(Kajian
atas Wacana Epistemologi Pendidikan Islam Kontemporer)
Pendahuluan
Pendidikan
memiliki peranan yang sangat penting, bahkan paling penting dalam
mengembangkan peradapan. Seperti halnya dengan perkembangan peradaban Islam
dan dalam mencapai kejayaan umat Islam. Pendidikan Islam tidak akan
sempurna meresap dalam sanubari jika tidak disertakan didikan yang baik
pada seluruh generasi. Oleh sebab itu di dalam Al Quran telah ditetapkan
proses awal pendidikan dan menentukan beberapa tokoh pendidikan Islam yang
harus diikuti sebagai dasar dalam membentuk dan membina kepribadian ummah.
Pendidikan
Islam secara umum adalah upaya sistematis untuk membantu anak didik agar
tumbuh berkembang mengaktualkan potensinya berdasarkan kaidah-kaidah moral
Alquran, ilmu pengetahuan, dan keterampilan hidup (life-skill). Akan
tetapi, walaupun telah dilakukan usaha-usaha pembaharuan pendidikan Islam,
namun dunia pendidikan Islam masih saja dihadapkan pada beberapa
problema. Al-Qur’an dan Sunnah gagal
ditempatkan sebagai sumber otentik pengembangan pemikiran teoritis atau pun
praktis bagi tujuan merumuskan panduan/petunjuk kehidupan dunia.
Kematian
Al-Qur’an dan Sunnah yang hanya menjadi sebuah narasi wahyu yang beku
tersebut mempunyai implikasi yang luar biasa dalam dunia pendidikan yang di
kalangan pemeluknya dikenal dengan “Pendidikan Islam”. Hingga hari ini,
dunia pendidikan dan gerakan-gerakan Islam dalam berbagai ragam konsentrasi
dan aliran pemahaman sulit menumbuhkan tradisi intelektual kritis sebagai etika
dasar penafsiran terhadap kedua sumber teks utama Islam yang seharusnya
terus dilakukan. Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana pemecahan
problem-problem pendidikan Islam tersebut, maka usaha-usaha pembaharuan
pendidikan Islam lewat pemikiran yang mendalam perlu dilakukan dan menjadi
sangat penting.
Pembahasan
Pengertian
Pendidikan Islam
Menurut Soekarno dan Ahmad Supardi,
pendidikan Islam terjadi sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul Allah
di Mekkah dan beliau sendiri sebagai gurunya. Pendidikan masa ini merupakan
proto type yang terus menerus dikembangkan oleh umat Islam untuk
kepentingan pendidikan pada zamannya. Pendidikan Islam mulai dilaksanakan
Rasulullah setelah mendapat perintah dari Allah agar beliau menyeru kepada
Allah, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Mudatstsir (74) ayat
1-7. Menyeru berarti mengajak, dan mengajak berarti mendidik.[1]
Di
dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, terutama karya-karya ilmiah
berbahasa arab, terdapat berbagai istilah yang dipergunakan oleh ulama
dalam memberikan pengertian tentang “pendidikan Islam” dan sekaligus
diterapkan dalm konteks yang berbeda-beda.[2] Pendiidikan Islam menurut
Langgulung, setidak-tidaknya tercakup dalam delapan pengertian, yaitu
al-tarbiyah al-diniyah (pendidikan keagamaan), ta’lim al-din (pengajaran
agama), al-ta’lim al-diny (pengajaran keagamaan), al-ta’lim al-islamy
(pengajaran keislaman), tarbiyah al-muslimin (pendidikan orang-orang
Islam), al-tarbiyah fi al- islam (pendidikan dalam Islam), al-tarbiyah ‘inda
al-muslimin (pendidikan di kalangan orang-orang Islam), dan al-tarbiyah
al-islamiyah (pendidikan Islami).[3]
Bagi
An-Nahlawi[4] Istilah tarbiyah lebih cocok untuk pendidikan Islam. Berbeda
halnya dengan Jalal[5], yang dari hasil kajiannya berkesimpulan bahwa
istilah ta’lim lebih luas jangkaunnya dan lebih umum sifatnya daripada
tarbiyah. Di kalangan penulis Indonesia, istilah pendidikan biasanya lebih
diarahkan pada pembinaan watak, moral, sikap atau kepribadian, atau lebih
mengarah pada afektif, sementara pengajaran lebih diarahkan pada penguasaan
ilmu pengetahuan atau menonjolkan dimensi kognitif dan psikomotor. Kajian
lainnya berusaha membandingkan dua istilah di atas dengan istilah ta’dib,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Syed Naquib Al-Attas, dari hasil
kajiannya ditemukan bahwa istilah ta’dib lebih tepat untuk digunakan dalam
konteks pendidikan Islam. dan kurang setuju terhadap penggunaan istilah
tarbiyah dan ta’lim.[6]
Secara
garis besar, dapat disimpulkan pendapat beberapa tokoh Muslim tentang pengertian
pendidikan Islam sebagai berikut:
Menurut Ahmad D. Marimba, pendidikan
Islam adalah bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam
menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan
pengertian lain sering kali beliau mengatakan kepribadian uatama tersebut
dengan istilah kepribadian muslim, yakni kepribadian yang memiliki
nilai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan
nilai-nilai Islam, dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Menurut Abdur Rahman An-Nahlawi, pendidikan
Islam adalah pengaturan pribadi dan masyarakat sehingga dapat memeluk Islam
secara logis dan sesuai secara keseluruhan baik dalam kehidupan individu
maupun kolektif.
Menurut Burlian Shomad, pendidikan
Islam ialah pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi makhluk
yang bercorak diri berderajat tinggi menurut ukuran Allah dan sisi
pendidikannya untuk mewujudkan tujuan itu adalah ajaran Allah. Secara rinci
beliau mengemukakan pendidikan itu baru dapat disebut pendidikan Islam
apabila memiliki dua ciri khas yaitu:
Pertama, Tujuan untuk membentuk
individu yang bercorak diri tertinggi menurut Al-Qur’an. Kedua, Isi
pendidikannya adalah ajaran Allah yang tercantum dengan lengkap di dalam
Al-Qur’an, dan pelaksanaannya di dalam praktek kehidupan sehari-hari
sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Menurut Musthafa Al-Ghulayani, pendidikan
Islam ialah menanamkan akhlak yang mulia di dalam jiwa anak pada masa
pertumbuhannya dan menyiraminya dengan air petunjuk dan nasihat, sehingga
akhlak itu menjadi salah satu kemampuan (meresap dalam) jiwanya kemudian
buahnya berwujud keutamaan kebaikan, dan cinta bekerja untuk kemanfaatan
tanah air.[7]
Tujuan
Pendidikan Islam
Sebagai
aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian muslim, maka
pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar yang dijadikan landasan kerja.
Dengan dasar ini akan memberikan arah bagi pelaksanaan pendidikan yang
telah diprogramkan. dalam konteks ini, dasar yang menjadi acuan pendidikan
Islam hendaknya merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat
menghantarkan peserta didik ke arah pencapaian pendidikan.Oleh karena itu,
dasar yang terpenting dari pendidikan Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah (hadits).[8] Secara lebih luas, dasar pendidikan Islam menurut
Sa’id Ismail Ali-sebagaimana dikutip Langgulung- terdiri atas 6 macam,
yaitu: Al-Qur’an, Sunnah, qaul al-shahabat, masalih al-mursalah, ‘urf, dan
pemikiran hasil ijtihad intelektual muslim.[9]
Dalam
merumuskan tujuan pendidikan Islam, paling tidak ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan, yaitu:
Pertama, Tujuan dan tugas manusia
di muka bumi, baik secara vertikal maupun horizontal. Kedua, Sifat-sifat
dasar manusia. Ketiga, Tuntutan masyarakat dan dinamika peradapan
kemanusiaan. Keempat, dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam.
Dalam
aspek ini ada 3 macam dimensi ideal Islam: (a) mengandung nilai yang
berupaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di muka bumi; (b)
mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih
kehidupan yang baik; (c) mengandung nilai yang dapat memadukan antara
kepentingan kehidupan dunia dan akhirat.[10]
Dijelaskan
pula bahwa tujuan pendidikan merupakan suatu kondisi yang menjadi target
penyampaian pengetahuan. Tujuan ini merupakan acuan dan panduan untuk
seluruh kegiatan yang terdapat dalam sistem pendidikan. Jadi, tujuan
pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan
sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki:
Kepribadian
Islam
Tujuan
ini merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim, yaitu teguhnya dalam
memegang identitas kemuslimannya dalam pergaulan sehari-hari. Identitas itu
tampak pada dua aspek yang fundamental, yaitu pola berfikirnya (aqliyah)
dan pola sikapnya (nafsiyyah) yang berpijak pada aqidah Islam. Berkaitan
dengn pengembangan keperibadian dalam Islam ini, paling tidak terdapat tiga
langkah upaya pembentukannya sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw.,
yaitu (1) menanamkan aqidah Islam kepada seorang manusia dengan cara yang
sesuai dengan kategori aqidah tersebut, yaitu sebagai aqidah aqliyah;
aqidah yang keyakinannya muncul dari proses pemikiran yang mendalam. (2)
mengajaknya untuk senantiasa konsisten dan istiqamah agar cara berfikir dan
mengatur kecenderungan insaninya berada tetap di atas pondasi aqidah yang
diyakininya. (3) mengembangkan kepribadian
dengan senantiasa mengajak bersungguh-sungguh dalam mengisi
pemikirannya dengan tsaqafah Islamiyah dan mengamalkan perbuatan yang
selalu berorientasi pada melaksanakan ketaatan kepada Allah swt.
Menguasai
Tsaqafah Islamiyah dengan handal.
Islam
mendorong setiap muslim untuk menjadi manusia yang berilmu dengan cara
mewajibkannya untuk menuntut ilmu. Adapun ilmu berdasarkan takaran
kewajibannya menurut Al Ghazali
dibagi dalam dua kategori, yaitu (1) ilmu yang fardlu ‘ain, yaitu wajib
dipelajari setiap muslim, yaitu ilmu-ilmu tsaqafah Islam yang terdiri
konsespsi,ide, dan hukum-hukum Islam (fiqh), bahasa Arab, sirah nabawiyah,
ulumul quran, tahfidzul quran, ulumul hadits, ushul fiqh, dll. (2) ilmu
yang dikategorikan fadlu kifayah, biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains
dan teknologi, serta ilmu terapan-ketrampilan, seperti biologi, fisika,
kedokteran, pertanian, teknik, dll. Berkaitan dng tsaqafah Islam, terutama
bahasa Arab, Rasulullah saw. telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa
pengantar dalam pendidikan dan urusan penting lainnya, seperti bahasa
diplomatik dan interaksi antarnegara. Dengan demikian, setiap muslim yang
bukan Arab diharuskan untuk mempelajarinya. Berkaitan dengan hal ini karena
keterkaitan bahasa Arab dengan bahasa Al Quran & As Sunnah, serta
wacana keilmuan Islam lainnya.
Menguasai
ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/PITEK).
Menguasai
PITEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga
dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifatullahi di muka bumi dnegan
baik. Islam menetapkan penguasaan sain sebagai fardlu kifayah, yaitu
kewajiban yang harus dikerjakan oleh sebagian rakyat apabila ilmu-ilmu
tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi, fisika, industri
penerbangan, biologi, teknik, dll. Pada hakekatnya ilmu pengetahuan terdiri
atas dua hal, yaitu pengetahuan yang mengembangkan akal manusia, sehingga
ia dapat menentukan suatu tindakan tertentu dan pengetahuan mengenai
perbuatan itu sendiri. Berkaitan dnegan akal, Allah swt. telah memuliakan
manusia dnegan akalnya. Akal merupakan faktor penentu yang melebihkan
manusia dari makhluk lainnya, sehingga kedudukan akal merupakan sesuatu
yang berharga. Allah menurunkan Al Quran dan mengutus RasulNya dengan
membawa Islam agar beliau menuntun akal manusia dan membimbingnya ke jalan
yang benar. Pada sisi yang lain Islam memicu akal untuk dapat menguasai
PITEK, sebab dorongan dan perintah untuk maju merupakan buah dari keimanan.
Dalam kitab Fathul Kabir, juz III, misalnya diketahui bahwa Rsulullah saw. pernah mengutus dua orang
sahabatnya ke negeri Yaman untuk mempelajari pembuatan senjata muktahir,
terutam alat perang yang bernama dabbabah, sejenis tank yang terdiri atas
kayu tebal berlapis kulit dan tersusun dari roda-roda. Rasulullah saw.
memahami manfaat alat ini bagi peperangan melawan musuh dan menghancurkan
benteng lawan.
Memiliki
skills/ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna.
Perhatian
besar Islam pada ilmu teknik dan praktis, serta ketrampilan merupakan salah
satu dari tujuan pendidikan islam. Penguasaan ketrampilan yang serba
material ini merupakan tuntutan yang harus dilakukan umat Ilam dalam rangka
pelaksanaan amanah Allah Swt. Hal ini diindikasikan dengan terdapatnya
banyak nash yang mengisyaratkan kebolehan mempelajari ilmu pengetahuan umum
dan ketrampilan. Hal ini dihukumi sebagai fardlu kifayah. Penjelasan 3 dan
4 dapat diperhatikan pada pembahasan Ilmu dan kedudukan dalam islam di
atas.[11]
Wacana
Epistemologi Pendidikan Islam
Rentang
historis pendidikan Islam sangat panjang, menjulur dari ranah pendidikan
Islam melalui sistem oral pada masa Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat,
hingga sistem baca-tulis beberapa abad kemudian di wilayah-wilayah asal
datangnya Islam, mulai dari Timur Tengah, Afrika Utara, Persia, al-Andalus
(Spanyol Islam), hingga ke Asia tenggara. Sepanjang sejarah Islam, tercatat
beberapa madrasah yang dianggap sebagai tempat pendidikan Islam awal.
Fakta
sejarah telah menorehkan tinta dan menyatakan bahwa Islam pernah
membuktikan dirinya menjadi liberating force dari belenggu kemunduran dan
keterbelakangan taraf hidup material
dan mental pada zaman permulaan sejarah dan pada abad kecerahannya (abad
7-14 m). Bahkan pernah pula menghantarkan umat Islam menuju “zaman
keemasan” atau orang Barat bilang sebagai the middle Eges, yang
mempresentasikan masa-masa keterbelakangan dan kegelapan mereka. Di paruh
millenium kedua inilah, menurut Philip k. Hitti [12] kaum muslimin mampu
menguasai dunia.Peradapan mereka menjadi “soko guru” peradapan dunia, di
saat bangsa Eropa kala itu masih melihat pengobatan ada di tangan dukun,
dan para rohaniawannya merintangi segala usaha untuk kemajuan dunia.[13]
Salah
satu faktor penyebab dan pendorong umat Islam abad pertengahan sehingga
mereka mampu mencapai kejayaan- seperti telah diuraikan di atas- sebenarnya
adalah terletak pada semangat kecintaan mereka terhadap ilmu pengetahuan
dan etos ilmiah yang sangat tinggi. Dimilikinya sikap mental masyarakat
muslim, dengan kecintaan dan kesadaran yang sangat besar terhadap ilmu
pengetahuan dan pendidikan seperti ini, tidaklah muncul secara spontan dan
mendadak. Namun, harus diakui, kesadaran ini merupakan efek dari sebuah
proses panjang yang dimulai pada masa awal Islam (masa ke-Rasul-an
Muhammad).[14]
Dr.
Abdul Gani ‘Abud, ahli pendidikan dari Universitas Ain Syams Mesir,
berkesimpulan bahwa prinsip-prinsip pendidikan modern yang menggema pada
pertengahan abad ke-20, sebenarnya telah terungkap dan terimplementasikan
dalam pendidikan Islam pada masa kejayaannya, ratusan tahun silam sebelum
munculnya pendidikan modern.[15] Bahkan secara tegas ‘Abud menyatakan:
Seandainya
dasar pokok demokrasi pendidikan modern itu tercermin dalam tersebarluasnya
ilmu pengetahuan diantara manusia, persamaan kesempatan pendidikan,
pandangan yang integral, kebebasan, penolakan kekuasaan pendidikan dalam
satu tangan, kerjasama dalam pengambilan keputusan, penghargaan terhadap
individual dan metode berfikir ilmiah, maka Islam telah lebih dahulu
mempraktekkan hal-hal tersebut dalam pendidikannya.[16]
Konsep
tentang “Epistemologi Pendidikan Islam” akhir-akhir ini menjadi suatu
wacana intelektual Pendidikan Islam yang sedang dicari formulasi idealnya
seiring dengan derasnya perkembangan iptek, metodologi, dan
permasalahan-permasalahan sosial budaya yang perlu mendapatkan pencerahan
dari dunia pendidikan Islam khususnya.[17]
Salah
satu persoalan serius yang masih menghantui sistem pendidikan Islam, hingga
kini adalah persoalan dikotomi antara ilmu pengetahuan agama dan umum.
Masih kuatnyaanggapan di kalangan masyarakat muslim bahwa mencari ilmu
agama adalah fardhu ‘ain dan ilmu umum fardhu kifayah, menambah sederetan
problem rumit yang menyebabkan pendidikan Islam semakin terbelakang.[18]
Anggapan
itu dalam realitasnya telah membawa implikasi negatif dalam perkembangan
pendidikn Islam. Banyak orang-orang muslim lebih memprioritaskan “ilmu-ilmu
agama” dari pada “ilmu-ilmu umum”. Mereka belum dapat bersikap “mesra” dan mengintegralkan
antara agama dan ilmu. Akibatnya, banyak umat muslim yang biasanya hanya
tahlilan, membaca manakib dan berjanji, akan tetapi ditanya persoalan yang
berhubungan dengan sain dan tehnologi mereka gagap, bahkan tidak faham sama
sekali.[19]
Masyarakat
muslim sekarang ini, sadar atau tidak sadar telah dihadapkan pada problem
besar ketika harus berhadapan dengan peradapan dan kebudayaan Barat.
Apalagi dalam kenyataannya kebudayaan dan peradapan Barat melalui
epistemologi ilmu pengetahuannya tersebut telah menjadi “model dan panutan” yang terefleksikan dalam
seluruh segi kehidupan masyarakat muslim.[20]
Epistemologi
Barat terhadap dunia Muslim merupakan bentuk penjajahan gaya baru. Menurut
Amrullah [21] kondisi seperti tersebut di atas menyebabkan imprealisme
epistemologi yang telah berjalan sekitar 300 tahun sejak kolonialisme Eropa
di dunia Islam. Untuk itu, sudah menjadi kewajiban bagi umat muslim,
terutama para pemikir pendidikannya untuk merumuskan tujuan dan fungsi
pendidikan berdasarkan epistemologi pendidikan yang Islami, agar mampu
menyelamatkan dan memerdekakan umat Islam dari belenggu Jajahan Barat.
Terutama apabila umat Islam berkeinginan memunculkan suatu peradapan, maka
epistemologi ini sangat mutlak diperlukan. Karena dengan epistemologi,
sebetulnya umat Islam mampu menjiwai suatu aspek perilaku individual,
societal dan sivilisasional. Tanpa epistemologi jelas mustahil muncul suatu
peradapan. Tanpa suatu cara mengetahui yang dapat diidentifikasikan sebagai
Islam, kita tidak mungkin dapat mengelaborasi pandangan dunia Islam pada
isu-isu kontemporer.[22]
Arah
Pembaharuan Pendidikan Islam
Islamisasi Ilmu
Topik
islamisasi ilmu pengetahuan dan pendidikan dalam Islam sudah diperdebatkan
sejak Konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam di Makkah pada
1977. Tetapi sayangnya tidak ada usaha serius untuk melacak sejarah gagasan
dan mengkaji atau mengevaluasi sejumlah persoalan pokok yang berkenalan
dengan topik ini pada tingkat praktis.[23]
Dalam
bahasa Arab Islamisasi ilmu disebut sebagai “Islamiyyat al-Ma’rifat” dan
dalam bahasa Inggris disebut sebagai “Islamization of Knowledge”. Dalam
Islam, ilmu merupakan perkara yang amat penting, bahkan menuntut ilmu
diwajibkan semenjak lahir hingga ke liang lahad. Ayat al-Quran yang pertama
yang diturunkan berkaitan dengan ilmu yaitu surah al-’Alaq ayat 1-5.
Menurut ajaran Islam, ilmu tidak bebas nilai–sebagaimana yang dikembangkan
ilmuan Barat akan tetapi sarat nilai, dalam Islam ilmu dipandang universal
dan tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu dalam Islam.
Pengertian
islamisasi menurut para ahli:
Al Faruqi: adalah
menuangkan kembali pengetahuan sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam,
yaitu dengan memberikan definisi baru, mengatur data, mengefaluasi kembali
kesimpulan-kesimpulan dan memproyeksikan kembali tujuan-tujuannya.[24]
Al Attas: sebagai
proses pembebasan atau pemerdekaan. Sebab ia melibatkan pembebasan roh
manusia yang mempunyai pengaruh atas jasmaninya dan proses ini menimbulkan
keharmonisan dan kedamaian dalam dirinya, sebagai fitranya.[25]
Islamisasi
ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah suatu respon terhadap krisis
masyarakat modern yang disebabkan karena pendidikan Barat yang bertumpu
pada suatu pandangan dunia yang lebih bersifat materialistis, sekularistik,
relevistis; yang menganggap bahwa pendidikan bukan untuk membuat manusia
bijak yakni mengenali dan mengakui posisi masing-masing dalam tertib
realitas tapi memandang realitas sebagai sesuatu yang bermakna secara
material bagi manusia, dan karena itu hubungan manusia dengan tertib
realitas bersifat eksploitatif bukan harmonis. Ini adalah salah satu
penyebab penting munculnya krisis masyarakat modern.
Islamisasi
ilmu pengetahuan mencoba mencari akar-akar krisis tersebut. Akar-akar
krisis itu diantaranya dapat ditemukan didalam ilmu pengetahuan, yakni
konsepsi atau asumsi tentang realitas yang dualistis, sekularistik,
evolusioneristis, dan karena itu pada dasarnya bersifat realitifitas dan
nihilistis. Islamisasi ilmu pengetahuan adalah suatu upaya pembebasan
pengetahuan dari asumsi-asumsi atau penafsiran-penafsiran Barat terhadap
realitas, dan kemudian menggantikannya dengan pandangan dunia islam.[26]
Gagasan
islamisasi sebenarnya berangkat dari asumsi bahwa ilmu pengetahuan itu
tidak bebas nilai atau netral. Betapapun diakui pentingnya transfer ilmu
Barat ke Dunia Islam, ilmu itu secara tak terelakkan sesungguhnya
mengandung nilai-nilai dan merefleksikan pandangan dunia masyarakat yang
menghasilkannya, dalam hal ini masyarakat Barat. Sebelum diajarkan lewat
pendidikan, ilmu tersebut harus ditapis terlebih dahulu agar nilai-nilai
yang bertentangan secara diametral dengan pandangan-dunia Islam bisa
disingkirkan. Gagasan islamisasi, dengan demikian, merupakan upaya
dekonstruksi terhadap ilmu pengetahuan Barat untuk kemudian direkonstruksi
ke dalam sistem pengetahuan Islam.[27]
Berkaitan
dengan keprihatinan pengaruh sains Barat modern, para pembaharu pemikir
pendidikan islam mencoba kembali menggagas konsep islamisasi sains
sekaligus menjadikan Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Mereka
berupaya membersihkan pemikiran-pemikiran Muslim dari pengaruh negatif
kaidah-kaidah berfikir ala sains modern, sehingga pemikiran Muslim
benar-benar steril dari konsep sekuler. Al-Attas mengatakan, bahwa
islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang
didasarkan pada ideologi sekuler, dan dari makna-makna serta
ungkapan-ungkapan manusia sekuler.[28]
Banyak
pemahaman ilmu pengetahuan yang terlanjur tersekulerkan dapat digeser dan
diganti dengan pemahaman-pemahaman yang mengacu pada pesan-pesan Islam,
manakala “proyek islamisiasi pengetahuan” benar-benar digarap secara serius
dan maksimal. sebagai tindak lanjut dari gagasan-gagasan normatif itu, para
pemikir Muslim harus berupaya keras merumuskan islamisasi pengetahuan secara
teoritis dan konseptual yang didasarkan pada gabungan antara argumentasi
rasional dan petunjuk-petunjuk wahyu.
Adalah
sangat wajar jika formulasi intelektual yang formal dan sistematis suatu
konsep awal dimulai dan dikembangkan lama setelah pengertian dan
signifikansi konsep tersebut dipraktikkan secara mendalam. Singkatnya,
Al-Attas menekankan bahwa yang pertama-tama harus mengalami islamisasi
adalah ilmu pengetahuan atau ilmu masa kini atau kontemporer.[29]
Kebanyakan ilmu dan disiplin ilmu pada masa lampau tekad mengislamkann oleh
pelbagai cendikiawan yang memiliki otoritas di bidangnya dan mendapatkan
pendidikan yang mengintegrasikan dua kategori fardu ‘ain dan fardu kifayah
serta menguasai ilmu-ilmu yang relevan.
Formulasi
Pembaharuan Pendidikan Islam
Pendidikan
merupakan bentuk investasi yang paling baik. Maka, setiap Negara Muslim
mengalokasikan porsi terbesar dari pendapatan nasionalnya untuk
program-program pendidikan.[30] Bila umat Islam memang bermaksud merebut
peranan sejarahnya kembali dalam percaturan dunia, kerja pertama yang harus
ditandinginya adalah membenahi dunia pendidikan Islam, khususnya perguruan
tinggi. Pendidikan tinggi Islam harus mampu menciptakan lingkungan akademik
yang kondusif bagi lahirnya cendekia-cendekia yang berfikir kreatif,
otentik, dan orisinal, bukan cendekia-cendekia “konsumen” yang berwawasan
sempit, terbatas dan verbal.[31] Oleh karena itu, corak pembaharuan
pendidikan Islam yang diajukan berkaitan dengan corak tantangan yang
dihadapi, hanya saja bentuknya bisa berupa sikap adaptasi atau sebaliknya,
konfrontasi. Proyek islamisasi pengetahuan sebagai induk pembaharuan
pendidikan Islam terang-terangan bersikap konfrontatif terhadap pendidikan
sekuler dari Barat modern, kendati juga tidak bisa diingkari, bahwa pada tahap
langkah-langkah proses maupun tujuan rencana kerja, islamisasi pengetahuan
itu masih mempertimbangkan penguasaan disiplin ilmu modern.[32]
Kenyataan
di lapangan, kondisi pendidikan Islam di Indonesia sebenarnya menghadapi
nasib yang sama, dan secara khusus pendidikan Islam menghadapi berbagai
persoalan dan kesenjangan dalam berbagai aspek yang lebih kompleks, yaitu
berupa persoalan dikotomi pendidikan, kurikulum, tujuan, sumber daya, serta
manajemen pendidikan Islam. Upaya perbaikan belum dilakukan secara
mendasar, sehingga terkesan seadanya saja. Usaha pembaharuan dan
peningkatan pendidikan Islam sering bersifat sepotong-sepotong atau tidak
konprehensif dan menyeluruh serta sebagian besar sistem dan lembaga
pendidikan Islam belum dikelola secara profesional.[33]
Usaha
pembaharuan pendidikan Islam secara mendasar selalu dihambat oleh berbagai
masalah, mulai persoalan dana sampai tenaga ahli, sehingga pendidikan Islam
dewasa ini terlihat orientasinya yang semakin kurang jelas.[34] Dengan
kenyataan ini, maka sebenarnya sistem pendidikan Islam haruslah senantiasa
mengorientasi diri untuk menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam
masyarakat kita sebagai konsekuensi logis dari perubahan.[35]
Berangkat
dari fenomena di atas, maka ada dua alasan pokok perlu dilakukan
pembaharuan pendidikan Islam, khususnya
di Indonesia, yaitu:
Pertama,
Konsepsi dan praktek pendidikan Islam sebagaimana tercermin pada
kelembagaannya dan isi programnya didasarkan pada konsep atau pengertian
pendidikan Islam yang sempit yang terlalu menekankan pada kepentingan
akhirat.
Kedua,
Lembaga-lembaga dan isi pendidikan Islam yang dikenal sekarang ini, seperti
madrasah dan pesantren, tidak atau kurang mampu memenuhi kebutuhan umat
Islam dalam menghadapi tantangan dunia modern, terutama masyarakat dan
bangsa Indonesia bagi pembangunan di segala bidang, di masa sekarang dan di
masa yang akan datang.[36]
Pada
dasarnya ada tiga pendekatan pembaharuan pendidikan yang dapat dilakukan,
yaitu: pengislaman pendidikan sekuler modern, menyederhanakan
silabus-silabus tradisional dan menggabungkan cabang-cabang ilmu
pengetahuan lama dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan modern.
Mengislamkan pendidikan sekuler
modern.
Pendekatan
ini dilakukan dengan cara menerima pendidikan sekuler modern yang telah
berkembang pada umumnya di Barat dan
mencoba untuk “mengislamkan”nya, yaitu mengisinya dengan konsep-konsep
kunci tertentu dari Islam. Ada dua tujuan dari mengislamkan pendidikan
sekuler modern ini, yaitu ; (1) membentuk watak pelajar-pelajar atau
mahasiswa-mahasiswa dengan nilai-nilai Islam dalam kehidupan individu dan
masyarakat, (2) memungkinkan para ahli yang berpendidikan modern menangani
bidang kajian masing-masing dengan nilai-nilai Islam pada
perangkat-perangkat yang lebih tinggi, menggunakan perspektif Islam untuk
mengubah kandungan maupun orientasi kajian-kajian mereka.[37]
Kedua
tujuan tersebut berkaitan erat antara yang satu dengan yang lainnya.
Sehingga apabila pembentukan watak dengan nilai-nilai Islam yang dilakukan
pada pendidikan tingkat pertama ketika pelajar-pelajar masih dalam usia
muda dan mudah menerima kesan, tanpa sesuatu pun yang dilakukan untuk
mewarnai pendidikan tinggi dengan orientasi Islam, maka pandangan
pelajar-pelajar yang telah mencapai tingkat yang tinggi dalam pendidikannya
akan tersekulerkan dan bahkan kemungkinan besar mereka akan membuang
orientasi Islam apapun yang pernah mereka miliki. Hal ini akan terjadi
dalam skala yang luas. [38]
Menyederhanakan silabus-silabus
tradisional.
Pendekatan
ini diarahkan dalam kerangka pendidikan tradisional itu sendiri.
Pembaharuan ini cenderung menyederhanakan silabus-silabus pendidikan
tradisional yang sarat dengan materi-materi tambahan yang tidak perlu
seprti : teologi zaman pertengahan cabang-cabang filsafat tertentu (seperti
logika), dan segudang karya tentang hukum Islam. Penyederhanaan ini berupa
pengesampingan sebagian besar karya-karya dalam berbagai disiplin zaman
pertengahan dan menekankan pada bidang hadits, bahasa dan kesusastraan Arab
serta prinsip-prinsip tafsir al-Qur’an.
Menggabungkan cabang-cabang ilmu
pengetahuan baru.
Dalam
kasus seperti ini, lama waktu belajar diperpanjang dan disesuaikan dengan
panjang lingkup kurikulum sekolah-sekolah dan akademi modern. Di Indonesia
pada tingkat akademi telah dimulai dilakukan upaya-upaya yang ditujukan
untuk menggabungkan ilmu-ilmu pengetahuan modern dengan ilmu-ilmu
pengetahuan tradisional.[39]
Akan
tetapi menurut Fazlur Rahman, integrasi dan penggabungan yang seperti
diuraikan di atas tidak ada, karena sifat pengajaran yang umumnya mekanis
dan hanya menyandingkan ilmu pengetahuan yang lama dengan ilmu pengetahuan
yang modern. Situasi ini diperburuk lagi dengan masih minimnya jumlah
buku-buku yang tersedia di perpustakaan. Sehingga hal ini mengakibatkan, di
satu pihak pengajaran akan tetap mandul sekalipun anak didik mempunyai
bakat dan kemauan, di lain pihak guru-guru yang berkualitas dan
professional serta memiliki pikiran-pikiran yang kreatif dan terpadu tidak
akan dihasilkan dalam skala yang mencukupi.[40]
Dari
pembahasan di atas, ada beberapa indikator sebagai usaha pembaharuan
pendidikan Islam, yaitu: (a) Setting pendidikan; (b) Lingkungan pendidikan;
(c) Karakteristik pembaharuan; dan (d) Kurikulum yang disajikan sesuai
dengan karakteristik tujuan. Perlu diketahui bahwa suatu usaha pembaharuan
pendidikan dapat terarah dengan baik apabila didasarkan pada kerangka dasar
filsafat dan teori pendidikan yang mantap.
Filsafat
pendidikan hanya dapat dikembangkan berdasarkan asumsi-asumsi dasar yang
kokoh dan jelas tentang manusia, baik sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat, hubungannya dengan lingkungan, alam semesta,
akhiratnya, dan hubungannya dengan Maha Pencipta. Sedangkan teori
pendidikan dapat dikembangkan atas dasar pertemuan antara pendekatan filosofis
dan penedekatan empiris.[41] Dengan demikian, kerangka dasar pertama
pembaharuan pendidikan Islam adalah “konsepsi filosofis” dan “teori
pendidikan” yang didasarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia yang
hubungannya dengan masyarakat, lingkungan, dan ajaran Islam.
Usaha-usaha
pembaharuan pendidikan tersebut dilakukan untuk membangun sistem pendidikan
Islam yang benar-benar mampu memberdayakan umat; dimulai dari pemberdayaan
para pendidik (guru atau dosen), siswa atau mahasiswa, lulusan (alumni), kemudian
berpengaruh pada pemberdayaan masyarakat dan negara. Pemberdayaan yang
komprehensif dan berkesinambungan inilah yang menjadi bekal utama dalam
meraih kejayaan peradapan Islam. Dengan pemberdayaan itu, masing-masing
individu memiliki kemandirian yang kuat, kemampuan yang bisa diandalkan,
kemauan keras untuk maju, dan kepedulian sosial yang tinggi. Akumulasi dari
semua unsur ini menjadi kekuatan besar yang mampu mengubah tatanan menjadi
tatanan baru sama sekali, yaitu suatu tatanan yang merupakan prasyarat
lahirnya peradapan Islam yang unggul.[42]
Melihat
kondisi yang demikian itu, Fazlur Rahman mencoba menawarkan solusinya, dia
berpendapat bahwa kondisi obyektif masyarakat Islam yang mengalami
kemacetan tidak hanya di bidang lahiriyah tetapi juga di bidang
intelektual, maka dominasi politik dan teknologi penjajah Barat segera
mendapat tanggapan dari tokoh-tokoh modernis, sehingga ide yang berkembang
adalah modernisme intelektual dan modernisme politik. Untuk mengatasi
kemacetan di bidang intelektual. Semua pembaharu klasik menekankan arti
pentingnya rasio (pikiran) dan paham rasionalisme, sekalipun dalam tatanan
yang berbeda-beda. Dimulai oleh Jamaluddin al-Afghani (1255-1315
H/1839-1897 M) yang menyerukan peningkatan standar moral dan intelektual
untuk menanggulangi bahaya ekspansionisme Barat. Walaupun ia sendiri tidak
melakukan modernisasi intelektual, namun seruannya menggugah masyarakat
Muslim untuk mengembangkan dan menyebarkan disiplin-disiplin filosofis, dan
ia hanya mengadakan sedikit upaya pembaharuan pendidikan secara umum.[43]
Maka
selanjutnya menjadi tugas Muhammad ‘Abduh (1261-1323 H/1845-1905 M) di
Mesir dan Sayyid Ahmad Khan (1232-1316 H/1817-1898 M) di India untuk
membuktikan pernyataan al-Afghani bahwa akal dan ilmu pengetahuan tidak bertentangan
dengan Islam. Keduanya, yakni Muhammad ‘Abduh dan Ahmad Khan, sama-sama
lahir dari tradisi madrasah, sama-sama menekankan paham rasionalisme Islam
dan free will, sama-sama mengadakan pengetahuan modern ke dalam kurikulum
al-Azhar, sedang Ahmad Khan dengan mendirikan perguruan tinggi Aligarh yang
sekuler.
Upaya
dan tokoh-tokoh pembaharu ini pada akhirnya melahirkan sejumlah murid yang
meneruskan proses modernisme. Jadi inilah yang dimaksudkan oleh kutipan
Rahman di atas, ”bahwa pembaharuan modernisme klasik setidak-tidaknya telah
berupaya mengadakan reformasi internal, yakni menanamkan rasionalisme
sebagai solusi awal terhadap kemacetan dan kemerosotan intelektual”.
Ide-ide
kreatif yang dimunculkan oleh kebanyakan modernis kontemporer pada umumnya
tidak jauh berbeda dengan kebijakan modernisme klasik. Mereka mencarikan
konsep-konsep baru dalam bidang-bidang tertentu secara lebih sistematis.
Adalah Ziauddin Sardar, pakar fisika Pakistan, bersama dengan Ali Syari’ati
(1933-1977), intelektual sosial Iran, menampilkan ide membangun peradaban
yang Islami, atau Islamisasi peradaban. Keduanyta menolak alih teknologi
Barat dapat “mendongkrak” dunia Islam untuk maju.
Karena
teknologi yang dipinjam dari Barat selalu tidak cocok dengan masyarakat
Muslim, alih teknologi tidak hanya menyebabkan mapannya ketergantungan
dunia Islam terhadap Barat, juga merusak kebudayaan dan lingkungan Muslim.
Solusi yang disampaikan oleh Sardar adalah mengembangkan teknologi yang
mencerminkan norma-norma budaya Islam, dalam aspek sejarah, ekonomi,
pendidikan dan pemerintahan.
Bersama-sama
dengan Hossein Nasr, Sardar menilai bahwa peradaban Barat telah
menghancurkan dan melepaskan nilai-nilai sakral dan spiritual alam.
Kemajuan teknologi yang tidak terkendali telah menimbulkan kekhawatiran
terhadap masa depan peradaban manusia, karena kehidupan modern Barat telah
kehilangan visi transendental (Ilahiyah). Dalam hal ini Nasr memilih
spiritualisme sebagai solusi alternatif upaya pembebasan manusia modern.
Nasr sangat optimis dengan solusi
sufistik ini. Menurut sufisme akan memuaskan manusia modern dalam mencari
Tuhan. Masyarakat Barat modern hampir-hampir bosan dengan tradisi ilmiah
teknologis yang kering dan mereka tidak menemukan pemuasnya dalam ajaran
Kristen dan Budha, maka upaya memperkenalkan sufisme Islam kian
mendesak.[44]
Dalam
konteks Islam, menurutnya, spiritualitas mengandung beberapa dimensi
seperti tercermin melalui istilah ruh dan sikap batin. Inilah yang
membedakannya spiritual dalam pengertian Barat, yang dipahami sekadar
fenomena psikologis. Menurut krisis peradaban Barat modern bersumber dari
penolakan ruh dan pengingkaran ma’nawiah dalam kehidupan. Manusia Barat
membebaskan diri dari Tuhan dan mereka menjadi tuan bagi kehidupan sehingga
terputus dari spiritualitasnya, maka terjadilah desakralisasi. Alam hanya
difungsikan sebagai obyek dan sumber daya untuk diekspolitasi semaksimal
mungkin.[45]
Fenomena
inilah yang dianggap paling penting oleh Nasr untuk dicarikan solusinya
melalui spiritualisme Islam. Solusi lainnya yang dikembangkan oleh sejumlah
pemikir modernis, sehingga gemanya lebih terdengar dibanding dua solusi di
atas, adalah Islamisasi sains (ilmu pengetahuan). Yaitu Isma’il Raji
al-Faruqi dan Naquib al-attas, dua tokoh modernis yang paling awal yang menyuarakan
Islamisasi ilmu pengetahuan.
Dari
dua konsep yang disampaikan dua tokoh tersebut tergambar adanya keinginan
memberi warna atau nilai agamis pada pengetahuan. Gagasan Islamisasi
pengetahuan sampai sekarang, walaupun telah menjadi tema sentral yang trendi
di kalangan cendekiawan Muslim, masih merupakan gagasan dasar dan
kontroversial yang memerlukan waktu lama untuk mencapai apa yang
dikehendaki dengan “sains yang Islami”.[46]
Dewasa
ini pendidikan Islam sedang dihadapkan dengan tantangan yang jauh lebih
berat dari masa permulaan penyebaran islam. Tantangan tersebut berupa
timbulnya aspirasi dan idealisme umat
manusia yang serba multi interest dan berdimensi nilai ganda
dengan tuntutan hidup yang
multi komplek pula .Ditanbah lagi
dengan beban psikologis umat islam dalam menghadapi barat bekas saingan
jika bukanya musuh sepanjang sejarah . Kesulitan ini semakin menjadi akut
karena faktor psikologis yang lain , yang timbul sebagai komplek pihak yang
kalah, berbeda dengan kedudakan umat islam klasik pada waktu itu umat islam adalah pihak
yang menang dan berkuasa.
Fenomena
tersebut, menurut Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, telah menyuburkan tumbuhnya golongan-golongan penekan
.Golongan-golongan ini dengan cepat meraih kekuasaan dari orang-orang yang pikiranya lebih
cenderung kepada agama. Akibatnya munculah suatu ketergantungan dan
pertentangan antara golongan sekular dengan golongan agama. Pertentangan
ini telah menampakan diri secara terang-terangan dibeberapa negara seperti
Turki, Mesir, Pakistan dan Indonesia
Fenomena
pada gilirannya mengakibatkan pendidikan islam tidak diarahkan kepada
tujuan yang positif. Tujuan pendidikan islam cenderung berorientasi kepada
kehidupan akhirat semata dan bersifat desentif. Hal ini sebagai mana yang
dikemukakan oleh Rahman bahwa :
Strategi
pendidikan islam yang ada sekarang ini tidaklah benar-benar diarahkan
kepada tujuan yang positif,tetapi lebih cenderung bersifat defensif yaitu
untuk menyelamatkan pikiran kaum Muslimin dari pencemaran atau kerusakan
yang ditimbulkan oleh dampak gagasan-gagasan Barat yang datang melalui
berbagai disiplin ilmu,terutama gagasan-gagasan yang akan meledakkan
standar moralitas Islam (Nurcholish, 1992 : 455).
Dalam
kondisi kepanikan spiritual itu, strategi pendidikan Islam yang dikembangkan
diseluruh dunia Islam secara universal bersifat mekanis. Akibatnya munculah
golongan yang menolak segala apa yang berbau Barat, bahkan adapula yang
mengharamkan pengambil alihan ilmu dan teknologinya.Sehingga apabila
kondisi ini terus berlanjut akan dapat menyebabkan kemunduran umat
Islam.[47]
Menurut
Rahman, ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, tujuan pendidikan
Islam yang bersifat desentif dan cenderung berorientasi hanya kepada
kehidupan akhirat tersebut harus segera diubah.Tujuan pendidikan islam
harus berorientasi kepada kehidupan dunia dan akhirat sekaligus serta
bersumber pada AL-Qur’an. Menurutnya bahwa :
Tujuan
pendidikan dalam pandangan AL-Qur’an adalah untuk mengembangkan kemampuan
inti manusia dengan cara yang sedemikian rupa sehingga ilmu pengetahuan
yang diperolehnya akan menyatu dengan kepribadian kreatifnya.
Kedua,
beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat harus segera
dihilangkan.Untuk menghilangkan beban psikologis umat Islam tersebut,Rahman
menganjurkan supaya dilakukan kajian Islam yang menyeluruh secara historis
dan sistimatis mengenai perkembangan disiplin-disiplin ilmu Islam seperti
teologi,hukum,etika,hadis ilmu-ilmu sosial,dan filsafat,dengan berpegang
kepada AL-Qur’an sebagai penilai.Sebab disiplin ilmu-ilmu Islam yang telah
berkembang dalam sejarah itulah yang memberikan kontiunitas kepada wujud
intelektual dan spiritual masyarakat Muslim.Sehingga melalui upaya ini
diharapkan dapat menghilangkan beban psikologis umat Islam dalam menghadapi
Barat.
Ketiga,
sikap negatif umat Islam terhadap ilmu pengetahuan juga harus dirubah.
Sebab menurut Rahmah, ilmu pengetahuan tidak ada yang salah, yang salah
adalah penggunanya. Ilmu tentang atom misalnya, telah ditemukan saintis
Barat, namun sebelum mereka memanfaatkan tenaga listrik dari penemuan itu
(yang dimaksud memanfaatkan energi hasil reaksi inti yang dapat
ditransformasikan menjadi energi listrik) atau menggunakannya buat hal-hal
yang berbguna, mereka menciptakan bom atom. Kini pembuatan bom atom masih terus
dilakukan bahkan dijadikan sebagai ajang perlombaan. Para saintis kemudian
dengan cemas mencari jalan untuk menghentikan pembuatan senjata dahsyat
itu. [48]
Tokoh Reformis Modern: Islamisasi
Ilmu
Sesungguhnya
usaha pengislaman ilmu ini telah terjadi sejak zaman Rasulullah SAW dan
para sahabat pada saat turunnya al-Quran dalam bahasa Arab. Al-Quran telah
membawa bahasa Arab ke arah penggunaan yang lebih menenangkan dan damai
sehingga merubah watak, perangai dan tingkah laku orang Arab ketika itu.
Al-Quran juga merubah pandangan hidup mereka tentang alam semesta dan
kehidupan dunia. Pengislaman ilmu ini diteruskan oleh para sahabat, tabi’in
dan ulama-ulama sehingga umat Islam mencapai kegemilangan dalam ilmu. Oleh
itu, islamisasi dalam arti kata yang sebenarnya bukanlah perkara baru.[49]
Ketika
semangat Islamisasi ilmu pengetahuan muncul di Pakistan pada masa Presiden
Zia’ul Haq pada awal 1980-an, Bashiruddin Mahmood, Direktur Direktorat
Energi Nuklir Pakistan bersama teman-temannya segera menyambutnya dengan
dengan mendirikan “Holy Quran Research Foundation“. Salah satu hasil
kajiannya berupa buku “Mechanics of the Doomsday and Life after Death: The
Ultimate Fate of the Universe as Seen Through the Holy Quran” (1987).
Sayang,
obsesinya untuk mengislamisasi sains tampaknya tidak mempunyai pijakan.
Fenomena penciptaan dan kehancuran alam semesta yang katanya ditinjaunya
dari Alquran dianalisisnya tanpa menggunakan sains secara utuh. Hasilnya,
banyak kejanggalan dari segi saintifiknya. Di Indonesia, publikasi serupa
itu ada juga, misalkan oleh Nazwar Syamsu dan Fahmi Basya.
Pada
perkembangan selanjutnya, sejak beberapa dekade yang lalu hingga kini
muncul berbagai kritik terhadap Sains Modern. Bukan saja ilmuwan Muslim,
tapi banyak ilmuwan Barat sendiri mulai kritis dan mengevaluasi sains yang
ada. Mereka umumnya mempertanyakan keabsahan paradigma Sains Modern bahkan
cenderung skeptis tentang masa depan Sains Modern. Mereka coba menganalisa
dan mencari paradigma sains alternatif. Bagi ilmuwan Muslim, tentu paradigma
yang didasarkan pada nilai-nilai Islamlah yang menjadi tumpuan alternatif.
Upaya-upaya inilah yang sering disebut Islamisasi sains. Selain percaya
pada kesempurnaan nilai-nilai normatif Islam, para ilmuwan Muslim juga
percaya pada kesanggupan Islam terjun di wilayah praxis sains, seperti
dibuktikan pada masa keemasan Islam.[50]
Dalam
konteks “kerangka operasional” pengislaman ilmu-ilmu masa sekarang
dicetuskan semula oleh tokoh-tokoh ilmuwan Islam seperti Prof. Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Al-Faruqi, Seyyed Hussein Nasr, Fazlur Rahman,
dan lain-lain.[51]
Muhammad Naquib Al-Attas
Bagi
masyarakat awam di Indonesia, nama Syed Muhammad Naquib Al-Attas mungkin
terasa asing. Tetapi bagi kalangan
akademinisi yang pernah membaca karya-karyanya dalam edisi bahasa Indonesia
seperti Islam dan Sekulerisme (Pustaka, Bandung) yang pernah populer pada
dekade 80-an; Islam dan Filsafat Sains atau Konsep Pendidikan Islam (Mizan,
Bandung) hampir pasti mengenalnya. Al-Attas, pria asli kelahiran Bogor Jawa
Barat, 5 September 1931 namun besar di Malaysia tersebut, sangat memahami
secara akurat akar kebudayaan dan pandangan hidup Islam dan Barat. Dari itu
pula, ia mampu mengidentifikasi penyebab kemunduran umat Islam kemudian
memberi solusi konseptual secara tepat.
Menurutnya, kemunduran umat Islam itu disebabkan oleh lemah dan
rusaknya ilmu pengetahuan (corruption knowledge), sehingga tidak mampu lagi
membedakan antara kebenaran dan kepalsuan.
Karena itu ia menawarkan solusi sentralnya, yakni pembenahan ilmi
pengetahuan umat Islam secara fundamental yang lebih populer dengan
‘Islamisasi Ilmu Pengetahuan’, suatu istilah yang hingga kini acap
disalahpahami dan menjadi sebuah kontroversi.[52]
Al-Faruqi
Ismail
Al-Faruqi adalah orator ulung, cendikiawan yang handal dalam studi islam,
dan mungkin salah seorang cendikiawan Muslim yang sangat disegani dalam
bidang etika kristen. Al-Faruqi telah memanfaatkan tulisan-tulisan Al-Attas
secara mendalam sehingga memberinya inspirasi untuk menulis risalah “The
Islamization of Knowledge”. Risalah yang diterbitkan oleh IIIT
(International Institute of Islamic Thought) dan sekarang menjadi terkenal.
Tulisan tersebut ditulis setelah Seminar Pertama mengenai Islamisasi Ilmu
Pengetahuan yang diadakan oleh Universitas Islam di Islambad, Pakistan dan
I I I T pada Januari 1982. [53]
Seyyed Hussein Nasr
Adalah
seorang cendikiawan Muslim kontemporer yang sangat termasyhur. Dia
sebenarnya dapat dianggap sebagai cendikiawan Muslim dalam bidang sejarah
sains Islam yang terkenal pada zaman modern ini. Karya-karya kreatifnya
dalam pelbagai topik berkisar pada aspek-aspek sejarah filsafat Islam,
sains, dan tasawuf, serta belpagai aspek filsafat perennial, seperti yang
disampaikan oleh Rene Guenon, A.K. Coomaraswamy, Frithjof Schuon. Karya-karyanya itu telah
diterjemahkan dan disebarkan dalam belbagai bahasa. Dalam salah satu karya
utamanya terdahulu, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, dia
hanya menunjukkan secara inplisit metode untuk mengislamkan sains modern
dengan menyarankan agar sains modern diinterpretasikan dan diaplikasikan ke
dalam “konsepsi Islam mengenai kosmos”.[54]
Fazlur Rahman
Seorang
pemikir neomodernis, adalah partisipan akhir dan tidak langsung dalam
agenda islamisasi ilmu pengetahuan. Perhatiannya terhadap islamisasi, yang
bermula ketika bersahabat dekat dengan rezim Ayyub Khan pada tahun 1960-an,
berkisar terutama pada bidang hukum. Dalam bukunya, Islam and Modernity,
Fazlur Rahman berkomentar panjang lebar mengenai usaha-usaha untuk
mengislamkan pendidikan umat Islam yakni agar memasukkan konsep-konsep
kunci tertentu mengenai Islam. Dia menyatakan bahwa strategi ini melibatkan
dua aspek yang saling berhubungan, pertama, membentuk mental anak didik
dengan nilai-nilai Islambagi kepentingan kehidupan pribadi dan kolektif;
dan kedua, memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam bidang-bidang studi yang
lebih tinggi. Dia menekankan perlunya kerja intelektual untuk menjabarkan
metafisika Islam berdasarkan Al-Qur’an. Program Rahman yang terbesar adalah
keberhasilannya merancang metode baru dalam penafsiran Al-Qur’an. Jadi
tataran pemikiran Rahman berada pada tingkat ontologi dan epistemologi,
tidak pada tataran aksiologi. Agaknya Rahman menyadari bahwa masalah
internal yang harus diselesaikan oleh modernisme kontemporer. Masalah tersebut,
menurut Rahman tidak cukup diselesaikan melalui gerakan reformasi tetapi
harus diselesaikan melalui upaya-upaya rekonstruksi pemikiran Islam.[55]
Penutup
Pendidikan
memiliki peranan yang sangat penting dalam mengembangkan peradapan Islam
dan mencapai kejayaan umat Islam. Ironisya, kenyataan di lapangan kondisi
pendidikan Islam di Indonesia
menghadapi berbagai persoalan dan kesenjangan dalam berbagai aspek yang
lebih kompleks, yaitu berupa persoalan dikotomi pendidikan, kurikulum,
tujuan, sumber daya, serta manajemen pendidikan Islam. Upaya perbaikan
belum dilakukan secara mendasar, sehingga terkesan seadanya saja. Usaha
pembaharuan dan peningkatan pendidikan Islam sering bersifat
sepotong-sepotong atau tidak konprehensif dan menyeluruh serta sebagian
besar sistem dan lembaga pendidikan Islam belum dikelola secara
profesional.
Suatu
usaha pembaharuan pendidikan dapat terarah dengan baik apabila didasarkan
pada kerangka dasar filsafat dan teori pendidikan yang mantap. Ada beberapa
indikator sebagai usaha pembaharuan pendidikan Islam, yaitu: (a) Setting
pendidikan; (b) Lingkungan pendidikan; (c) Karakteristik pembaharuan; dan
(d) Kurikulum yang disajikan sesuai dengan karakteristik tujuan. Selain
itu, usaha-usaha pembaharuan pendidikan tersebut juga dilakukan untuk
membangun sistem pendidikan Islam yang benar-benar mampu memberdayakan
umat; dimulai dari pemberdayaan para pendidik (guru atau dosen), siswa atau
mahasiswa, lulusan (alumni), kemudian berpengaruh pada pemberdayaan
masyarakat dan negara. Pemberdayaan yang komprehensif dan berkesinambungan
inilah yang menjadi bekal utama dalam meraih kejayaan peradapan Islam.
Gambaran
masyarakat Islam sekarang adalah masyarakat yang semi-mati, menerima
pukulan-pukulan destruktif atau pengaruh-pengaruh Barat yang menekan.
Sebetulnya krisis intelektual dan benturan kultural semacam ini pernah
dihadapi oleh masyarakat muslim dari abad 2H./8M. Mereka pada saat itu,
dihadapkan dengan tantangan intelektual “Hellenis”. Namun mereka berhasil
mengatasi benturan dan tantangan tersebut dengan cara asimilasi-kreatif.
Faktor keberhasilan tersebut adalah adanya dominasi politik Islam. Secara
praktis Islam pada saat itu adalah penguasa politik terbesar dunia, faktor
lainnya adalah kondisi dan situasi Islam saat itu belum terbebani oleh
tradisi agama yang semi-mati, hal ini sangat berbeda dengan kondisi dan
situasi Islam pada abad 17 M dan lebih khusus pada akhir abad 18 M.
Akibat
kekalahan dan penyerahan politik, menjadikan umat Islam secara psikoligis
tidak mampu merumuskan kembali warisannya secara konstruktif, sehingga
upaya modernisasi yang berkembang terkesan sekedar meminjam dan
mengimpor/mengoper kemajuan peradaban Barat.
Bagaimanapun
juga umat Islam yang baru bangun dan baru bangkit tersebut belum siap
mengadakan modernisasi yang lebih besar dan mendasar. Untuk arah kesana
diperlukan proses dan waktu yang panjang.
Oleh
karena itu, guna menghadapi himpitan-himpitan modernisasi tersebut,
pendidikan Islam membutuhkan perubahan yang signifikan. Perumusan visi dan
misi pendidikan yang baru untuk membangun serta meningkatkan mutu dan
kualitas manusia dan masyarakat muslim. Apabila tidak melakukan perubahan,
pendidikan Islam akan tetap “terbelakang” dan tidak mampu bersaing dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
DAFTAR
PUSTAKA
‘Abud,
Abd al-Gani. Fi al- Tarbiyah al-Islamiyah, Mesir: Dar al Fikr al-fikr
al-Arabi, 1977.
Al
Attas, S.M. Naquib, The Consept OF Education In Islam. ISTAC: Kualalumpur,
1991
Al-Hikmah,
Jurnal studi-studi Islam. Dzulhijjah awal, 1412/juli-oktober, 1991.
Al
Faruqi, Ismail R, Islamisasi Pengetahuan (terj). Balai Pustaka:
Bandung,1984
Amrullah,
Ahmad. Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1998.
Arikunto,
Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktis. PT. Bima Karya:
Jakarta, 1989.
Asrohah,
Hanun, Sejarah Pendidikan Islam. Logos Wacana Ilmu: Jakarta, 1999.
Assegaf,
Abdurrahman dkk. Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Suka Press,
2007
Ihsan,
Hamdani dan Ihsan, H.A. Fuad, Filsafat Pendidikan Islam. CV Pustaka Setia:
Bandung, 2001.
Ilyas,
Mukhlisuddin, Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Logos : Bandung, 2005
Iman,
M .Sohibul, Perlunya Islamisasi Sains.ISTECS : Jakarta, 2004.
Koentjaraningrat,
Metode-metode Penelitian Masyarakat. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1997.
Maarif,
A.Syarif , Pemikiran tentang Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia.
dalam Muslih Usa (Ed), Peniddikan Islam Di Indonesia Antara Citra dan
Fakta, Tiara Wacana: Yogyakarta, 1991.
Ma’arif,
Syamsul. Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.
Moeleong,
Lexy, Metode Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosyda Karya: Bandung, 2000.
Muhaimin
Dkk, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman Studi Kritis Pembaharuan
Pendidikan Islam. Cirebon: Dinamika, 1999.
Muhaimin,
Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam Di sekolah. PT
Rosdakarya: Bandung, 2001.
Mulkhan,
Abdul Munir, Dilema Madrasah di antara Dua Dunia, From: http://www.
Pesantren online.com/artikel/detail artikel-php3?artikel=101, 4 April 2002,
dalam Hujair AH. Sanaky.
Munir
Mulkhan, Abdul, Nalar Spiritual Pendidikan:Solusi Problem Filosofis
Pendidikan Islam. PT Tiara Wacana: Yogyakarta, 2002.
Nizar,
Samsul, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, dan
Praktis. Ciputat Pers: Jakarta, 2002.
Nor
Wan Daud, Wan Mohd, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib
Al-Attas, Mizan: Bandung, 2003.
Qomar,
Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional hingga Metode
Kritik. Erlangga : Jakarta, 2005.
Rahman
Fazlur, Islam and Modernity ;
Transformation An Intellectual Tradition. University of Chicago Press:
Chicago 1982
Rahman,
Fazlur, Islam dan Modernitas.
Major
Themes of The Qur’an, ter. Mahyudin, Anas, Tema-Tema Pokok al-Qur’an. Pustaka:
Bandung, 1983.
[1]
Lebih jelasnya dapat dilhat Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam. (Logos
Wacana Ilmu: Jakarta, 1999), hlm: 12
[2]
Lihat Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam:Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam Di sekolah. (PT
Rosdakarya: Bandung, 2001),hlm: 36
[3]
Ibid, hlm: 36
[4]
Lihat Muhaimin, (2001), hlm: 37
[5]
Lihat Muhaimin, (2001), hlm: 37
[6]
Lihat Muhaimin, (2001), hlm: 37
[7]
Hamdani Ihsan dan H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam. (CV Pustaka
Setia: Bandung, 2001), hlm: 15-16
[8] Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam:Pendekatan Historis, Teoritis, dan
Praktis. (Ciputat Pers: Jakarta, 2002), hlm: 34
[9]
Lihat Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafah. hlm: 24 dalam Samsul Nizar hlm: 35
[10]
Lihat C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan. hlm: 59 dalam Samsul Nizar
hlm: 35-36
[11]
Hamdani Ihsan dan H.A. Fuad Ihsan, Op.Cit, hlm: 59-62
[12]
Philip k.Hitti, 1996 dikutip oleh Syamsul Ma’arif. 2007.Revitalisasi
Pendidikan Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, hlm: 18
[13]
Ibid, hlm: 18
[14]
Ibid, hlm: 21
[15]
Abd al-Gani ‘Abud. 1977, Fi al- Tarbiyah al-Islamiyah, Mesir: Dar al-Fikr
al-fikr al-Arabi, hlm: 132
[16]
Ibid, hal: 131
[17]
Abdurrahman Assegaf dkk. 2007,Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta:
Suka Press, hlm: 25
[18]
Op.Cit, Syamsul Ma’arif., hlm: 13
[19]
Ibid, hlm: 13
[20]
Ibid, hlm: 60
[21]
Ahmad Amrullah. 1998, Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam,
Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm: 38
[22]
Op.Cit, Syamsul Ma’arif, hlm: 60-61
[23]
Wan Mohd Nor Wan Daud, , Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.
Naquib Al-Attas, (Bandung: Mizan, 2003), hlm: 23. Wan Mohd Nor Wan Daud
adalah lulusan Universitas Chicago, tahun 1987, di bawah bimbingan Dr.
Fazlur Rahman. Disertasi doktoralnya diterbitkan oleh Mansell Publishing Ltd.
(London-New-York), dengan judul “The Concept of Knowledge in Islam”.
Sekarang, dia bekerja bersama Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas sebagai
deputi direktur dan profesor di International Institute of Islamic Though
and Civilization (ISTAC), Kuala Lumpur. Karya-karyanya, antara lain, adalah
The Beacon on the Crest of a Hill: A Brief History and Philosophy of the
International Institue of Islamic Thought and Civilization (1991), dan An
Exposition of Knowldege Culture (1991).
[24]
Ismail R.al Faruqi, SIslamisasi Pengetahuan (terj),( Balai Pustaka:
Bandung, S1984), hlm: 98
[25]
S.M. Naqoib Al Attas, The Consept OF Education In Islam. ISTAC:
Kualalumpur, 1991), hlm: 43
[26]
Muhammad Naquib al-Attas, Al-Hikmah, Jurnal studi-studi Islam. (Dzulhijjah awal, 1412/juli-oktober,
1991), hlm: 88.
[27]
Wan Mohd Nor Wan Daud,Op.Cit, hlm:
62.
[28]
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga
Metode Kritik. (Erlangga: Jakarta. 2005). hlm. 116
[29]
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib
Al-Attas. (Mizan: Bandung. 2003). hlm. 343.
[30]
Anton Bakher dan Achmad Charris Zubair, dalam Mujamil Qomar, Op.Cit, hlm:
226
[31]
Irfan Ahmad Khan, dalam Mujamil Qomar, Log.Cit.
[32]
Ibid, hlm: 234
[33]
Ismail Raji Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan. hlm: 25 dikutip oleh Hujair
AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam:Membangun Masyarakat Madani
Indonesia. (Safiria Insania Press: Yogyakarta, 2003), hlm: 9
[34]
Muhaimin Dkk, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman Studi Kritis Pembaharuan
Pendidikan Islam. (Cirebon: Dinamika, 1999), hlm: 2-4 dalam Hujair AH. Sanaky, hlm: 9
[35]
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas. hlm: 160 dalam Hujair AH. Sanaky, hlm:
9
[36]
A. Syarif Maarif , Pemikiran tentang
Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia. dalam Muslih Usa (Ed),
Peniddikan Islam Di Indonesia Antara Citra dan Fakta, (Tiara Wacana:
Yogyakarta, 1991), hlm: 150, dikutip oleh Hujair AH. Sanaky, hlm: 10
[37]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity ;
Transformation An Intellectual Tradition. (University of Chicago
Press: Chicago 1982), hlm:131
[38]
Ibid, hlm: 131.
[39]
Ibid, hlm: 138
[40]
Ibid, hlm: 139
[41]
Abdul Munir Mulkhan, Dilema Madrasah di antara Dua Dunia, From: http://www.
Pesantren online.com/artikel/detail artikel-php3?artikel=101, 4 April 2002,
dalam Hujair AH. Sanaky, hlm: 11
[42]
Mujamil Qomar, Op.Cit, hlm: 234-235
[43]
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas. hlm: 172 dalam Hujair AH. Sanaky, hlm:
11
[44]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity,
Op.Cit, hlm: 140-143
[45]
Ibid, hlm: 144
[46]
Ibid
[47]
Ibid, hlm: 161
[48]
Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an, ter. Mahyudin, Anas, Tema-Tema
Pokok al-Qur’an. (Pustaka: Bandung, 1983), hlm: 67
[49]
Mukhlisuddin Ilyas, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Logos : Bandung, 2005),
hlm: 6
[50] M
.Sohibul Iman,. Perlunya Islamisasi Sains. (ISTECS : Jakarta, 2004)
[51]
Mukhlisuddin Ilyas, Log.Cit
[52]
Wan Mohd Nor Wan Daud, Op.Cit, hlm: 45
[53]
Ibid, hlm: 392
[54]
Ibid, hlm: 401
[55]
Ibid, hlm: 406
Pasted From :
|