HERMENEUTIKA PEMBEBASAN





HERMENEUTIKA PEMBEBASAN





Problem Interpretasi dalam Dekonstruksi Pembaharuan Islam
Hermeneutika Pembebasan

Pada batas-batas tertentu, identitas dari hermeneutika pembebasan selalu di hubungkan dengan gagasan besar Hasan Hanafi yang terlingkup dalam Kiri Islam. Secara definitif, Kiri Islam berupa respon Hasana Hanafi terhadap pengkajian teks penting untuk memahami perkembangan Islam modern, di sisi yang lain, Kiri Islam juga merupakan respon terhadap revolusi islam itu sendiri. Melalui pemikiran tentang Agama dan Pembebasan dan Teologi Pembebasan, pada konteks sosial memposisikan isu-isu revolusioner yang berkaitan dengan dunia Islam, namun hal ini bergerak lebih jauh berkait dengan revolusi negara-negara dunia ketiga dan kajian teks pembaharuan.

Menurut pendapat para kalangan, Hasan Hanafi lebih dikenal sebagai seorang filosof ketimbang hermeneut, dan tentu saja dalam hal ini tidaklah begitu dikenal sebagai seorang mufasir. Namun jika kita tinjau dari beberapa karyanya, sangatlah jelas bahwa secara metodologis Hasan Hanafi telah menunjukan suatu perumusan dalam penafsiran Al-Qur’an. Akan tetapi, Hanafi tidaklah menulis tentang persoalan hermeneutika secara sistematis dalama satu karya pokok, namun kebanyakan pemikiranya dalam masalah ini hanya berupa artikel atau makalah yang kemudian diterbitkan dalam bentuk bunga rampai.

Sebagai sarjana yang matang dalam bidang tradisi pemikiran Barat dan hukum Islam, Hasan Hanafi tidak tanggung-tanggung dalam eksperimentasi hermeneutika Al-Qur’annya. Ia membangun landasan pemikiran hermeneutikanya melalui empat pilar. Dari khazanah klasik, ia memilih Ushul Fiqh, sementara fenomenologi, Marxisme, disamping hermeneutika itu sendiri dari tradisi intelektual Barat. Ini tentu sama merupakan suatu rancangan baru mengingat bahwa mayoritas penafsiran dan metode tafsir Al-Qur’an saat ini masih terbatas pada penggunaan pendekatan filologis, hukum, periwayatan atau laporan sejarah, teologi, kajian sosio politik, hingga pendekatan estetis dalam Al-Qur’an.

Dari tradisi ilmu-ilmu keislaman klasik, hermeneutika Al-Qur’an Hanafi sengata memanfaatkan landasan ushul fiqh sebagai titik tolak. Sebab secara praktis, ia melihat keterkaitan yang erat antara kegiatan penafsiran di satu sisi, dan proses pembentukan hukum di sisi yang lain. Mengingat yang terakhir ini merumuskan hukum dalam menghadapi tuntutan realitas sosial, maka jelas ushul fiqh kompatibel dengan kepentingan hermeneutika pembebasan Hanafi yang berbicara tentang kebutuhan dan kepentingan kaum muslim dalam menghadapi berbagai persoalan kontemporer mereka.

Dalam hermeneutika pembebasanya, Hanafi memperbincangkan beragam problematika teoritis yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial dalam ushul fiqh, seperti asbab an-nuzul, an-nasikh wa al-mansukh, dan mashlahah. Asbab an-nuzul dimaksudkan oleh Hanafi untuk menunjukan prioritas kenyataan sosial. Sementara an-nasikh wa al-mansukh mengasumsikan gradualisme dalam penetapan aturan hukum. Eksistensi waahyu dalam waktu, perubahannya menurut kesanggupan manusia, dan keselarasannya degan perkembangan kedewasaan individu dan masyarakat sejarah. Adapun konsep mashlahah berangkat dari pendasaran wahyu sebagai bagian dari pendasan sejarah dan tuntutan kemaslahatan manusia.

Dapat dipahami bahwa praktik hermeneutika pembebasan Al-Qur’an Hanafi jika tidak semua masalah dan pendirian dalam ilmu fikih dan ushul fiqh perlu diterima. Hanafi dan gerakan kiri islamnya lebih cocok dengan pradigma ushul fiqh dari fikih maliki yang berkembang dalam tradisi Abdullah Ibn Mas’ud yang diderifasi dari Umar bin Khattab. Sebab paradigma maliki lebih dekat dengan realitas dan memberi keberanian dan kebebasan pada mujtahid dalam membuat keputusan hukum berdasarkan kepentingan umum.

Gagasan Hanafi tentang hermeneutika Al-Qur’an juga banyak dipengaruhi hermeneutika filosofis Hans Georg Gadamer. Salaha satu ciri pokok pendekatan ini dalam kaitannya dengan penafsiran teks terletak pada anggapan bahwa penafrisan tidak mungkin terbebas dari subyektifitas penafsir yang kemudian disebut prapaham. Oleh karena itu, kegiatan penafsiran selalu melibatkan pandangan tertentu penafsir terhadap obyek yang ia tafsirkan. Dengan demikian, penafsiran sebagai upaya reproduksi makna asli tidak dapat dilakukan. Sebaliknya, proses penafsiran ekuivalen dengan upaya terus-menerus untuk menciptakan makna baru yang bersifat kreatif.

Berbagai gagasan diatas, disatu sisi memang memperkaya muatan hermeneutik Al-Qur’an Hanafi. Namun disisi lain, tidak urung menimbulkan banyak kontradiksi motodologi yang mungkin tidak ia sadari. Berdasarkan pertimbangan ini, pada bagian berikutnya kita akan masuk pada wilayah kerangka teori dan motodologi yang mencirikan persoalan hermeneutika  Al-Qur’an Hanafi. Dan perlu dipahami disini bahwa pemikiran hermeneutika Hanafi harus dilihat sebagai proses perkembangan intelektualnya dalam wilayah pemikiran dan pergulatan sosial dimesir. Yang kemudian mengejawantahkan gagasan hermeneutika ini sebagai gerakan revolusi khazanah intelektual Islam.

Prinsip-prinsip Metodologi

Secara garis besar, hermeneutika kontempores berada pada dua arus utama, yakni yang bercirak filosofis dan yang metodis. Akan tetapi, hermeneutika Hanafi tidak dengan mudah dimasukkan dalam salah satu tipologi tersebut karena ambivalensinya antara tendensi metodis-obyektivistik, disatu sisi, dan kepentingan emansipatoris-filoaofis yang bercorak praktis, pada sisi yang lain. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini kita akan memperbincangkan topik-topik teoritis yang menonjol dalam pemikirannya, dan tranfirmasi hermeneutika pembebasannya yang terentang dari teori menuju praktis.

1. Hermeneutika sebagai Aksiomatika

Satu hal yang menonjol dalam pemikiran awal Hasan Hanafi tentang hermeneutika Al-Qur’an adalah tendensi positivistiknya. Selain merekomendasikan perlunya melakukan perbincangan teoritik tentang hermeneutika. Satu hal yang sama sekali baru dalam tradisi penafsiran klasik terhadap Al-Qur’an Hanafi sebenarnya juga menginginkan hermeneutika aksiomatik bersifat positivistik. Bahkan tujuan perbincangan teoritik dalam hermeneutikanya dalam rangka sebuah aksiomatika, yang tidak lain untuk menciptakan sebuah disiplin penafsiran yang obyektif dan universal.

Belakangan, Hasan Hanafi merevisi sebagian asumsinya tentang hermeneutika sebagai disiplin yang rigorus dan positifisme tersebut. Kesadarannya tentang proses kesejarahan manusia membawa pada kesimpulan bahwa tidak ada hermeneutika yang bersifat absolut dan universal. Hermeneutika selalu merupakan terapan yang merupakan bagian dari perjuangan sosial. Bagi Hanafi, pluralitas penafsiran itu sendiri merupakan mencerminkan kontribusi masyarakat, merupakan refkelsi konflik sosial yang menjadi dasar pemikiran manusia. Dalam hal ini, Hanafi tidak lagi berbicara tentang hermeneutika dalam pengertian teoritiknya, tetapi lebih mengarah pada historisitas hermeneutika tersebut, takni difahami sebagai suatu produk pemikiran yang tidak mungkin disebut dalam konteks di mana dia muncul daan untuk apa ia dibangun.

2. Dominasi Analisis

Hasan Hanafi menerika sebagian gagasan baik hermeneutika metodis bahwa hermeneutika merupakan disiplin tentang teknis penafsiran, maupun hermeneutika filosofis yang berpegang pada hakikat peristiwa penafsiran. Hanya saja ia menambahkan bahwa disiplin tersebut harus juga memperbincangkan dua dimensi lain dari wilayah penafsiran, yakni sejarah teks dan kepentingan praktis dalam kehidupan. Hasan Hanafi beranggapan bahwa hermeneutika bukan sekedar “sains penafsiran” atau teori pemahaman belakan. Akan tetapi, hermeneutika adalah tanggapan komprehensif tentang sejarah teks, iterpritasi, dan praktiknya dalam mentranfirmasikan kenyataan sosial.

a) Kritik Historis

Otentisitas teks hanya dapat dibuktikan melalui kritik sejarah. Kritik ini harus terbebas dari hal-hal yang semata-mata berbau teologis, filosofis, mistik, spitirual, atau bahkan fenomenologi. Keaslian kitab suci tidak dijamin oleh takdir Tuhan, keyakinan dogmatis, pemuka agama atau pranata sejarah apapun. Otentisitas teks hanya dapat dibuktikan dengan melalui kritik sejarah oleh sejarawan, setelah sebelumnya jaminan keaslian teks dalam sejarah dilakukan oleh para orator, melalui metode pengalihan teks secara lisan maupun tulisan.

Fungsi kritik sejarah dalam hermeneutika untuk memastikan keaslian teks yang disampaikan kepada nabi dalam sejarah. Artinya, perhatian hermeneutika terketak pada historikal wahyu yang sifatnya historis, dan bukan pada dimensi vertikalnya yang bersifat metafisik. Sebagaimana yang disampaikan Hasan Hanafi sendiri bahwa hermeneutika tidak berurusan dengan sifat hubungan antara Tuhan dan Rasulnya dan bagaimana Nabi menerima wahyu tersebut, melainkan dengan kata-kata yang diturunkan dalam sejarah.

Keaslian wahyu dalam sejarah, lebih lanjut menurut hanafi, ditentukan oleh tidak adanya syarat-syarat kemanusiaan didalamnya. Kata-kata yang diterima nabi dan didektekan langsung oleh Tuhan melalui malaikat, langsung pula didektekan oleh Nabi kepada para penyalinnya pada saat pengucapan, dan lestari sampai saat ini dalam tulisan Al-Qur’an. Wahyu semacam ini tidak melalui tahap pengalihan lisan, tapi ditulis pada saat pengucapannta. Menurut Hanafi, hanya Al-Qur’an yang memenuhi prasyarat ini. Pada kasus Al-Qur’an, wahyu ditulis in verbatim yang secara harfiyah dan kebahasaan sama dengan yang diucapkan Nabi.

b) Kritik Eidetis

Setelah melalui kritik sejarah yang dilakukan demi menentukan keaslian kitab suci, seorang penafsir dapat melakukan proses interpretasi atau yang secara teknis ia sebut sebagai kritik eidetis. Hasan Hanasi sendiri tidak menjelaskan pengertian eidetis, sebuah istilah fenomenologi, kecuali dikaitkan dengan proses interpretasi. Lazimnya dalam fenomenologi disebut dengan istilah “reduksi eidetis” dan “visi eidetis” yang bersifat positif, yang dibedakan dari reduksi fenomenologis yang bersifat negatif. Jika reduksi fenomenologi menunda afirmasi mengenai ada tidaknya suatu fenomena atau kebenaran., maka reduksi eidetik adalah penyaringan fenomena dari eksistensinya dalam kesadaran pada hakikat yang ada dalam fenomena tersebut. Paling tidak, kritik eidetis dalam pemikirsn Hanafi merupakan analisis fenomena teks seutuh-utuhnya sebagaimana yang ditangkap oleh kesadaran penafsir. Hasan Hanafi menggunakan metodologi fenomenologi karena memang dia adalah seorang fenomenolog, dan tentu saja tidak ada pilihan lain kecuali menggunakan pendekatan ini dalam interpretasi realitas teks.

Metode yang sedianya berfungsi untuk menganalisis fenomena dicangkokkan Hanafi ke dalam hermeneutika pembacaan teks. Oleh karena itu, obyeknya adalah teks dan maknanya sebagaimana ditangkap oleh kesadaran. Suatu penafsiran menurut Hanafi, harus menghindarkan diri pada pengulang-ulangan prasangka tertentu dari dogma. Karena hal ini akan menjerumuskan suatu penafsiran di dalam dugaan-dugaan belaka. Seorang penafsir harus memulai pekerjaanya dengan tabula rasa, tidak boleh ada kecuali analisisnya.

Apa yang dimaksud Hanafi dengan tabula rasa disini agaknya harus dipahami secara fenomenologis. Dalam fenomenologi, keasdaran bukanlah kesadarn murni sebagaimana dalam rasionalisme, tatapi selalu merupakan kesadaran yang terarah. Kritik eidetis, berada pada tiga level atau tahap analisis. Pertama, pada analisis bahasan; kedua, analisis konteks sejarah; ketiga, generalisasi. Analisis linguistik terhadap kitab suci memang bukan dengan sendirinya menurut analisis yang baik, demikian diakui Hanafi. Tapi ia merupakan alat sederhana yang membawa kepada pemahaman terhadap makna kitab suci. Dalam analisis bahasa, Hanafi menunjukan pentingnya penggunaan filologi,, morfologi, leksikologi, dan sintaksis.
c) Kritik Praktis

Generalisasi dalam tahap eidetis diatas membuka jalan bagi kritik praktis yang menjadi tujuan hermeneutika aksiomatik. Hermeneutika pembebasan Al-Qur’an semenjak awal memang merupakan cara baca Al-Qur’an dengan maksud-maksud praktis. Dengan kepentingan semacam ini, hermeneutika pembebasan jelas menaruh perhatian besar pada tranformasi masyarakat.

Bagi Hasan Hanafi, praktik merupakan penyempurnaan kalam Tuhan di dunia mengingat tidak ada kebenaran teoritis dari sebuah dogma atau kepercayaan yang datang begitu saja, dogma lebih pada suatu gagasan atau motivasi yang ditujukan secara praktis. Hal ini karena wahyu Al-Qur’an sebagai dasar dogma merupakan motivasi bagi tindakan di samping sebagai obyek pengetahuan.

Pandangan Hanafi tentang sifat fungsional dan dimensi psikologis Al-Qur’an disisni dan bukanya sifat kebenaranya empiris-historis dari isinya secara keseluruhan seperti pandangan banyak kaum muslimin, perlu memperoleh perhatian sebab, sebuah dogma hanya dapat diakui eksistensinya jika disadari sifat keduniaannya sebagai sistem ideal, namun dapat direalisasikan dalam tindakan manusia.
Kritik Hermeneutika Tradisional

1. Kritik Orietnasi

Tafsir-tafsir tradisional, dari segi bentuk dan sistematikanya lebih banyak merupakan al-tafsir al-tahlili, suatu penafsiran yang disebut bertele-tele. Tafsir demikian menguraikan teks-teks Al-Qur’an membujur dari surat al-fatihah di awal Al-Qur’an menuju surat an-nas diakhirnya. Metode penafsiran ini hanya melahirkan penafsiran yang parsial, bercambur-baur antara tema satu dengan tema yang lain. Tema-tema perbincangana diulanag-ulang tanpa suatu akumulasi makna yang berfungsi untuk membangun konsep global yang terfokus. Tafsir seperti ini tidak memiliki struktur yang rasional, yang riil, yang bisa menyajika argumentasinya dari dalam dan dari luar. Dengan kata lain, ia kehilangan ideologi yang koheren, atau pandangan dunia yang bersifat global. Yang beranjank dari pertikuralitas kepada keseluruhan. Yang paling membrohatinkan adalah al-tafsir al-tahlili tercerabut dari kebutuhan jiwa dan kepentingan masyarakat kontemporer.

2. Kritik Epistemologi

Menurut Hasan Hanafi, kita tidak pernah memiliki dalam wacana tradisional kita suatu teori penafsiran yang otoritatif dengan prinsip-prinsip ilmiah yang terarah pada kepentingan tertentu. Sebaliknya, mayoritas tafsir-tafsir klasik hanya berfungsi sebagai penjelasan yang sifatnya tautologis dan repetitif mengenai masalah-masalah yang sama sekali bertentangana dengan kepentingan masyarakat. ciri-ciri penafsiran seperti ini adalah kegemarannya mengulang-ulang pendapat klasik dan sifatnya apologetisnya dalam merfomulasikan beragam argumen.

Berbagai penafsiran yang disinyalir diatas dianggap terlalu membatasi diri pada aspek tekstualitas Al-Qur’an , yakni kebahasaan dan sejarah turunnya ayat-ayat Al-Qur’an. Padahal keduanya justru reduktif terhadap makna. Linguistik misalnya, membatasi makna Al-Qur’an berdasarkan prinsip-prinsip kebahasaan yang sifatnya spesifik, seperti makna hakiki dan metafor, makna yang pasti dan makna yang samar, makna global dan makna spesifik, makna yang jelas dan makna interpretatif, makna yang bersyarat dan bebas, makna yang umum dan khusus, hal mana dilakukan sekedar untuk menjamin ditemukannya kebenaran makna. Hanya saja, metode seperti ini hanya mereduksi makna sebagai sesuatu yang belum jelas sehingga dibutuhkan keseriusan berlebihan untuk memahami maknanya. Lebih-lebih pendekatan ini mengabaikan pengalaman hidup yang menjadi karakter teks dan yang semestinya dirasakan oleh penafsir dalam posisinya sebagai bagian dari umat islam.

Di sisi yang lain, Hanafi ingin mengalihkan perhatian hermeneutika dari kapasitas sebagai metode yang tertumpu pada teks kepada analisis aspek sosial dan historis teks, dan bukanya sama sekali mengabaikan bahasa teks. Hanya saja dalam mentranformasikan gagasanya ia terlalu meradikalkan argumen, sebagaimana lazimnya gaya argumentasinya. Menurutnya, pemikiran tradisional Islam dalam rangka menganalisis masyarakat tertumpu pada metodologi baca teks semata, yakni hanya pengalihan teks ke realitas. Padahal metode demikian memiliki banyak kelemahan.

Pasted From :
http://sosbud.kompasiana.com/2013/05/14/problem-interpretasi-dalam-dekonstruksi-pembaharuan-islam-560229.html








PESANTREN DAN MADRASAH





PESANTREN DAN MADRASAH




STRATEGI PESANTREN, MADRASAH DAN SEKOLAH ISLAM DI INDONESIA

Abstrak

Peran pesantren telah lama diakui oleh masyarakat, demikian halnya dengan madrasah dan sekolah Islam misalnya tentang peradaban. Kepiawaian pesantren, madrasah dan sekolah Islam dalam memformulakan pemahaman dan pemikirannya sehingga melahirkan kultur yang mengadabkan manusia adalah potensi riil pesantren, madrasah dan sekolah Islam. Di era global kepiawaian, kultur dan peran strategis itu harus menjadi lebih dimunculkan, atau dituntut  untuk dilahirkan kembali.

Pesantren, madrasah dan sekolah Islam mempunyai reputasi tersendiri sebagai lembaga yang bercirikan agama Islam. Pertama, sebagai lembaga pendidikan. Kedua, sebagai lembaga lembaga sosial kemasyarakatan. Sebagai lembaga pendidikan karena pesantren madrasah dan sekolah Islam umumnya menyelenggarakan pendidikan. Bahkan karena memiliki ciri khusus yang membedakannya dengan penyelenggaraan pendidikan lain.

Sebagai lembaga sosial kemasyarakatan dibuktikan dengan diharapkannya kehadiran pesantren, madrasah dan sekolah Islam dalam masyarakat. Kehadiran di sini dimaksudkan dalam rangka changing and developing masyarakat. Pesantren, madrasah dan sekolah Islam di sini dianggap sebagai lambang permanensies seorang kiyai di komunitas, atau daerah tertentu. Di bidang ini pesantren, madrasah dan sekolah Islam sangat dikagumi karena pandai merubah perilaku masyarakat, memotivasi, atau melakukan perubahan-perubahan terhadapnya sekalipun terdapat keluhan akan adanya pesantren yang bersifat eklusif, tertutup dengan masyarakat lingkungannya, namun umumnya masyarakat sekitar pesantren mengalami perkembangan yang lebih baik dari sebelumnya.

A. Pendahuluan

Pesantren merupakan institusi yang banyak dipuji orang, khususnya masyarakat muslim, demikian juga dengan keberadaan Madrasah dan Sekolah Islam di Indonesia. Namun di saat yang sama sering pula mendapat kecaman dan dilabelkan sebagai institusi yang banyak “menghambat” kemajuan Islam. Kontroversi mengenai pesantren seperti itu secara tidak langsung telah menempatkan pesantren sebagai institusi yang cukup penting untuk selalu diperhatikan. Pandangan positif akan menempatkan kontroversi tersebut sebagai peluang untuk memperkuat peran pesantren itu sendiri.

Sama halnya Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang dikelola oleh Departemen Agama, selama ini masih dipandang rendah kualitasnya oleh sebagian masyarakat. Bahkan rentang waktu perjalanan sekolah yang bernama madrasah di bumi pertiwi ini (Indonesia) sangat panjang, dapat dikatakan hampir sama dengan irama dinamika dunia pendidikan di Indonesia. Seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta globalisasi, maka upaya-upaya yang ditujukan untuk mengembangkan kualitas agar citra sekolahini tidak selalu menjadi nomor dua, setelah sekolah umum yang lain, banyak hal yang bisa dilakukan oleh stakeholder madrasah.

Sejalan dengan perkembangan global, pendidikan Islam menghadapi tantangan manajerial yang cukup mendasar. Harapan dari berbagai pihak agar pendidikan dikelola dengan pola ”industri pendidikan” merupakan salah satu perkembangan yang muncul dalam era kompetitif saat ini. Manajemen pendidikan tidak lagi bisa dianggap sebagai ”manajemen sosial” yang bebas dari keharusan pencapaian target dan dikendalikan oleh subyek yang berwawasan ”sempit”, misalnya dengan pendekatan kekeluargaan seperti yang penulis jumpai di sebagian pesantren di Indonesia.

Sesuatu yang dapat dikembangkan mengenai peran madrasah, pesantren bahkan sekolah Islam sekalipun, adalah pada peran strategisnya dalam mengelola pola manajemen strategikyang dapat didefinisikan sebagai sekumpulan keputusan dan tindakan yang menghasilkan rumusan (formulasi) dan pelaksanaan (implementasi) rencana-rencana untuk mencapai sasaran- sasaran perusahaan dalam hal ini disebut dengan Madrasah, Pesantren dan Sekolah Islam (Agus Maulana, 1997: 20).

Sesuatu yang dapat dikembangkan dalam pengelolaan Islam ( pesantren, madrasah dan sekolah Islam) adalah pola manajemen srategik yang dpat didefinisikan sebagai sekumpulan keputusan dan tindakan yang menghasilkan perumusan (formulasi) dan pelaksanaan (implementasi) rencana-rencana untuk mencapai sasaran-sasaran perusahaan dalam hal ini disebut madrasah (Agus Maulana, 1997: 20).

Dalam konteks pendidikan pesantren, madrasah dan sekolah Islam, apabila penerapan ”manajemen instruksional” dirumuskan dalam pola-pola praktis yang kaku oleh pemegang kebijakan, akan mengakumulasikan kerawanan masalah. Seperti proses pembelajaran yang kurang memadai, pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang tidak profesional dan lain sebagainya. Membiarkan pola seperti ini berkembang (tanpa ada solusi alternatif menuju perkembangan pesantren, madrasah dan sekolah Islam ke depan) pada saatnya akan mengancam eksistensi pesantren, madrasah dan sekolah Islam itu sendiri. Yang terpenting dari semua ini dalam melaksanakan pengelolaan manajemen madrasah terutama pada perannya yang strategis adalah dengan melakukan refleksi dan evaluasi terhadap seluruh potensi yang dimiliki stakeholder dan kemudian secara bersama menyusun program dan rencana pengembangan pesantren, madrasah dan sekolah Islam secara bertahap serta meneguhkan kembali komitmenstakeholder kepada pentingnya pendidikan Islam (madrasah) dalam rangka mempersiapkan subyek didik yang cerdas, bermoral dan memiliki ketrampilan, sehingga dapat memberikan kontribusi pemikiran perkembangan zaman.

Sekilas apabila diperhatikan, era globalisasi yang dijumpai masyarakat ternyata lebih memperkuat perhatian orang terhadap pesantren. Di antara penyebabnya adalah dimungkinkan karena adanya semangat untuk mencari pendidikan alternatif. Era global seakan mengharuskan seseorang atau bahkan kepada komunitas masyarakat secara luas untuk mencari , menggali dan mengembangkan pendidikan alternatif tersebut dan sekaligus untuk memperbesar peluang keunggulan terutama yang terkait dengan peran pesantren ,madrasah dan sekolah Islam yang ada di Indonesia ini.

Dalam tulisan ini penulis kemukakan beberapa poin sebagai berikut: 1) pesantren sebagai akar sejarah pendidikan Islam di Indonesia, 2) eksistensi pesantren, madrasah dan sekolah Islam, 3) Reaktualisasi peran strategis pesantren madrasah dan sekolah Islam.
B. Pesantren sebagai Akar Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia

Berbicara mengenai akar sejarah pendidikan Islam di Indoensia tidak bisa dilepaskan dari pesantren. Karena Pesantren dianggap sebagai sistem pendidikan asli Indonesia (Haedari Amin, 2007: 34) sekalipun demikian informasi-informasi lain membuktikan bahwa sistem pendidikan pesantren , madrasah, merupakan adaptasi dari sistem pendidikan yang telah dikembangkan sebelumnya. Satu informasi mengatakan bahwa, pesantren, madrasah dan sekolah Islam seperti dikemukakan pendapat pertama yaitu merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari praktik pendidikan pra-Islam atau masa kekuasaan Hindu Budha, Nurcholis Madjid setuju dengan pendapat ini. Sebagaimana disebutkan bahwa pesantren memiliki hubungan historis dengan lembaga pendidikan pra-Islam yang sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu Budha, lalu Islam meneruskan dan meng-Islamkannya (Haedari Amin, 2007: 34).

Dari penamaan pesantren sendiri terkait dengan terminologi yang ada di kalangan Hindu. Kata pesantren berakar dari kata santri dengan awalan ”pe” dan akhiran ”an”. Menurut C.C. Berg istilah tersebut berasal kata India Shastri, berarti orang-orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata Shastri sendiri berasal dari kata shastrayang berarti buku-buku suci, buku-buku Agama atau pengetahuan. Pendapat kedua menyatakan bahwa pesantren memiliki hubungan historis dengan Timur Tengah. Terkait dengan pengaruh Timur Tengah ini sudah banyak yang membuktikan terutama mereka yang melakukan ibadah haji di Mekah dan Madinah. Mekah dan Madinah bagi ulama Indonesia tidak semata tempat untuk melakukan ibadah haji tetapi tempat untuk mencari ilmu, terutama dengan menghadiri pengajian di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Adanya perbedaan pendapat ini tidak berarti pendapat satu yang benar, sementara pendapat lainnya salah. Kedua pendapat ini saling mengisi dan pesantren memang tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur Hindu yang sudah lebih awal ada di Indonesia dan unsur-unsur Islam Timur Tengah di mana Islam berasal (Haedari Amin, 2007: 34).

Bertitik tolak dari akar sejarah pesantren atau sebut saja asal-usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia. Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa abad 16 … 15 yang telah berhasil mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam masyarakat. Keunikan yang dimaksud adalah hampir semua pesantren di Indonesia ini dalam mengembangkan pendidikan kepesantrenannya berkiblat pada ajaran Walisongo. Misal pondok pesantren Nahdlatul Wathan di Pancor Lombok Timur NTB yang saat ini santrinya lebih dari sepuluh ribu orang (Mas’ud Abdurrahman, 2002: 4) dan pondok pesantren yang lainnya yang tersebar di Pulau Jawa. Sedangkan Maksum menyebutkan bahwa akar sejarah atau asal usul lembaga pendidikan Islam misal madrasah adalah merupakan prestasi abad kelima Hijriyah. Madrasah-madrasah yang timbul dalam Islam, tidak dikenal pada masa-masa sahabat dan melainkan sesuatu yang baru setelah 400 tahun sesudah Hijriyah (Maksum, 1999: 60)

Mengawali asal usul pesantren atau akar sejarah pesantren sama halnya dengan membahas sejarah madrasah dan sekolah Islam, karena ketiga lembaga pendidikan ini bernuansa religius atau dengan kata lain fokus studinya keagamaan di samping studi yang lain yang mendukung visi misi ketiga lembaga tersebut juga menjadi program pembelajarannya.

Perkembangan dari pesantren ke madrasah muncul pada awal abad 20, sebagai akibat dari kurang puas terhadap sistem pesantren (waktu itu ) yang dianggap sempit dan terbatas pada pengajaran ilmu fardlu ’ain (Mas’ud Abdurrahman, 2002: 241), terdapat dua hal yang melatar belakangi tumbuhnya sistem madrasah di Indonesia, pertama adalah faktor pembaharuan Islam dan kedua respon terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. Kemunculan dan perkembangan madrasah tidak bisa dilepaskan dari gerakan pembaharuan Islam dan kemudian dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam baik di Jawa , Sumatera maupun Kalimantan. Oleh karena itu pendidikan dipandang sebagai aspek strategis dalam membentuk pandangan keislaman masyarakat. Dalam kenyataannya, pendidikan yang terlalu berorientasi pada ilmu-ilmu agama ubudiyyah, sebagaimana ditunjukkan dalam pendidikan di masjid, surau dan pesantren, pandangan keislaman masyarakat agaknya kurang memberikan perhatian kepada masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan budaya, untuk melakukan pembaharuan terhadap pandangan dan tindakan masyarakat itu langkah strategis yang harus ditempuh adalah memperbaharui sistem pendidikannya.

Para ahli dimana pun juga, sepakat bahwa sistem pendidikan yang terkait perlu diperbaharui secara berkesinambungan, atas pemahaman tersebut pakar pendidikan mengambil langkah-langkah menuju perbaikan sistem pendidikan tradisional menuju pada sistem pendidikan modern yang dilengkapi dengan pola manejemen sebagai standar mutu. Bagi masyarakat luas, dengan tujuan supaya madrasah tidak dianggap sebagai salah satu pendidikan yang bercirikan tradisional, sehingga kiat-kiat untuk menepis anggapan masyarakat tersebut di atas diperlukan manajemen yang tertata dalam sistem pendidikan modern.

C. Eksistensi Madrasah dan Sekolah Islam

Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relatif lebih muda dibanding pesantren. Lahir pada abad 20 dengan munculnya madrasah Manbaul Ulum Kerajaan Surakarta tahun 1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909. Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem pendidikan Islam yang telah ada. Menarik untuk diamati mengapa sistem pendidikan pesantren sendiri justru tidak bersifat statis, tetapi selalu mengalami pertumbuhan seiring dengan perubahan masyarakat yang terjadi. Demikian juga madrasah dan sekolah Islam di Indonesia selalu melakukan terobosan-terobosan guna mempertahankan eksitensinya (Mas’ud Abdurrahman, 2002: 226) .

Pembaharuan tersebut menurut Mastuhu, meliputi tiga hal, yaitu: (1)Usaha menyempurnakan sistem pendidikan pesantren,(2) Penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat, dan (3) Upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dan sistem pendidikan Barat.

Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, kini ditempatkan sebagai pendidikan sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Di dalam salah satu diktum surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Menteri Dalam Negeri)disebutkan perlunya diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar lulusan dari madrasah dapat melanjutkan ke sekolah-sekolah umum, dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi (Mastuhu, 1999: 226).

Aktivitas yang berorientasi pada tujuan, perlu dicapai melalui jalan menetapkan hubungan tertentu antara sumber daya yang tersedia (sumber daya material dan moneter). Hubungan tersebut berkembang dengan sebuah pola yang berubah secara konstan yang merefleksikan fakta tentang bagaimana orang-orang bekerja satu sama lain, dan bagaimana mereka dipengaruhi satu sama lain dalam kehidupan keorganisasian mereka.

Tindakan bekerja melalui pihak lain, untuk mencapai sasaran-sasaran keorganisasian. Untuk memperoleh manfaat hasil yang maksimum baik dari bakatnya sendiri maupun bakat pihak lainnya diperlukan melalui pembagian kerja, penugasan tanggung jawab bidang-bidang terbatas kepada individu atau kelompok.

Keterlibatan aktif dengan keputusan-keputusan, evaluasi dan seleksi alternatif atau problem-problem keputusan manajemerial. Dalam jangka panjang seluruh masa depan suatu lembaga pendidikan (madrasah) misalnya bergantung pada tingkat hingga di mana keputusan-keputusan ”tepat ” diambil oleh para manajer.

Sistem pendidikan madrasah di masa akan datang, diharapkan merupakan suatu industri dalam arti bahwa pendidikan memerlukan pengelolaan yang professional agar rate of returns dari industri pendidikan itu sama atau lebih baik dari investasi dalam sektor ekonomi lainnya.

Untuk memperkuat eksistensi Madrasah, pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang Tanggung jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan Isi keputusan ini pada intinya menyangkut tiga hal sebagai berikut (Maksum,1999: 146):

1.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggungjawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan
2.

Menteri Tenaga Kerja betugas dan bertanggung jawab atas pembinaan latihan keahlian dari kejuruan tenaga kerja bukan pegawai negeri.
3.

Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri

Dua tahun berikutnya, Keppres itu dipertegas dengan Inpres No.15 Tahun 1974 yang mengatur realisasinya. Bagi Departemen Agama yang mengelola pendidikan Islam, termasuk madrasah, Keputusan ini menimbulkan ŽmasalahŽ. Dalam Tap MPRS No. 27 Tahun 1966 dinyatakan bahwa agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan Nasional. Selain itu, dalam Tap MPRS No.2 Tahun 1960 ditegaskan bahwa madarasah adalah lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama. Berdasarkan ketentuan ini, maka Departemen Agama menyelenggarakan pendidikan madrasah tidak saja yang bersifat keagamaan dan umum, etapi juga yang bersifat kejuruan. Dengan Keppres No.34 dan Inpres No.15 Tahun 1974 itu, penyelenggaraan pendidikan umum dan kejuruan menjadi sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Secara implisit ketentuan ini mengharuskan diserahkannya penyelenggaraan pendidikan madrasah yang sudah menggunakan kurikulum nasional kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan(sekarang Departemen Pendidikan Nasional). Secara yuridis, keberadaan madrasah dijamin oleh undang-undang SKB tiga menteri (menag, Mendikbud dan Mendagri) Tahun 1975 kedudukan madrasah sama dan sejajar dengan sekolah formal lainnya. Demikian juga dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 ditegaskan ulang bahwa madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas agama Islam. Kurikulum yang digunakan pun secara umum mengacu kepada kurikulum Dinas dan ditambah kurikulum agama yang dikeluarkan oleh Depag. Oleh karena itu secara teoritis, madrasah seharusnya mampu memberikan nilai lebih bagi para siswanya dibanding sekolah umum (Mifathul Haq, 2002: 26)

Yang menjadi persoalan di sini adalah apa yang dicari pesantren, madrasah dan sekolah Islam di Indonesia itu memang ada? Dan bagaimana eksistensinya tersebut. Seberapa tinggi peluang untuk menjadikannya sebagai alternatif atau sebagai keunggulan ? Persoalan tersebut disebabkan madrasah tidak hanya menawarkan peserta didiknya memiliki kematangan intelektual semata melainkan juga memiliki kematangan mental dan spiritual.

D. Reaktualisasi Peran Strategis Pesantren, Madrasah dan Sekolah Islam

Sudah banyak diketahui bahwa peran pesantren secara konvensional adalah melakukan proses transfer ilmu agama Islam, mencetak kader-kader ulama, dan mempertahankan tardisi. Dalam perkembangan modern, pesantren, madrasah dan sekolah Islam menghadapi tantangan baru, di mana ketiga lembaga Islam tersebut tidak bisa mengelak dari proses modernisasi itu. Dampak dari modernisasi setidaknya mempengaruhi pesantren, madrasah dan sekolah Islam tersebut dari berbagai aspeknya . Di antaranya adalah sistem kelembagaan , orientasi hubungan kiyai-santri, kepemimpinan dan peran pesantren , madrasah dan sekolah Islam.

Orientasi peran pesantren, madrasah dan sekolah Islam sangat dipengaruhi oleh faktor internal pesantren, terutama pandangan kiyainya, dan faktor luar, perkembangan dan tuntutan aman (sebut saja pengaruh globalisasi). Mencermati perkembangan globalisasi yang kian marak ini, bisa dipastikan banyak orang yang meyakini bahwa peran pesantren, madrasah dan sekolah Islam dalam menyebarkan Islam di bumi Nusantara ini. Hanya saja, tidak banyak dari mereka yang mengetahui kapan pesantren pertama kali lahir. Para sejarawan pun tidak sepakat mengenai awal berdirinya pesantren. Baik keberadaan pesantren, madrasah dan sekolah Islam tidak bisa dilepaskan dari penyebaran Islam di Indonesia.

Proses globalisasi yang terus menemukan momentumnya sejak dua dasawarsa menjelang millenium baru telah memunculkan wacana baru dalam berbagai lapangan kehidupan literatur akademik,media massa, forum-forum seminar, diskusi, dan pembahasan dalam berbagai lembaga. Penggunaan istilah globalisasi semakin meluas termasuk di Indonesia, penggunaan istilah lain seperti kesejagatan tidak cukup reperesentatif untuk menampung semua makna dan nuansa yang tercakup dalam istilah globalisasi.

Globalisasi adalah kata yang digunakan untuk mengacu kepada bersatunya berbagai negara dalam globe menjadi satu entitas. Secara denotatif globalisasi berarti perubahan-perubahan struktural dalam seluruh kehidupan negara bangsa yang mempengaruhi fundamen-fundamen dasar pengaturan hubungan antar manusia, organisasi-organisasi sosial, dan pandangan pandangan dunia (Azyumardi Azra, 2007 : 6). Beberapa pesantren yang awalnya salafiyah, hanya mengajarkan kitab-kitab kuning Ddan bertujuan mencetak kader ulama, kemudia berubah dengan menawarkan sekolah formal, seperti madrasah atau sekolah, adalah bukti pesantren mengalami perubahan orientasi.

Perubahan ini terutama sekali dipengaruhi oleh faktor kiyai, yang dalam pesantren tradisional adalah pemilik sekaligus pemimpin absolut dari pesantren tersebut. Persinggungan kiyai-kiyai tradisional dengan budaya luar, baik melalui ibadah haji maupun kegiatan lainnya, turut menyumbangkan gagasan pembaruan yang dilakukan kiyai. Para Kiyai yang sudah modern itu beranggapan bahwa santri tidak cukup dibekali dengan pengetahuan agama semata, melainkan harus memiliki tambahan pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupannya ketika terjuan dan kembali kemasyarakat.

Beberapa pesantren yang membuka sekolah dan madrasah formal, selain karena gagasan pembaruan kiyai, juga disebabkan karena tuntutan zaman. Oleh karenanya pesantren-pesantren yang membuka sekolah dan madrasah sedikit banyak dipengaruhi oleh dunia kebutuhan masyarakat tentang tenaga profesional yang memiliki akhlak mulia. Pada awal kemerdekaan, negara banyak membutuhkan pegawai negeri sipil. Untuk memenuhi kebutuhan itu , pesantren tidak tinggal diam. Pendirian sekolah dan madrasah adalah bentuk respon pesantren atas kelangkaan pegawai negeri sipil. Pesantren berharap , stock PNS dari lulusan pesantren memiliki kelebihan di bidang akhlaknya dibanding lulusan dari sekolah biasa (Amin Haedari, 2007: 34).

Dalam perkembangan modern seperti saat ini, tuntutan peran pesantren semakin kompleks. Problem-problem sosial ekonomi yang terjadi di masyarakat, seperti masalah disintegrasi, kemiskinan, kemunduran akhlak sudah semakin terbuka dan merajalela di masyarakat. Pesantren diharapkan tidak saja mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terkait dengan faham keagamaan , tetapi juga diharapkan dapat terlibat menyelesaikan masalah-masalah sosial tersebut.

Sejauh pengamatan penulis, pesantren yang di dalamnya ada madrasah dan sekolah Islam memiliki peluang dan kesempatan untuk terlibat aktif dalam menuntaskan problem-problem sosial tersebut. Apalagi pesantren tersebut memiliki karakter sosial dan kedekatan emosi dengan masyarakat karena sifat egalitar dan kesahajaannya yang memungkinkannya dapat berinteraksi secara intensif dengan masyarakat (misalnya salah satu contoh pesantren Sunan Pandanaran yang bertempat Dusun Candi , Sardonoharja, Ngaglik, Sleman, ) setiap sebulan sekali tepatnya pada setiap Kamis wage terlihat bagaimana tumpah ruah masyarakat dari berbagai Kecamatan bahkan Kabupaten di sekitar Daerah Istimewa Yogyakarta juga luar Propinsi mendatang pengajian Mujahadah Akbar yang contennya adalah syiar Islam dan sekaligus media komunikasi antar masyarakat muslim muslimah dalam rangka mencari solusi penyelesaian problem- problem sosial kehidupan yang semakin menghimpit terutama pasca kenaikan BBM ini dan penyadaran diri sebagai hamba atau kholifahkepada sang Kholiq.

Dengan demikian, esensi peran strategis pesantren, madasah dan sekolah Islam ada dua pokok, yaitu mencetak kader ulama yang mendalami ilmu agama dan pada saat yang sama mengetahui, terampil, dan peduli terhadap persoalan keummatan.Pesantren adalah tempat untuk mencetak kader ”faqih fi ’ulum al-din dan faqih fi mashalih al-ummah. Lulusan Pesantren diharapkan baik agamanya dan pandai menghadapi persoalan umat.

Dengan peran semacam ini, dimungkinkan pesantren, madrasah dan sekolah Islamterlibat maksimal dalam membangun bangsa ini. Melalui pesantren, madrasah dan sekolah Islam, para santri atau siswa belajar ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sosial yang dibutuhkan masyarakat. Bahkan seterusnya pesantren menjadi lembaga pengkaderan bagi santri atau siswa yang kelak siap terjun ke masyarakat.

Peran pesantren yang demikian ini sesungguhnya tidak asing lagi di kalangan dunia pesantren, karena dunia pesantren sudah tahu betul bahwa setiap manusia yang ingin sukses harus menguasai ilmu dan inovatif sebagaimana pesan Rasulullah SAW tentang etos kerja sebagaimana hadits berikut :

Artinya : ”Dari Rifa’ah bin Rafi’ ra, bahwasannya Rasulullah SAW perah ditanyai usaha yang paling baik. Beliau menjawab : amal usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan semua jual beli yang bersih.” (HR. Al-Bazzar dan dinilai sahih oleh al-Hakim) (Sahih Bukhari Muslim : 800).

Pesan Nabi berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah ”barangsiapa yang ingin sukses dalam urusan dunia harus memiliki ilmunya, sama halnya ingin sukse akhirat, dan barangsiapa yang ingin menghendaki keduanya, baginya juga menguasai ilmu dunia dan ilmu akhirat”.

Mencermati peran strategis pesantren, madrasah dan sekolah Islam di Indonesia seperti tersebut di atas, diharapkan dapat mengembalikan kejayaan ummat Islam yang pernah menyinari dunia dengan ilmunya. Saat itu, Islam menjadi pusat peradaban dimana di tempat lain sedang mengalami kegelapan. Saat negara dan bangsa lain terkungkung dalam kemunduran dan kemiskinan, Islam maju meninggalkan bangsa dan negara lain. Kemajuan ini diperoleh karena perhatian serius Islam terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, disamping tetap mempertahankan ilmu agama.

Saat itu, tidak ada dikhtomi ilmu agama dan umum. Para cendekiawan muslim mempelajari dan menguasai kedua ilmu ini secara bersamaan. Ambil saja contoh, ulama Ibnu Rusyd yang tidak saja mendalam dalam bidang fiqih, tetapi piawai dalam bidang ilmu filsafat. Ibnu Sina, ahli agama sekaligus ahli kedokteran. Bukunya tentang kedokteran Althib, tidak saja dirujuk oleh ilmuwan dan ahli di Barat, tetapi juga menjadi inspirasi bagi perkembangan dunia kedokteran modern. Muhammad Abduh,ahli bidang sosiologi sekaligus pakar bidang agama dan masih banyak lagi sederet cendekiawan muslim dalam berbagai bidang : matematika, bahasa, ilmu tanah, pertanian dan sebagainya yang ikut mencerahkan dunia (Amin Haedari, 2007: 36).

Islam mengalami kemunduran saat terkungkung dengan takliddan mengabaikan ilmu pengetahuan. Ketika Islma meninggalkan ilmu pengetahuan dan mengalami kejumudan, negara dan bangsa lain bangkit dari keterpurukan. Akhirnya, kini dalam beberapa kurun waktu Islam mengalami keterpurukan. Oleh karena itu sudah saatnya pesantren, madrasah dan sekolah Islam mengangkat keterpurukan bangsa Indonesia khusunya dan umat manusia pada umumnya saat ini. Peran-peran madrasah dan pundi-pundi keilmuan seperti Baitul Hikmah pada zaman kejayaan Islam, yang telah memberi sumbangan berarti bagi kemajuan Islam, dapat ditransfer oleh pesantren, madrasah dan sekolah Islam untuk dapat diterapkan saat ini, sehingga ketiga lembaga Islam tersebut menjadi laboratorium ilmu pengetahuan agama dan pusat riset kegiatan ilmiah.

Dengan menjadi pusat riset ilmu pengetahuan, prediksi Nurcholis Madjid (Nurcholis Madjid, 1977), tentang Universitas Tebuireng, Universitas Tremas, Universitas Lirboyo, dan Universitas Pesantren lainnya di Indonesia dapat terwujud. Hal ini cukup beralasan ,karena kemajuan Islam masa pertengahan, terutama ditopang oleh budaya riset ilmu pengetahuan. Apalagi pesantren yang jumlahnya puluhan ribu, jika mampu menjadi pusat riset ilmu pengetahuan , maka pengaruh sekaligus perannya akan melebihi Baitul Hikmah dan dampaknya dapat meluas ke seluruh dunia. Dengan begitu, kemajuan Islam dapat diraih kembali. Lebih dari itu peran pesantren yang utama adalah lulusannya diharapkan memiliki kelebihan dari sisi akhlakul karimah, karena pesantern sudah semestinya menjadi pengawal bagi akhlak yang terpuji ini.

Di akhir tulisan sederhana ini penulis pertanyaan : mungkinkah pesantren, madrasah dan sekolah Islam menjadi besar ? pertanyaan ini tidak untuk dijawab mungkin atau tidak, tetapi harus dijawab dengan kata HARUS . Mengapa harus , karena pesantren, madrasah dan sekolah Islam harus menjadi besar seiring dengan ekspektasi masyarakat yang semakin besar terhadap pesantren, madrasah dan sekolah Islam , terutama setelah pendidikan yang lain tidak memenuhi tuntutan mental dan akhlak yang diharapkan masyarakat.

Pesantren dimulai dengan menetapkan visi dan misi (tujuan) yang tepat, yaitu mencetak kader yang ahli di bidang agama dan mumpuni dalam urusan sosial, kemudian bersma pemerintah membangun kemitraan untuk merumuskan kebijakan dan program pengembangan pesantren, madrasah dan sekolah Islam di masa depan. Saran sederhana misalnya dengan mengacu kepada sistem mutu sekolah formal yang tersandarisasi dan aspek manajerial yang berbasis industri ( dengan tetap mengacu kepada Quran Hadis ).

Wallahu ’alamu.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Maulana, MSM dalam Pearce Robinson,1997,Manajemen Strategik, Formulasi Implementasi dan Pengenalian, Binarupa Aksara:Jakarta

Amin Haedari, dalam Jurnal Mihrab Vol. II, no 1 Juli 2007
Amin Haedari dalam Jurnal Pondok Pesantren Mihrab, vol. II No. 1 Juli 2007 ,
Masud Abdurrahman; Dinamika Pesantren dan Madrasah;2002, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Mastuhu, 1999, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam Ciputat : PT Logas Wacana Ilmu

Maksum,1999, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya , PT Logas Wacana Ilmu

Mifathul Haq,2002,Bakti, No.130.Th XI
Azyumardi Azra dalam Jurnal Pondok Pesantren Mihrab, vol. II No. 2 November 2007

Nurcholis Madjid, 1977, Bilik-bilik pesantren, sebuah potret perjalanan; Jakarta:Paramadi

Pasted From :