MEMBACA MANHAJ NABI BAGIAN PERTAMA



MANHAJ NABI MUHAMMAD SAW
BAGIAN PERTAMA

                                


Membaca Manhaj Haraki ; Manhaj Juang Nabi SAW

manhaj harakiManhaj haraki ialah langkah-langkah terprogram (manhajiah) yang ditempuh Nabi saw. dalam gerakan da’wahnya, semenjak kenabiannya sampai berpulang kepada Allah. Jika kita ingin agar gerakan Islam yang kita lakukan berjalan secara benar, kita harus melacak tahapan-tahapan pergerakan Rasulullah saw. langkah demi langkah serta mengikuti langkah-langkah tersebut. Firman Allah :

    “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat“(al-Ahzab [33]: 21).

Tidak diragukan lagi bahwa mengikuti langkah-langkah dan tahapan-tahapan da’wah ini adalah masalah taabuddi. Jika kita mengikutinya, kita akan sampai kepada mardhatillah. Selain itu, ia merupakan “panduan” bagi gerakan Islam dalam langkah politisnya guna mencapai sasaran menegakkan pemerintahan Allah di muka bumi. Manhaj haraki ini merupakan taujih Rabbani ‘arahan Ilahi’. Allah sajalah yang menuntun Nabi-Nya dalam seluruh langkah-langkahnya. Ia bukan sekadar reaksi spontan terhadap situasi yang menghadangnya.

Periode-periode manhaj ini ditentukan dalam lima periode yang kami istilahkan sebagai berikut. Periode pertama: Sirriyatu ad-Da’wah dan Sirriyatu at-Tanzhim. Periode kedua: Jahriyatu ad-Dawah dan Sirriyatu at-Tanzhim. Periode ketiga: Iqamatu ad-Daulah. Periode keempat: ad-Daulah wa Tatsbiti Da’a ‘imiha. Periode kelima: Intisyaru ad-Da’wah fil al-Ardhi.

BERDA’WAH SECARA SEMBUNYI-SEMBUNYI DAN MERAHASIAKAN STRUKTUR ORGANISASI

KARAKTERISTIK PERIODE PERTAMA

KARAKTERISTIK PERTAMA : Da’wah Secara Rahasia

    Periode ini dimulai dari Gua Hira’ (kenabian) dan berakhir tiga tahun setelah kenabian, ketika turun firman Allah, “Wa andzir ‘asyiratakal aqrabin” (asy-Syu’ara’ [26]: 214) dan firman Allah, “Fashda’ bimaa tu’mar wa ‘aridh ‘anil musyrikin” (al-Hijr [15]: 94).

“Setelah Jibril datang kepada Rasulullah di Gua Hira’ dan membacakan kepadanya: Iqra bismi Rabbikal ladzi khalaq, Rasulullah saw. pulang ke rumah Khadijah. Beliau tinggal diam selama masa yang dikehendaki Allah tanpa memperoleh sesuatu pun. Wahyu terhenti. Rasulullah saw. bersedih karenanya. Berkali-kali ia pergi ke puncak gunung karena merindukan wahyu Allah turun kepadanya seperti peristiwa yang pertama. Dikatakan bahwa terhentinya wahyu tersebut berlangsung selama hampir dua tahun. Pendapat yang lain mengatakan, selama dua setengah tahun. Menurut tafsir Ibnu Abbas, selama empat puluh hari. Menurut al-Zujjaj di dalam kitab Ma’ani al-Quran, selama lima belas hari. Menurut tafsir Muqatil, selama tiga hari. Pendapat yang terakhir ini dikuatkan oleh sebagian ulama.

Muqatil berkata, “Mungkin inilah yang mirip dengan ihwal Rasulullah saw. di sisi Rabbnya, kemudian malaikat Jibril menampakkan diri kepadanya di antara langit dan bumi di atas kursi, lalu meneguhkannya dan menyampaikan kabar gembira bahwa ia adalah utusan Allah. Setelah melihat malaikat tersebut, Rasulullah saw. merasa takut dan pergi menemui Khadijah radhiyallahu ‘anha. Ia berkata, ‘Selimutilah aku, selimutilah aku.’ Kemudian Allah menurunkan firman-Nya :

    “Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Rabbmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah” (al-Muddatstsir [74]: 1-4).

Jadi, peristiwa pertama di Gua Hira’ adalah peristiwa kenabian dan pewahyuan, kemudian Allah memerintahkannya di dalam ayat ini agar bangkit memberi peringatan kepada kaumnya dan mengajak mereka kepada Allah. Dengan demikian, sebagaimana pendapat Urwah bin Zubair, Muhammad bin Syihab, dan Muhammad bin Ishaq, rentang waktu sejak kenabian dan turunnya firman Allah “Fashda’ bima tumar wa a’ridh ‘anil Musyrikin‘ sampai kepada turunnya firman Allah, “Wa andzir ‘asyiratakal aqrabin dan qul inni ana al-nadzir al-mubin adalah tiga tahun.”

Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa karakteristik pertama bagi fase ini ialah bahwa rentang waktu periode ini selama tiga tahun, kendati pun kami tidak menjadikan rentang waktu ini sebagai patokan. Kami tidak berpendapat bahwa gerakan Islam sekarang harus menempuh tahapan sirriyah selama tiga tahun. Menyangkut masalah ini, tidak ada nash yang memerintahkan kita agar mengikuti secara demikian. Tetapi, kami memahami bahwa berakhirnya tahapan ini (sirriyah) telah terwujudkan, sebab kaum muslimin telah memiliki basis kuat yang dapat melindungi mereka dari pemusnahan. Ini bila dinilai dari sisi kualitasnya dan kaitannya dengan masyarakat Mekah pada waktu itu. Dari aspek inilah kita harus meneladani. Rentang waktu bukan sesuatu yang penting. Tetapi, yang penting adalah hasil operasional da’wah dan kemampuannya untuk menghadapi masyarakat yang ada melalui para pendukung, tokoh-tokoh, dan lembaga-lembaganya.

Pemahaman ini dikuatkan oleh ayat berikut.

    “Maka sampaikahlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik” (al-Hijr [15]: 94).

Sebab, langsung setelah ayat ini kita dapati firman Allah :

    “Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olok (kamu)” (al-Hijr [15]: 95).

Jadi, penyampaian da’wah terang-terangan dilakukan setelah adanya jaminan perlindungan Allah kepada Rasul-Nya dari gangguan orang-orang yang memperolok-olokkan. Jika hal tersebut diketahui oleh Rasulullah saw. melalui wahyu, pimpinan gerakan Islam yang terpimpinlah yang bertanggung jawab menilai tahapan ini dan kemungkinan-kemungkinan untuk beralih kepada tahapan berikutnya.

Pemahaman ini, tidak adanya kaitan tahapan dengan masa tertentu, juga dikuatkan oleh adanya sebagian kaum muslimin di luar Mekah yang tetap tinggal secara sirriyah selama masa yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi mereka di tengah-tengah kabilahnya serta kemampuan mereka untuk berda’wah dan membina kader.

KARAKTERISTIK KEDUA : Pelaksanaan Da’wah atas Dasar Pilihan

Pada periode ini da’wah tidak dilakukan secara terbuka di pertemuan-pertemuan dan majelis-majelis umum. Tetapi, dilakukan berdasarkan pilihan pribadi-pribadi da’i tentang karakteristik mad’u ‘orang yang dida’wahi’. Kita dapati bahwa fondasi pertama bagi da’wah ini adalah Khadijah radhaiyallahu ‘anha, wanita yang pertama kali beriman dan istri Rasulullah saw., Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu teman akrab Rasulullah saw., Ali bin Abu Thalib, anak pamannya yang telah dibina sejak kecil. Dan, Zaid bin Haritsah, mantan budak beliau.

Ketika Abu Bakar memulai berda’wah, ia memilih mad’u sendiri. Berkata Ibnu Ishaq,

 “Kemudian Abu Bakar bin Abi Quhafah masuk Islam…. Abu Bakar adalah seorang lelaki yang akrab dengan kaumnya, dicintai dan disayangi. Ia seorang Quraisy yang paling mengerti dan tahu tentang nasab bangsa Quraisy serta masalah kebaikan atau keburukan yang ada pada suku ini. Ia dikenal sebagai seorang pedagang yang memiliki akhlak mulia. Ia sering didatangi oleh tokoh-tokoh kaumnya untuk dimintai pendapat mengenai banyak hal, karena ilmu, perdagangan, dan kebaikan pergaulannya. Kemudian ia mulai mengajak kepada Allah dan Islam. Orang yang diyakinkannya akan bisa merahasiakan dan mendengarkannya. Melalui da’wah Abu Bakar ini maka Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdul Rahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah masuk Islam. Kedelapan orang ini merupakan para pendahulu mereka yang masuk ke dalam Islam kemudian shalat dan membenarkan. “

Da’wah tersebut dilakukan dengan mengandalkan tsiqah ‘kepercayaan’, kendati faktor-faktor yang membuat da’wah Abu Bakar diterima itu banyak.

KARAKTERISTIK KETIGA : Berdakwah Melalui Intelektualitas Da’i dan Status Sosialnya

Ini merupakan penjelasan lebih lanjut terhadap sifat-sifat pribadi Abu Bakar yang disebutkan di atas mengingat dia merupakan da’i yang paling berpengaruh pada waktu itu. Kita dapat mengenal sifat-sifat pribadi ini melalui unsur-unsur berikut.

    Akhlak. Abu Bakar adalah seorang lelaki yang akrab dengan kaumnya, dicintai, dan disayangi.
    Pengetahuan. Abu Bakar adalah seorang Quraisy yang paling mengerti dan tahu tentang nasab suku bangsa Quraisy serta masalah kebaikan atau keburukan yang ada pada suku ini.
    Pekerjaan dan status sosial. Abu Bakar dikenal sebagai pedagang yang memiliki akhlak mulia. Sering didatangi oleh tokoh-tokoh kaumnya untuk dimintai pendapat mengenai banyak hal.

Akhlak yang baik dan dicintai masyarakat merupakan “senjata ampuh” untuk menarik orang lain. Akhlak adalah kunci pembuka katup hati, betapa pun kerasnya. Akhlak jualah yang akan men- jauhkan seorang da’i dari reaksi pada saat timbul sifat negatif terhadap da’wah.

Pengetahuan juga tidak kalah penting dari akhlak. Yang dituntut dalam masalah ini bukan segala macam pengetahuan. Tetapi pengetahuan mengenai masyarakat dan kecenderungan-kecenderungannya. Pengetahuan yang menjelaskan tentang karakteristik jiwa manusia. Pengetahuan inilah yang akan memberikan daya gerak kepada da’i. Juga merupakan pintu masuk ke dalam hati mad’u.

    “Apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad [47]: 24).

Setiap hati memiliki “gembok” pengunci tersendiri. Tugas seorang da’i ialah berusaha memiliki kunci dari gembok-gembok tersebut dan mengetahui dari mana ia harus memasukinya, sampai hati tersebut menyambutnya.

Status sosial seorang da’i menjadikan dia “didengar” di tengah masyarakatnya sehingga akan meninggikan derajatnya. Status ini akan membebaskannya dari “meminta-minta” dan menginginkan apa yang dimiliki orang lain. Ia juga akan memberikan prestise di tengah masyarakat yang nilai tertingginya adalah harta dan popularitas. Rasulullah saw. telah mengarahkan kita kepada hal ini di dalam salah satu sabdanya :

    “Jauhilah dunia, niscaya Allah mencintaimu, dan jauhilah apa yang ada di tangan orang lain, niscaya kamu akan dicintai oleh orang-orang” (HR Ibnu Majah dengan sanad hasan).

Status sosial secara alami memiliki hubungan yang erat dengan manusia yang menyebabkannya lebih berpengaruh terhadap mereka. Sebab, hubungan tersebut tampak lebih wajar dan tidak dipaksakan, sehingga seorang da’i tidak perlu mencari faktor lain untuk berhubungan dengan mereka. Seorang guru atau pedagang misalnya, lebih mampu untuk bergerak daripada seorang pegawai yang terkungkung di dalam suatu struktur tertentu.

KARAKTERISTIK KEEMPAT : Da’wah Secara Umum

Secara sepintas tampaknya ada pertentangan antara karakteristik ini dengan karakteristik pertama (da’wah secara rahasia). Sesungguh- nya tidak demikian. Menampakkan da’wah kepada orang-orang tertentu bukan berarti membatasi da’wah pada kelompok tertentu atau tingkatan tertentu di kalangan masyarakat. Da’wah harus menjangkau semua lapisan yang ada di dalam masyarakat. Tetapi, penjangkauan ini harus dilakukan melalui orang-orang tertentu terlebih dahulu. Dapat kita lihat bahwa tahapan sirriyah bagi masyarakat muslim ini telah berhasil merekrut semua lapisan masyarakat pada saat itu: orang-orang merdeka, kaum budak, lelaki, wanita, pemuda, dan orang-orang tua. Bahkan; telah bergabung ke dalam masyarakat ini orang-orang dari segenap suku bangsa Quraisy dan lainnya, sehingga hampir tidak ada keluarga di Mekah kecuali satu atau dua orang anggotanya yang ikut serta membangun masyarakat ini.

KARAKTERISTIK KELIMA : Peranan Wanita pada Periode Sirri’yah

Seperempat dari masyarakat Islam periode ini terdiri dari kaum wanita. Sebagian besar dari para pemuda yang sudah berkeluarga, istri-istri mereka juga masuk Islam bersamanya. Kaum wanita ini hidup di periode sirriyah tanpa diketahui oleh seorang pun keislaman mereka. Kita harus memberikan perhatian kepada peranan kaum wanita dalam perjalanan da’wah ini sebagaimana mestinya. Baik sebagai saudara, istri, maupun ibu yang mendampingi kaum lelaki. Bahkan, sebagian riwayat menyebutkan bahwa Asma’ ra. adalah seorang prajurit periode ini. Ini berarti bahwa dia dalam usianya yang sangat muda.

KARAKTERISTIK KEENAM : S h a l a t

Menurut riwayat yang paling kuat, tidak ada satu pun periode da’wah kaum muslimin yang sunyi dari pelaksanaan shalat. Berkata Ibnu Ishaq,

“Sebagian ahli ilmu menceritakan kepadaku bahwa sewaktu shalat diwajibkan atas Rasulullah saw.. Jibril datang kepadanya sedang beliau berada di atas bukit Mekah. Kemudian mengisyaratkan kepadanya ke arah lembah. Maka terbelahlah sebuah mata air darinya. Kemudian Jibril mengajarkan cara berwudhu kepada Rasulullah saw. Lalu Rasulullah saw. ikut berwudhu sebagaimana Jibril. Kemudian Jibril berdiri dan shalat mengimami Rasulullah saw. dan Rasulullah saw. pun mengikuti shalatnya. Kemudian Jibril pergi meninggalkannya. Lalu Rasulullah datang kepada Khadijah memperagakan cara wudhu untuk shalat sebagaimana diperlihatkan oleh Jibril kepadanya. Maka, Khadijah berwudhu sebagaimana Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw. mengimaminya sebagaimana Jibril telah mengimaminya. “

KARAKTERISTIK KETUJUH : Pengetahuan Orang Quraisy tentang Da’wah

Quraisy belum memberikan perhatian khusus terhadap da’wah ini, karena fenomena kehanifan sudah sejak lama tersebar di masyarakat Mekkah. Seperti yang tercermin pada Zaid bin Amer bin Naufal, Waraqah bin Naufal, dan Umaiyah bin Abu Shalt.

Mekah tidak begitu memperdulikan peristiwa-peristiwa dan orang-orang seperti mereka ini, selama mereka tidak mengganggu ideologi dan berhala-berhala yang disembah. Rasulullah saw. sendiri sebelum kenabian melakukan “penyucian diri” di Gua Hira’. Sekali- pun demikian, Quraisy tidak keberatan terhadapnya. Quraisy mengira bahwa Islam tidak berbeda dengan orang-orang hanif yang menghindarkan diri dari menyembah berhala. Bahkan boleh dikatakan, pada periode sirriyah ini Quraisy lebih banyak memperhatikan orang- orang hanif daripada kaum muslimin. Hal ini disebabkan orang-orang hanif itu pernah mengatakan keraguan mereka terhadap berhala-berhala kaum Quraisy dan sesembahan orang-orang Arab, sementara kaum muslimin belum pernah menyatakan sikap terhadap mereka.

KARAKTERISTIK KEDELAPAN : Hidup Berdampingan antara Kaum Muslimin dan Orang Lain

Pada periode ini kita tidak pernah mendengar adanya perbenturan antara masyarakat Islam yang sedang tumbuh dengan masyarakat jahiliyah. Karena fikrah belum diumumkan selain kepada orang yang diharapkan mau bergabung dengan masyarakat Islam yang ada. Da’wah terbuka bukan merupakan sasaran periode ini. Sehingga, kaum muslimin belum boleh mencampuri urusan orang lain dengan mengkritik, berkonfrontasi, atau menantang secara terang-terangan. Prinsip yang harus dianut pada periode ini ialah tidak boleh menampakkan ketidaksetujuan, kecuali bila dalam keadaan terpaksa sekali. Tanzhim dan fikrah masih harus dirahasiakan sepenuhnya.

    KARAKTERISTIK KESEMBILAN : Memfokuskan pada Pembinaan Aqidah

Ideologi kaum kafir dan thaghut telah mendominasi kehidupan manusia, karena itu perbaikan dan pembinaan aqidah yang benar harus dilakukan secara tenang. Hanya aqidah yang benar yang mampu memancarkan ibadah dan perilaku yang benar. Pada saat yang sama, aqidahlah yang akan memberikan keteguhan jiwa di atas kebenaran dan pengorbanan di jalannya. Segala bentuk keraguan, ketidakpastian, nifaq, dan penyimpangan dari jalan yang benar, terjadi karena lemahnya aqidah di dalam hati setiap muslim.

Karena sesuatu hal, Islam memilih kata iman untuk menunjukkan aqidah. Sebab iman menyentuh akal dan hati sekaligus, serta mema- dukan antara pikir dan aspek kejiwaan. Aqidah bukan masalah kepuasan intelektual yang dingin, juga bukan masalah dorongan sentimental yang tidak berlandaskan kepuasan intelektual. Tetapi, merupakan perpaduan yang utuh antara dua aspek tersebut, sehingga sulit untuk membedakan antara keduanya.

KARAKTERISTIK KESEPULUH : Berda’wah secara Terang-terangan Setelah Terbentuk  Kader-Kader Inti yang Kuat

Bukti dari bentuk da’wah ini ialah tidak adanya seorang pun di antara para sahabat yang murtad pada waktu terjadi tribulasi dan dimulai konfrontasi. Bahkan, mereka yang telah hidup di periode awal da’wah ini di kemudian hari menjadi generasi Islam terbaik di segi kualitas keimanan, perilaku, jihad, dan pengorbanan. Bahkan, kalau kita perhatikan tingkatan teratas di dalam umat Islam, yaitu tingkatan sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga adalah dari kelompok mereka, kecuali Umar Ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu.

Kelompok inilah yang membentuk generasi pemimpin (jiil al-qiyadah) bagi masyarakat yang terbina. Khalifah yang terpilih dan telah disetujui oleh Rasulullah saw. pun dari kelompok ini. Inilah kader-kader inti (nuwat) yang di kemudian hari memikul beban da’wah Islam di muka bumi. Merekalah yang telah berhasil memikul tanggung jawab melakukan konfrontasi terbesar melawan musuh-musuh Islam.

bersambung…

* Dikutip dari buku “Manhaj Haraki : Startegi Pergerakan dan Perjuangan Politik Dalam Sirah Nabi SAW ” Jilid-1 , Syekh Munir Muhammad al-Ghadban”, Rabbani Pers, 1992.

Catatan :  Kitab ini (Manhaj Haraki : Startegi Pergerakan dan Perjuangan Politik Dalam Sirah Nabi SAW) adalah salah satu karya besar Syaikh Munir Muhammad Ghadban, seorang tokoh pergerakan yang juga dosen di Universitas Ummul Qura’ Saudi Arabia dan Jami’ah Al Iman Yaman. Kitab Manhaj Haraki ini mempertautkan berbagai peristiwa di masa Nabi SAW dengan kejadian mutakhir yang dihadapi oleh gerakan Islam kontemporer. Tahap demi tahap dikupas dengan memikat, lalu diproyeksikan dalam iklim da’wah Islam saat ini.




JELAJAH PUSTAKA


0 Comments:

Post a Comment