TAFSIR SUFI





TAFSIR SUFI





Pendahuluan

Seperti yang kita ketahui, bahwa Tafsir merupakan pengetahuan yang membahas maksud-maksud Allah yang terkandung dalam al-Qur’an sesuai dengan kemampuan manusia. Oleh karena itulah, tafsir merupakan salah satu ilmu yang paling agung dan tinggi kedudukannya, disebabkan obyek pembahasannya yaitu kalamullah yang sangat mulia dan banyak dibutuhkan orang.

Dalam ilmu Tafsir dikenal juga adanya beberapa metode yang digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Secara garis besar, dalam menafsirkan al-Qur’an , ada empat cara yang digunakan, yaitu : metode Ijmali (global), metode Tahlili (analitis), metode Muqarrim (Perbandingan), metode Maudhu’i (Tematik).

Diantara metode tersebut, yang akan disinggung dalam makalah ini adalah metode Tahlili (analisis) yang berbentuk al Ra’yi, dimana dalam menggunakan Tafsir ini para Musafir relatif memperoleh kebebasan, sehingga mereka agak lebih otonom berkreasi dalam memberikan interprestasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an selama masih dalam batas-batas yang diijinkan oleh shara’ dan sesuai dengan kaidah-kaidah penafsiran. Itulah sebabnya sehingga metode analitis bi al Ra’yi tersebut akan menghasilkan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda-beda. Hal itu antara lain disebabkan oleh adanya corak penafsiran yang berbeda-beda pula. Ada tafsir yang bercorak Tasawuf (Sufi / Ishari), Figh, Filsafat (Falsafi), Ilmiah(Ilmi), Sosial Kemasyarakatan (adaby Ijtima’I), dan lain sebagainya.

Oleh karena itulah untuk lebih jelas dan terfokusnya pembahasannya, maka didalam makalah ini, Penulis akan membahas metode analisis bi al Ra’yi yang bercorakkan Tasawuf (Sufi / Ishari.

Pengertian Tasawuf

Beberapa pakar telah berselisih faham mengenai asal usul kata Tasawuf. Ada beberapa pendapat mengenai hal itu, antara lain :
Berasal dari kata Safw, artinya bersih atau Safa. Oleh karena tujuan para Sufi adalah kebersihan lahir batin untuk menghadap Allah SWT.

Berasal dari kata Suffah, adalah nama suatu tempat disamping Masjid Nabawi, yang ditempati oleh Sahabat yang hanya aktif mencari ilmu dimana untuk urusan makan dan minum ditanggung oleh para orang kaya Kota Madinah.

Namun dari beberapa pendapat tersebut, tidaklah sampai melemahkan pendapat yang mengatakan bahwa kata tasawuf itu ikut wazan Tafa’ul, yaitu Tafa’ala, Yatafa’alu Tafa’ulan, Tasawwafa Yatasawwafu Tasawwufan .

Oleh karena adanya arti kata-kata Tasawwuf yang berbeda-beda pula. Namun ada beberapa definisi yang mengarah pada kebenaran dalam hal yang berkaitan dengan arti hakiki dari obyek ini, yaitu :

Abu Said al Haraz (wafat 268 H), mendifinisikan bahwa Tasawuf adalah Orang yang dijernihkan sanubarinya oleh Allah dan telah dipenuhi oleh cahaya. Dan orang itu bisa merasakan kenikmatan dengan berzdikir kepada Allah.

Abu Bakar al Kattani (wafat 322 H), mengatakan bahwa Tasawuf adalah kejernihan dan penyaksian .

Jadi jelaslah bahwa Sufi adalah orang yang dijernihkan hatinya oleh Allah SWT, sehingga dia bias memusatkan jiwanya dalam beribadah kepadanya, dan merasa nikmat karenanya, serta dia keluar dari kebiasaan manusia bahkan bisa lalai dari dirinya sendiri. Oleh karena itulah, tentunya cara dan corak berfikir mereka akan mempengaruhi penafsiran Ayat-ayat al Qur’an.

Pengertian Tafsir Sufi.

Tafsir sufi adalah penafsiran al Qur’an yang berlainan dengan zahirnya ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat. Dan hal itu dilakukan oleh orang-orang Sufi, orang yang berbudi luhur dan terlatih jiwanya (Mujahadah), diberi sinar oleh Allah SWT sehingga dapat menjangkau rahasia-rahasia al- Qur’an. Mereka menafsirkan ayat-ayat al Qur’an sesuai dengan pembahasan dan pemikiran mereka yang berhubungan dengan pembahasan dan pemikiran mereka yang berhubungan dengan kesufian yang justru kadang-kadang berlawanan dengan “Shari’at Islam” dan kadang-kadang pemikiran mereka tertuju pada hal yang bukan-bukan tentang Islam.

Ibnu Araby, seorang pemimpin tasawuf Falsafi al Nazary, menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an menurut tafsir yang sesuai dengan pembahasan, pemikiran dan penyelidikan kesufian, seperti yang ada pada kitabnya “al Fusus”. Dia menafsirkan contoh ayat al-Qur’an Surat Maryam : 57 yang berbunyi :  “Dan Kami telah mengangkatnya ke tempat yang tinggi”

Ibnu Araby menafsirkan ayat tersebut, bahwa tempat yang tinggi itu adalah tempat yang dikelilingi oleh alam falak, yaitu talak Matahari. Ditempat itulah ruhani Idris berada. Tetapi ada tempat yang lebih tinggi lagi yang ditempati oleh ruhani umat Muhammad, hal itu sesuai dengan firman Allah SAW dalam surat Muhammad : 35 “Kamulah yang diatas dan Allah bersama kamu”

Kontroversi para ulama’

Para ulama berselisish tentang tafsir Sufi, pendapat mereka berbeda-beda, ada yang membenarkan, dan ada pula yang tidak membenarkan, ada yang menganggap kesempurnaan iman dan kema’rifatan dan ada pula yang menganggap sebagai penyelewengan dari ajaran Allah SWT. Dibawah ini akan penulis utarakan beberapa pendapat mengenai tafsir Sufi : i.Imam al Zakarshy

Beliau mengatakan dalam kitabnya “al Burhan”, bahwa perkataan golongan Sufi dalam menafsirkan al-Qur’an bukanlah merupakan Tafsir, tetapi hanyalah merupakan ilustrasi yang mereka peroleh ketika membaca, seperti dalam menafsirkan ayat al-Qur’an surat al Taubah: :123“….Perangilah orang-orang kafir di sekitarmu….”

Yang dimaksud di situ adalah memerangi hawa nafsu. Dengan alas an illat perintah tersebut adalah memerangi orang-orang yang mengelilingi kita yaitu karena factor dekat, sedangkan yang terdekat dengan diri kita adalah hawa nafsu.

Imam al Nasafy

Beliau mengemukakan, bahwa nash-nash itu harus berdasarkan lahirnya, memutar balikkan arti yang dikembangkan ahli batin adalah kekufuran atau kesesatan.

Imam Taftazany

Beliau mengemukakan bahwa golongan kebatinan adalah identik dengan golongan atheis karena mereka menganggap nash-nash itu pengertiannya tudak menurut yang lahir tetapi nash-nash itu mempunyai pengertian-pengertian yang tidak dapat dijangkau kecuali oleh sang guru. Maksud mereka dengan kata-kata ini adalah untuk menghilangkan shariat secara total.

Imam Dahaby

Beliau dalam kitabnya “tafsir wa al Mufassirun” mengatakan bahwa beliau tidak menerima penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang hanya dilandasi oleh pemikiran-pemikiran atau pembahasan-pembahasan kesufian. Penafsiran mereka tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Allah SWT, tetapi hanya sesuai dengan Zan mereka.

Imam al Suyuty

Dalam kitabnya “al Itqan”, al Suyuti menuqil dari pendapatnya Ibn Atha’, bahwa tafsir yang dilakukan oleh ahli Sufi terhadap ayat Allah atau kalam Rasul dengan menggunakan makna-makna arab bukanlah merupakan pemalingan arti dari zahirnya, tetapi zahirnya ayat dapat dipahami makna sebenarnya dari apa yang dimaksud dari ayat tersebut secara tersirat.Dan hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang dibuka hatinya oleh Allah SWT. Ditegaskan lagi oleh al Suyuty, bahwa tafsir sufi bukanlah bentuk penyelewengan, Tetapi yang dikategorikan penyelewengan adalah tafsir yang mengatakan : “maksidnya ayat ini adalah begini ……,tidak ada yang lain”. Sedangkan tafsir Sufi tidak mengatakan begitu, mereka hanya memahami apa yang diilhamkan oleh Allah SWT.

Pembagian tafsir Sufi.
Seperti yang diketahui bersama, bahwa tasawwuf itu sendiri terbagi menjadi dua, yaitu:

Pertama,Tasawuf Nazary, yaitu tasawuf yang menitik beratkan pada pembahasan-pembahasan keilmuan tasawuf.

Kedua, Tasawuf ‘Amaly, yaitu tasawuf yang menitik beratkan pada praktek, dengan saat taat pada Allah, berlaku zuhud, bahkan kadang-kadang berpakaian yang kotor-kotor.

Oleh karena itulah pembagian tafsir sufi juga dipengaruhi oleh pembagian tasawuf tersebut, yaitu :

Tafsir Sufi al Nazary

Pertama, Yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan keilmuan-keilmuan / pembahasan-pembahasan tasawuf. Kedua, Tafsir Sufi al Faidhi atau al Ishary.
Yaitu penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang berlainan dengan zahirnya ayat dan dilakukan oleh orang-orang yang dapat menjangkau rahasia-rahasia al-Qur’an, pikiran-pikirannya penuh dengan arti-arti yang dalam dengan perantaraan ilham ilahi.

Tafsir yang semacam ini tidak hanya menggunakan ilmu hasil usaha / penemuan yang dicapai dari pembahasan dan pemikiran, tetapi merupakan ilmu Laduni yaitu pemberian dari Allah sebagai akibat dari ketaqwaan, keistiqamahan dan kebaikan seseorang. Sebagaimana firman Allah:

“…Dan bertaqwalah kepada Allah, Allah mengajarmu dan Allah mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al Baqarah: 282)

Ada beberapa hal yang membedakan antara kedua bentuk tafsir sufi tersebut yaitu :

Pertama, Tafsir Sufi al Nazary pertama-tama meniti beratkan pada ilmu kesufian kemudian baru dihubungkan pada ayat al-Qur’an. Akan tetapi al Faidhi tidak menggunakan pendekatan keilmuan, tetapi dengan “Riyadhah Ruhiyah”, sehingga mencapai derajat yang tinggi dan hatinya dapat merasakan hal-hal ghaib yang terkandung dalam ayat al-Qur’an.

Kedua,  Biasanya Mufassir Sufi al Nazary berpendapat, bahwa suatu ayat al Qur’an hanya mempunyai satu makna, tidak ada makna lain selain itu. Akan tetapi Mufassir Sufi al Faidhi berpendapat bahwa suatu ayat mempunyai banyak makna, jadi ada makna lain selain makna yang dijelaskan oleh Tafsir Sufi al Faidhi.

Analisa

Pembahasan mengenai tafsir Sufi ini sangatlah rumit, memerlukan penyelidikan yang sungguh-sunguh, teratur dan memerlukan penyalaman yang mendalam. Hal itu dikarenakan kita sebenarnya ingin tahu apakah tafsir yang model begitu hanyalah mengikuti hawa nafsu dan hanya melainkan ayat-ayat al-Qur’an. Kalau memang begitu, maka penulis cenderung pada pendapatnya al Nasafy, bahwa yang demikian itu adalah kekufuran. Akan tetapi kalau memang Tafsir Sufi tersebut menunjukkan bahwa Kalam Allah tidak dapat dikuasai oleh manusia, Kalam Allah mengandung beberapa pengertian dan rahasia, tanda-tanda dan masalah yang lembut serta keanehan-keanehan yang terbatas, maka tafsir sufi tersebut dapat dibenarkan, karena sebagian ulama’ mengatakan bahwa satu ayat saja dalam al-Qur’an bisa mengandung enam puluh ribu kefahaman, yang berarti hal itu menunjukkan betapa banyak dan luasnya makna-makna yang tersirat dalam al-Qur’an.

Dalam al Tibyan disebutkan, bahwa Ibn Abbas pernah mengatakan : al-Qur’an itu mengandung berbagai ilmu dan budaya, yang lahir maupun yang batin, keajaibannya tidak akan habis dan tujuannya tidak akan terjangkau. Barang siapa yang menyelaminya dengan penuh kelembutan, maka dia akan selamat, maka barang siapa yang menyelaminya dengan radikal, maka dia akan terjerumus. Oleh karena itu tidaklah heran kalau para ulama’ Mufassir menghasilkan penafsiran ayat al-Qur’an yang berbeda-beda, seperti tafsir sufi ini,dan itu sah-sah saja asal tidak bertentangan dengan susunan al-Qur’an yang lahir,tidak bertentangan dengan hokum shari’at dan akal, serta tidak membuat kacau masyarakat.

Yang terakhir, setelah Penulis melihat bahasan tafsir sufi tersebut diatas, timbul pertanyaan dalam hati, masih adakah ulama’ sekarang yang mampu menafsirkan ayat al-Qur’an dengan cara sufi diatas, atau kalau memang ada, apakah memang hasil tafsirannya itu yang benar-benar dikehendaki oleh Allah SWT. Wallahua’lam, yang jelas itu semua adalah Ijtihad, yang berarti jika salah, skornya 1, dan jika benar skornya 2. Penulis tidak tahu berapa skornya, kalau memang hasil ijtihad itu benar tapi justru mengacaukan masyarakat. Sekali lagi, Wallahua’lam.

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, dapat mengambil beberapa kesimpulan, yaitu :

Pertama, Tafsir Sufi adalah Penafsiran al-Qur’an yang berlainan dengan zahirnya, dilakukan oleh Mufassir Sufi dengan menghubungkan pada pendapat dan pemikiran-pemikiran yang berbau kesufian. Kedua, Mengenai keberadaan tafsir sufi ini, para ulama’ berbeda pendapat, ada yang membenarkan dan ada pula yang tidak membenarkan, ada yang menganggap kesempurnan iman dan ada yag menganggap penyelewengan.
Ketiga, Pembagian Tafsir Sufi ada dua, yaitu Tafsir sufi al Nazary dan Tafsir sufi al Faidhi / al-Isyari.Hal itu terpeengaruh dari pembagian tasawwuf itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Al Suyuty, Jalal al Din. Al Itqan Fi Ulum al Qur’an, Juz I I.Beirut : Muassasah al Kutub al Thiqafiyah, tt.
Al Sabuny, Muhammad Ali. Al Tibyan Fi Ulum al Qur’an. Beirut : Alim al Kutub, 1995
Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al Qur’an. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998
Pasted From :
www.gurutrenggalek.com





KLIPING


0 Comments:

Post a Comment