TEOLOGI KULTURAL





TEOLOGI KULTURAL




Bangkitnya Peradaban Islam di Indonesia: TEOLOGI KULTURAL MENUJU AGAMA PERADABAN (Sebuah Tawaran Pemikiran)

"Dunia Islam [akan] beralih dan tunduk pada tarikan gravitasi Jakarta, sebagaimana ia pernah tunduk pada tarikan gravitasi Kairo dan Damaskus," demikian ramal Malik Bennabi (1905-1973). (Usman S Husnan, www.elfillah.multiply.com)

Ramalan Bennabi bahwa Indonesia akan menjadi pusat peradaban Islam masa depan tersebut sepintas terkesan sarkastik, tentunya jika dipertemukan dengan ‘islam ke-indonesia-an’ terkini. Lumpuhnya komunikasi antar kelompok, antara figur dengan massa, antara pemikiran dengan realitas sosial, antar pemikiran dengan gerakan, antara pemikiran dengan temuan, merupakan salah satu sisi nyata dari islam-indonesia terkini. Islam terkesan terasing dari realitas keseharian umat. Islam serupa benda bertuah yang terbungkus rapat, tersimpan di tempat khusus yang hanya dikeluarkan oleh juru kunci sebagai penolak bala’.

Kelumpuhan komunikasi, keterasingan dan bahkan keramatisasi ini sekilas merupakan antitesa atas ramalan Bennabi. Tentu, sangat tidak adil mendakwa ramalan Bennabi sebagai ejekan atas kondisi islam-indonesia. Peluang lain adalah membaca secara positif ramalan tersebut. Yakni, Indonesia sejatinya menyimpan potensi bagi kebangkitan kembali peradaban Islam.

Siapakah Malik Bennabi? Ia adalah pemikir kelahiran Costantine, Algeria dan sejak tahun 1930 pindah ke Prancis. Dikenal berkat sumbangannya tentang teori peradaban. Seperti kata Datuk Seri Anwar Ibrahim, "Jika Iqbal menyalakan api dengan imaginasi puisinya, Bennabi melakukan sedemikan dengan prosanya yang sempurna. Tetapi, ulasan Bennabi mengenai pengalaman realitas peradaban mengatasi Iqbal". Ia menulis buku Fenomena al-Quran (Le Phenomene Coranique) diterbitkan pada 1946. Setahun kemudian terbit Labbaik, satu-satunya novel karya beliau. Disusul buku Les Conditions de la Renaissance pada 1948 dan La Vocation de l’Islam pada tahun 1954. (Nik Azmi Nik Ahmad, www.elfillah.multiply.com)

Di sini, tidak bermaksud menguraikan pemikiran Bennabi. Penyebutan Bennabi sebagai pembuka tulisan ini adalah sebagai titik tolak saja. Berangkat dari cara pandang positif atas Ramalan Bennabi, tulisan ini bermaksud memotret peradaban Islam Indonesia dengan sebuah keyakinan (baca: hipotesa) Indonesia memiliki potensi bagi kebangkitan kembali peradaban Islam. Potensi itu adalah teologi kultural. Tulisan ini tersusun atas 4 bagian: 1) menata ulang label Islam –Islam ideal dan Islam sejarah, 2) Islam sebagai agama peradaban, 3) pemotretan terhadap sejarah Islam Indonesia, 4) Teologi Kultural sebagai penggerak terciptanya Islam di Indonesia sebagai agama peradaban.

I.
MENATA ULANG LABEL ISLAM
Dialektika Islam Ideal-Islam Sejarah
Bagian ini berusaha menata-ulang label Islam. Gejala menjamurnya klaim kebenaran masing-masing golongan (Islam) yang berujung pada penyesatan golongan lain telah mengemuka di kalangan umat Islam Indonesia. Jika kondisi ini tidak dianggap persoalan, diabaikan atau sebaliknya justru dianggap sah, tentu cita tentang kebangkitan peradaban Islam hanya akan menjadi mimpi tak berjejak. Karenya, berangkat dari anggapan bahwa realitas tersebut merupakan satu persoalan akut bagi internal islam-indonesia, penataan ulang atas label Islam perlu dilakukan.

Terdapat dua label yang bisa diajukan, yaitu Islam Ideal dan Islam Sejarah. Islam Ideal adalah merujuk pada keseluruhan praktek Nabi Muhammad Saw selaku penyampai dan penjelas al Qur’an. Termasuk dalam label ini adalah seluruh praktek sahabat yang terkontrol secara langsung oleh Nabi. Keberadaan dan keberlangsungan Islam Ideal terikat pasa masa kehidupan Nabi sendiri. Sehingga begitu Nabi wafat, Islam Ideal pun berakhir dan dimulailah apa yang disebut Islam Sejarah.

Islam Sejarah merupakan pemahaman dan praktek umat terhadap ajaran Islam sepeninggal Nabi hingga sekarang. Pada kurun pertama, Islam Sejarah merupakan hasil dialektika antara sejarah kurun tersebut dengan pemahaman terhadap Islam Ideal. Islam Sejarah kurun kedua merupakan dialektika antara sejarah kurun tersebut dengan Islam Sejarah kurun pertama. Islam Sejarah kurun selanjutnya merupakan dialektika antara sejarah kurun tersebut dengan Sejarah Islam kurun sebelum. Proses dialektika yang demikian ini terus berlanjut sampai sekarang.

Sejarah bisa dimaknai setelah terangkum dalam bentangan kuantitas waktu atau masa yang disebut kurun. Sejarah adalah jejak keberadaan manusia. Keberadaan manusia ditandai dengan budaya yang dihasilkannya. Istilah budaya di sini melingkupi seluruh aktifitas akal dan aksi manusia. Kumpulan dari kebudayaan yang kemudian mengristal menjadi ciri-ciri unggul bergerak menjadi peradaban. Akumulai Sejarah dalam pengertian sebagai jejak dengan sendirinya bersifat pasif atau tak bernilai. Penilaian dan pemaknaan terhadap sejarah sangat tergantung pada pelihatnya. Karenanya, sejarah bersifat relatif. Sebangun dengan itu, Islam Sejarah pun bersifat relatif.

Kerelatifan Islam Sejarah di sini, seharusnya, karena proses dialektika-nya senantiasa terikat oleh citra Islam Ideal yakni asas tauhid dan asas kemaslahatan. Prinsip tauhid sebagai dasar penggerak sejarah, sedang kemaslahatan sebagai hasil capaian sejarah.

Kesadaran akan berbedanya antara Islam Ideal dengan Islam Sejarah, yang diikuti dengan kesadaran relatifnya Islam Sejarah akan menghasilkan komunitas (umat) yang menghargai keberagaman dan perbedaan lalu bersamaan dengan itu tetap memiliki kesadaran keterikatan dalam satuan Islam Ideal. Sikap demikianlah yang akan memberi landasan bagi terbentuknya bangunan ideal Islam Sejarah bernama Islam Peradaban.

II.
ISLAM SEBAGAI AGAMA PERADABAN



Bangunan ideal atas Islam Sejarah
Bagian ini mengemukan pentingnya Islam sebagai agama peradaban, sebagaimana telah disebut, merupakan bangunan ideal bagi Islam Sejarah. Ide ‘agama peradaban’ ini berangkat dari nilai Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, Shalih fi kulli zaman wa makan. Dua nilai ini menegaskan betapa Islam, sejatinya, merupakan agama yang memiliki fungsi sosial, melek terhadap realitas keseharian manusia. Fungsi ini telah dipraktekkan Islam Ideal pada masyarakat jahiliyah Arab.

Untuk menjelaskan agama peradaban, di sini dipaparkan gagasan Islam Peradaban-nya Malik Bennabi, seperti dijelaskan oleh Usman S Husnan (Direktur Forum Kajian Islam Peradaban (FKIP) Cempakah Putih, Ciputat).

Islam Peradaban adalah perspektif Islam yang memandang bahwa keefektifan suatu pemikiran dan ajaran agama adalah dalam kerangka sosial, perubahan, pembentukan karakter individu-individu dan apa yang dapat dihasilkannya dalam sejarah. Dalam pengertian ini, Islam dapat berperan sebagai katalisator unsur-unsur penting peradaban: manusia, tanah, dan masa (waktu).

Islam sebagai katalisator dapat membentuk ‘nilai-nilai’ yang bekerja mengubah 'manusia individu' menjadi ‘manusia masyarakat’. ‘Masa’ yang semula merupakan jumlah jam yang bergerak sebagai masa yang berdimensi sosial yang dihitung dengan kualitas kerja. Dan menjadikan 'tanah' yang hanya tampak sebagai keperluan yang sederhana sebagai medan yang luas yang dapat dikuasai dan digunakan sepenuhnya untuk memenuhi kemaslahatan mayarakat. Peranan Islam sebagai katalisator ini, hanya dapat terjadi apabila agama menjadi fenomena masyarakat dan bukan sebagai fenomena individu.

Islam Peradaban bisa dimengerti sebagai agama yang praktis dan yang lebih menekankan pengamalan dimensi-dimensi sosialnya, bukan agama menghabiskan energi dan masa hanya untuk membuktikan kebenaran dirinya. Terdapat dua alasan yang mendasari pemahaman ini, yakni: 1) ajaran Islam adalah ajaran yang otentik dan benar, yang tidak perlu banyak untuk dibuktikan kebenarannya secara teoritis tetapi dengan mengamalkannya dalam kehidupan dan memperlihatkan ke-dinamis-annya dalam kehidupan praktis, 2) bahwa keimanan harus berdimensi sosial, karena ketika ia hanya sebagai fenomena peribadi risalahnya akan putus ditelan bumi dan menjadi keimanan para rahib, yang memutuskan hubungan dengan masyarakat dan melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban sosial.

Selanjutnya, ketika Islam sudah diterjemahkan pada dimensi-dimensi sosial, akan tercipta kedinamisan kebudayaan sekaligus berarti kemajuan peradaban. Terhadap kebudayaan, Islam berperan sebagai prinsip moral dan katalisator. Sebagai prinsip moral, Islam menggariskan baik dan buruk, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, ia membantu menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang padu dan utuh.

Birikutnya, Islam berperan sebagai katalisator bagi unsur-unsur kebudayaan: estetika, logika kerja, dan teknologi. Islam mengajarkan ‘logika kerja’ yaitu profesionalisme dalam melakukan pekerjaan dengan usaha untuk menghasilkan sebanyak mungkin manfaat dari fasilitas-fasilitas dan segala kemampuan yang dimiliki. Islam menentukan "nilai estetika" yang mengaharuskan individu-individu dalam masyarakat memiliki ide-ide yang kreatif dan inovatif sebagai modal bagi terbangunnya suatu peradaban yang merdeka dan tidak tergantung pada peradaban lain. Islam mendorong terciptanya lingkungan intelektual dan budaya ilmiah yang mampu melahirkan ‘teknologi’.

Dengan melihat pemikiran Bennabi, Islam memang harus dilihat secara utuh sebagai agama yang memiliki fungsi sosial, sebagai katalisator dan prinsip moral bagi aktifitas akal dan aksi ‘manusia masyarakat’ sehingga mengantar pada kebangkitan kembali peradaban Islam yang merdeka. Inilah yang dimaksud Agama Peradaban dalam tulisan ini.

III.
POTRET SEJARAH ISLAM INDONESIA



Kebudayaan sebagai Kunci Keberhasilan Islam
Bagian ini berisi potret singkat sejarah Islam di Indoensia. Perbincangan tentang Indonesia bisa dilihat dengan dua cara, yaitu sebagai bangsa dan sebagai negara. Indonesia sebagai bangsa berangkat dari penamaan ‘Nusantara’ dan juga Hindia-Belanda. Indonesia sebagai negara ditandai oleh Proklamasi kemerdekaan. Tulisan ini memaksudkan Indonesia sebagai bangsa sekaligus negara.

Diskusi tentang pelaku dan waktu sejarah masuknya Islam Indonesia terus menyisakan perdebatan. Terdapat 3 teori tentang spekulasi pembawa Islam ke Indonesia. Dua teori terpopuler dan sudah lama adalah teori Arab dan teori India. Teori yang muncul terakhir adalah teori China. Teori Arab menyatakan bahwa Islam dibawa oleh para pedagang yang berasal dari Arab/Timur Tengah. Penganut teori ini adalah Crawfurd, Niemann, de Holander, dan Fazlur Rahman. Teori India menyatakan pembawa Islam berasal dari India. Pelopor teori ini adalah Pijnapel yang kemudian diteliti lebih lanjut oleh Snouck, Fatimi, Vlekke, Gonda, dan Schrieke. Teori China dikemukakan oleh Sumanto Al Qurtuby (2003). Selanjutnya, terdapat berbagai spekulasi tentang waktu pertama kali Islam masuk ke Indonesia. Teori yang paling awal menyebut, berdasarkan hikayat China dinyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesua sekitar tahun 674 M (Arnold, 1981).

Berbeda dengan persoalan kapan dan siapa, perbincangan tentang cara Islam masuk dan penyebarannya tidak menyisakan perdebatan. Berdasarkan catatan sebagian sejarawan non-pribumi, keberhasilan Islam menjadi mayoritas di bumi Nusantara-Indonesia adalah berkat kemampuan para pembawanya ‘masuk’ dalam budaya setempat. HAR Gibb menyebut, metode pembauran yang adaptif sebagai keberhasilan paling spektakuler. Menurut catatan Arnold yang didasarkan pada catatan para peliput langsung, kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia berhasil berkat karakter para pembawanya yang ‘tanpa paksaan’. Saat ini, sebagai bukti, jejak pembauran adaptif bisa dilihat misalnya pada bangunan-bangunan masjid bersejarah, keraton, dan tradisi sekatenan di Yogyakarta.

Baik, mari kita lewati sejarah perkembangan dan pembentukan masyarakat (kerajaan-kerajaan) Islam di Indonesia dan meloncat kepada peristiwa sekitar proklamasi 1945. Pola penyebaran Islam yang adaptif ternyata tetap berlangsung sejak akhir abad 7 M sampai pertengahan abad 20 M. Keberadaan Piagam Jakarta bisa dianggap sebagai bukti keberlangsungan itu.

Piagam Jakarta disepakati sebagai kristalisasi dari nilai adiluhung (Islam di) bangsa Indonesia. Jika dirujukkan kepada Piagam Madinah, terdapat 4 kesamaan asas yang dikandung keduanya, yaitu kebebasan beragama, permusyawaratan, keadilan, persatuan. Kesamaan asas ini bisa dilihat sebagai ketersambungan proses dialektika Islam Sejarah selama 13 abad.

Kompromi Piagam Jakarta menjadi Pancasila mengisaratkan bahwa pola pembauran adaptif dari Islam Indonesia awal tidak pernah kikis, justru menguat dan bahkan melembaga. Kompromi ini sekaligus menandai satu corak teologi yang melandasi lahirnya negara bernama Indonesia, yaitu teologi kultutal. Proklamasi sebagai tranggulasi kemerdekaan bisa dilihat sebagai kristalisasi kebudayaan bangsa Indonesia. Karenanya, Proklamasi bisa dikategorikan sebagai salah satu penanda peradaban Islam Indonesia.


IV.
TEOLOGI KULTURAL PENGGERAK AGAMA PERADABAN



Solusi Teologi Praksis
Sampai di sini bisa dinyatakan, bahwa sejarah Islam di Indonesia sampai tahun 1945 telah merepresentasikan satu keunggulan Islam Sejarah sebagai hasil dialektika antara sejarah Indonesia dengan Islam Sejarah sebelumnya. Teologi kultural terbukti mampu membawa bangsa Indonesia terbebas dari penjajahan.

Teologi merupakan bangunan berpikir yang sudah melembaga yang secara khusus mengakui atau membatasi pengakuan hanya sebagai penalaran kebenaran pembuktian keberadaan Tuhan. Dari sudut pandang ini, agama bisa dilihat sebagai lembaga teologi. Selanjutnya, obyek penalaran yang dijadikan sebagai analogi pengetahuan dalam bangunan itu menjadi dasar penamaan suatu teologi. Manusia merupakan obyek-sekaligus subyek agama. Manusia adalah kebudayaan. Seluruh realitas obyektif keseharian manusia merupakan sumber bagi kebudayaan dan secara bersamaan menjadi bagian dari kebudayaan itu sendiri.

Seluruh aktifitas penyebaran agama tidak lain berangkat dari keyakinan dasar akan keberadaan Tuhan dan mengajak pihak lain untuk mengikutinya. Penyebaran Islam di Indonesia dan terbentuknya Islam Sejarah di Indonesia telah terbukti dilakukan dengan pendekatan kebudayaan tak ada pemaksaan. Alasan sejarah inilah yang mendasari penamaan teologi kultural.

Teologi kultural adalah teologi pembebas, yang mampu memberi solusi bagi masyarakat atas persoalan hidupnya. Solusi yang didasarkan pada kemampuan manusia dalam mengolah akal dan aksinya (kebudayaan), untuk mencapai kemaslahatan masyarakat dengan landasan tauhid.

Termasuk dalam kategori teologi ini adalah pemikiran Islam Peradaban-nya Bennabi yang memandang bahwa keefektifan pemikiran dan ajaran Islam adalah dalam kerangka sosial, perubahan, pembentukan karakter individu-individu dan apa yang dapat dihasilkannya dalam sejarah. Teologi inilah yang akan menggerakkan Islam menjadi Agama Peradaban.




Sekali lagi, membaca ramalan Bennabi secara positif berarti melihat potensi Islam Sejarah Indonesia. Salah satu potensi itu adalah didapatinya teologi kultural sebagai penggerak peradaban Indonesia (Proklamasi). Dengan mengembangkan kembali teologi kultural yang telah dimliki Islam Sejarah di Indonesia bukan tak mungkin Islam akan menjadi Agama Peradaban, dan dengan sendirinya peradaban Islam akan bangkit kembali. Indah bukan, andai kita mampu wujudkan impian Bennabi?

Pasted From :
www.gurutrenggalek.com







0 Comments:

Post a Comment