Imam Muslim
Ulama dengan 300.000 Hadis
Oleh Ali Mustofa Yaqub
Guru besar Ilmu Hadis Institut Ilmu Al-Qur'an
(IIQ) Jakarta
Keharuman namanya tak akan pernah hilang sepanjang
zaman. Dalam setiap ceramah, hampir semua ustadz selalu mengutip
karya-karyanya. Beliau adalah ulama kenamaan, terutama dalam bidang dan
ilmu hadits. Nama lengkap berikut silsilahnya adalah Imam Abu al-Husain
Muslim bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi al-Naisaburi. Lahir tahun 204 H/ 820 M atau menurut riwayat lain
206 H/ 822 M.
Beliau dinisbahkan kepada nenek moyangnya, Qusyair bin Ka'ab bin Rabiah
bin Sha'sha'ah, suatu keluarga bangsawan besar di wilayah Arab. Di samping
(penisbahan) kepada Qusyair, beliau juga dinisbahkan kepada Naisapur. Hal ini karena
beliau putera kelahiran Naisapur, yakni kota kecil di Iran bagian timur
laut.
Pengembaraan
Semenjak berusia kanak-kanak, Imam Muslim telah
rajin menuntut ilmu. Didukung kecerdasan luar biasa, kekuatan ingatan,
kemauan yang membaja, dan ketekunan yang mengagumkan, konon ketika berusia
10 tahun, beliau telah hafal al-Qur'an seutuhnya serta ribuan hadits
berikut sanadnya. Sungguh prestasi yang teramat mengagumkan.
Seperti halnya Imam al-Bukhari, Imam Muslim juga
mengadakan pengembaraan intelektual ke berbagai negeri Islam, seperti
Hijaz, Iraq, Syam, Mesir, Baghdad, dan lain-lain guna memburu hadits dan
berguru pada ulama-ulama kenamaan. Beliau telah mengunjungi hampir seluruh
pusat pengkajian hadits yang ada pada saat itu, bahkan terkadang
dilakukannya berkali-kali, seperti ke Baghdad. Semua ini merupakan bukti
konkret bahwa perhatian Imam Muslim terhadap peninggalan Nabi saw yang
monumental ini sangat besar.
Pengembaraan perdananya dimulai ke Makkah pada
tahun 220 H sekaligus menunaikan ibadah haji. Kemudian pada tahun 230 H
beliau melakukan pengembaraan intelektual yang secara spesifik untuk
kepentingan hadits. Sedang lawatannya yang terakhir terjadi pada tahun 259
H ke Baghdad saat usianya mencapai 53 tahun. Dalam pengembaraannya itu,
beliau tidak mengenal usia. Semenjak usia yang relatif masih sangat muda
sampai berusia senja, beliau tidak pernah berhenti apalagi putus asa dalam
pengembaraannya mengejar dan memburu Hadits Nabi saw.
Guru dan muridnya
Dalam lawatan intelektualnya, Imam Muslim tercatat
banyak mengunjungi ulama-ulama kenamaan, tentunya dalam rangka mencari
hadits. Beliau berguru kepada Yahya dan Ishak bin Rahawaih di Khurasan,
Muhammad bin Mahran dan Abu Ghassan di Ray, Ahmad bin Hanbal dan Abdullah
bin Maslamah di Iraq, Said bin Manshur dan Abu MasUab di Hijaz, Tamr bin
Sawad dan Harmalah bin Yahya di Mesir. Beliau juga belajar dari Usman dan
Abu Bakar (keduanya putra Abu Syaibah), Syaiban bin Farwakh, Abu Kamil
al-Jury, Zuhair bin Harb, Amr al-Naqid, Muhammad bin al-Mutsanna, Muhammad
bin Yasar, Harun bin Said al-UAili, Qutaibah bin Sa'id, dan yang tak boleh
terlupakan beliau juga berguru pada Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari.
Tidak sedikit para ulama yang meriwayatkan hadits
dari Imam Muslim. Di antaranya terdapat ulama-ulama besar yang sederajat
dengannya, seperti Abu Hafidh al-Razi, Musa bin Harun, Ahmad bin Salamah,
Abu Bakar bin Khuzaimah, Yahya bin Said, Abu Tawwanah al-Ishfiroyini, dan
Abu Isa al-Tirmidzi. Selain ulama-ulama di atas, yang juga tercatat sebagai
murid Imam Muslim antara lain; Ahmad bin Mubarak al-Mustamli, Abu al-Abbas
Muhammad bin Ishak bin al-Siraj. Di antara sekian banyak muridnya itu, yang
paling istimewa adalah Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan, seorang ahli fiqih
lagi zahid. Ia adalah perawat utama kitab Shahih Muslim.
Selain karya besar Imam Muslim yang sangat
monumental, yaitu kitab Shahih Muslim, beliau juga tercatat mempunyai buah
karya lebih dari 20; antara lain: al-Ullal, al-Aqran, al-IntifaUbi Uhub
al-Siba, Kitab Man Laisa Lahu Illa Rawin Wahid, Aulad al-Shahabah,
Al-Musnad al-Kabir, Al-Thabaqat (Thabaqat al-Kubra), Kitab al-Mukhadramin,
Al-JamiUal-Kabir, Kitab al-Tamyiz, Kitab al-Asma wa al-Kuna, Kitab
Su'alatihi Ahmad bin Hanbal, dan sebagainya.
Banyak ulama yang memandang Imam Muslim sebagai
ulama hadits nomor dua setelah Imam al-Bukhari. Hal yang tidak
mengherankan, mengingat Imam Muslim merupakan murid Imam al-Bukhari.
Al Khatib al-Baghdadi mengatakan, Muslim telah
mengikuti jejak al-Bukhari, memperhatikan ilmunya dan menempuh jalan yang
dilaluinya. Pernyataan ini tidaklah berarti Imam Muslim hanyalah figur yang
hanya mampu bertaqlid pada al-Bukhari, sebab Imam Muslim mempunyai ciri dan
pandangan tersendiri dalam menyusun kitabnya. Beliau juga mempunyai metode
baru yang belum pernah diperkenalkan ulama sebelumnya.
Imam Muslim banyak menerima pujian dan pengakuan
dari para ulama hadits maupun ulama lainnya. Al-Khatib al-Baghdadi
meriwayatkan dengan sanad lengkap dari Ahmad bin Salamah, katanya
"Saya melihat Abu Zur'ah dan Abu Hatim senantiasa mengistimewakan dan
mendahulukan Muslim bin al-Hajjaj di bidang pengetahuan hadits sahih atas
guru-guru mereka.
"Ishaq bin Rahawaih pernah memuji Imam Muslim
dengan perkataannya "Adakah orang yang seperti Muslim?" Demikian
pula Ibn Abi Hatim menyatakan "Muslim adalah seorang hafidh (ahli
hadis). Saya menulis hadits yang diterima dari dia di Ray."
Selanjutnya Abu Quraisy al-Hafidh menyatakan bahwa di dunia ini, orang yang
benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat, salah satunya adalah Muslim.
Tentunya, yang dimaksud dengan pernyataan ini adalah ahli-ahli hadits
terkemuka yang hidup pada masa Abu Quraisy.
Dengan munculnya berbagai komentar dari para ulama
terhadap kepakaran Imam Muslim dalam disiplin ilmu Hadits ini, cukuplah
kiranya menjadi bukti awal bahwa beliau memang figur yang pantas mendapat
sanjungan yang demikian, dan tentunya setelah al-Bukhari.
Karya monumental
Sejarah mencatat bahwa Imam Muslim merupakan ulama
kedua yang berhasil menyusun kitab al-Jami' al-shahih yang di kemudian hari
terkenal dengan sebutan Shahih Muslim. Kitab ini berisi 10.000 hadits yang
disebutkan secara berulang-ulang (mukarrar) atau sebanyak 3.030 buah hadits
tanpa pengulangan. Hadits sejumlah itu disaring dengan sangat ketat dari
300.000 buah hadits selama kurun waktu 15 tahun.
Berdasarkan kualitas keshahihannya, para ulama
memasukkan karya Imam Muslim ini pada peringkat kedua setelah karya
monumental Imam al-Bukhari (Shahih al-Bukhari). Hal ini karena syarat yang
ditetapkan oleh Imam Muslim relatif lebih longgar daripada syarat yang
ditetapkan Imam al-Bukhari. Dalam persambungan sanad (ittisal al-sanad)
antara yang meriwayatkan (rawi) dengan yang menerimanya (marwi'anhu) atau
antara murid dan guru menurut Imam Muslim hanya cukup syarat mu'asharah
(semasa), tidak harus terjadi liqa' (pertemuan) antara keduanya. Sementara
Imam Al-Bukhari mensyaratkan terjadinya liqa 'untuk menyatakan terjadinya
persambungan sanad.
Shahih Muslim merupakan hasil dari sebuah
kehidupan yang penuh berkah. Pasalnya, ia dikerjakan secara terus-menerus
oleh penulisnya, baik ketika berada di suatu tempat, dalam perjalanan
pengembaraan, dalam situasi sulit maupun lapang, serta melalui proses
pengumpulan, penghafalan, penulisan, dan penyaringan yang ekstra ketat.
Sehingga kitab ini sebagaimana kita lihat, merupakan sebuah kitab shahih
yang teramat baik dan sistematis. Oleh karena itu, tidak heran rasanya jika
Imam Muslim sangat menyanjung dan mengagungkan kitab monumentalnya. Sebagai
wujud kegembiraan atas karunia Allah yang diterimanya, beliau pernah
bertutur "Apabila penduduk bumi ini menulis hadits selama 200 tahun,
maka usaha mereka hanya akan berputar-putar di sekitar kitab musnad
ini." Maksud beliau adalah kitab Shahih Muslim itu.
Adapun ketelitian, kecermatan, dan kehati-hatian
beliau terhadap hadits yang dituangkan dalam kitab Shahih-nya itu dapat
disimak dari penuturannya sebagai berikut:
"Aku tidak mencamtumkan
sesuatu hadits dalam kitabku ini melainkan dengan alasan. Aku juga tiada
menggugurkan sesuatu hadits dari kitabku ini melainkan dengan alasan
pula."
Spesifikasi Shahih Muslim
Secara eksplisit, Imam Muslim tidak menegaskan
syarat-syarat tertentu yang diterapkan dalam kitab Shahih-nya. Kendati
demikian, para ulama telah menggali dan mengkaji syarat-syarat itu melalui
penelitian yang serius terhadap kitab itu. Penelitian dan pengkajian ini
membuahkan kesimpulan bahwa syarat-syarat yang diterapkan Imam Muslim dalam
kitab Shahih-nya adalah antara lain:
Pertama, beliau tidak meriwayatkan hadits kecuali
dari para periwayat yang adil, dlabith (kuat hafalan), dan dapat
dipertanggungjawabkan kejujurannya.
Kedua, beliau sama sekali tidak meriwayatkan
hadits kecuali hadits-hadits musnad lengkap dengan sanad-nya), muttashil
(sanad-nya bersambung), dan marfu' (berasal dari Nabi saw). Keterangan Imam Muslim dalam muqaddimah kitab
Shahih-nya akan lebih memberikan gambaran yang cukup jelas kepada kita
mengenai syarat-syarat yang diterapkan Imam Muslim dalam karya besarnya.
Beliau mengklasifikasikan hadits menjadi tiga katagori: hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh rawi adil dan kuat hafalan; hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang tidak diketahui keadaannya (majhul al-hal) dan
sedang-sedang saja kekuatan hafalan dan ingatannya; hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang lemah (hafalan dan ingatan) dan rawi yang
haditsnya ditinggalkan orang .
Untuk hadits katagori ketiga, Imam Muslim tidak
meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya. Sementara apabila Imam Muslim
meriwayatkan hadits katagori pertama, beliau senantiasa menyertakan pula
hadits katagori kedua.
Sebagai buah karya yang monumental, kitab Shahih
Muslim memiliki beberapa ciri khusus, di antaranya; beliau menghimpun
matan-matan hadits yang satu tema lengkap dengan sanad-nya pada satu tempat
(bab), tidak memisahkannya dalam tempat yang berbeda, serta tidak
mengulang-ulangnya, kecuali dalam kondisi yang mengharuskan, seperti untuk
menambah faedah pada sanad atau matan hadits.
Ketelitian dan kecermatan dalam menyampaikan
kata-kata selalu dipertahankannya secara optimal, sehingga apabila seorang
rawi berbeda dengan rawi lain dalam penggunaan redaksi yang berbeda,
padahal makna (substansi) dan tujuannya sama ;yang satu meriwayatkan dengan
suatu redaksi dan rawi lain meriwayatkan dengan redaksi yang lain pula;
maka dalam hal ini Imam Muslim menjelaskannya. Selain itu, beliau berusaha menampilkan
hadits-hadits musnad (hadits yang sanad-nya Muttashil) dan marfu' (hadits
yang dinisbahkan kepada Nabi saw). Karenanya, beliau tidak memasukkan
perkataan-perkataan sahabat dan tabiin.
Imam Muslim juga tidak banyak meriwayatkan hadits
muallaq (hadits yang sanad-nya tidak ditulis secara lengkap). Di dalam
kitab Shahih-nya hanya memuat 12 Hadis muallaq yang kesemuanya difungsikan
sebagai mutabi' atau penguat, bukan sebagai hadits utama (inti).
Begitulah, akhirnya setelah mencapai usia 55 tahun, Imam Muslim
menghembuskan nafas yang terakhir pada Ahad sore, 25 Rajab 261 H.
Jenazahnya dikebumikan di salah satu daerah di luar Naisapur pada hari
Senin. Inna lillahi wa
inna ilaihi raajiun. Semoga Allah merahmati dan meridhainya, serta menerima
jerih payahnya dalam menyebar luaskan ilmu-ilmu keislaman. Amin.
|