PESANTREN DALAM
LINTASAN SEJARAH BANGSA
 ( Sebuah Pemikiran Menghadapi Tantangan dan Perubahan )





Pengantar

Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional asli Indonesia, suatu bentruk indegineous cultur yang muncul bersamaan waktunya dengan penyebaran misi dakwah Islam di kepulauan Melayu – Nusantara sekitar abad ke-14. Kelahirannya merupakan kreasi sejaerah anak bangsa setelah mengalami persentuhan budaya dengan budata manca.

Pesantren merupakan artefak peradaban Indonesia yang dibangun sebagai institusi pendidikan keagamaan bercorak tradisional lebih bersifat unik dan indegineous ( Madjid : 1997 ), sebab lembaga model serupa ini sudah terdapat pada masa kekuasaan Hindu-Budha, sedangkan Islam hanyalah meneruskan dan mengislamkannya. Keaslian maupun keunikan pesantren tampak dalam perawatan dan pelestarian tradisi dan ritual keagamaan yang senantiasa dicobapertahankan sebagai upaya melestarikan khazanah ilmu warisan ulama abad pertengahan.

Seiring bergulirnya waktu, pesantren turut andil mewarnai babakan sejarah bangsa, karena itu semakin memantapkan posisinya di mata komponen bangsa lainnya, berbekal kemampuan dalam mengelola warisan tradisi salafi dan budaya lokal, pesantren mampu menjadi kekuatan alternatif, yakni dengan counter-cultur terhadap budaya mainstream. Atas dasar itu pula, pesantren mengemban tugas mulia “mengamankan” warga bangsa dari berbagai ancaman dan penetrasi budaya yang bersifat negatif yang dapat merusak moralitas dan nilai-nilai kuhur bangsa ini. Apresiasi pesantren terhadap Islam dan tradisi salaf menampilkan corak budaya Islam yang beragam dari masing-masing babakan sejarah yang dilalui, tergantung dari konteks sosio-politik-kultural yang melingkupi.

Dalam setiap fase sejarah yang dilalui, peran pesantren senantiasa mengundang daya tarik untuk ditelusuri dan butuh kajian yang komprehensif tentang lika liku pergulatanm pesantren dalam merespon tantangan zaman dan realitas sekitar. Babakan-babakan peran kesejarahan yang dimainkan pesantren  menarik demi suksesnya misi dakwah Islam di Nusantara, yaitu dengan memberikan makna yang kontekstual terhadap pesan-pesan keagamaan yang disampaikan kepada umat sehingga sedapat mungkin menghindari benturan-benturan di masyarakat. Dinamisasi model dakwah kultural ini tentu saja menuntut kerja-kerja revitalisasi dan reinvensi tradisi yang kreatif dan tidak asal serampangan. Cara demikian selalu aktif mempertahankan eksistensinya hingga berlanjut pada fase-fase sejarah di kemudian hari.

Pergulatan di Era Prakemerdekaan

Periode pertama pendirian pesantren tercatat dipelopori oleh para wali yang dikenal dengan sebutan Walisongo. Adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik (w.1419 M) orang yang pertama membangun pesantren sebagai tempat mendidik dan menggembleng para santri agar menjadi juru dakwah yang mahir sebelum diterjunkan langsung ke lapangan untuk menyebarkan pesan-pesan keagamaan kepada masyarakat luas (Shihab : 2002 : 23). Labtaran pengaruh otoritas Walisongo yang kian dominan mendorong gerakan Islamisasi di tanah Jawa berlangsung pesat dan semakin menjadi kekuatan “hegemonik” bersamaan dengan mulai runtuhnya singgasana kekuasaan Kerajaan Majapahit (1293-1478 M). Di wilayah pesisiran, keampuhan legitimasi Walisongo tidak hanya berpengaruh kuat ke pusat kekuasaan karena ia berposisi sebagai penasehat sultan sekaligus juga memiliki otoritas keagamaan yang tinggi yaitu sabagai muara rujukan perilaku bagi rakyatnya.

Dari hasil penelusuran sejarah ditemukan sejumlah bukti kuat yang menunjukkan, bahwa cikal bakal pendirian pesantren pada periode awal ini sebagian besar muncul di daerah-daerah yang dekat dengan kota-kota niaga sepanjang pantai utara Jawa. Seperti misalnya pembangunan pesantren di daerah Giri (Gresik), di Ampel Denta (Surabaya), Bonang (Tuban), Kudus, Lasem, Ceribon dan sebagainya. (Soebardi : 1978). Kota-kota tersebut pada saat itu merupakan kota kosmopolitan yang menjadi jalur perdagangan dunia, sekaligus sebagai tempat persinggahan para pedagang dan mubaligh Islam yang datang dari Gujarat, Samudera Pasai, India, Indochina, maupun dari Jazirah Arab seperti Hadramaut, Persia, Irak dan lain-lain. Selain berdagang mereka juga merangkap sebagai guru ngaji atau juru dakwah yang mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam kepada para penduduk setempat, yang ketempatan atau disinggahi. Dapatlah dimengerti jika dikemudian hari dikenal suatu istilah Kiai atau santri kelono, yaitu pengembaraan seorang alim agama dalam rangka melakukan dakwah keliling atau pengembaraan ilmiah santri dengan berguru kepada banyak kiai sembari berdakwah agama dengan berpindahj dari satu tempat ke tempat yang lain.

Barangkali karena pengaruh ekologi laut yang bebas (dinamis), serta di dukung faktor psikologis para juru dakwah yang kebetulan juga berprofesi sebagai pedagang, membuat pesantren pada periode awal ini cenderung menampilkan corak Islam kosmopolit, lebih adaptif dan cepat menerima nilai-nilai baru. Pencerapan terhadap tradisi lama dan budaya setempat (lokal), seperti mengadopsi bentuk-bentuk bangunan ibadah dan asrama, atau dalam menggunakan metode pembelajaran santri yang meniru model pembelajaran dan pengajaran mandala (metode bandongan) membuktikan akomodasi budaya yang dilakukan pesantren nampak kreatif dan penuh toleran sebagai praksis strategi kebudayaan (Habib : 2001 150-151). Tidak mengherankan jika di pusat-pusat perdagangan itu juga tumbuh komunitas yang menghargai pluralisme serta toleran terhadap hadirnya para pendatang baru yang bukan seiman, seperti kepada komunitas warga pecinan (Tionghoa) yang juga membangun tempat-tempat ibadah (klenteng) meski berada di daerah basis santri, seperti di Semarang, Kudus, Lasem, Rembang, Tuban, Gresik dan tempat lain yang sampai sekarang prototipnya masih menunjukkan bekasnya.

Setelah hegemoni kerajaan Islam Demak mengalami kejatuhan akibat konflik internal, maka perlahan-lahan corak Islam pesisiran pun mulai bergeser ke wilayah pedalaman. Kondisi ini diperparah setelah datangnya bangsa-bangsa Barat yang berhasil mengambil alih pusat-pusat perdagangan jalur pantai utara yang dulu pernah dikuasai oleh kelompok muslim, dengan terpkasa membuat komunitas pesantren pesisir kian tersingkir. Praktis, semenjak kolonialis Belanda menguasai kendali politik perdagangan dan perekonomian di Indonesia dengan melakukan monopoli perdagangan lewat VOC sekitar tahun 1620-an (Zuhri : 1981 : 378), maka pada gilirannya memaksa kantong-kantong kekuatan Islam beserta pusat-pusat kebudayaannya, termasuk pesantren di kota-kota niaga pantai utara (Pantura) Jawa bergerak masuk ke daerah-daerah pedalaman. Di daerah pedalaman para guru agama atau kiai yang dulunya mengajar di kota-kota perdagangan di wilayah Pantura berusaha membangun kembali padepokan baru sebagi pusat pengajian para santri dan menyiarkan Islam ke seluruh pelosok negeri (Dhifier : 1982 : 13 ).




ARTIKEL
By : Samsul Hadi
Dalam Majalah Pesantren Tahun 2003


0 Comments:

Post a Comment