sebagian
ada yang menggelar peringatan di masjid-masjid dengan mengadakan muhâsabah
(introspeksi diri) dan pengajian, sementara di tempat-tempat tertentu
seperti di Keraton Yogyakarta, Surakarta, Banyuwangi, dan beberapa tempat
lain di pesisir pantai utara diselenggarakan ritual-ritual yang selalu
diselenggarakan setiap tanggal 1 Muharram, atau dalam istilah Jawa disebut
dengan 1 Suro.
Kendati upacara yang digelar sangat meriah dan bervariatif, namun tidak
sedikit umat Islam yang belum sadar–untuk tidak mengatakan tidak tahu--apa
sejatinya rahasia dibalik pemilihan Muharram sebagai bulan pertama dalam
kalender Hijriyah. Mengapa Umar bin Khattab dan para sahabat tidak
menjatuhkan pilihan mereka kepada bulan-bulan lain seperti Ramadhan, Rajab
dan Syawal sebagai awal kalender Hijriyah.
Setidaknya ada satu alasan mendasar mengapa Muharram menjadi pilihan
Umar ketika itu. Di bulan ini telah terjadi peristiwa yang sangat
monumental dalam perjalanan sejarah umat manusia. Peristiwa itu adalah
hijrah Nabi Muhammad Saw dari Makah ke Madinah. Peristiwa hijrah ini
diabadikan oleh Allah dalam QS. At-Taubah [9]: 40.
Hijrah Nabi Saw merupakan peristiwa sangat heroik dan fenomenal. Dalam
hijrah, Nabi yang ditemani sahabatnya, Abu Bakar, tampil sebagai pemimpin
yang sukses mencipta strategi pemikiran dalam memecahkan situasi yang
sulit. Husein Haikal dalam bukunya, Hayât Muhammad (1972)
bahkan menilai hijrah sebagai sebuah kisah yang paling cemerlang dan
menakjubkan yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh
bahaya, demi kebenaran, keyakinan dan keimanan.
Senada dengan Haikal, Ismail al-Faruqi juga menegaskan bahwa hijrah
merupakan langkah awal dan paling menentukan untuk menata masyarakat muslim
yang berperadaban. Jadi, hijrah bukanlah pelarian untuk mencari suaka
politik atau aksi peretasan keperihatinan karena kegagalan
mengembangkan Islam di Mekah, melainkan sebuah praktis reformasi yang
penuh strategi dan taktik jitu yang terencana dan sitematis. Tegasnya,
substansi hijrah merupakan grand strategy dalam membangun peradaban
Islam.
Dalam catatan sejarah umat manusia, hijrah ternyata tidak hanya terjadi
strategi dakwah Nabi Muhammad Saw saja, tapi juga menjadi strategi dakwah
nabi-nabi sebelumnya. Sebut saja misalnya Nabi Musa As. Nabi Musa pernah
menggunakan strategi ini untuk keluar dari cengkraman raja tiran Fir’aun.
Meskipun hijrah Muhammad Saw dan Musa As terjadi dalam rentang waktu yang
berbeda, tetapi sesungguhnya misi yang diemban keduanya adalah sama yakni
untuk mengentaskan manusia dari ketertindasan dan keterpurukan menuju
masyarakat yang maju dan berperadaban penuh dengan cahaya keimanan. Dalam
al-Qur’an hal ini diungkapkan dengan redaksi min azh-zhulumât ila an-nûr
(dari kegelapan menuju cahaya).
hijrah Muhammad Saw diungkapkan dalam firman Allah Swt: ”(Ini
adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia
dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang...” (QS. Ibrâhîm [14]:
1).
Ayat di atas memberikan gambaran yang sangat jelas tentang misi yang
diemban Rasulullah Saw, yakni ikhrâj an-nâs min azh-zhulumât ilâ an-nûr.
Jika hal ini dibandingkan dengan misi hijrah Nabi Musa, maka akan ditemukan
titik persamaan yang begitu menakjubkan. Misi hijrah dan dakwah yang
diemban kedua nabi ini diungkapkan oleh al-Qur’an dengan redaksi yang
sangat indah.
Terkait dengan misi Musa As, Allah Swt berfirman: ”Dan sesungguhnya
Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami
perintahkan kepadanya): "Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada
cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari
Allah". Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.” (QS.
Ibrâhîm [14]: 5)
Setidaknya ada dua poin penting yang dapat diambil dari ayat di atas. Pertama,
Tuhan memerintahkan Nabi Musa untuk mengeluarkan kaumnya dari kesesatan dan
kegelapan (azh-zhulumât) menuju cahaya keimanan (an-nûr).
Sungguh indah redaksi yang digunakan al-Qur’an ketika menceritakan
peristiwa bersejarah itu. Ia ungkapkan dengan redaksi azh-zhulumât
(bentuk jamak) dan an-nûr (mufrad). Jika diperhatikan, sejatinya
redaksi tersebut sama persis dengan redaksi ayat sebelumnya (Ibrahîm [14]:
1) yang menjelaskan misi dakwah Rasulullah Saw.
Dalam kaidah tafsir dikatakan bahwa kata yang diungkapkan dengan bentuk
jamak mengandaikan makna yang banyak dan beragam. Sebaliknya, bentuk mufrad
meniscayakan kesatuan dan ketunggalan. Ini berarti bahwa kesesatan,
kelaliman dan bentuk siksa yang dilakukan raja Fir’aun kepada Nabi Musa dan
kaumnya sangatlah beragam. Tidak hanya penyiksaan dalam bentuk fisik, tapi
juga dalam ranah psikologis. Oleh sebab itu, Tuhan memerintahkan Nabi Musa
agar segera berhijrah membawa kaumnya keluar dari tirani Fir’aun menuju
sebuah tempat yang aman penuh cahaya (nûr) ketuhanan. Sebuah cahaya
yang terang benderang dan sarat dengan kemuliaan, kehormatan dan
ketentaraman dalam rangka menegakkan panji-panji ketauhidan. Kata an-nûr
–dengan bentuk mufrad- di sini menunjukkan bahwa cahaya yang benar dan
mampu mengantarkan umat manusia ke titik kebahagiaan hanyalah ada satu,
yaitu cahaya ketuhanan yang berupa keimanan dan ketauhidan.
Kesamaan redaksi antara QS. Ibrahîm [14]: 1 dan 5 (azh-zhulumât
dan an-nûr), maka ini berarti bahwa apa yang dialami Nabi Muhammad
Saw dan Nabi Musa As beserta kaumnya sama-sama berat. Kendati zaman dan
bentuk kezhaliman yang menimpa keduanya berbeda, namun secara esensial,
sesungguhnya ujian dan cobaan yang dialami keduanya sama. Dan tujuannnya
pun sama yaitu menuju nûr ilahi berupa mengesakan dan beribdah
kepada Allah Swt.
Kedua, mengingat hari-hari Allah (ayyâmillâh). Keberhasilan Nabi Musa
dan kaumnya keluar dari cengkraman Fir’aun dan balatentaranya merupakan
nikmat yang sangat besar. Tidak berlebihan bila Nabi Musa memerintahkan
kaumnya agar selalu mengingat hari-hari kemenaagan itu. Al-Qur’an
mengungkapkannya dengan redaksi ayyâmillâh (hari-hari Allah).
Mungkin timbul pertanyaan dalam benak seseorang; kenapa redaksi yang
dipakai ayyâmillâh, bukankah semua hari adalah milik Allah? Ketika
sebuah objek dikaitkan dengan nama Allah, sesungguhnya menunjukkan bahwa
objek tersebut memiliki kelebihan dan keistimewaan tersendiri. Kata Baitullah,
Syahrullah misalnya, menunjukkan bahwa rumah dan bulan tersebut
memiliki keistimewaan lebih bila dibandingkan dengan rumah dan bulan yang
lainnya.
Redaksi ayyâmillâh menegaskan bahwa pada hari-hari tersebut
telah terjadi peristiwa yang sangat monumental. Sebuah peristiwa yang mampu
membuka mata Fir’aun, tentaranya, dan bahkan umat manusia secara universal
tentang keagungan kekuasaan Allah Swt. Setidaknya ada dua alasan pokok
kenapa Nabi Musa perlu mengingat ayyâmillâh: (1) sebagai wahana
instrospeksi diri atas semua peristiwa buruk yang menimpa diri dan kaumnya
ketika berada di bawah tirani Fir’aun. (2) sebagai refleksi rasa syukur
atas semua nikmat yang diberikan Allah kepadanya. Di antara nikmat itu
adalah diturunkannya al-manna dan as-salwâ, berubahnya lautan
menjadi daratan, dan sebagainya.
Dalam konteks ini, tak berlebihan bila kemudian al-Qur’an menutup ayat
di atas dengan redaksi: ”Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak
bersyukur.” Kata shabbâr menunjukkan bahwa hari-hari yang
dilalui Nabi Musa dan kaumnya adalah hari-hari yang menyedihkan dan
menyengsarakan. Karena itu mereka harus bersabar. Sementara kata syakûr
mengisyaratkan bahwa pada zaman itu ada pula hari-hari yang penuh dengan
kenikmatan dan kebahagiaan. Karena hari-hari itu patut disyukuri.
Kenapa dua kata di atas diungkapkan dengan redaksi hiperbolis (mubâlaghah)
yakni shabbâr dan syakûr, bukan dengan redaksi shâbir
dan syâkir? Redaksi shabbâr dan syakûr meniscayakan
adanya sikap konsistensi dan keyakinan yang paripurna. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa orang-orang yang mampu mengambil pelajaran dan melalui
cobaan adalah mereka yang memiliki sikap sabar dan syukur secara konsisten.
Redaksi itu seakan-akan mengisyaratkan bahwa dua sikap mulia ini harus
menginternal dan menjadi karakteristik bagi setiap mukmin yang ingin
mendapatkan keberhasilan dan kebahagiaan dalam hidupnya.
Nikmat yang sangat besar itu tentu tidak boleh hilang dan lewat ditelah
zaman. Oleh sebab itu, sebagai bukti rasa syukur atas ayyâmillâh
itu, Nabi Musa pun memperingatinya setiap tahun dengan cara berpuasa pada
tanggal 10 Muharram, atau biasa dikenal dengan sebutan puasa ’Âsyûrâ’.
Syari’at berpuasa ’Âsyûrâ’ ini kemudian terus berlanjut dan diabadikan oleh
kaum Yahudi sampai datang Nabi Muhammad Saw. Ketika Nabi Saw datang di
Madinah, beliau bertanya kepada kaum Yahudi tentang alasan mereka berpuasa
’Âsyûrâ’. Mereka menjawab: ”Hari ’Âsyûrâ’ adalah hari yang sangat monumental.
Pada hari itu Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya (Fir’aun), maka
Musa berpuasa pada hari itu (sebagai tanda rasa syukur), dan kamipun
mengikutinya.” Lalu Rasul bersabda: ”Aku lebih berhak atas Musa daripada
kalian.” (HR. Bukhari Muslim).
Tradisi puasa ’Âsyûrâ’ ini kemudian diteruskan pada masa Nabi Saw.
Bahkan beliau pun memerintahkan umatnya untuk berpuasa pada hari yang mulia
ini. Lebih dari itu, Nabi Saw juga menanti-nanti kedatangan hari ’Âsyûrâ’
seraya menyambutnya dengan sambutan yang luar biasa laiknya menyongsong
bulan Ramadhan. Pertanyaannya adalah, kenapa Rasulullah begitu mengagungkan
hari Asyurâ’ dan memerintahkan puasa pada hari itu. Bukankah banyak cara
lain yang dapat dilakukan sebagai bukti rasa syukur?
Puasa adalah metode terbaik untuk menundukkan sifat nasûtiyah
dan kehewanan manusia. Ketika perut sedang lapar, ketika kekuatan tubuh
sedang melemah, maka sifat kerohanian dan malakûtiyah manusia akan
menyeruak, kejernihan hati dan fikiran akan mengemuka. Pada kondisi seperti
inilah manusia akan dengan mudah menerima cahaya ketuhanan (nûr ilâhî).
Disinilah letak rahasia mengapa ayyâmillah itu diperingati dengan
melakukan puasa dan bukan dengan kegiatan-kegiatan lainnya.Wallahu A'lam.
|