KLIPING 4




TENTANG KEADILAN
Oleh: Diding Sudirman






“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah sekalipun (kesaksian ini) merugikan diri kalian sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabat kalian. (Karena) jika mereka kaya ataupun miskin, maka Allah lebih utama melindungi mereka. Oleh karena itu,  janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutarbalikkan (kebenaran) atau enggan menyampaikannya, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kalian kerjakan.” [QS. An-Nisa: 135]

Beberapa waktu yang lalu diketahui bahwa sebuah universitas terkenal di Amerika Serikat, Universitas Harvard, mengutip ayat al-Quran sebagai kata-kata emas. Universitas ini mengukir sebuah ayat al-Quran tentang keadilan dalam bentuk terjemahan di pintu gerbang fakultas hukum. Universitas Harvard bukanlah perguruan tinggi yang mengatasnamakan Islam. Hal ini membuktikan al-Quran bersifat universal dan tidak mengenal tempat serta komunitas. Al-Quran sesuai dengan nilai kemanusiaan di kalangan manapun. Keuniversalannya melingkupi segala bidang, termasuk dalam hal ini nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang disodorkan oleh konsep al-Quran.

Sejak kemunculannya, Islam menyodorkan konsep dan praktek dari keadilan universal. Sebagai penutup para nabi, Rasulullah saw mengemban misi dari seluruh nabi yang hadir sejak pertama kali manusia ada. Misi para nabi adalah menegakkan keadilan, sehingga manusia hidup dalam kebahagiaan dan pengabdian yang damai kepada Tuhan, kemanusiaan dan lingkungan. Allah swt dalam surah al-Hadid ayat 25 mengatakan, “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.”

Berbuat adil seperti memegang bara api. Jika api digenggam maka tangan akan terbakar dan jika api dilepas maka akan kehilangan cahaya. Demikian beratnya, sehingga sulit untuk berlaku adil sekalipun terhadap kawan sendiri, apalagi terhadap orang yang tidak sepaham. Terlebih lagi apabila keadilan diterapkan terhadap musuh yang jelas berseberangan dalam segala hal.

Keadilan tidak bisa dipisahkan dari kejujuran. Kejujuran yang harus ditujukan kepada diri sendiri dan kejujuran atas kebenaran yang seringkali justru berada di pihak lain yang terlanjur dideklarasikan sebagai lawan perjuangan.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dalam Ghurar Al-Hikam mengatakan, “Berbuatlah bijaksana kepada manusia, baik kepada diri sendiri, keluarga, orang-orang dekat dan orang-orang yang engkau sukai. Dan berbuat adillah kepada kawan dan musuh.”

Berlaku adil bagi para pemimpin merupakan hal yang sangat berat, baik pemimpin formal maupun orang yang kebetulan mempunyai massa. Kadang untuk menjaga imej dan loyalitas bawahannya ia sengaja menurunkan standar keadilan dan mengamini pendapat mayoritas agar tidak terdepak dari kekuasaan yang begitu manis melebihi gula-gula.

Imam Ali as adalah contoh keadilan setelah Rasulullah saw sepanjang zaman. Bahkan beliau adalah keadilan itu sendiri. Hingga di saat mendekati wafat dan kesyahidannya sekalipun, beliau senantiasa berlaku adil. Ketika itu Abdurrahman bin Muljam sang pelaku pembunuhan terhadap Imam dengan sabetan pedangnya di kepala suci Imam berhasil ditangkap. Imam Ali as berwasiat supaya berlaku adil dan tetap memperlakukan pembunuhnya dengan baik. Imam memerintahkan hukuman dilakukan sebatas melaksanakan qisas.

Amirul Mukminin as terkenal sebagai orang yang berbuat adil terhadap musuhnya. Dikisahkan ketika dalam sebuah peperangan, Imam Ali as berhasil mendesak seorang musuh dan hendak membunuh orang yang menjadi musuh Allah dan Rasul-Nya tersebut. Namun, ketika Imam Ali as mengayunkan pedang hendak memenggalnya, orang itu meludahi beliau. Seketika juga beliau mengurungkan niat untuk membunuhnya dan kembali menarik dzulfiqar-nya. Ketika ditanya kenapa tidak membunuh orang yang jelas menjadi musuh Allah dan Rasulullah tersebut, beliau mengatakan bahwa harus tetap berlaku adil sekalipun terhadap musuh. Sewaktu beliau akan membunuhnya, hal itu murni karena menjalankan perintah agama memerangi orang yang melawan dan menyerang agama Allah. Niat memerangi musuh-musuh Allah hanyalah mengharapkan rida-Nya semata. Namun ketika musuh meludahinya, beliau khawatir proses perang dan membunuh musuh yang dilakukannya tidak lagi berdasarkan niat suci Ilahi, tapi karena emosi, sakit hati dan dendam pribadi kepada orang tersebut. Dengan demikian, membunuh musuh hanya akan didasarkan pada kepentingan pribadi dan bukan lagi sesuai parameter keadilan agama.

Beliau juga dalam setiap peperangan mengikuti ajaran Rasulullah saw dengan tidak pernah mengejar musuh yang lari, tidak menganiaya musuh yang menyerah dan tidak pernah berbuat berlebihan terhadap musuh yang lemah. Beliau membumikan agama Rasulullah saw yang mengatur perang dengan tindakan adil terhadap semua musuh, orang-orang tua yang lemah, para wanita dan anak-anak, bahkan terhadap hewan, tumbuhan dan lingkungan.

Sekarang kita melihat negara-negara yang disebut adidaya sangat senang melakukan tindakan sewenang-wenang dan berlaku zalim terhadap negara lain yang dinilainya lebih lemah. Mereka melakukan penjajahan dan pembunuhan-pembunuhan masal terhadap penduduk bumi. Tidak hanya melakukan tindakan represif terhadap setiap orang atau kelompok yang berlawanan paham dengannya, mereka juga dengan dalih “terorisme” berusaha menghabisi setiap pengkritiknya. Hegemoni dilakukan bukan saja dalam bentuk terselubung, bahkan serangan militer dan pelanggaran HAM juga menjadi program dan agenda resmi. Propaganda tentang terorisme dan kejahatan sosial diterapkan kepada lawan-lawan politiknya. Hak veto digunakan sesuai hati. Istilah resolusi menjadi senjata ampuh bagi mereka untuk menekan pihak lain dengan memberlakukan embargo ekonomi, teknologi dan informasi. Padahal embargo adalah bagian dari kejahatan kemanusiaan internasional yang disengaja. Khususnya embargo ekonomi merupakan tindakan di luar peri kemanusiaan. Hukum internasional sering menjadi alat kepentingan sekelompok negara, bahkan segelintir orang saja. Alih-alih menjaga keamanan dan ketertiban dunia, hal ini dilakukan sebagai dalil untuk melancarkan kejahatan sosialnya. Merekalah yang melakukan penjajahan kemanusiaan dan kejahatan lainnya yang menghancurkan perdamaian dan ketertiban dunia dengan serangan-serangannya terhadap negara lain.

Hal ini pun tidak jarang dilakukan oleh individu-individu untuk menjaga eksistensi kekuasaan dan pengaruhnya. Sebagian para pejabat negara hidup dengan politik yang rendah dan kotor. Mereka melakukan segala cara politis yang dianggapnya mungkin untuk melindungi posisinya. Mereka bersama orang-orang kaya lainnya hidup bermegah-megah dan mewah di tengah masyarakat yang hidup serba kekurangan. Dalam dirinya tidak lagi muncul perasaan terenyuh melihat kemiskinan dan kesengsaraan ekonomi, sosial dan pendidikan yang menimpa masyarakat di sekitarnya. Bahkan dengan tunggangan politiknya, mereka memanfaatkan kondisi realitas masyarakat dan dijualnya demi sebuah proyek proposal. Sebagai contoh kecil adalah program-program reality show yang marak di media elektronik dalam negeri. Mereka menjual kemiskinan negerinya sendiri untuk keuntungan sakunya.

Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah khutbah ke-209 mengatakan: “Allah swt mewajibkan para pemimpin adil untuk mencukupkan kehidupan mereka sesuai standar kehidupan orang yang tidak mampu, sehingga orang fakir tidak mengeluh atas kefakirannya.”

Memprihatinkan ketika kita menyaksikan bahwa ketidakadilan banyak terjadi di negeri-negeri yang terbilang dihuni oleh mayoritas muslim. Dan yang lebih menyedihkan sikap ini muncul dari orang-orang yang mengaku muslim sendiri. Seharusnya kita merasa malu dengan realitas kehidupan muslim yang penuh dengan ajaran keadilan, malah dikotori dengan meninggalkan ajaran agung tersebut. Mungkin saja hal ini karena ketidaktahuan atas ajaran luhur Islam. Namun, ironisnya justru di kehidupan orang-orang yang secara formal bukan muslim, ternyata mereka mengenal dan memiliki penghargaan atas nilai-nilai keadilan yang diajarkan Islam.

Seperti yang pernah disebutkan sebelumnya, media Republika Online (18/1) mengabarkan bahwa Universitas Harvard yang didirikan di Cambridge, Massachusetts, pada tahun 1636 mengukirkan salah satu ayat al-Quran sebagai bentuk penghormatan di tembok yang menghadap pintu masuk utama fakultas hukum. Universitas tertua di Amerika Serikat itu mengabadikan ayat tersebut sebagai kata-kata terbaik tentang keadilan dan menyebut ayat suci ini sebagai salah satu ekspresi terhebat tentang keadilan sepanjang sejarah. Kutipan yang dianggap terjemahan dari al-Quran surah an-Nisa ayat 135 tersebut berbunyi:

“O ye who believe! Stand out firmly for justice, as witnesses to Allah, even as against yourselves, or your parents, or your kin, and wether it be (against) rich or poor: for Allah can best protector both.”

Terlepas apakah Harvard dan orang-orang di luar Islam mengamalkan pesan ayat tersebut atau tidak, fenomena ini menyinggung pribadi kita untuk lebih memperhatikan lagi ajaran agama kita sendiri, terutama mengenai nilai luhur keadilan. Sehingga apa yang diajarkan Allah swt melalui Rasulullah saw dan para Imam Makshum as menjadi acuan dan parameter kita dalam mengejawantahkan sikap adil di tengah-tengah kehidupan ini. []

Pengaruh Iman Kepada Hari Akhir bagi Akhlak Manusia

Keyakinan akan Hari Kiamat termasuk salah satu dari tiga prinsip utama Islam. Hari Kiamat di sampingkeyakinan terhadap Keesaan Tuhan (Tauhid) dan kenabian (nubuwah) tercatat sebagai pilar utama agama samawi. Maad (Kiamat/Kebangkitan) bermakna kembali. Seluruh agama Ilahi mengajarkan bahwa sumber wujud adalah Tuhan dan seluruh makhluk pada akhirnya akan kembali kepada-Nya. Maad juga berarti kembalinya seluruh makhluk ke asalnya (Tuhan).

Proses kembalinya makhluk kepada Tuhannya dijelaskan Allah Swt melalui surat Rum ayat 11 yang artinya, "Allah menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali; kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan." Uniknya lagi Allah Swt menempatkan keinginan makhluk untuk kembali kepada penciptanya ini di setiap fitrah mereka. Seluruh makhluk bergerak menuju kesempurnaan sejati berdasarkan kerinduan dan fitrah mereka.

Keyakinan akan Hari Kiamat memiliki pengaruh besar bagi perilaku manusia. Mereka yang meyakini akan adanya hari Kiamat dan kehidupan setelah mati, akan senantiasa berhati-hati dalam bertindak karena ia dengan baik mengetahui bahwa setiap perilakunya di dunia pasti dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak. Sejatinya seluruh perbuatan manusia terjaga dan nanti di akhirat amal tersebut akan menemani tuannya.

Pastinya mereka yang meyakini akan adanya Hari Kiamat senantiasa berusaha memperbaiki perbuatannya. Serta akan berhati-hati dalam setiap perbuatan. Imam Ali bin Abi Talib as dapat dijadikan teladan dalam hal ini. Ketika saudara beliau, Aqil bin Abi Talib dalam keadaan sangat miskin mendatangi Imam Ali dan meminta bagian lebih dari harta Bautil Mal (Kas Negara). Imam Ali ketika mendengar permintaan Aqil, langsung membakar besi hingga membara dan didekatkan ke mata saudaranya. Ketika Aqil berteriak karena kepanasan, Imam Ali berkata kepadanya, "Bagaimana kamu berteriak ketika besi panas ini belum menyentuh tanganmu, namun kamu telah menyeretku ke arah api neraka jahanam yang dipersiapkan Allah bagi mereka yang memakan harta orang lain?"

Iman dan keyakinan terhadap Tuhan yang dimiliki manusia merupakan kekuatan yang menjaganya dari ketergelinciran dalam perbuatan maksiat dan kejahatan. Terkait hal ini Syahid Murtadha Mutahhari mengatakan,"Semakin besar keimanan seseorang maka ia semakin mengingat Tuhan dan semakin manusia mengingat Tuhan, semakin kecil pula ia melakukan maksiat. Perintah ibadah diturunkan untuk membuat manusia senantiasa mengingat Tuhan sehingga mereka semakin berpegang teguh pada akhlak mulia serta hukum Tuhan."

Iman kepada Tuhan dan Hari Kiamat termasuk metode ideologi yang digunakan Islam serta menyebutnya sebagai faktor penting dalam mencegah kejahatan dan perbuatan dosa. Yang dimaksud beriman kepada Tuhan adalah beriman kepada Tuhan pemilik manusia dan alam semesta serta satu-satunya sesembahan yang layak, Yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat. Manusia dengan keimanannya senantiasa bersama Tuhan. Dunia dalam pandangan mereka yang beriman merupakan bukannya sekumpulan anasir yang mati dan tidak memiliki tujuan, namun merupakan sekumpulan sistem yang terencana dan memiliki tujuan.

Mereka yang meyakini Tuhan tidak akan terbelenggu pada kehidupan yang sia-sia. Iman kepada Tuhan menumbuhkan pandangan positif dalam diri manusia dan pandangan positif ini mendorong mereka untuk melakukan perbuatan baik serta menjauhi perbuatan buruk. Iman kepada Tuhan ibarat pohon bagi tumbuhnya ruh para ahli tauhid. Ketika manusia menanamkan benih penghambaan dalam dirinya maka ia akan menanti buah indah dari usahanya tersebut. Buah dari penghambaan kepada Tuhan adalah kejujuran, keadilan, keikhlasan, pengorbanan dan sifat memaafkan. Ini merupakan ciri-ciri dari kesehatan mental dan keseimbangan perilaku.

Keistimewaan seperti ini tentu akan mencegah manusia dari perbuatan buruk dan jahat. Iman kepada Tuhan dan mengingat-Nya merupakan kebutuhan fitrah manusia serta tumbuh dari rasa manusia untuk mencari Tuhan. Ketika manusia lalai dari kebutuhan dasar (fitri) tersebut dan lupa mengingat Tuhan maka ia akan menderita ketidakseimbangan dalam dirinya. Kondisi ini menjadi peluang bagi manusia untuk melakukan tindak kriminal dan kejahatan. Oleh karena itu, salah satu dampak paling nyata dari keimanan kepada Tuhan adalah keselamatan jiwa dan keseimbangan dalam berperilaku yang mencegah manusia melakukan perbuatan dosa.

Iman kepada Hari Akhir  dan pembalasan merupakan bagian dari ideologi agama yang mampu membantu manusia untuk menghindari perbuatan dosa. Arti dari iman kepada Ma'ad (Hari Akhir) adalah keyakinan bahwa setelah mati, manusia dengan izin Tuhan akan dibangkitkan kembali dan menghadapi pengadilan Ilahi. Kitab catatan perbuatan manusia dibentangkan dihadapan mereka. Manusia saat itu akan menyaksikan seluruh perbuatan baik dan buruknya, yang besar maupun kecil sepanjang hidupnya.

Allamah Tabatabai, filosof dan ahli tafsir Iran terkait hal ini mengatakan,"Manusia yang meyakini Hari Akhir senantiasa menyadari bahwa setiap perbuatannya di bawah pengawasan Tuhan Yang Maha Mengetahui. Ia mengetahui bahwa suatu hari akan datang saat di mana seluruh amal perbuatannya diperhitungkan dengan adil. Keyakinan akan proses pengadilan yang adil ini tidak akan mampu dilakukan oleh ratusan ribu polisi maupun agen rahasia, kerena mereka ini melakukan pekerjaan dari luar, namun pengawasan Tuhan adalah kontrol internal di mana tidak ada sesuatu yang tersembunyi dari pengawasannya."

Ketika seseorang meyakini akan hari akhir dan memandang dirinya harus bertanggung jawab nanti dihadapan Tuhan, ia senantiasa akan menjaga setiap amal perbuatannya. Dalam kondisi seperti ini ia tidak membutuhkan polisi untuk mengawasi setiap tindakannya. Perbuatan terang-terangan atau rahasia baginya sama saja dan ia selalu menjaga hak masyarakat demi kerelaan Tuhan  serta tidak melampaui hak dalam bertindak.

Di Islam setiap perbuatan ibadah merupakan kinerja yang mampu mencegah manusia untuk melakukan perbuatan maksiat. Kewajiban seperti shalat, haji, khumus, puasa, zakat dan amar makruf dan nahi munkar mampu menjauhkan manusia dari perbuatan buruk. Di surat Ankabut ayat 45 Allah Swt berfirman,"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Peran lain Hari Akhir bagi akhlak dan keyakinan seseorang sangat jelas, karena manusia yang yakin akan adanya Hari Kiamat memandang dunia sesuai dengan realitanya dan menyakini dirinya tidak kekal di dunia. Dunia hanya tempat berteduh sementara, karena perjalanan sebenarnya manusia adalah menuju akhirat. Di sana kehidupan abadi manusia yang sejati. Berbeda dengan klaim kaum materialis yang menilai keyakinan terhadap Hari Kiamat telah membelenggu manusia, padahal iman kepada Hari Akhir menciptakan semangat tersendiri bagi manusia dan memiliki dampak positif yang besar.

Manusia yang beriman kepada Hari Akhir memiliki kemampuan untuk mengontrol berbagai kecenderungan negatif seperti egoisme, cinta harta, kekuasaan, hawa nafsu dan rasa marah. Sosok seperti ini melewati masa-masa sensitif kehidupannya dengan mengingat Hari Kiamat. Kepercayaan seperti ini akan memberinya keberanian dan rela berkorban, sehingga terciptalah pribadi yang meyakini syahadah sebagai puncak kemuliaan serta tujuan suci kehidupan.

Iman kepada Hari Kiamat dapat memberangus rasa putus asa dan pesimisme seseorang serta menjadikannya manusia yang penuh dengan optimisme dalam mengarungi kehidupan dunia yang fana ini. Seorang mukmin memiliki keyakinan kuat bahwa kehidupannya tidak terbatas di dunia saja, namun setelah kematian masih ada kehidupan lain yang abadi. Di sanalah seluruh keinginan manusia yang ketika di dunia tidak terpenuhi akan ia dapatkan.

Menurut al-Quran, kehidupan abadi dan penuh kebahagiaan hanya kehidupan ukhrawi. Allah Swt di surat Ghafir ayat 39 berfirman, "Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal." Kesenangan dan kebahagiaan sejati hanya ada di surga. Di sana manusia tidak akan merasa kekurangan dan putus asa, karena di surga apa yang diharapkan manusia semuanya tersedia.(IRIB Indonesia)

filsafat penciptaan setan

Banyak yang bertanya bahwa sekiranya manusia diciptakan untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan melalui Jalan penyembahan (ibadah), keberadaan setan sebagai makhluk pembinasa adalah oposisi kesempurnaan. Apakah alasannya sehingga setan mesti ada? Ia adalah makhluk yang licik, penuh dendam, makar, penuh tipu-daya, dan beracun!

Apabila kita sedikit merenung, kita akan ketahui bahwa kehadiran musuh ini adalah untuk mendukung pencapaian manusia ke tingkat kesempurnaan. Kita tak perlu pergi jauh. Kekuatan resistensi dalam menghadapi musuh-musuh senantiasa ada pada jiwa manusia dan la dapat mengantarkannya ke jalan kesempurnaan.

Para komandan dan prajurit-prajurit tangguh dan terlatih adalah orang-orang yang berjibaku dengan musuh-musuh berat pada pertempuran-pertempuran besar.

Para politikus yang berpengalaman dan berpengaruh adalah mereka yang bertarung dengan musuh-musuh yang kuat dalam dunia politik yang kritis dan pelik.

Para juara besar gulat adalah pegulat-pegulat yang berjajal dengan rival-rival tangguh dan berat.

Oleh karena itu, tidak perlu takjub bila kita menyaksikan para hamba Tuhan setiap hari semakin kuat dan gairah dalam bertempur secara berkesinambungan dengan setan.

Dewasa ini para ilmuwan berkomentar tentang filsafat adanya mikroba-mikroba penggangu, “Sekiranya mikroba-mikroba tidak ada, maka sel-sel badan manusia pada suatu keadaan akan lemah dan kebas (karena kedinginan), dan kemungkinan tingginya postur manusia tidak akan melewati 80 sentimeter; semuanya dalam bentuk manusia-manusia cebol. Dengan demikian, manusia hari ini memperoleh kekuatan dan tinggi tubuh yang lebih karena mereka selalu dalam kontraksi dengan mikroba-mikroba pengganggu itu.

Demikian juga ruh manusia dalam berkonfrontasi dengan setan dan hawa nafsu.

Namun, hal ini tidak berarti bahwa setan memiliki tugas untuk menyelewengkan para hamba Tuhan. Setan sejak awal penciptaannya memiliki kekudusan sebagaimana makhluk-makhluk lainnya. Setan dengan ikhtiar penuhnya jatuh, menyimpang dan memilih sendiri untuk celaka. Oleh karena itu, Tuhan tidak menciptakan iblis sebagai setan. Ia sendiri yang menghendaki dirinya menjadi setan. Namun, tindakan setaninya itu tidak sekedar mencelakakan para hamba Tuhan, tetapi Juga merupakan tangga kesempurnaan mereka. (perhatikan baik-baik)

Kendati demikian, pertanyaan yang tersisa adalah mengapa Tuhan mengabulkan permohonannya untuk tetap hidup? Mengapa Tuhan tidak melenyapkannya sejak dahulu?

Jawaban pertanyaan ini sama dengan jawaban yang telah kami sebutkan di atas. Dengan ungkapan lain, alam semesta adalah arena ujian dan cobaan. (Ujian ini adalah wasilah pembinaan dari penyempurnaan manusia). Dan kita ketahui, ujian hanya berarti bila berhadapan dengan musuh-musuh besar, krisis-krisis kehidupan yang datang menekan.

Tentu saja, sekiranya setan tidak ada, hawa nafsu dan sifat was-was manusia akan ditempatkan menjadi medan ujian baginya . Namun, dengan kehadiran setan, tanur ujian ini semakin membara, lantaran setan adalah pelaku eksoteris (lahir), sementara hawa nafsu adalah pelaku esoteris (batin).

Jawaban atas Sebuah Pertanyaan

Satu pertanyaan lain yang muncul adalah bagaimana mungkin Tuhan membiarkan kita sendiri berkonfrontasi dengan musuh tanpa welas asih dan kuat ini?

Jawaban pertanyaan ini dapat diperoleh dengan menaruh perhatian terhadap satu poin, yaitu -sebagaimana yang telah disebutkan dalam AI-Qur’an- bahwa Allah swt. mempersenjatai mukminin dengan para malaikat sebagai lasykar mereka untuk membangun dunia bersama kekuatan-kekuatan gaib dan maknawi yang mereka miliki dalam rangka memerangi diri sendiri (jihad an-nafs) dan bertempur melawan musuh.

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah ‘: kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka maka malaikat akan turun kepada mereka [dengan mengatakan], Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; gembirakanlah mereka dengan [memperoleh] surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat …’” (QS. Fushshilat [33]: 30-31)

Poin penting lainnya adalah setan sekali-kali tidak akan masuk ke relung hati kita. Dan ia tidak akan dibiarkan melewati batas negara ruh tanpa memegang pasport. Serangannya tidak pernah membuat manusia lalai. Ia masuk ke dalam kediaman hati kita dengan ijin kita. Ya! Ia masuk melalui pintu, tidak melalui celah-celah rumah hati kita. Dan kitalah yang membuka pintu baginya untuk masuk. Demikianlah di dalam Al-Qur’an ditegaskan, “Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya [setan] hanyalah atas orang-orang yang menjadikannya pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah. “ (QS. An-Nahl [16]: 99-100)

Secara asasi, perbuatan-perbuatan manusialah yang menyebakan lapangan bagi setan untuk melakukan infiltrasi. Sebagamana disinggung dalam Al-Qur’an, ”Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra’ [17]: 27)

Namun di atas segalanya, untuk meraih keselamatan dari Jerat-Jerat setan dan prajuritnya dalam bentuk yang beraneka ragam, seperti syahwat, pusat-pusat kerusakan, politik-politik busuk, sekte-sekte yang menyimpang, budaya-budaya rusak dan merusak, jalan untuk selamat hanyalah berlindung kepada iman dan takwa, serta sinar kasih Tuhan Yang Mahakasih dan menyerahkan diri kepada Dzat Yang Mahakudus. AI-Qur’an berfirman, “…kalau tidaklah karena rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja [di antaramu].” (QS. An-Nisa [4]: 83)[1]


Rabi‘ah binti Ismail al-Adawiyah, berasal dari keluarga miskin. Dari kecil ia tinggal di Bashrah. Di kota ini namanya sangat harum sebagai seorang manusia suci dan seorang pengkhotbah. Dia sangat dihormati oleh orang-orang saleh semasanya. Mengenai kematiannya ada berbagai pendapat: tahun 135 H/752 M atau tahun 185 H/801 M.

Rabi’ah al-Adawiyah yang seumur hidupnya tidak pernah menikah, dianggap mempunyai saham yang besar dalam memperkenalkan cinta Allah ke dalam Islam tashawuf. Orang-orang mengatakan bahwa ia dikuburkan di dekat kota Yerussalem.
                                                                                                               
RABI’AH, LAHIR DAN MASA KANAK—KANAKNYA

Jika seseorang bertanya: ”Mengapa engkau mensejajarkan Rabi’ah dengan kaum lelaki?”, maka jawabanku adalah bahwa Nabi sendiri pernah berkata: “Sesungguhnya Allah tidak memandang rupa kamu” dan yang menjadi masalah bukanlah bentuk, tetapi niat seperti yang dikatakan Nabi, “Manusia-manusia akan dimuliakan sesuai dengan niat di dalam hati mereka”. Selanjutnya, apabila kita boleh menerima dua pertiga ajaran agama dari ’Aisyah, maka sudah tentu kita boleh pula menerima petunjuk-petunjuk agama dari pelayanan pribadinya itu. Apabila seorang perempuan berubah menjadi ”seorang lelaki” pada jalan Allah, maka ia adaIah sejajar dengan kaum lelaki dan kita tidak dapat menyebutnya sebagai seorang perempuan lagi.

Pada malam Rabi’ah dilahirkan ke atas dunia, tidak ada sesuatu barang berharga yang dapat: ditemukan di dalam rumah orang tuanya, karena ayahnya adalah seorang yang sangat miskin. Si ayah bahkan tidak mempunyai minyak barang setetes pun untuk pemoles pusar puterinya itu. Mereka tidak mempunyai lampu dan tidak mempunyai kain untuk menyelimuti Rabi’ah. Si ayah telah memperoleh tiga orang puteri dan Rabi’ah adalah puterinya yang keempat. Itulah sebabnya mengapa ia dinamakan Rabi’ah (artinya ke-empat).

“Pergilan kepada tetangga kita si anu dan mintalah sedikit minyak sehingga aku dapat menyalakan lampu” isterinya berkata kepadanya.
Tetapi si suami telah bersumpah bahwa ia tidak akan meminta sesuatu jua pun dari manusia lain. Maka pergilah ia, pura-pura menyentuhkan tangannya ke pintu rumah tetangga tersebut lalu kembali Iagi ke rumahnya.

“Mereka tidak mau membukakan pintu” ia melaporkannya kepada isterinya sesampainya di rumah.

Isterinya yang malang menangis sedih. Dalam keadaan yang serba memprihatinkan itu si suami hanya dapat menekurkan kepala ke atas lutut dan terlena. Di dalam tidurnya ia bermimpi melihat Nabi. Nabi membujuknya: “JanganIah engkau bersedih, karena bayi perempuan yang baru dilahirkan itu adalah ratu kaum wanita dan akan menjadi penengah bagi 70 ribu orang di antara kaumku”.

Kemudian Nabi meneruskan; “Besok, pergilah engkau menghadap ‘Isa az-Zadan, Gubernur Bashrah. Di atas sehelai kertas, tuliskan kata-kata berikut ini: ’Setiap malam engkau mengirimkan shalawat seratus kali kepadaku, dan setiap malam jum’at empat ratus kali. Kemarin adalah malam jum’at tetapi engkau lupa melakukannya. Sebagai penebus kelalaianmu itu berikanlah kepada orang ini empat ratus dinar yang telah engkau peroleh secara halal’ “.

Ketika terjaga dari tidurnya, ayah Rabi’ah mengucurkan air mata. Ia pun bangkit dan menulis seperti yang telah dipesankan Nabi kepadanya dan mengirimkannya kepada gubernur melalui pengurus rumahtangga istana.

“Berikanlah dua ribu dinar kepada orang-orang miskin”, gubernur memberikan perintah setelah membaca surat tersebut, ”sebagai tanda syukur karena Nabi masih ingat kepadaku. Kemudian berikan empat ratus dinar kepada si syaikh dan katakan kepadanya: ’Aku harap engkau datang kepadaku sehingga aku dapat melihat wajahmu. Namun tidaklah pantas bagi seorang seperti kamu untuk datang menghadapku. Lebih baik seandainya akulah yang datang dan menyeka pintu rumahmu dengan janggutku ini. Walaupun demikian, demi Allah, aku bermohon kepadamu, apa pun yang engkau butuhkan katakanlah kepadaku’ “.

Ayah Rabi’ah menerima uang emas tersebut dan membeli sesuatu yang dirasa perlu.

Ketika Rabi’ah menanjak besar, sedang ayah bundanya telah meninggal dunia, bencana kelaparan melanda kata Bashrah, dan ia terpisah dari kakak-kakak perempuannya. Suatu hari ketika Rabi’ah keluar rumah, ia terlihat oleh seorang penjahat yang segera menangkapnya kemudian menjualnya dengan harga enam dirham. Orang yang membeli dirinya menyuruh Rabi’ah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berat.

Pada suatu hari ketika ia berjalan-jalan, seseorang yang tak dikenal datang menghampirinya. Rabi’ah melarikan diri, tiba-tiba ia jatuh tergelincir sehingga tangannya terkilir. Rabi’ah menangis sambil mengantuk-antukkan kepalanya ke tanah: “Ya Allah, aku adalah seorang asing di negeri ini, tidak mempunyai ayah bunda, seorang tawanan yang tak berdaya, sedang tanganku cidera. Namun semua itu tidak membuatku bersedih hati. Satu-satunya yang kuharapkan adalah dapat memenuhi kehendak-Mu dan mengetahui apakah Engkau berkenan atau tidak”.

“Rabi’ah, janganlah engkau berduka”, sebuah suara berkata kepadanya. “Esok lusa engkau akan dimuliakan sehingga malaikat-malaikat iri kepadamu”.

Rabi’ah kembali ke rumah tuannya. Di siang hari ia terus berpuasa dan mengabdi kepada Allah, sedang di malam hari ia berdoa kepada Allah sambil terus berdiri sepanjang malam. Pada suatu malam tuannya terjaga dari tidur, dan lewat jendela terlihatlah olehnya Rabi’ah sedang bersujud dan berdoa kepada Allah.

“Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasyrat hatiku adalah untuk dapat mematuhi perintah-Mu dan mengabdi kepada-Mu. jika aku dapat mengubah nasib diriku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat barang sebentar pun dari mengabdi kepada-Mu. Tetapi Engkau telah menyerahkan diriku ke bawah kekuasaan seorang hamba-Mu”.

Demikianlah kata-kata yang diucapkan Rabi’ah di dalam doanya itu.
Dengan mata kepalanya sendiri si majikan menyaksikan betapa sebuah lentera tanpa rantai tergantung di atas kepala Rabi’ah sedang cahayanya menerangi seluruh rumah. Menyaksikan peristiwa ini, ia merasa takut. Ia lalu beranjak ke kamar tidurnya dan duduk merenung hingga fajar tiba. Ketika hari telah terang ia memanggil Rabi’ah, barsikap lembut kepadanya kemudian membebaskannya.
“Izinkanlah aku pergi”, Rabi’ah berkata.

Tuannya memberikan izin. Rabi’ah lalu meninggalkan rumah tuannya menuju padang pasir mengadakan perjalanan menuju sebuah pertapaan di mana ia untuk beberapa lama membaktikan diri kepada Allah. Kemudian ia berniat hendak menunaikan ibadah haji. Maka berangkatlah ia menempuh padang pasir kembali. Barang-barang miliknya dibuntalnya di atas punggung keledai. Tetapi begitu sampai di tengah-tengah padang pasir, keledai itu mati.

“Biarlah kami yang membawa barang-barangmu”, lelaki-lelaki di dalam rombongan itu menawarkan jasa mereka.

“Tidak! Teruskanlah perjalanan kalian”, jawab Rabi’ah. ”Bukan tujuanku untuk menjadi beban kalian”.

Rombongan itu meneruskan perjalanan dan meninggalkan Rabi‘ah seorang diri.

“Ya AlIah”, Rabi’ah berseru sambil menengadahkan kepala.
”Demikiankah caranya raja-raja memperlakukan seorang wanita yang tak berdaya di tempat yang masih asing baginya?. Engkau telah me-
manggilku ke rumah—Mu, tetapi di tengah perjalanan Engkau membunuh keledaiku dan meningalkanku sebatangkara di tengah-tengah pada pasir ini”.

Belum lagi Rabi’ah selesai dengan kata-katanya ini, tanpa diduga-duga keledai itu bergerak berdiri. Rabi’ah meletakkan barang-barang-nya ke atas punggung binatang itu dan melanjutkan perjalanannya. (Tokoh yang meriwayatkan kisah ini mengatakan bahwa tidak berapa lama setelah peristiwa itu, ia melihat keledai kecil tersebut sedang
dijual orang di pasar).

Beberapa hari lamanya Rabi’ah meneruskan perjalanannya menempuh padang pasir, sebelum ia berhenti, ia berseru kepada Allah:

“Ya Allah, aku sudah letih. Ke arah manakah yang harus kutuju? Aku ini hanyalah segumpal tanah sedang rumah-Mu terbuat dari batu. Ya Allah, aku bermohon kepada-Mu, tunjukkanlah diri-Mu”.

Allah berkata ke dalam hati sanubari Rabi’ah: “Rabi’ah, engkau sedang berada di atas sumber kehidupan delapan belas ribu alam/dunia.

Tidakkah engkau ingat betapa Musa telah bermohon untuk melihat wajah-Ku dan gunung-gunung terpecah-pecah menjadi empat puluh keping. Karena itu merasa cukuplah engkau dengan nama-Ku saja!

ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI RABI’AH

Pada suatu malam ketika Rabi’ah sedang shalat di sebuah pertapaan, ia merasa sangat letih sehingga ia jatuh tertidur. Sedemikian nyenyak tidurnya sehingga ketika matanya berdarah tertusuk alang-alang dari tikar yang ditidurinya, ia sama sekali tidak menyadarinya.

Seorang maling masuk menyelinap ke dalam pertapaan itu dan mengambil cadar Rabi’ah. Ketika hendak menyingkir dari tempat itu didapatinya bahwa jalan ke luar telah tertutup. Dilepaskannya cadar itu dan ditinggalkannya tempat itu dan ternyata jalan keluar telah terbuka kembali. Cadar Rabi’ah diambilnya lagi, tetapi jalan keluar tertutup kembali. Sekali lagi dilepaskannya cadar itu. Tujuh kali perbuatan seperti itu diulanginya. Kemudian terdengarlah olehnya sebuah suara dari pojok pertapaan itu.

“Hai manusia, tiada gunanya engkau mencoba-coba. Sudah bertahun-tahun Rabi’ah mengabdi kepada Kami. Syaithan sendiri tidak berani datang menghampirinya. Tetapi betapakah seorang maling memiliki keberanian hendak mencuri cadarnya? Pergilah dari sini hai manusia jahannam! Tiada gunanya engkau mencoba-coba lagi jika seorang sahabat sedang tertidur maka Sang Sahabat-nya bangun dan berjaga-jaga”.

Dua orang pemuka agama datang mengunjungi Rabi’ah dan keduanya merasa lapar. ”Mudah-mudahan Rabi’ah akan menyuguhkan makanan kepada kita”, mereka berkata. “Makanan yang disuguhkan Rabi’ah pasti diperolehnya secara halal”.

Ketika mereka duduk, di depan mereka telah terhampar serbet dan di atasnya ada dua potong roti. Melihat hal ini mereka sangat gembira. Tetapi saat itu pula seorang pengemis datang dan Rabi’ah memberikan kedua potong roti itu kepadanya. Kedua pemuka agama itu sangat kecewa, namun mereka tidak berkata apa-apa. Tak berapa lama kemudian masuklah seorang pelayan wanita membawakan beberapa buah roti yang masih panas.

“Majikanku telah menyuruhku untuk mengantarkan roti-roti ini kepadamu”, si pelayan menjelaskan. Rabi’ah menghitung roti-roti tersebut. Semua berjumlah delapan belas buah. “Mungkin sekali roti-roti ini bukan untukku”, Rabi’ah berkata.

Si pelayan berusaha meyakinkan Rabi’ah namun percuma saja. Akhirnya roti-roti itu dibawanya kembali. Sebenarnya yang telah terjadi adalah bahwa pelayan itu telah mengambil dua potong untuk dirinya sendiri. Kepada nyonya majikannya, ia meminta dua potong roti lagi kemudian kembali ke tempat Rabi’ah. Roti-roti itu dihitung oleh Rabi’ah, ternyata semuanya ada dua puluh buah dan setelah itu barulah ia mau menerimanya.

“Roti-roti ini memang telah dikirimkan majikanmu untukku”, kata Rabi’ah.

Kemudian Rabi’ah menyuguhkan roti-roti tersebut kepada kedua tamunya tadi. Keduanya makan namun masih dalam keadaan terheran-heran.

“Apakah rahasia di balik semua ini?”, mereka bertanya kepada Rabi’ah. “Kami ingin memakan rotimu sendiri tetapi engkau memberikannya kepada seorang pengemis. Kemudian engkau mengatakan kepada si pelayan tadi bahwa kedelapan belas roti itu bukanlah dimaksudkan untukmu. Tetapi kemudian ketika semuanya berjumlah dua puluh buah barulah engkau mau menerimanya”.

Rabi’ah menjawab: “Sewaktu kalian datang, aku tahu bahwa kalian sedang lapar. Aku berkata kepada diriku sendiri, betapa aku tega untuk menyuguhkan dua potong roti kepada dua orang pemuka yang terhormat? Itulah sebabnya mengapa ketika si pengemis tadi datang, aku segera memberikan dua potong roti itu kepadanya dan berkata kepada Allah Yang Maha Besar, ’Ya Allah, Engkau telah berjanji bahwa Engkau akan memberikan ganjaran sepuluh kali lipat dan janji—Mu itu kupegang teguh. Kini telah kusedekahkan dua potong roti untuk menyenangkan hati-Mu, semoga Engkau berkenan untuk memberikan dua puluh potong sebagai imbalanya’. Ketika kedelapan belas potong roti itu diantarkan kepadaku, tahulah aku bahwa sebagian daripadanya telah dicuri atau roti-roti itu bukan untuk disampaikan kepadaku”.

Pada suatu hari pelayan wanita Rabi`ah hendak memasak sup bawang karena telah beberapa lamanya mereka tidak memasak makanan. Ternyata mereka tidak mempunyai bawang. Si pelayan berkata kepada Rabi’ah: “Aku hendak meminta bawang kepada tetangga sebeIah”.

“Tetapi Rabi’ah mencegah: “Telah empat puluh tahun aku berjanji kepada Allah tidak akan meminta sesuatu pun kecuali kepada-Nya. Lupakanlah bawang itu”.

Segera setelah Rabi’ah berkata demikian, seekor burung meluncur dari angkasa, membawa bawang yang telah terkupas di paruhnya, lalu menjatuhkannya ke dalam belanga.

Menyaksikan peristiwa itu Rabi’ah berkata: “Aku takut jika semua ini adalah semacam tipu muslihat”.

Rabi’ah tidak mau menyentuh sup bawang tersebut. Hanya roti sajalah yang dimakannya.

Pada suatu hari Rabi’ah berjalan ke atas gunung. Segera ia dikerumuni oleh kawanan rusa, kambing hutan, ibeks (sebangsa kambing hutan yang bertanduk panjang) dan keledai-keledai liar.

Binatang-binatang ini menatap Rabi’ah dan hendak menghampirinya; Tanpa disangka-sangka Hasan al-Bashri datang pula ke tempat itu.

Begitu melihat Rabi’ah segera ia datang menghampirinya. Tapi setelah melihat kedatangan Hasan, Binatang-binatang tadi lari ketakutan dan meninggalkan Rabi’ah. Hal ini membuat Hasan kecewa, “Mengapakah binatang-binatang itu menghindari diriku sedang mereka begitu jinak terhadapmu?”, Hasan bertanya kepada Rabi’ah.

“Apakah yang telah engkau makan pada hari ini?”, Rabi’ah balik bertanya.
“Sup bawang”.
“Engkau telah memakan lemak binatang-binatang itu. Tidak mengherankan jika mereka lari ketakutan melihatmu”.

Di hari lain, ketika Rabi’ah lewat di depan rumah Hasan. Saat itu Hasan termenung di jendela. Ia sedang menangis dan air matanya menetes jatuh mengenai pakaian Rabi’ah. Mula-muIa Rabi’ah mengira hujan turun, tetapi setelah ia menengadah ke atas dan melihat Hasan, sadarlah ia bahwa yang jatuh menetes itu adalah air mata Hasan.

“Guru, menangis adalah pertanda dari kelesuan spiritual”, ia berkata kepada Hasan. “TahanIah air matamu. Jika tidak, di dalam dirimu akan menggelora samudera sehingga engkau tidak dapat mencari dirimu sendiri kecuali pada seorang Raja Yang Maha Perkasa”.

Teguran itu tidak enak didengar Hasan, namun ia tetap menahan diri. Di belakang hari ia bertemu dengan Rabi’ah di tepi sebuah danau. Hasan menghamparkan sajadahnya di atas air dan berkata kepada Rabi’ah, “Rabi’ah, marilah kita melakukan shalat sunnat dua raka’at di atas air! “.

Rabi’ah menjawab: “Hasan, jika engkau mempertontonkan kesaktian-kesaktianmu di tempat ramai ini, maka kesaktian-kesaktian itu haruslah yang tak dimiliki oleh orang-orang lain”.

Sesudah berkata Rabi’ah melemparkan sajadahnya ke udara, kemudian ia melompat ke atasnya dan berseru kepada Hasan: “Naiklah ke mari Hasan, agar orang-orang dapat menyaksikan kita”.

Hasan yang belum mencapai kepandaian seperti itu tidak dapat berkata apa-apa. Kemudian Rabi’ah mencoba menghiburnya dan berkata: “Hasan, yang engkau lakukan tadi dapat pula dilakukan oleh seekor ikan dan yang kulakukan tadi dapat pula dilakukan oleh seekor lalat. Yang terpenting bukanlah keahlian•keahIian seperti itu.

Kita harus mengabdikan diri kepada Hal-hal Yang Terpenting itu”.
Pada suatu malam Hasan beserta dua tiga orang sahabatnya berkunjung ke rumah Rabi’ah. Tetapi rumah itu gelap, tiada berlampu. Mereka senang sekali seandainya pada saat itu ada lampu. Maka Rabi’ah meniup jari tangannya. Sepanjang malam itu hingga fajar, jari tangan Rabi’ah memancarkan cahaya terang benderang bagaikan lentera dan mereka duduk di dalam benderangnya.

Jika ada seseorang yang bertanya: “Bagaimanakah hal seperti itu bisa terjadi?”, maka jawabanku adalah: “Persoalannya adalah sama dengan tangan Musa”. jika ia kemudian menyangkal: “Tetapi musa adalah seorang Nabi!”, maka jawabanku: “Barangsiapa yang mengikuti jejak Nabi akan mendapatkan sepercik kenabian, seperti yang pernah dikatakan Nabi Muhammad sendiri, ’Barangsiapa yang menolak harta benda yang tidak diperoleh secara halal, walaupun harganya satu sen, sesungguhnya ia telah mencapai suatu tingkat kenabian. Nabi Muhammad juga pernah berkata, ’Sebuah mimpi yang benar adalah seperempat puluh dari kenabian “

Pada suatu ketika Rabi’ah mengirimkan sepotong lilin, sebuah jarum dan sehelai rambut kepada Hasan, dengan pesan:

“Hendaklah engkau seperti sepotong lilin, senantiasa menerangi dunia walaupun dirinya sendiri terbakar. Hendaklah engkau seperti sebuah jarum, senantiasa berbakti walaupun tidak memiliki apa-apa. Apabila kedua hal itu telah engkau lakukan, maka bagimu seribu tahun hanyalah seperti sehelai rambut ini”.

“Apakah engkau menghendaki agar kita menikah?” tanya Hasan kepada Rabi’ah.

“Tali pernikahan hanyalah untuk orang-orang yang memiliki keakuan. Di sini keakuan telah sirna, telaha menjadi tiada dan hanya ada melalui Dia. Aku adalah milik-Nya. Aku hidup di bawah naungan-Nya. Engkau harus melamar diriku kepada-Nya, bukan langsung kepada diriku sendiri”.
“Bagaimanakah engkau telah menemukan rahasia ini, Rabi’ah?”, tanya Hasan.
“Aku lepaskan segala sesuatu yang telah kuperoleh kepada-Nya”, jawab Rabi’ah.
“Bagaimana engkau telah dapat mengenal-Nya?”
“Hasan, engkau lebih suka bertanya, tetapi aku lebih suka tafakkur”, jawab Rabi’ah.
Suatu hari Rabi’ah bertemu dengan seseorang yang kepalanya dibalut.
“Mengapa engkau membalut kepalamu?”, tanya Rabi’ah
“Karena aku merasa pusing”, jawab lelaki itu.
“Berapakah umurmu?”, Rabi’ah bertanya Iagi.
“Tiga puluh tahun”, jawabnya.
“Apakah engkau banyak menderita sakit dan merasa susah di dalam hidupmu?”
“Tidak,” jawabnya lagi.
“Selama tiga puluh tahun engkau menikmati hidup yang sehat, engkau tidak pernah mengenakan selubung kesyukuran, tetapi baru malam ini saja kepalamu terasa pusing, engkau telah mengenakan selubung keluh kesah”, kata Rabi’ah.

Suatu ketika Rabi’ah menyerahkan uang empat dirham kepada seorang lelaki.
“Berikanlah kepadaku sebuah selimut”, kata Rabi’ah, “karena aku tidak mempunyai pakaian lagi”.
Lelaki itupun pergi, tetapi tidak lama kemudian ia kembali dan bertanya kepada Rabi’ah: “Selimut berwarna apakah yang harus kubeli?”
“Apa perduliku dengan warna?!” Rabi`ah berkata. “Kembalikan uang itu kepadaku kembali”.
Diambilnya keempat buah dirham perak itu dan dilemparkannya ke sungai Tigris.

Suatu hari di musim semi, Rabi’ah memasuki tempat tinggalnya, kemudian melongok ke luar karena pelayannya berseru: “Ibu, keluarlah dan saksikanlah apa yang telah dilakukan oleh Sang Pencipta”.

“Lebih baik engkaulah yang masuk ke mari”, Rabi’ah menjawab, “dan saksikanlah Sang Pencipta itu sendiri. Aku sedemikian asyik menatap Sang Pencipta sehingga apakah perduliku Iagi terhadap ciptaan-ciptaan-Nya?”.

Beberapa orang datang mengunjungi Rabi’ah dan menyaksikan betapa ia sedang memotong sekerat daging dengan giginya.
“Apakah engkau tidak mempunyai pisau untuk memotong daging itu?”, mereka bertanya. , “Aku tak pernah menyimpan pisau di dalam rumah ini karena takut terluka”, jawab Rabi`ah

Rabi’ah berpuasa seminggu penuh. Selama berpuasa itu ia tidak makan dan tidak tidur. Setiap malam ia tekun melaksanakan shalat dan berdoa. Lapar yang dirasakannya sudah tidak tertahankan lagi.

Seorang tamu masuk ke rumah Rabi’ah membawa semangkuk makanan. Rabi’ah menerima makanan itu. Kemudian ia pergi meng-
ambil lampu. Ketika ia kembali ternyata seekor kucing telah menumpahkan isi mangkuk itu.

“Akan kuambilkan kendi air dan aku akan berbuka puasa”, Rabi’ah berkata. Ketika ia kembali dengan sekendi air ternyata lampu telah padam. Ia hendak meminum air kendi itu di dalam kegelapan, tetapi kendi itu terlepas dari tangannya dan jatuh, pecah berantakan. Rabi’ah meratap dan mengeluh sedemikian menyayat hati seolah- olah sebagian rumahnya telah dimakan api.

Rabi’ah menangis: “Ya Allah, apakah yang telah Engkau per- buat terhadap hamba-Mu yang tak berdaya ini?”

“Berhati-hatilah Rabi’ah”, sebuah seruan terdengar di telinganya, “janganlah engkau sampai mengharapkan bahwa Aku akan menganugerahkan semua kenikmatan dunia kepadamu sehingga pengabdianmu kepada-Ku terhapus dari dalam hatimu. Pengabdian kepada-Ku dan kenikmatan-kenikmatan dunia tidak dapat dipadukan di dalam satu hati. Rabi’ah, engkau menginginkan suatu hal sedang
Aku menginginkan hal yang lain Hasrat-Ku dan hasratmu tidak dapat dipadukan di dalam satu hati”.

Setelah mendengar celaan ini, Rabi’ah mengisahkan, “kulepaskan hatiku dari dunia dan kubuang segala hasrat dari dalam hatiku sehingga selama tiga puluh tahun yang terakhir ini, apabila melaku kan shalat, maka aku menganggapnya sebagai shalatku yang terakhir”.

Beberapa orang mengunjungi Rabi’ah untuk mengujinya. Mereka ingin memergoki Rabi’ah mengucapkan kata-kata yang tidak dipikirkannya terlebih dahulu.

“Segala macam kebajikan telah dibagi-bagikan kepada kepala kaum lelaki”, mereka berkata. “Mahkota kenabian telah ditaruh di kepala kaum lelaki. Sabuk kebangsawanan telah diikatkan di pinggang kaum lelaki. Tidak ada seorang perempuan pun yang telah diangkat Allah menjadi Nabi”.

“Semua itu memang benar”, jawab Rabi’ah. “Tetapi egoisme, memuja diri sendiri dan ucapan ’Bukankah aku Tuhanmu Yang Maha
Tinggi?” tidak pernah membersit di dalam dada perempuan. Dan tak ada seorang perempuan pun yang banci. Semua ini adalah bagian
kaum lelaki”.

Ketika Rabi’ah menderita sakit yang gawat. Kepadanya ditanya- kan apakah penyebab penyakitnya itu. “Aku telah menatap surga”, jawab Rabi’ah, “dan Allah telah menghukum diriku”.

Kemudian Hasan al-Bashri datang untuk mengunjungi Rabi’ah. “Aku mendapatkan salah seorang di antara pemuka-pemuka kota Bashrah berdiri di pintu pertapaan Rabi’ah. Ia hendak memberikan sekantong emas kepada Rabi’ah dan ia menangis”, Hasan mengisahkan. “Aku bertanya kepadanya: ’Mengapakah engkau menangis?’. ’Aku menangis karena wanita suci zaman ini’, jawabnya.

’Karena jika berkah kehadirannya tidak ada lagi, celakalah ummat manusia. Aku telah membawakan uang sekedar untuk biaya perawatannya’, ia melanjutkan, ‘tetapi aku kuatir kalau-kalau Rabi’ah tldakmau menerimanya. Bujuklah Rabi’ah agar ia mau menerima uangini’ “.

Maka masuklah Hasan ke dalam pertapaan Rabi’ah dan mem- bujuknya untuk mau menerima uang itu. Rabi’ah menatap Hasan dan berkata, “Dia telah menafkahi orang-orang yang menghujjah- Nya. Apakah Dia tidak akan menafkahi orang-orang yang mencintai- Nya? Sejak aku mengenal-Nya, aku telah berpaling dari manusia ciptaan-Nya. Aku tidak tahu apakah kekayaan seseorang itu halal atau tidak, maka betapakah aku dapat menerima pemberiannya?

Pernah aku menjahit pakaian yang robek dengan diterangi lampu dunia. Beberapa saat hatiku lengah tetapi akhirnya akupun sadar. Pakaian itu kurobek kembali pada bagian-bagian yang telah kujahit itu dan hatiku menjadi lega. Mintalah kepadanya agar ia tidak membuat hatiku lengah lagi”.

Abdul Wahid Amir mengisahkan bahwa ia bersama Shofyan ats-Tsauri mengunjungi Rabi’ah ketika sakit, tetapi karena me- nyeganinya mereka tidak berani menegurnya atau menyapa Rabi’ah. “Engkaulah yang berkata”, kataku kepada Shofyan.
’”Jika engkau berdoa”, Shofyan berkata kepada Rabi’ah,
“niscaya penderitaanmu ini akan hilang”.
Rabi’ah menjawab: “Tidak tahukah engkau siapa yang meng-
hendaki aku menderita seperti ini? Bukankah Allah?”
“Ya”, Shofyan membenarkan.
“Betapa mungkin, engkau mengetahui hal ini, menyuruhku
untuk memohonkan hal yang bertentangan dengan kehendak-Nya?
Bukankah tidak baik apabila kita menentang Sahabat kita sendiri?”
“Apakah yang engkau inginkan, Rabi’ah?”, Shofyan bertanya
pula.

“Shofyan, engkau adalah seorang yang terpelajar! Tetapi meng- apa engkau bertanya ‘Apakah yang engkau inginkan?’. Demi kebesaran Allah”, Rabi’ah berkata tandas, “telah dua belas tahun lamanya aku menginginkan buah korma segar. Engkau tentu tahu bahwa di kota Bashrah buah korma sangat murah harganya, tetapi hingga saat ini aku tidak pernah memakannya. Aku ini hanyalah hamba-Nya dan apakah hak seorang hamba untuk menginginkan sesuatu? Jika aku menginginkan sesuatu sedang Allah tidak menginginkannya, maka kafirlah aku. Engkau harus menginginkan segala sesuatu yang diinginkan-Nya semata-mata agar engkau dapat menjadi hamba-Nya yang sejati. Tetapi lain lagi persoalannya jlka Tuhan sendiri mem-
berikannya”.

Shofyan terdiam. Kemudian ia berkata kepada Rabi’ah: “Karena aku tak dapat berbicara mengenai dirimu, maka engkaulah yang berbicara mengenai diriku”. “Engkau adalah manusia yang baik kecuali dalam satu hal: engkau mencintai dunia. Engkau pun suka membacakan hadits-hadits”. Yang terakhir ini dikatakan Rabi’ah dengan maksud bahwa membacakan hadits-hadits tersebut adalah suatu perbuatan yang mulia.

Shofyan sangat tergugah hatinya dan berseru: “Ya Allah, kasihilah aku!”
Tetapi Rabi’ah mencela: “Tidak malukah engkau mengharapkan kasih Allah Sedang engkau sendiri tidak mengasihi-Nya?”

Malik bin Dinar berkisah sebagai berikut: Aku mengunjungi Rabi’ah. Kusaksikan dia menggunakan gayung pecah untuk minum dan bersuci, sebuah tikar dan sebuah batu bata yang kadang-kadang dipergunakannya sebagai bantal. Menyaksikan semua itu hatiku men- jadi sedih.

“Aku mempunyai teman-teman yang kaya”, aku berkata kepada Rabi’ah. ”Jika engkau menghendaki sesuatu akan kuminta- kan kepada mereka”.
“Malik, engkau telah melakukan kesalahan yang besar”, jawab
Rabi’ah. ”Bukankah“ yang menafkahi aku dan yang menafkahi
mereka adalah satu?”
“Ya”, jawabku.
”Apakah yang menafkahi orang-orang miskin itu lupa kepada orang-orang miskin karena kemiskinan mereka? Dan apakah Dia ingat kepada orang-orang kaya karena kekayaan mereka?”, tanya Rabi’ah.
“Tidak”, jawabku.
“Jadi”, Rabi’ah meneruskan, “karana Dia mengetahui keadaanku, bagaimanakah aku harus mengingatkan-Nya? Beginilah yang dikehendaki-Nya, dan aku menghendaki seperti yang dikehendaki_Nya”.

Pada suatu hari, Hasan al-Bashri, Malik bin Dinar dan Syaqiq al-Balkhi mengunjungi Rabi’ah yang sedang terbaring dalam keadaan sakit. , “Seorang manusia tidak dapat dipercaya kata-katanya jika ia tidak tabah menangung cambukan Allah”, kata Hasan memulai pembicaraan. “Kata-katamu itu berbau egoisme”, Rabi’ah membalas.
Kemudian giliran Syaqiq untuk mcncoba: “Seorang manusia tidak dapat dipercaya kata-katanya jika ia tidak bersyukur karena cambukan Allah”.
“Ada yang lebih baik daripada itu”, jawab Rabi”ah.

Malik bin Dinar maju: “Seorang manusia tidak dapat dipercaya kata-katanya jika ia tidak: merasa bahagia ketika menerima cambukan Allah?
“Masih ada yang lebih baik daripada itu”, Rabi’ah mengulangi
jawabannya. “Jika demikian, katakanlah kepada kami”, mereka mendesak Rabi’ah. Maka berkatalah Rabi’ah: ”Seorang manusia tidak dapat dipcercaya kata-katanya jika ia tidak lupa kepada cambukan Allah, ketika ia merenungkan-Nya”.

Seorang cendekia terkemuka di kota Bashrah mengunjungi Rabi’ah yang sedang terbaring sakit. Sambil duduk di sisi tempat tidur Rabi’ah ia mencaci maki dunia. Rabi’ah berkata kepadanya: “Sesungguhnya engkau sangat mencintai dunia ini. jika engkau tidak mencintai dunia tentu engkau tidak akan menyebut-nyebutnya berulangkali seperti ini.

Seorang pembelilah yang senantiasa mencela barang-barang yang hendak dibelinya. jika engkau “tidak merasa berkepentingan dengan dunia ini tentulah engkau tidak akan memuji-muji atau memburuk-burukkannya. Engkau menyebut-nyebut dunia ini seperti kata sebuah peribahasa, ’barangsiapa mencintai sesuatu hal maka ia sering menyebut-nyebutnya”.

Ketika tiba saatnya Rabi’ah harus meninggalkan dunia fana’ ini, orang-orang yang menungguinya meninggalkan kamarnya dan menutup pintu kamar itu dari luar. Setelah itu mereka mendengar suara yang berkata: “Wahai jiwa yang damai, kembalilah kepada Tuhanmu, dengan berbahagia”.

Beberapa saat kemudian tak ada lagi suara yang terdengar dari kamar Rabi’ah. Mereka lalu membuka pintu kamar itu dan mendapatkan Rabi’ah telah berpulang.

Setelah Rabi’ah meninggal dunia, ada yang bertemu dengannya dalam sebuah mimpi. Kepadanya ditanyakan, “Bagaimanakah engkau menghadapi Munkar dan Nakir?”.

Rabi’ah menjawab: “Kedua malaikat itu datang kepadaku dan bertanya: ’Siapakah Tuhanmu?’. Aku menjawab: Pergilah kepada Tuhanmu dan katakan kepada-Nya: ’Dia antara beribu-ribu makhluk yang ada, janganlah Engkau melupakan seorang wanita tua yang lemah. Aku hanya memiliki Engkau di dunia yang luas, tidak pernah lupa kepada-Mu, tetapi mengapakah Engkau mengirim utusan
sekedar menanyakan ’siapakah Tuhanmu’ kepadaku?’ “

DOA-DOA RABI’AH

“Ya Allah, apa pun yang akan Engkau karuniakan kepadaku di dunia ini, berikanlah kepada musuh-musuh-Mu, dan apa pun yang akan Engkau karuniakan kepadaku di akhirat nanti,berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu, karena Engkau sendiri cukuplah bagiku”.

“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalam neraka; dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, campakkanlah aku dari dalam surga; tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi kepadaku”.

”Ya Allah, semua jerihpayahku dan semua hasratku di antara segala kesenangan-kesenangan dunia ini adalah untuk mengingat Engkau. Dan di akhirat nanti, di antara segala kesenangan akhirat, adalah untuk berjumpa dengan-Mu. Begitulah halnya dengan diriku, seperti yang telah kukatakan. Kini, perbuatlah seperti yang Engkau kehendaki”.[]

CATATAN MENGENAI ANEKDOT-ANEKDOT

“Kelahiran Rabi’ah”: T.A., I, 59-61. Tampaknya Attar telah menemukan sebuah monografi mengenai kehidupan dan perbuatan-perbuatan Rabi’ah yang selama ini dianggap hilang. Hal ini jelas terlihat karena banyak detail-detail di dalam biografl ini tidak dapat kita jumpai di dalam sumber-sumber yang lain.

“Anekdot-Anekdot Mengenai Rabi’ah: T.A., I, 63-66, 68-72. Klsah seorang maling yang hendak mencuri cadar Rabi’ah diulangi lagi oleh Attar di dalam karyanya yang berjudul Mushibat-nama (Teheran, 1338), halaman 335.

Kisah Hasan yang menyaksikan Rabi’ah sedang dikerumuni binatang-binatang buas, diuIangi di dalam Ilahi-nama (Iihat halaman 7 untuk data-data publikasi-nya), halaman 96-97; dan di dalam karya terjemahannya pada halaman 166-167). “Pada Raja Yang Maha Perkasa”`adalah ayat aI-Qur`an, 54: 55. Kisah seorang yang bertamu pada suatu hari di musim semi, diulangi Attar di dalam Mushibat-nama, halaman 198. Kisah mengenai lampu, tempayan dan kucing diulangi di dalam Ilahi-nama, halaman 128-129; dan di dalam karya terjemahan nya halaman 208-209. ”Bukankah Aku Tuhanmu Yang Maha Tinggi” adalah dari aI-Qur’an, 79; 24, yaitu kata-kata yang diucapkan Fir’aun. Kisah Rabi’ah yang dinasehati ketika sakit dapat diketemukan di dalam karya aI-Qushairi, op.cit, halaman 136. Kisah mengenai Rabi’ah yang “menjahit pakaian” berasal dari karya al-Qushairi, op.cit., halaman 64. Betapa Rabi’ah tidak menyetujui Shofyan ats-Tsauri yang menghapal hadits-hadits Nabi disebutkan di dalam karya Abu Thalib aI-Makkiy yang berjudul Quthul Qulub, (Cairo, 1310 H), I, 156.

“Wahai jiwa yang tenteram damai’ adalah dari aI-Qur’an, 89: 27. Munkar dan Nakir adalah dua malaikat yang akan menginterograsi manusia yang baru mati di dalam kubur.

”Doa-Doa Rabi’ah”: T.A., I, 73.

Rabiah adalah salah satu tokoh sufi wanita pada zamannya,beliau dilahirkan di kota Basrah tahun 95 hijriyah,dan putri ke 4 dari seorang lelaki bernama,Ismail Adawiyah.Beliau hidup dalam kemiskinan dan lingkungan yang serba kurang bahkan ketika Rabiah lahir lampu untuk menerangi saat kelahirannyapun tidak ada. Rabiah yang lahir dalam keadaan miskin tapi kaya akan iman dan peribadatan kepada Allah.

Ayahnya hanya seorang yang bekerja mengangkut penumpang menyeberangi Sungai Dijlah dengan menggunakan sampan. Pada akhir kurun pertama Hijrah, keadaan hidup masyarakat Islam dalam pemerintahan Bani Umaiyah, yang sebelumnya terkenal dengan ketaqwaan mulai berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramai berlomba-lomba mencari kekayaan. Sebab itu kejahatan dan maksiat tersebar luas.

Pekerjaan menyanyi, menari dan berhibur semakin diagung-agungkan. Maka ketajaman iman mulai tumpul dan zaman hidup wara’ serta zuhud hampir lenyap sama sekali. Namun begitu, Allah telah memelihara sebahagian kaum Muslimin agar tidak terjerumus ke dalam fitnah tersebut. Pada masa itulah muncul satu gerakan baru yang dinamakan Tasawuf Islami yang dipimpin oleh Hasan al-Bashri. Pengikutnya terdiri daripada lelaki dan wanita. Mereka menghabiskan waktu dan tenaga untuk mendidik jiwa dan rohani mengatasi segala tuntutan hawa nafsu demi mendekatkan diri kepada Allah sebagai hamba yang benar-benar taat. Ayahanda Rabi’ah merupakan hamba yang sangat taat dan taqwa,hidup jauh dari kemewahan dunia dan tidak pernah berhenti bersyukur kepada Allah. Beliau mendidik anak perempuannya menjadi muslimah yang berjiwa bersih. Pendidikan yang diberikannya bersumberkan al-Quran semata-mata. Natijahnya Rabi’ah sendiri begitu gemar membaca dan menghayati isi al-Quran sehigga berhasil menghafal kandungan al-Quran.

Sejak kecil Rabi’ah sudah berjiwa halus, mempunyai keyakinan yang tinggi serta keimanan yang mendalam. Memasuki masa kedewasaannya, kehidupannya menjadi serba sempit,dan semakin sulit setelah beliau ditinggal ayah dan ibunya,dipanggil Allah. Dan ujian2 lain yang menguji keteguhan imannya,sampai dia sanggup,untuk menjadi hamba sahaya dari seorang kaya raya pada zaman itu,dan ini terjadi karena penderitaan kemiskinan yang dideritanya.

Cobaan demi cobaan dilalui Rabiah dalam menjalani hidupnya yang sarat akan penderitaan dan karena beliau pinter memainkan alat musik, maka majikannya semakin menjadikannya sumber mencari uang dengan keahlian yang dimiliki Rabiah.

Dalam keadaan hidup yang keras dan serba terkekang sebagai hamba sahaya,membuat Rabiah mendekatkan diri kepada Allah, dan selalu menyempatkan waktunya yang luang untuk terus bermohon kepada Allah, baik pagi maupun petang,malam dan siang. Amalannya tidak hanya sebatas berdoa saja tapi sepanjang hari dan sepanjang ada waktu dia senantiasa selalu berzikir dan berdoa, dan selalu melaksanakan amalan-amalan sunat lainnya dan saat melakukan sholat sepanjang sholat airmatanya selalu membasahi sajadahnya, air mata kerinduan kepada Allah sang Khaliq yang di rinduinya.

Ada riwayat yang mengatakan beliau telah terjebak dalam dunia maksiat. Namun dengan limpah hidayah Allah, dengan dasar keimanan yang kuat dan belum padam di hatinya, dia dipermudahkan oleh Allah untuk kembali bertaubat. Saat2 taubat inilah yang mungkin dapat menyadarkan serta mendorong hati bagaimana merasai cara berkomunikasi yang baik antara seorang hamba rabiah dengan sang Khaliq Allah swt dan selayaknya seorang hamba bergantung harapan kepada belas ihsan Rabbnya.

Kecintaan Rabiah kepada Allah mengalahkan hidup dan kecintaannya kepada dunia dan isinya, hari-harinya habis untuk berkomunikasi dengan Allah betapa dia merasa dirinya adalah milik Allah hingga ada beberapa pemuda ingin melamarnya di tolaknya dengan halus.

Beliau selalu berbicara dengan Allah seolah-olah dekat sekali dengan Allah dengan bahasa yang indah dan doa-doa yang sangat menyentuh hati dan kata pujian seperti layaknya kerinduan seseorang kepada kekasih hatinya.Salah satu kata-kata Rabiah ketika ber munajat sambil air matanya mengalir. “Kekasihku tiada menyamai kekasih lain biar bagaimanapun, Tiada selain Dia di dalam hatiku mempunyai tempat manapun, Kekasihku ghaib dari penglihatanku dan peribadiku sekalipun, Akan tetapi Dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedetik pun.”
Ya Tuhanku!
Tenggelamkanlah aku di dalam kecintaan-Mu
supaya tiada suatupun yang dapat memalingkan aku daripada-Mu.”

Rabiah banyak menolak lamaran yang datang kepada nya, dengan inilah alasannya: “Perkawinan itu memang perlu bagi siapa yang mempunyai pilihan. Adapun aku tiada mempunyai pilihan untuk diriku. Aku adalah milik Tuhanku dan di bawah perintah-Nya. Aku tidak mempunyai apa-apa pun.” Rabi’ah seolah-olah tidak mengenali yang lain daripada Allah. Oleh itu dia terus-menerus mencintai Allah semata- mata. Dia tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk mencapai keridhaan Allah. Rabi’ah telah mematikan akalnya, pemikirannya dan perasaannya hanya kepada akhirat semata-mata.

Selam 30 tahun selalu doa ini yang senantiasa di ulang-ulang ketika dalam sholatnya “Ya Tuhanku!
Tenggelamkanlah aku di dalam kecintaan-Mu
supaya tiada suatupun yang dapat
memalingkan aku daripada-Mu.”
Di antara syairnya yang masyhur berbunyi:      

“Kekasihku tiada menyamai kekasih lain biar bagaimanapun, Tiada selain Dia di dalam hatiku mempunyai tempat manapun, Kekasihku ghaib daripada penglihatanku dan peribadiku sekalipun, Akan tetapi Dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedetik pun.”

Rabi’ah sangat luar biasa di dalam mencintai Allah. Beliau menjadikan kecintaan pada Ilahi itu sebagai satu cara untuk membersihkan hati dan jiwa. Beliau memulaikan pemahamannya tentang sufinya dengan menanamkan rasa takut dari murka Allah seperti yang pernah ungkapkannya dalam doa-doa beliau.
“Wahai Tuhanku!
Apakah Engkau akan membakar
dengan api hati yang mencintai-Mu
dan lisan yang menyebut- Mu dan
hamba yang takut kepada-Mu?”
Kecintaan Rabi’ah kepada Allah bukan karena pengharapan untuk beroleh syurga Allah semata-mata,tapi sudah menjadi kewajiban baginya
“Jika aku menyembah-Mu kerana takut daripada api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu kerana mengharap syurgaMu maka jauhkan aku dari syurgaMu ! Tetapi jika aku menyembah- Mu kerana kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.”

Begitulah keadaan kehidupan Rabi’ah yang ditakdirkan Allah untuk diuji dengan keimanan serta kecintaan kepada- Nya.

Rabi’ah meninggal dunia pada 135 Hijrah yaitu ketika usianya menjangkau 80 tahun. Moga-moga Allah meridha beliau, amin.
Untuk itu mari kita merenung adakah kita sadar akan sebuah hakikat yang ada di sebut dalam surat al Imran ayat 142, ”Apakah kamu mengira bahawa kamu akan masuk syurga padahal belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang yang sabar.”(QS. Ali-Imron[3]:142)

Bagaimana perasaan kita apabila orang yang kita kasihi menyinggung perasaan kita? Adakah kita terus berkecil hati dan meletakkan kesalahan kepada orang tesrbut? Tidakkah terpikir oleh kita untu merasakan dalam hati dan berdoa, “Ya Allah! Ampunilah aku. Sesungguhnya hanya Engkau yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hanya kasih-Mu yang abadi dan hanya hidup di sisi-Mu saja yang kekal. Selamatkanlah aku dari tipu daya yang mengasyikkan.”

Sesungguhnya hendaklah kecintaan kepada Allah benar-benar dapat kita tanamkan kepada diri kita bukan hanya sekedar sholat dan puasa atau ibadah ritual lainnya tapi yakin kan diri semakin kita mengenal Allah dengan dekat maka semakin ingin kita bertemu dan akan ada kerinduan untuk bertemu sang Khaliq.

BIBLIOGRAFI
M. Smith, Rabi’a the Mystic: and her Fellow-saints in Islam, (Cambridge, 1928).
‘L.Massignon, Essay, halaman 193-197.
Ibnu Khallikan, Wafayatul A’yan, (Cairo, 1948), no. 217.
Al-Yafi’i, op.cit., I, 281.
jami, Nafahatul Uns, (Tcheran, 1336), halaman 615-616.
Ibnul ’Imad, Shadaratudz Dzahab, (Cairo, 1350-1351 H), I, 193.


FATIMAH

Fatimah adalah "ibu dari ayahnya." Dia adalah puteri yang mulia dari dua pihak, yaitu puteri pemimpin para makhluq Rasulullah SAW, Abil Qasim, Muhammad bin Abdullah bin   Abdul Muththalib bin Hasyim.
Dia juga digelari Al-Batuul, yaitu yang memusatkan perhatiannya pada ibadah atau tiada bandingnya dalam hal keutamaan, ilmu,  akhlaq, adab, hasab dan nasab.

Fatimah lebih muda dari Zainab, isteri Abil Ash bin Rabi' dan Ruqayyah, isteri Utsman bin Affan. Juga dia lebih muda dari Ummu Kultsum. Dia adalah anak yang paling dicintai Nabi SAW sehingga beliau bersabda :"Fatimah adalah darah dagingku, apa yang menyusahkannya juga menyusahkan aku dan apa yang mengganggunya juga menggangguku." [Ibnul Abdil Barr dalam "Al-Istii'aab"]

 Sesungguhnya dia adalah pemimpin wanita dunia dan penghuni syurga yang paling utama, puteri kekasih Robbil'aalamiin, dan ibu dari
Al-Hasan dan Al-Husein. Az-Zubair bin Bukar berkata :"Keturunan Zainab telah tiada dan telah sah riwayat, bahwa Rasulullah SAW menyelimuti Fatimah dan suaminya serta kedua puteranya dengan pakaian seraya ber- kata :"Ya, Allah, mereka ini adalah ahli baitku. Maka hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya." ["Siyar A'laamin Nubala', juz 2, halaman 88]

Dari Abu Hurairah r.a., dia berkata :"Datang Fatimah kepada Nabi SAW meminta pelayan kepadanya. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya : "Ucapkanlah :"Wahai Allah, Tuhan pemilik bumi dan Arsy yang agung. Wahai, Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu yang menurunkan Taurat, Injil dan Furqan, yang membelah biji dan benih. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan segala sesuatu yang Engkau kuasai nyawanya. Engkaulah awal dan tiada sesuatu sebelum-Mu. Engkau-lah yang akhir dan tiada sesuatu di atas-Mu. Engkau-lah yang batin dan tiada sesuatu di bawah-Mu. Lunaskanlah utangku dan cukupkan aku dari kekurangan." (HR. Tirmidzi)

Inilah Fatimah binti Muhammad SAW yang melayani diri sendiri dan menanggung berbagai beban rumahnya. Thabrani menceritakan, bahwa ketika kaum Musyrikin telah meninggalkan medan perang Uhud, wanita-wanita sahabah keluar untuk memberikan pertolongan kepada kaum Muslimin.

Di antara mereka yang keluar terdapat Fatimah. Ketika bertemu Nabi SAW, Fatimah memeluk dan mencuci luka-lukanydengan air, sehingga darah semakin banyak yangk keluar. Tatkala Fatimah melihat hal itu, dia mengambil sepotong tikar, lalu membakar dan membubuhkannya pada luka itu sehingga melekat dan darahnya berhenti keluar." (HR. Syaikha dan Tirmidzi) Dalam kancah pertarungan yang dialami ut kita, tampaklah peranan puteri Muslim supaya menjadi teladan yang baik bagi pemudi Muslim masa kini.

Pemimpin wanita penghuni Syurga Fatimah Az-Zahra', puteri Nabi
SAW, di tengah-tengah pertempuran tidak berada dalam sebuah panggung yang besar, tetapi bekerja di antara tikaman-tikaman tombak dan pukulan pukulan pedang serta hujan anak panah yang menimpa kaum Muslimin untuk menyampaikan makanan, obat dan air bagi para prajurit. Inilah gambaran lain dari pute sebaik-baik makhluk yang kami persembahkan kepadada para pengantin masa kini yang membebani para suami dengan tugas yang tidak dapat dipenuhi.

Ali r.a. berkata :"Aku menikahi Fatimah, sementara kami tidak mempunyai alas tidur selain kulit domba untuk kami tiduri di waktu malam dan kami letakkan di atas unta untuk mengambil air di siang hari. Kami tidak mempunyai pembantu selain unta itu." Ketika Rasulullah SAW menikahkannya (Fatimah), belmengirimkannya (unta itu) bersama satu lembar kain dan bantal kulit berisi ijuk dan dua alat penggiling gandum, sebuah timba dan dua kendi. Fatimah menggunakan alat penggiling gandum itu hingga melecetkan tangannya dan memikul qirbah (tempat air dari kulit) berisi air hingga berbekas pada dadanya. Dia menyapu rumah hingga berdebu bajunya dan menyalakan api di bawah panci hingga mengotorinya juga. Inilah dia, Az-Zahra', ibu kedua cucu Rasulullah SAW :Al-Hasan dan Al-Husein.

Fatimah selalu berada di sampingnya, maka tidaklah mengherankan bila dia meninggalkan bekas yang paling indah di dalam hatinya yang
penyayang. Dunia selalu mengingat Fatimah, "ibu ayahnya, Muhammad", Al-Batuul (yang mencurahkan perhatiannya pada ibadah), Az-Zahra' (yang cemerlang), Ath-Thahirah (yang suci), yang taat beribadah dan menjauhi keduniaan. Setiap merasa lapar, dia selalu sujud, dan setiap merasa payah, dia selalu berdzikir. Imam Muslim menceritakan kepada kita tentang keutamaan-keutamaannya dan meriwayatkan dari Aisyah' r.a. dia berkata :

"Pernah isteri-isteri Nabi SAW berkumpul di tempat Nabi SAW. Lalu
datang Fatimah r.a. sambil berjalan, sedang jalannya mirip dengan jalan Rasulullah SAW. Ketika Nabi SAW melihatnya, beliau menyambutnya seraya berkata :"Selamat datang, puteriku." Kemudian beliau mendudukkannya disebelah kanan atau kirinya. Lalu dia berbisik kepadanya. Maka Fatimah menangis dengan suara keras. Ketika melihat kesedihannya, Nabi SAW berbisik kepadanya untuk kedua kalinya, maka Fatimah tersenyum. Setelah itu aku berkata kepada Fatimah :Rasulullah SAW telah berbisik kepadamu secara khusus di antara isteri-isterinya, kemudian engkau menangis!" Ketika Nabi SAW pergi, aku bertanya kepadanya :"Apa yang dikatakan Rasulullah SAW kepadamu ?" Fatimah menjawab :"Aku tidak akan menyiarkan rahasia Rasul Allah SAW." Aisyah berkata :"Ketika Rasulullah SAW wafat, aku berkata kepadanya :"Aku mohon kepadamu demi hakku yang ada padamu, ceritakanlah kepadaku apa  yang dikatakan Rasulullah SAW kepadamu itu ?" Fatimah pun menjawab :"Adapun sekarang, maka baiklah. Ketika berbisik pertama kali kepadaku, beliau mengabarkan kepadaku bahwa Jibril biasanya memeriksa bacaannya terhadap Al Qur'an sekali dalam setahun, dan sekarang dia memerika bacaannya dua kali. Maka, kulihat ajalku sudah dekat. Takutlah kepada Allah dan sabarlah. Aku adalah sebaik-baik orang yang mendahuluimu." Fatimah berkata :"Maka aku pun menangis sebagaimana yang engkau lihat itu. Ketika melihat kesedihanku, beliau berbisik lagi kepadaku,
dan berkata :"Wahai, Fatimah, tidakkah engkau senang menjadi pemimpin wanita-wanita kaum Mu'min  atau ummat ini ?" Fatimah berkata :"Maka aku pun tertawa seperti yang engkau lihat."

Inilah dia, Fatimah Az-Zahra'. Dia hidup dalam kesulitan, tetapi mulia dan terhormat. Dia telah menggiling gandum dengan alat penggiling hingg berbekas pada tangannya. Dia mengangkut air dengan qirbah hingga berbekas pada dadanya. Dan dia menyapu rumahnya hingg berdebu bajunya.

Ali r.a. telah membantunya dengan melakukan pekerjaan di luar. Dia berkata kepada ibunya, Fatimah binti Asad bin Hasyim :"Bantulah pekerjaan puteri Rasulullah SAW di luar dan mengambil air, sedangkan dia akan mencukupimu bekerja di dalam rumah :yaitu membuat adonan tepung, membuat roti dan menggiling gandum."

Tatkala suaminya, Ali, mengetahui banyak hamba sahaya telah datang kepada Nabi SAW, Ali berkata kepada Fatimah, "Alangkah baiknya bila engkau pergi kepada ayahmu dan meminta pelayan darinya." Kemudian Fatimah datang kepada Nabi SAW. Maka beliau bertanya kepadanya :"Apa sebabnya engkau datang, wahai anakku ?" Fatimah menjawab :"Aku datang untuk memberi salam kepadamu." Fatimah merasa malu untuk meminta kepadanya, lalu pulang. Keesokan harinya, Nabi SAW datang kepadanya, lalu bertanya : "Apakah keperluanmu ?" Fatimah diam.

Ali r.a. lalu berkata :"Aku akan menceritakannya kepada Anda, wahai Rasululllah. Fatimah menggiling gandum dengan alat penggiling hingga melecetkan tangannya dan mengangkut qirbah berisi air hingga berbekas di dadanya. Ketika hamba sahaya datang kepada Anda, aku menyuruhnya agar menemui dan meminta pelayan dari Anda, yang bisa membantunya guna meringankan bebannya."

Kemudian Nabi SAW bersabda :"Demi Allah, aku tidak akan memberikan pelayan kepada kamu berdua, sementara aku biarkan perut penghuni Shuffah merasakan kelaparan. Aku tidak punya uang untuk nafkah mereka, tetapi aku jual hamba sahaya itu dan uangnya aku gunakan untuk nafkah mereka."

Maka kedua orang itu pulang. Kemudian Nabi SAW datang kepada mereka ketika keduanya telah memasuki selimutnya. Apabila keduanya menutupi kepala, tampak kaki-kaki mereka, dan apabila menuti kaki, tampak kepala-kepala mereka. Kemudian mereka berdiri. Nabi SAW bersabda :"Tetaplah di tempat tidur kalian. Maukah kuberitahukan kepada kalian yang lebih baik daripada apa yang kalian minta dariku ?" Keduanya menjawab :"Iya." Nabi SAW bersabda: "Kata-kata yang diajarkan Jibril kepadaku, yaitu hendaklah kalian mengucapkan : Subhanallah setiap selesai shalat 10 kali, Alhamdulillaah 10 kali dan Allahu Akbar 10 kali. Apabila kalian hendak tidur, ucapkan Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali dan takbir (Allahu akbar) 33 kali."

Dalam mendidik kedua anaknya, Fatimah memberi contoh : Adalah Fatimah menimang-nimang anaknya, Al-Husein seraya melagukan :"Anakku ini mirip Nabi, tidak mirip dengan Ali."

Dia memberikan contoh kepada kita saat ayahandanya wafat. Ketika ayahnya menjelang wafat dan sakitnya bertambah berat, Fatimah berkata : "Aduh, susahnya Ayah !" Nabi SAW menjawab :"Tiada kesusahan atas Ayahanda sesudah hari ini." Tatkala ayahandanya wafat, Fatimah berkata :"Wahai, Ayah, dia telah memenuhi panggilang Tuhannya. Wahai, Ayah, di surfa Firdaus tempat tinggalnya. Wahai, Ayah, kepada Jibril kami sampaikan beritanya."

Fatimah telah meriwayatkan 18 hadits dari Nabi SAW. Di dalam Shahihain diriwayatkan satu hadits darinya yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim dalam riwayat Aisyah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud.  Ibnul Jauzi berkata :"Kami tidak mengetahui seorang pun di antara puteri-puteri Rasulullah SAW yang lebih banyak meriwayatkan darinya selain Fatimah."

Fatimah pernah mengeluh kepada Asma' binti Umais tentang tubuh
yang kurus. Dia berkata :"Dapatkah engkau menutupi aku dengan sesuatu ?"

Asma' menjawab :"Aku melihat orang Habasyah membuat usungan untuk wanita dan mengikatkan keranda pada kaki-kaki usungan." Maka Fatimah menyuruh membuatkan keranda untuknya sebelum dia wafat. Fatimah melihat keranda itu, maka dia berkata :"Kalian telah menutupi aku, semoga Allah menutupi aurat kalian." [Imam Adz-Dzhabi telah meriwayatkan dalam "Siyar A'laamin Nubala'. Semacam itu juga dari Qutaibah bin Said ...dari Ummi Ja'far]

Ibnu Abdil Barr berkata :"Fatimah adalah orang pertama yang dimasukkan ke keranda pada masa Islam." Dia dimandikan oleh Ali dan Asma', sedang Asma' tidak mengizinkan seorang pun masuk. Ali r.a. berdiri di kuburnya dan berkata :

Setiap dua teman bertemu tentu
akan berpisah
dan semua yang di luar kematian
adalah sedikit kehilangan satu demi satu
adalah bukti bahwa teman itu
tidak kekal

Semoga Allah SWT meridhoinya. Dia telah memenuhi pendengaran, mata dan hati. Dia adalah 'ibu dari ayahnya', orang yang paling erat hubungannya dengan Nabi SAW dan paling menyayanginya. Ketika Nabi SAW terluka dalam Perang Uhud, dia keluar bersama wanita-wanita dari Madinah menyambutnya agar hatinya tenang. Ketika melihat luka-lukanya, Fatimah langsung memeluknya. Dia mengusap darah darinya, kemudian mengambil air dan membasuh mukanya.

Betapa indah situasi di mana hati Muhammad SAW berdenyut menunjukkan cinta dan sayang kepada puterinya itu. Seakan-akan kulihat Az-Zahra' a.s. berlinang air mata dan berdenyut hatinya dengan cinta dan kasih sayang. Selanjutnya, inilah dia, Az-Zahra', puteri Nabi SAW, puteri sang pemimpin. Dia memberi contoh ketika keluar bersama 14 orang wanita, di antara mereka terdapat Ummu Sulaim binti Milhan dan Aisyah Ummul Mu'minin r.a. dan mengangkut air dalam sebuah qirbah dan bekal di atas punggungnya untuk memberi makan kaum Mu'minin yang sedang berperang menegakkan agama Allah SWT.

Semoga kita semua, kaum Muslimah, bisa meneladani para wanita mulia
tersebut. Amiin yaa Robbal'aalamiin.

Wallahu a'lam bishowab.[]


                                                 SUSI BUDAK YANG SUFI

Begitu taatnya kepada Allah, akhirnya Tuhfah dianggap gila oleh majikannya. Sehingga, ia dimasukkan di RS jiwa. Tiba-tiba seorang sufi ingin menebusnya, tapi majikan Tuhfah yang semula menjual harga tinggi, akhirnya malah membebaskannya. Bahkan, mereka akhirnya menjalankan ibadah haji bersama-sama sampai Tuhfah meninggal dunia.

Budak Yang Sufi

Susi wanita, Tuhfah, hidup sezaman dengan sufi Sari as-Saqati (sekitar tahun 250 H/853 M). Tuhfah seorang budak yang tidak mengenal tidur maupun makan, sepanjang hari menangis serta merintih dalam mengabdi kepada Allah. Akhirnya ketika keadaan sudah demikian gawat untuk ditangani keluarga majikannya. Mereka pun mengirim ke rumah sakit jiwa.

Sufi yang banyak bercerita tentang Tuhfah adalah Sari al-Saqati. Menurut al-Saqati, dia pergi ke rumah sakit karena kesumpekan hati nya. Di suatu kamar, ia mendapati seorang gadis, hanya saja kedua kakinya dirantai. Air matanya berlinangaan sepanjang hari ia selalu melantunkan syair.

Ketika ingin tahu identitas gadis itu, seorang perawat mengatakan ia seorang budak yang gila dan bernama Tuhfah. la dikirim oleh seseorang yang rupanya majikannya. Ketika perawat itu menerangkan kepada as-Saqati perihal dirinya. Sari as-Saqati pun berlinang matanya.

Tuhfah berkata, “Tangisanmu ini, lahir dari pengetahuanmu tentang sifat-sifat Allah. Bagaimana jadinya jika engkau benar-benar mengenal-Nya sebagaimana  makrifat hakiki?” Setelah berkata begitu Tuhfah pingsan satu jam. Sesudah itu ia bersyair kembali.

Saqati menganggap, Tuhfah sebagai saudara. Ketika Saqati bertanya siapa yang memenjarakan (maksudnya mengirim) ke rumah sakit ini?” Orang-orang yang iri dan dengki,” jawabnya. Mendengar jawaban itu, Saqati menganjurkan kepada petugas rumah sakit itu agar Tuhfah dilepas saja dan membiarkan ia pergi ke mana saja. Melihat gelagat itu Tuhfah bereaksi.

Sari as-Saqati BERDOA

Mendadak seseorang muncul di rumah sakit. Menurut seorang perawat, dia adalah majikan Tuhfah. Ada yang memberi tahu, kalau budaknya yang gila itu sudah bersama as-Saqati, seorang syaikh. la sangat gembira dan mengatakan barangkali Sufi yang datang itu bisa menyembuhkan budaknya. la mengaku bahwa dirinya yang mengirim ke rurnah sakit. Seluruh hartanya sudah ludes untuk membiayai pengobatannya. Katanya budak itu dibeli dengan harga 20.000 dirham.

Saqati tertarik membeli karena ketrampilannya sebagai penyanyi, sementara alat musik yang sering ia pakai adalah harpa. la seorang sufi wanita yang begitu kuat cintanya kepada Allah.

Mendengar kisah itu Saqati kemudian dengan berani menawar berapa saja uang yang diminta jika sang majikan menjualnya. Sang majikan menukas, “Wahai Saqati, engkau benar seorang sufi, dan engkau sangat fakir, tidak bakalan bisa menebus harga Tuhfah,” tukasnya.

Benar apa yang dikatakan majikan Tuhfah. Kala menawar, Saqati tak memiliki uang sedirham pun. Saqati pulang dengan hati menangis. Tekadnya untuk membeli Tuhfah begitu besar dan menggebu-gebu, namun apa dikata, uang pun ia tak mengantungi. Kemudian ia berdoa, “Ya Allah, Engkau mengetahui keadaan lahiriah dan batiniahku. Hanya dalam rahmat dan anugerah-Mu aku percayakan diriku. Janganlah Engkau hinakan diriku kini!”

Selesai berdoa tiba-tiba pintu diketuk orang. Saqati pun membuka pintu. Didapati seseorang yang mengaku bernama Ahmad Musni dengan membawa empat orang budak yang memanggul pundi-pundi. Musni mendengar suara gaib, agar ia membawa lima pundi-pundi ke rumah Sari as-Saqati, supaya sufi fakir itu memperoleh kebahagiaan untuk membeli Tuhfah. Itulah salah satu karomah yang dimiliki al-Saqati.

HAJI BERSAMA

Mendengar cerita Musni itu, Saqati langsung sujud syukur, dilanjutkan dengan shalat malam, dan bangun sampai pagi. Ketika matahari sepenggalah, Saqati mengajak Musni ke rumah sakit. Majikan Tuhfah yang mengejeknya itu sudah berada di rumah sakit lebih dahulu. Ketika hendak dibayar berapa saja harga yang diminta, majikan itu malah mengelak, “Tidak Tuan, sekiranya Anda memberiku seluruh dunia ini untuk membelinya, aku tidak mau menerimanya. Aku telah membebaskan Tuhfah. la henar-benar bebas untuk mengikuti kehendak Allah,” tuturnya.

Mendengar kata-kata majikan itu, Ahmad Musni yang memberi Saqati lima pundi-pundi ikut menangis. Musni menangis karena terharu kepada majikan itu yang sudah meninggalkan duniawi, melepaskan hartanya seperti dirinya juga.” Betapa agung berkah yang diberikan Tuhfah, kepada kita bertiga ini” ujar Musni sambil menatap Sari Al Saqati dan majikan Tuhfah.

Ketiga orang itu pun kini berperilaku seperti sufi. Ketiganya pergi haji ke Makkah Dalam perjalanan Baghdad-Makkah Musni meninggal dunia Ketika sampai di Baitullah dan keduanya thawaf, Ketika saqati memberi tahu, bahwa Musni sudah meninggal Tuhfah berkomentar, “Di surga ia akan menjadi tetanggaku, Belum ada seorang pun yang melihat nikmat yang diberikan kepadanya”.

Ketika Saqati memberi tahu bahwa majikannya juga melaksanakan haji bersamanya, Tuhfah hanya berdoa sebentar, sesudah itu ia roboh di samping Kakbah. Ketika majikannya datang dan melihat Tuhfah sudah tak bernyawa, ia sangat sedih dan roboh di sampingnya. Saqati kemudian memandikan, mengkafani, menyalati dan menguburkan Tuhfah dan majikannya. Saqati selesai berhaji pulang sendirian ke Irak.

Syair-Syair Mahabbah Tuhfah kepada Allah

Aku bahagia berada dalam jubah Kesatuan
yang Engkau kenakan pada diriku
Engkaulah Tuhanku, dan Tuhan dalam kebenaran, seluruhnya
Hasrat-hasrat sekilas mengepung qalbuku
Namun, setiap dorongan berhimpun dalam diri-Mu
bersama-sama, saat kutatap diri-Mu
Segenap tenggorokan tercekik kehausan pun
terpuaskan air minuman
Tapi, apa yang terjadi atas orang orang yang kehausan oleh air?
Qalbuku pun merenungkan dan merasa sedih atas segenap dosa dan kesalahan di masa lalu
Sementara jiwa yang terikat raga ini pun menanggung derita kepedihan
Jiwa dan pikiranku pun kenyang dengan kerinduan
Ragaku pun sepenuhnya bergelora dan membara
Sementara dalam relung qalbuku, cinta-Mu pun tertutup rapat-rapat
Betapa sering aku kembali menghadap kepada-Mu
seraya memohon ampunan-Mu
Wahai junjunganku, wahai Tuhanku,
Engkau tahu apa yang ada dalam diriku
Kepada orang banyak telah kuserahkan dunia dan agamanya
Dan aku sibuk terus menerus mengingat-Mu
Engkau, yang  merupakan agama dan duniaku
Sesudah mencari-Mu dengan kecemburuan liar seperti ini,
kini akyu dibenci dan didengki
Karena Engkau adalah Tuhanku
kini akulah kekasih di atas segalanya

Ada lagi syair Tuhfah ra. Lainnya

Qalbuku, yang mabuk oleh anggur lembut kasih sayang dan cinta,
kembali merindukan kekasihnya
Wahai, menangislah! Bebaslah dalam menangis di Hari Pengasingan
Air mata berlimpah yang jatuh berderai sesungguhnya baik semata
Betapa banyak mata yang dibuat Allah menangis ketakutan dan merasa risau kepada-Nya
kemudian merasa lega dan tentram
Sang budak yang tak sengaja berbuat dosa tapi menangis penuh penyesalan tetaplah seorang budak
Sekalipun ia kebingungan dan begitu ketakutan
Dalam qalbunya lampu terang pun bersinar cemerlang.

Pustaka :

1. Nurani 199, 6 – 12 Oktober 2004
2. Javad Nurbakh, Wanita-wanita Sufi, Penerbit Mizan, Bandung, 1983.

3. http://oryza.blogsome.com/2006/05/22/tuhfah-sufi-wanita-dari-irak/


CINTA ALA ROBII'AH AL-ADAWIYYAH
Ibnu Mehmoud El Aswadi

Perempuan Yang Menggetarkan Sejarah Islam

Pada suatu malam, seorang perempuan keluar rumah dengan membawa obor yang menyala-nyala di tangan kanannya dan seember air di tangan kirinya. Ia pergi mengelilingi kampung dengan berteriak sangat keras, “Wahai manusia, seandainya engkau beribadah kepada Allah dan mengharapkan surga. Maka, biarkan surga itu kubakar dengan api ini ! Dan, apabila engkau menjauhi maksiat oleh sebab takut akan neraka. Maka, biarkan neraka itu kusiram dengan seember air yang ada di tangan kiriku…..!”

Siapakah perempuan yang berani mengusik kesadaran orang-orang di sekitarnya, dan mungkin juga kita? Siapa lagi kalau bukan Rabi’ah al-Adawiyah. Ya, Rabi’ah al-Adawiyah. Perempuan suci yang sepanjang hayatnya mengajarkan cara beribadah kepada Allah dengan motif cinta yang tulus kepadaNya. Ia adalah sufi yang membawa corak baru dalam penghayatan Islam melalui ajaran cinta. Seluruh ajaran Islam dilaksanakan bukan sebab, “Ini semua karena perintahNya dan harus dilaksanakan bukan untuk mengharap surgaNya”, bukan pula karena, “Itu ahrus dijauhi karena takut akan siksaNya.” Namun, ia melaksanakan perintah dan menjauhi semua laranganNya sebab cinta yang sebenar-benarnya cinta (al-hubb haqq al-hubb).

Bukankah seorang pecinta akan berhias rapih dan wangi dalam shalatnya, melebihi saat pertemuan dengan orang yang paling dicintainya sekalipun? Bahkan, kerap kali ia menangis dalam shalatnya. Kucuran air mata pecinta ini adalah bentuk ungkapan lerinduan, kecintaan, dan kebahagiaan kala “berjumpa” denganNya.

Dengarkan, kata-kata Rabi’ah yang terbentuk dalam alunan puisinya :

Ya Tuhanku!
Tenggelamkan aku dalam kecintaanMu
Sehingga tiada suatupun yang dapat memalingkan aku dariMu
Kekasihku tiada menyamai kekasih lain biar bagaimanapun
Tiada selain Dia dalam hatiku mempunyai tempat manapun
Kekasihku ghaib daripada penglihatanku dan pribadiku sekalipun
Akan tetapi, Dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedikitpun.
Aku mencintaiMu…
Oh, Tuhan tercinta…
Dengan cinta penuh kesenangan
Karena Engkaulah yang penuh kesenangan
Maka aku sibuk mengingatMu daripada yang lain
Kuharap Kau buka tabir untukku
Hingga aku dapat memandangMu
Maka ujian yang ini dan itu bukan untukku
Melainkan hanya untukMu.

Bagi Rabi’ah, bukan cinta apabila penghambaan manusia ada pamrihnya. Dan bukan pula cinta, apabila ibadah manusia memiliki motif-motif duniawi, sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits dari Abu Hurairah ra yang menceritakan bahwa ada orang-orang berkelompok bertanya kepadanya, “Wahai Tuan, ceritakan kepadaku sebuah hadits yang engkau dengar langsung dari Rasulullah!”. “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya, orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid. Ia didatangkan dan ditanyakan akan nikmat-nikmatnya, lalu ia mengakuinya. Allah SWT berfirman kepadanya, ‘Apakah yang kamu amalkan di dunia ini?’ Ia menjawab, ‘Saya berperang hingga mati syahid.’ Allah menjawab, ‘Kamu berdusta, tetapi kamu berperang supaya orang-orang berkata bahwa engkau pemberani dan itu telah dikatakannya.’ Lalu. Allah SWT memerintahkan agar wajahnya ditarik, kemudian dilemparkan ke dalam api neraka.

Berikutnya adalah orang yang mempelajari ilmu, mengajarkannya, dan suka membaca al-Qur’an didatangkan kepadaNya. Nikmat-nikmatnya ditanyakan dan ia mengakuinya. Allah berkata, ‘Apakah yang kamu kerjakan di dunia ini?’ Ia menjawab, ‘Saya mepelajari ilmu dan suka membaca al-Qur’an karenaMu.’ Allah SWT berfirman, ‘Kamu berdusta karena kam mempelajari ilmu supaya orang-orang mengatakan bahwa kamu pandai dan ahli dalam bidang al-Qur’an dan semua tu telah iucpkan oleh mereka.’ Allah pun memerintahkan agar ia dicampakkan ke dalam api neraka.

Selanjutnya, orang yang diberikan kelapangan oleh Allah dan diberi berbagai macam harta akan didatangkan dan ditanyakan atas nikmat-nikmatnya, dan ia mengakuinya. Allah SWT berfirman, ‘APakah yang kamu kerjakan di dunia?’ Ia menjawab, ‘Saya tidak meninggalkan jalan yang Engkau senangi untuk menginfaqkan harta, melainkan saya menginfaqkannya karenaMu.’ Allah menjawab, ‘Kamu berdusta, tetapi kamu mengerjakannya supaya kamu dikatakan sebagai orang dermawan dan itu telah dikatakannya.’ Allah lalu memerintahkan agar wajahnya ditarik dan dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Muslim).

Na’udzubillah min dzalik! Itulah nasib manusia yang beribadah beradsarkan motif duniawi, dan ironisnya itu sering menjangkiti kita! Kini, masihkah kita tidak tahu manakala beribadah karena motif dunia, maka yang rugi – baik waktu, materi, maupun tenaga – adalah diri kita? Andai kata kita berhaji, haji kita hanyalah menghambur-hamburkan uang dan mustahil dapat diterima. Kalau kita bershadaqah, berzakat, berinfaq, maka akan sia-sia, yang ada harta kita berkurang. Tetapi, inilah yang sering kita lakukan.

Sesungguhnya, apabila kita mau menghayati perintah-perintah agama dan aturan-aturannya, maka kita akan mendapati bahwa dia sebenarnya indah. Keindahan agama itu tentu mustahil didapatkan apabila kita masih saja beribadah kepada Allah karena terpaksa atau memiliki motif-motif duniawi yang rendah, bukan karena kita mencintaiNya.

Setiap ajaran agama yang diperintah Allah tidak lain hanya bertujuan untuk menguji seberapa cinta kita kepadaNya. Apakah kita melakukan amal shalih karena cinta kepadaNya ataukah sebab terpaksa? Tuhan bisa diibaratkan majikan, bos, atau pimpinan, maka manakala kita melakukan tugas yang diberikannya itu karena terpaksa, takut akan hukumannya, atau mengharapkan gaji lebih tinggi darinya, itu berarti kalau tidak ada sanksi atau hukuman dan tidak diberikan honor yang tinggi, kerja kita akan meksimal. Dia tentu bukan pekerja yang baik, karena bekerja ada pamrihnya.

Lalu, apakah beribadah untuk mengharapkan pahala dan takut akan siksaNya itu tidak diperbolehkan? Boleh! Tuhan itu tidak seperti bos Anda yang kalau Anda sudah bekerja keras pun, honornya sering kali tidak dinaikkan, bahkan tak jarang malah dipotong, Tuhan tidak juga seperti majikan Anda yang kalau Anda telah disiplin dan tertib dalam bekerja, gaji Anda pun masih sering telat diberikan.

Tidak mengapa beribadah mengharapkan surga dan takut akan neraka sebagai motivasi dalam melakukan amal shalih. Secara fiqh (hukum Islam) tidak ada masalah, ini hanya wilayah tingkatan (maqam) spiritual saja dalam beribadah.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengungkapkan, “Apabila hamba beribadah kepada Allah, dan ia ingin mendapatkan imbalan serta menjauhi maksiat sebab takut akan mendapatkan siksa, itu tidak lain cara ibadahnya kaum pedagang. Sebab, ia masih memperhitungkan untung dan ruginya. Apabila hamba beribadah kepada Allah karena takut akan siksaNya, maka itu tidak lain adalah cara ibadahnya para budak. Dan, ada sekelompok kecil hamba yang beribadah karena cinta suci kepadaNya, itulah ibadahnya mukmin sejati.”

Tipe pertama dan kedua yang digambarkan Sayyidina Ali itulah yang sering kita lakukan. Karena itu, sangat wajarlah apabila Rabi’ah mengusik kesadaran motif beribadah kita hingga kini. Rabi’ah pada dasarnya mengajak kita supaya beribadah tidak karena pamrih demi meraih surga dan menghindar dari neraka, apalagi yang sangat menjijikkan, yakni beribadah dengan tujuan utnuk kelezatan dunia, ingin disebut dermawan, orang shalih, ingin mendapatkan jabatan tertentu, mendapat dukungan politik tertentu, dan lain-lain.

“Madzhab cinta” ini telah banyak memberikan inspirasi bagi tokoh-tokoh sufi kenamaan yang hidup sesudahnya, misalnya Farid ad-Din al-Athar, Ibnu al-Farid, al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, dan sebagainya. Muhammad Iqbal, seorang filsuf dari Pakistan, juga mengikuti jejak tokoh ini, ia menggunakan maqam cinta sebagai komponen untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Wallahu A'lam,



Islam dan Kerajaan Mali abad ke-13 dan 14

Perjalanan haji yang terbesar dilakukan oleh
Mansa Musa (1312-1337)
oleh: Alwi Alatas

REPUBLIK Mali di Afrika Barat meraih kemerdekaannya dari Prancis pada tahun 1960. Negeri dengan jumlah penduduk mendekati 15 juta orang itu mayoritasnya beragama Islam. Mata pencaharian utama penduduknya adalah dalam bidang pertanian dan perikanan. Garam dan emas merupakan sumber daya alam utama yang ada di negeri itu. Sebenarnya Mali merupakan negeri penghasil emas ketiga terbesar di Afrika. Tetapi separuh penduduknya hidup dengan penghasilan kurang dari 1,25 Dollar Amerika per hari (https://en.wikipedia.org/wiki/Mali). Memiliki kekayaan tambang tetapi rakyatnya hidup dalam kemiskinan, Mali menampilkan ironi yang kurang lebih sama dengan Indonesia dan beberapa negeri Muslim lainnya.

Terjadinya perpecahan di negeri itu baru-baru ini serta masuknya intervensi asing (Prancis) sejak Januari 2013 tentu membuat keadaan masyarakat Mali menjadi semakin susah. Boleh jadi adanya sumber daya alam, serta upaya mempertahankan hegemoni atas bekas daerah jajahan, merupakan alasan sebenarnya dari kedatangan pasukan Prancis ke negara itu, walaupun yang dijadikan pretext oleh Prancis untuk melakukan invasi adalah munculnya kelompok Islam militan di sana. Kendati menuai protes dari kelompok kiri di Prancis dan dianggap memiliki tujuan tidak jelas, dewan nasional Prancis memutuskan untuk memperpanjang keberadaan militer Prancis di Mali

Keadaannya sungguh sangat berbeda pada tujuh abad sebelumnya. Seperti yang ditulis oleh A.J.H. Goodwin (1957: 110): “Kerajaan Ghana-Melle (Mali, pen.) pada abad keempat belas jauh lebih kuat, jauh lebih kaya, jauh lebih terorganisir, dan bahkan jauh lebih melek huruf dibandingkan kekuasaan Kristen yang mana pun di Eropa.” Berbicara tentang Mali, Islam, dan emas pada abad pertengahan, ada hal menarik dari sejarah negeri itu yang akan kita bahas berikut ini.

Dinasti Lion King

Pada abad ke-13 dan 14 di wilayah ini pernah berdiri Kerajaan Mali. Informasi tentang kerajaan ini disebutkan dalam cerita lisan setempat yang biasanya bercampur dengan legenda. Selain itu, ia bisa ditemukan juga dalam kisah perjalanan Ibnu Batutah serta beberapa kitab sejarah, terutama yang ditulis oleh Ibnu Khaldun dan Shihabuddin al-Umari.

Kerajaan Mali didirikan oleh Sun-Djata Keita (1217-1255) atau Sundiata. Ia berasal dari suku Mandinka (Malinke) yang banyak menetap di Mali dan wilayah sekitarnya. Dalam Tarikh Ibn Khaldun, jilid 6 (2000: 266-7) tokoh ini disebut dengan nama yang sedikit berbeda, yaitu Mari-Djata, yang bermakna lion king. Dalam bahasa setempat, Mari bermakna ‘raja’ dan Djata bermakna ‘singa’ (al-asad). Tokoh ini berhasil menyatukan bangsanya yang sempat dikuasai oleh Kerajaan Soso (Susu). Ia mengalahkan dan menaklukkan kerajaan itu serta mendirikan Kerajaan Mali. Ia memerintah selama 25 tahun dan memakai gelar Mansa (Raja diraja) di depan namanya, begitu juga dengan raja-raja berikutnya.

Islam sudah mulai berkembang di wilayah ini pada abad ke-11 dan 12. Al-Bakri, seorang sejarawan yang hidup pada abad ke-11 menyebutkan bahwa pada masa itu sudah ada satu kerajaan kecil bernama Malal yang penguasanya masuk Islam setelah kedatangan seorang Muslim ke wilayah itu saat terjadi kekeringan. Muslim tadi melakukan shalat Istisqa (shalat minta hujan) dan dengan izin Allah wilayah itu selamat dari kekeringan.

Ekspansi yang dilakukan oleh Kerajaan Soso sebenarnya merupakan sebuah reaksi atas perkembangan Islam di wilayah itu. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Sun-Djata berhasil menumbangkan kerajaan itu dan mendirikan kerajaan Mali. Kerajaan baru yang didirikan oleh Sun-Djata ini terus berekspansi dan berkembang hingga mencakup wilayah Senegal, Niger, dan Gambia. Ketika kerajaan ini berdiri, Islam sedang tumbuh dengan cukup pesat di Afrika Barat. Aktifitas perdagangan lintas Sahara yang didominasi para pedagang Muslim pada gilirannya menghubungkan Mali dengan negeri-negeri Muslim di Afrika Utara. Hal ini lantas mendorong para penguasa Mali menjalankan kebijakan yang lebih memihak pada Islam (Bosworth, 1991: 257-8).

N. Levtzion dalam artikelnya, “The Thirteenth- and Forteenth- Century Kings of Mali” (1963), telah menyusun daftar raja-raja Mali berikut perkiraan masa pemerintahan masing-masing dengan merujuk pada Tarikh Ibn Khaldun dan beberapa sumber lainnya. Raja Muslim pertama di wilayah Mali yang disebut oleh Ibnu Khaldun adalah Barmandana. Sayangnya tidak ada informasi yang cukup untuk mengetahui apakah tokoh ini sama dengan raja Malal yang disebutkan oleh al-Bakri. Selain itu juga tidak diketahui apa hubungan antara Barmandana dengan raja berikutnya yang lebih dikenal luas sebagai pendiri Kerajaan Mali, yaitu Sun-Djata (Mari-Djata) yang memerintah selama 25 tahun.

Mansa (raja) berikutnya adalah Uli yang merupakan anak Sun-Djata. Masa pemerintahannya beririsan dengan masa pemerintahan Baybars (1260-1277) di Mesir. Dua raja berikutnya adalah anak-anak Sun-Djata lainnya, yaitu Wati dan Khalifa. Yang terakhir ini digambarkan sebagai penguasa yang kejam sehingga akhirnya dijatuhkan dari kekuasaannya. Ia digantikan oleh keponakannya, Abu Bakar, yang merupakan cucu Sun-Djata dari seorang anak perempuannya. Abu Bakar lalu digantikan oleh seorang bernama Sakura yang memerintah pada pergantian abad ke-13. Sakura adalah seorang budak yang dibebaskan (freed slave) yang rupaya muncul sebagai orang kuat di istana. Tapi ia mati dibunuh dan kemudian digantikan oleh Qu yang merupakan anak Uli dan cucu dari Sun-Djata. Setelah itu Qu digantikan oleh anaknya Muhammad yang memerintah hingga sekitar tahun 1312.

Sun-Djata mempunyai seorang saudara lelaki, Abu Bakar, yang membantunya dalam mendirikan kerajaan Mali. Pemerintahan Mali setelah kepemimpinan Mansa Muhammad (w. 1312) berpindah kepada keturunan Abu Bakar ini. Yang pertama menjadi raja dari jalur ini adalah Mansa Musa (1312-1337) yang merupakan cucu Abu Bakar. Ia adalah raja terbesar yang pernah memerintah Kerajaan Mali. Kemudian ia digantikan oleh anaknya yang bernama Magha, yang menurut lisan setempat bermakna Muhammad. Setelah memerintah selama empat tahun, kepemimpinan diteruskan oleh Sulaiman, saudara Musa, yang memerintah selama 24 tahun. Selepas itu masih ada beberapa raja Mali lainnya, tetapi keadaannya sudah banyak menurun, karena sering terjadi intrik dan konflik di dalam istana.

Kerajaan Mali masih bertahan hingga abad ke-15 dan 16, tetapi hanya dalam bentuk kerajaan lokal, bukan sebagai imperium sebagaimana sebelumnya. Ia semakin tenggelam dengan masuknya penjajah Eropa pada masa-masa setelahnya.

Kisah haji dan emas yang berlimpah

Beberapa raja Mali telah melakukan perjalanan haji ke Makkah. Dalam perjalanan itu biasanya mereka mampir di Mesir dan membangun hubungan diplomatik serta ekonomi dengan negeri tersebut, juga dengan beberapa negeri lainnya di Afrika Utara. Perjalanan haji ini membantu menguatkan posisi Mali ke dalam dan keluar. Selepas haji biasanya semakin banyak ulama dan tenaga ahli dari Afrika Utara yang didatangkan ke Mali untuk menyebarkan Islam serta ikut membangun negeri itu. Adanya hubungan ini juga memungkinkan Mali untuk mengirimkan generasi mudanya belajar di negeri-negeri Muslim untuk kemudian kembali ke negeri mereka dengan membawa ilmu pengetahuan. Selain itu, perjalanan haji para raja Mali menjadikan kerajaan ini mulai dikenal di dunia internasional. Perjalanan haji Mansa Musa sebagaimana akan diceritakan nanti mungkin menjadi faktor yang mendorong orang-orang Eropa mulai memasukkan Mali dalam peta yang mereka buat (Martin, 2004: 430).

Menurut Ibnu Khaldun (2000: 267-8), Mansa Uli, raja kedua Mali, melakukan perjalanan haji pada masa pemerintahan Sultan Baybars (1260-1277) di Mesir. Beberapa dekade berikutnya, Mansa Sakura melakukan perjalanan haji ke Makkah, yang bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Nasir bin Qala’un (1298-1308) di Mesir. Ia mati terbunuh saat pulang dari haji. Bagaimanapun, perjalanan haji yang terbesar di antara semuanya adalah yang dilakukan oleh Mansa Musa (1312-1337).

Ibnu Khaldun dan Shihabuddin al-Umari sama-sama menyebutkan bahwa Mansa Musa merupakan raja yang soleh. Ia selalu menjaga solatnya, banyak berdzikir dan membaca al-Qur’an. Mansa Musa, dan juga Mansa Sulaiman, banyak membangun madrasah dan masjid, serta mengundang para fuqaha ke negeri itu. Islam berkembang pesat di kerajaan yang menganut madzhab Maliki itu. Kelak setelah kembali dari perjalanan haji, Mansa Musa berkeinginan untuk kembali ke Makkah dan tinggal di dekatnya. Ia menyerahkan kekuasaan kepada anaknya, Muhammad (Magha), tetapi ia keburu meninggal dunia sebelum berhasil memenuhi apa yang diinginkannya itu (Al-Umari, 2002: 107 & 119-20). Selama masa pemerintahannya, ia tidak hanya menjalin hubungan diplomatik dengan Mesir, tetapi juga dengan beberapa negara Afrika Utara lainnya, termasuk Dinasti Marinid.

Mansa Musa melakukan perjalanan haji pada tahun 1324 M (sekitar 724 H), pada masa Dinasti Mamluk di Mesir. Dalam perjalanan haji itu, ia bertemu dengan seorang penyair Andalusia, Abu Ishak bin Ibrahim al-Sahili. Penyair Andalusia ini kemudian menyertai Mansa Musa kembali ke negerinya setelah haji. Rupanya selain sebagai penyair, al-Sahili juga memiliki keterampilan seni bangunan. Di sana, ia diminta oleh raja untuk membuat bangunan besar yang ia laksanakan dengan baik (Ibnu Khaldun, 2000: 267-8). Al-Sahili terus menetap di wilayah Mali pada masa setelahnya. Ia meninggal dunia pada tahun 1346 di kota Timbuktu yang merupakan pusat ilmu pengetahuan yang cukup penting di Mali (Bosworth, 1991: 258).

Dalam perjalanan hajinya, Mansa Musa membawa rombongan yang terdiri dari puluhan ribu orang, termasuk di dalamnya dua belas ribu budak pribadinya. Semua budak ini mengenakan pakaian yang bagus serta sutra Yaman. Ia juga membawa biji emas (tibr) sebanyak 80 tunggangan (hamlan). Pada setiap tunggangan ada 3 qintar (satuan berat pada masa itu) biji emas (Ibnu Khaldun, 2000: 268). Jika kita mengacu pada satuan qintar Mesir yang setiap qintar-nya hampir mencapai 50 kg, berarti Mansa Musa membawa sebanyak 12 ton (12.000 kg) emas pada perjalanan hajinya!

Orang-orang Mesir dan sekitarnya melihatnya sebagai orang yang terlalu mewah dan boros, tetapi emas di Mali pada masa itu memang sangat berlimpah dan kepemilikannya dipandang sebagai hal yang biasa di negeri itu. Sebenarnya, Mansa Musa bersikap sangat murah hati di sepanjang perjalanannya. Ia membagikan dan menyedekahkan sejumlah besar emasnya di setiap kota yang ia lalui dan juga di tanah suci. Setiap berhenti pada hari Jum’at, ia membangun sebuah masjid di tempatnya berkemah.

Begitu banyaknya emas yang dibagikan oleh Mansa Musa sehingga harga emas di Mesir dan sekitarnya menjadi jatuh. Harga-harga barang pun naik drastis karena emas yang biasa digunakan sebagai alat tukar mengalami depresiasi. Ketika hendak kembali ke negerinya, Mansa Musa mengalami kekurangan perbekalan. Saat tiba di Kairo dalam perjalanan pulang, ia meminjam kembali emas dari orang-orang sebanyak yang bisa ia dapatkan. Para pemberi pinjaman (money-lender) mengambil kesempatan ini dengan meminjamkan emas mereka disertai bunga yang tinggi. Entah apakah Mansa Musa kurang mengerti tentang dilarangnya sistem pinjaman semacam ini atau ia melakukannya karena terdesak keadaan, ia menerima tawaran tersebut.

Apa yang dilakukan Mansa Musa ini membuat harga emas kembali naik dan harga barang turun. Namun begitu ia tiba di negerinya, ia langsung membayar kembali seluruh pinjaman berikut bunganya dengan sekali pembayaran. Hal itu menyebabkan harga emas kembali turun drastis seperti yang terjadi beberapa waktu sebelumnya. Para pemberi pinjaman (money-lender) tentu saja mengalami kerugian yang sangat besar karenanya. Mereka ingin untung, tapi akhirnya malah buntung. “For the first and last time one man had played ducks and drakes with the world price of gold,” tulis Goodwin (1957: 110) menggambarkan kejadian di Kairo itu. “Gold dust was dust indeed.”

Pelayaran Trans-Atlantik

Ada sebuah kisah menarik lainnya terkait kerajaan Mali. Masih pada masa perjalanan haji Mansa Musa, Ibn Amir Hajib, seorang sumber sejarah yang dikutip oleh al-Umari, bertanya pada sang raja tentang proses kenaikannya menjadi raja. Mansa Musa kemudian menjelaskan bahwa sistem kepemimpinan di kerajaannya adalah melalui pewarisan dalam keluarga raja. Kemudian ia menceritakan sebuah kisah, seperti yang dikutip oleh al-Umari (2002: 120-1):

‘… orang (yang menjadi raja) sebelum saya tidak percaya bahwa Bahrul Muhit (Samudera  Atlantik) tidak memiliki ujung, dan ia ingin mengetahui (apa yang ada) di ujungnya (laut itu). Ia pun menyiapkan dua ratus kapal yang penuh berisi orang, juga emas, air dan berbagai perlengkapan yang cukup untuk setahun. Ia berpesan kepada mereka yang berangkat (ia tidak ikut pada rombongan ini, pen.), “Jangan kalian kembali sehingga kalian tiba di ujung (lautan ini) [atau] disebabkan perbekalan dan air kalian habis.” Maka berangkatlah mereka dan memanjang hingga waktu yang lama. Tidak ada seorang pun yang kembali hingga berlalu waktu yang lama. Kemudian kembali satu buah kapal. Maka kami pun bertanya tentang kabar mereka.”

Maka ia berkata, “Wahai Sultan, sesungguhnya kami telah melakukan perjalanan yang jauh dan memakan waktu lama, sehingga kami mendapati di tengah laut ada semacam sungai (wadi) dengan tarikan yang sangat kuat. Kapal saya berada paling belakang (dari iringan kapal-kapal itu). Ketika kapal-kapal (yang di depan) memasuki tempat itu, mereka menghilang dan tidak kembali lagi. Kami tidak tahu apa yang terjadi pada mereka. Maka saya pun memutuskan untuk kembali dan tidak memasuki tempat itu.”’

Raja menolak cerita ini. Ia kemudian menyiapkan kapal yang jauh lebih banyak lagi dan memutuskan untuk memimpin sendiri rombongan kapal untuk menyeberangi Samudera Atlantik. Ia mempercayakan kerajaannya kepada Mansa Musa. Ia tidak pernah kembali lagi dari perjalanannya dan tidak menunjukkan tanda bahwa ia masih hidup. Hal itulah yang menyebabkan Mansa Musa akhirnya dilantik untuk memimpin kerajaan itu. Berdasarkan kisah ini, perjalanan tersebut terjadi sebelum pelantikan Mansa Musa sebagai raja, atau menjelang tahun 1312, yang berarti hampir dua abad sebelum perjalanan Colombus ke benua Amerika.

Nama raja sebelum Mansa Musa yang melakukan pelayaran ini tidak disebutkan namanya oleh sumber al-Umari. Ada yang mengatakan bahwa nama raja tersebut adalah Abu Bakar II. Hal ini mungkin karena ada anggapan bahwa Mansa Musa menjadi raja menggantikan ayah atau kakeknya yang bernama Abu Bakar. Tetapi pendapat yang lebih kuat mengatakan bahwa raja sebelum Mansa Musa adalah Muhammad, sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya. Kemungkinan besar, Mansa Muhammad inilah yang telah melakukan perjalanan trans-Atlantik tersebut.

Kita tidak mengetahui akhir perjalanan sang raja. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi, ia dan rombongannya tenggelam di tengah Samudera Atlantik atau mereka berhasil mencapai benua Amerika dan tidak kembali lagi ke Afrika. Tidak ada data sejarah yang cukup kuat sejauh ini untuk memastikan mana di antara dua kemungkinan ini yang telah berlaku.

Ada beberapa peneliti, antara lain Ivan Van Sertima (2003), yang percaya bahwa rombongan raja Mali ini berhasil mencapai benua Amerika. Bahkan mereka mempercayai bahwa orang-orang Sudan-Mesir telah tiba di benua Amerika sejak sebelum masehi dan mempengaruhi kebudayaan orang-orang Indian di benua itu. Hal itu didasari oleh temuan patung-patung berhala yang mirip dengan wajah orang Afrika (berbibir tebal, berambut keriting, dll) yang ditemukan di salah satu daerah di benua itu, serta beberapa argumen lainnya yang terpaksa tidak kami bahas secara detail di sini karena keterbatasan tempat.

Namun banyak peneliti lainnya menolak pendapat ini. Bernard Ortiz de Montellano dan dua penulis lainnya (1997), misalnya, dalam tulisan mereka “They Were NOT Here before Colombus” memberikan banyak argumen bantahan terhadap tulisan Sertima.

Mungkin memang belum cukup bukti untuk mengatakan bahwa rombongan kerajaan Mali, ataupun orang-orang Afrika pada masa sebelumnya, telah berhasil mencapai benua Amerika pada perjalanan mereka. Tetapi apa yang mereka lakukan mencerminkan semangat ilmu pengetahuan dan upaya mencari temuan baru (discovery). Dan jika Mali dahulu pernah melahirkan sebuah peradaban yang kuat dan kaya, tidak tertutup kemungkinan suatu masa nanti kita akan menyaksikan munculnya peradaban yang kuat lagi di wilayah itu. Wallahu a’lam.*

Penulis adalah kandidat doktor bidang Sejarah di IIUM yang juga penulis buku “Nuruddin Zanki dan Perang Salib


Daftar Pustaka

Bosworth, C.E., E. van Donzel, B. Lewis, dan Ch. Pellat. The Encyclopaedia of Islam, New Edition.
    Vol. VI. Leiden: Brill.  1991.
Goodwin, A.J.H. “The Mediaval Empire of Ghana”, The South African Archeological
    Bulletin, Vol. 12. No. 47. Sept. 1957. Hlm. 108-112.
Ibnu Khaldun. Tarikh Ibn Khaldun, jil. 6. Beirut: Darul Fikr. 2000.
Levtzion, N. “The Thirteenth- and Forteenth- Century Kings of Mali”, The Journal of African
    History, No. 3. 1963. Hlm. 341-353.
Martin, Richard C. (editor in chief). Encyclopedia of Islam and the Muslim World. New
    York: Thomson Gale. 2004.
De Montellano, Bernard Ortiz, Gabriel Haslip-Viera, Warren Barbour. “They Were NOT
    Here before Colombus: Afrocentric Hyperdiffusionism in the 1990s,” Ethnohistory.
    Vol. 44, No. 2. Spring 1997. Hlm. 199-234.
Sertima, Ivan Van. They Came Before Colombus: The African Presence in Ancient America.
    New York: Random House. 2003.
Al-‘Umari, Shihab al-Din Ahmad ibn Fadl-Allah. Masalik al-Abshar fi Mamalik al-Amshar,
    Vol. IV. Abu Dhabi: Al-Majma’ al-Tsaqafi. 2002.






KLIPING ARTIKEL


0 Comments:

Post a Comment